aturan islam Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/aturan-islam Wed, 02 Feb 2022 09:05:26 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png aturan islam Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/aturan-islam 32 32 5 Waktu Terbaik Menggunakan Pengeras Suara Di Masjid dan Hukumnya https://dalamislam.com/hukum-islam/waktu-terbaik-menggunakan-pengeras-suara-di-masjid Fri, 21 Jan 2022 08:25:52 +0000 https://dalamislam.com/?p=10385 Pengeras suara adalah perlengkapan teknik yang terdiri dari mikropon, amplifer, loud speaker dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik. Dalam lampiran instruksi tersebut di atur syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain yaitu: Suara do’a Suara dzikir Shalat karena pelanggaran seperti bukan menimbulkan simpati melainkan keberanian bahwa umat beragama sendiri menaati ajaran agamanya. Lebih lanjut suara yang […]

The post 5 Waktu Terbaik Menggunakan Pengeras Suara Di Masjid dan Hukumnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Pengeras suara adalah perlengkapan teknik yang terdiri dari mikropon, amplifer, loud speaker dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik. Dalam lampiran instruksi tersebut di atur syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain yaitu:

  1. Suara do’a
  2. Suara dzikir
  3. Shalat karena pelanggaran seperti bukan menimbulkan simpati melainkan keberanian bahwa umat beragama sendiri menaati ajaran agamanya.
  4. Lebih lanjut suara yang harus ditinggikam adalah suara Adzan sebagai tanda bahwa telah tiba waktunya shalat wajib.

Selain itu dijelaskan pula bahwa mereka yang menggunakan pengeras suara hendaklah yang memiliki suara merdu, fasih, enak, tidak cemplang, sumbang atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindari anggapan orang luar tentang suatu masjid dan bahkan jauh dari pada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar.

Dan sebaliknya malah menjengkelkan. Penggunaan pengeras suara masjid pada waktu tertentu secara terperinci adalah sebagai berikut:

1. Waktu Subuh

Sebelum waktu subuh dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk membangun kaum muslimin yang masih tidur.

Guna untuk persiapan akan shalat, membersihkan diri dan lain-lain. Kegiatan pembacaan ayat Suci Al-Qur’an dapat menggunakan pengeras suara keluar.

Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah di masjid. Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara keluar.

Shalat subuh kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara bila diperlukan untuk kepentingan jamaah dan hanya ditujukan ke dalam saja.

2. Waktu Dzuhur dan Jum’at

Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan jumat di isi dengan bacaan al-qur’an yang di tujukan keluar. Demikian juga suara adzan bila mana telah tiba waktunya.

Baca shalat doa pengumuman, khutbah, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.

3. Ashar, Maghrib dan Isya

Lima menit sebelum adzan dianjurkan membaca Al-Qur’an.

Saat datang waktu shalat fardhu, dilakukan adzan dengan pengeras suara keluar dan ke dalam.

Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya menggunakan pengeras suara ke dalam.

4. Takbir, Tarhim dan Ramadhan

Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara keluar. Manfaat takbir ini sendiri boleh dikatakan sebagai pertanda menangnya umat muslim dari perang hawa nafsunya selama 1 bulan berpuasa. Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam.

Tarhim berupa dzikir tidak menggunakan pengeras suara. Pada bulan Ramadhan di siang hari dan malam hari.

Sebagaimana pada hari dan malam biasa dengan memperbanyak pengajian, bacaan al-qur’an menggunakan pengeras suara ke dalam.

5. Upacara Hari Besar Islam dan Pengajian Tabligh

Pengajian hanya menggunakan pengeras suara yang di tujukan ke dalam dan tidak keluar. Kecuali jika pengunjung tabligh atau hari besar Islam memang melimpah keluar.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa penggunaan pengeras suara masjid telah diatur terperinci. Intruksi ini hanya memberikan pedoman dasar penggunaan pengeras suara masjid, akan tetapi tidak membuat sanksi di dalamnya.

Oleh karena itu, menurut pengamatan kami, pentingnya membicarakan masalah ini baik-baik dengan pihak pengelola masjid secara kekeluargaan. Baik secara langsung maupun melalui pengurus lingkungan setempat sambil mengacu pada pedoman ini.

Jika upayakan secara baik-baik telah dilakukan namum belum ada perubahan langkah hukum dengan mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum dapat dipertimbangan kami untuk dicoba.

Selain soal ketentuan waktu penggunaan diatas, hal-hal lain yang perlu dihindari dalam penggunaan pengeras suara yaitu:

  1. Mengetuk-ngetuk pengeras suara, sebab secara teknis hal ini dapat mempercepat kerusakan peralatan didalamnya yang rawan.
  2. Kata-kata seperti: percobaan-percobaan, satu-dua dan seterusnya.
  3. Berbatuk atau mendehem melalui pengeras suara.
  4. Membiarkan suara kaset sampai lewat dari yang dimaksud atau memutar kaset (Al-Qur’an, Ceramah) yang sudah tidak betul suaranya.
  5. Membiarkan digunakan oleh anak-anak untuk bercerita macam-macam.
  6. Menggunakan pengeras suara untuk memanggil nama seorang atau mengajak bangun (diluar panggilan adzan).

Syarat Penggunaan Pengeras Suara

Berikut sejumlah syarat penggunaan pengeras suara, yaitu:

  1. Perawatan pengeras suara dilakukan oleh seorang yang terampil, sehingga tidak ada suara-suara bising, berdengung, yang dapat menimbulkan anti-pati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar atau musala.
  2. Pengeras suara hendaknya digunakan oleh orang (muadzin, pembaca Qur’an, imam shalat dan lain-lain) yang mempunyai suara fasih, merdu, enak, tidak cemplang, sumbang atau terlalu kecil.
    • Ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh dari pada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
  3. Tidak boleh terlalu meninggikan suara do’a, dzikir dan shalat.
  4. Orang yang mendengar berada dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam waktu tidur, istirahat, sedang beribadah atau melakukan upacara.
    • Dalam keadaan demikian, kecuali panggilan adzan, tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya.
    • Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakat masih terbatas, maka suara-suara keagamaan dari dalam masjid, langgar dan musala selain berarti seruan taqwa, juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitar.
  5. Sesuai tuntunan Nabi, suara adzan sebagai tanda masuknya shalat memang harus ditinggikan, sehingga penggunaan pengeras suara tidak dapat diperdebatkan.
    • Namun, perlu diperhatikan agar suara muadzin tidak sumbang, melainkan enak, merdu dan syahdu.

The post 5 Waktu Terbaik Menggunakan Pengeras Suara Di Masjid dan Hukumnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kedudukan Wasiat dalam Hukum Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/kedudukan-wasiat-dalam-hukum-islam Thu, 30 May 2019 18:53:02 +0000 https://dalamislam.com/?p=7081 Kata hukum wasiat berasal dari bahasa Arab yakni wahshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu ( aku menyampaikan sesuatu). Yang artinya orang yang berhukum wasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati. كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila […]

The post Kedudukan Wasiat dalam Hukum Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kata hukum wasiat berasal dari bahasa Arab yakni wahshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu ( aku menyampaikan sesuatu). Yang artinya orang yang berhukum wasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berhukum wasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”(Q.S. Al Baqarah:180)

Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim, dari Ibnu Umar r.a., dia berkata:  Telah bersabda Rasulullah saw: “ Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak dihukum wasiatkan, sesudah bermalam dua malam tiada lain hukum wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.” Ibnu Umar berkata : Tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar Rasulullah saw. Mengucapkan hadist itu kecuali hukum wasiatku berada di sisiku.

Dari ayat dan hadist di atas jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum wasiat sesorang yang telah meninggal adalah wajib hukumnya. Namun hukum wasiat ini juga tergantung pada isi hukum wasiat itu sendiri. Jika hukum wasiat yang dibuat adalah hukum wasiat yang sesuai syar’I, maka diwajibkan untuk dilaksanakan. Misalnya saja berhukum wasiat jika ia meninggal, maka anaknya harus menghafal Al Quran.

Hukum wasiat seperti ini harus dilaksanakan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hanasy berkata bahwa dirinya melihat Ali menyembelih dua ekor gibas. “Lalu aku mengatakan kepadanya, “Apa ini?” Ali menjawab,” Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berhukum wasiat kepadaku agar aku berkurban atasnya maka aku pun berkurban atasnya.”

Baca juga:

Namun jika hukum wasiatnya bertentangan dengan syar’i, maka haram dilaksanakan, Misalnya, jika ia meninggal, ia berhukum wasiat agar anaknya memutuskan silaturahmi dengan kerabatnya, maka hukum wasiat ini haram dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rasul :

“Tidak ada ketaatan didalam sebuah kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan adalah didalam perkara-perkara yang baik.” (HR. Bukhori) Begitu pula dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Tidak ada ketaatan didalam maksiat kepada Allah.”

Hukum wasiat adalah pesan yang disampaikan oleh seseorang saat ia masih hidup dan dilaksanakan ketika ia sudah meninggal. Adapun hukum berhukum wasiat ada tiga macam, yakni:

  • Menyampaikan hukum wasiat hukumnya menjadi wajib jika orang tersebut masih mempunyai utang atau menyimpan barang titipan atau menanggung hak orang lain, karena dikhawatirkan jika sorang tersebut tidak berhukum wasiat maka hak orang lain yang masih ditanggungnya tidak ditunaikan kepada yang bersangkutan.
  • Menyampaikan hukum wasiat hukumnya dianjurkan bagi orang yang memiliki harta berlimpah dan ahli warisnya telah mendapat bagian harta dalam Islam yang berkecukupan dan sesuai aturan Islam. Orang tersebut dianjurkan untuk menyampaikan hukum wasiat agar menyedekahkan sebagian hartanya, baik sepertiga dari total harta atau kurang dari itu, kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan atau untuk orang lain yang membutuhkan.
  • Menyampaikan hukum wasiat dengan harta hukumnya makruh jika harta milik seorang itu sedikit dan ahli warisnya tergolong orang yang hartanya pas-pasan. Lebih baik mengutamakan pembagian warisan bagi ahli waris dibanding berhukum wasiat dengan harta. Maka dari itu banyak sahabat radhiyallahu ‘anhum, yang meninggal dunia dalam keadaan tidak berhukum wasiat dengan hartanya.

Perkara hukum wasiat telah dijelaskan dalam Al Quran maupun hadist.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berhukum wasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q. S. Al Baqarah: 180)

Baca juga:

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim, dari Ibnu Umar r.a., dia berkata:  Telah bersabda Rasulullah saw: “ Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak dihukum wasiatkan, sesudah bermalam dua malam tiada lain hukum wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.”

Ibnu Umar berkata : Tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar Rasulullah saw. Mengucapkan hadist itu kecuali hukum wasiatku berada di sisiku.”

Dari ayat dan hadist di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum wasiat hendaknya dilaksanakan, namun ada beberapa kondisi atau syarat hukum wasiat yang seperti apakah yang harus dilaksanakan.

Hukum wasiat diperbolehkan untuk dilaksanakan jika isi hukum wasiat tersebut baik, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hanasy berkata bahwa dirinya melihat Ali menyembelih dua ekor gibas.” Lalu aku mengatakan kepadanya,”Apa ini?” Ali menjawab,”Sesungguhnya Rasulullah saw pernah berhukum wasiat kepadaku agar aku berkurban atasnya maka aku pun berkurban atasnya.”

Sedangkan jika hukum wasiat itu berisi tentang pembagian harta warisan, maka hukum wasiat itu tidak boleh dilaksanakan karena Islam telah mengatur tentang pembagian warisan dalam Al Quran. Sebagaimana firman Allah SWT:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;

jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;

jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi hukum wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. An Nisa: 11)

Baca juga:

Namun diperbolehkan untuk melaksanakan hukum wasiat jika harta warisan yang ditinggalkan berlebih, dan isi hukum wasiat tersebut adalah maksimal hanya 1/3 harta untuk disedekahkan. Sedekah menurut Islam dengan menggunakan harta peninggalan memang diperbolehkan.

Sebagaimana dalam sebuah riwayat, Saad bin Abi Waqash berkata, ”Wahai Rasulullah aku memiliki harta dan tidaklah ada yang mewarisinya kecuali hanya seorang anak wanitaku. Apakah aku sedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan.” Aku berkata,”Apakah aku sedekahkan setengah darinya?”

beliau bersabda,”Jangan, sepertiga aja. Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia.” (HR. Muslim). Hal ini karena sedekah dalam Islam dapat menjadi amal jariyah bagi yang meninggal pula dan menjadi salah satu jenis sedekah jariyah. Apalagi jika sedekah pada anak yatim karena terdapat keajaiban bersedekah pada anak yatim.

Dan jika hukum wasiat tersebut melanggar syariat Islam, maka haram hukumnya untuk dilaksanakan. Hukum melanggar hukum wasiat dalam Islam menjadi wajib jika isi hukum wasiat berupa hal maksiat, seperti meminta anak-anaknya meneruskan usaha perjudian.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Tidak ada ketaatan didalam sebuah kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan adalah didalam perkara-perkara yang baik.” (HR. Bukhori). Dan di dalam riwayat Abu Daud disebutkan,”Tidak ada ketaatan didalam maksiat kepada Allah.”

Baca juga:

Begitu pula dengan isi hukum wasiat yang menyatakan memberikan harta kepada ahli waris yang telah mendapat harta warisan, maka tidak boleh dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang masing-masing haknya. Maka tidak boleh harta itu dihukum wasiatkan kepada ahli waris.”  (HR. At-Tirmizy)

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”( Q.S. An Nisa:7)

Demikianlah artikel tentang kedudukan hukum wasiat dalam Islam yang singkat ini. Semoga kita semua terhindar dari kesalah dan dosa-dosa akibat ketidaktahuan kita. Aaamiin. Sampai jumpa di artikel berikutnya.

The post Kedudukan Wasiat dalam Hukum Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Makan Sahur Saat Adzan Shubuh https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-makan-sahur-saat-adzan-shubuh Sun, 12 May 2019 01:44:32 +0000 https://dalamislam.com/?p=6879 Suatu hal yang membuat dalamislam.com rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dasar hukum islamsebagai yang secara tekstual jika dalamislam.com perhatikan menunjukkan masih bolehnya ibadah sahur saat ramadhan ketika suara adzan shubuh. Hadits tersebut yang merupakan sumber syariat islam adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah […]

The post Hukum Makan Sahur Saat Adzan Shubuh appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Suatu hal yang membuat dalamislam.com rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dasar hukum islamsebagai yang secara tekstual jika dalamislam.com perhatikan menunjukkan masih bolehnya ibadah sahur saat ramadhan ketika suara adzan shubuh.

Hadits tersebut yang merupakan sumber syariat islam adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”

Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan ibadah sahur saat ramadhan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan ibadah sahur saat ramadhan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?

Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.

Hukum Makan Sahur Saat Adzan Shubuh

Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh) misalnya untuk menjalakan anfaat puasa bagi ibu hamil, maka ia wajib imsak (menahan diri dari ibadah sahur saat ramadhan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada ibadah sahur saat ramadhanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.

Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh ibadah sahur saat ramadhan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul yakni hukum imsak dalam islam. Begitu pula ia masih boleh ibadah sahur saat ramadhan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh ibadah sahur saat ramadhan jika ia ragu suara adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya.

Kondisi semacam ini masih dibolehkan ibadah sahur dimana terdapatdoa mustajab waktu sahur saat ramadhan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari ibadah sahur saat ramadhan jika hanya sekedar mendengar kumandang suara adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.

Penjelasan

Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.

Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.

Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,

“Dalamislam.com katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan ibadah sahur saat ramadhanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

Sungguh Bilal mengumandangkan suara adzan di malam hari. Tetaplah kalian ibadah sahur saat ramadhan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan suara adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)

Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Jika salah seorang di antara kalian mendengar suara adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,

وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر

Sampai muadzin mengumandangkan suara adzan ketika terbit fajar.”

Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya bahwa suara adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah suara adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh.

Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah suara adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar suara adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar suara adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”

Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar suara adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”.

Dari sini mereka masih membolehkan ibadah sahur saat ramadhan dan minum ketika telah dikumandangkannya suara adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang ibadah sahur saat ramadhan ibadah sahur saat ramadhan ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”

Catatan: Suara adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Suara adzan pertama  untuk membangunkan shalat malam. Suara adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Suara adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.

Ada Beberapa Riwayat yang Dibawakan Oleh Ibnu Hazm Rahimahullah.

ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا

Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka ibadah sahur saat ramadhanlah hingga kalian yakin waktu shubuh telah masuk.”

ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر

Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”

وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر

Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zsuara adzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”

Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,

هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن

“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya ibadah sahur saat ramadhan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan ibadah sahur saat ramadhan sampai waktu Shubuh, pen).”

Kesimpulan

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar suara adzan Shubuh lantas ia masih terus ibadah sahur saat ramadhan dan minum?”

Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu ibadah sahur saat ramadhan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan ibadah sahur saat ramadhan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika mendengar suara adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari ibadah sahur saat ramadhan. Namun jika muadzin mengumandangkan suara adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari ibadah sahur saat ramadhan, ia masih diperbolehkan ibadah sahur saat ramadhan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh.

Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan suara adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari ibadah sahur saat ramadhan dan minum jika ia mendengar suara adzan. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau ibadah sahur saat ramadhan sesuatu ketika suara adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.”

Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika ibadah sahur saat ramadhan saat dikumandangkan suara adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti ibadah sahur saat ramadhan ketika itu.”

Demikian sajian singkat dari dalamislam.com untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri dalamislam.com pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut.

Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat.  Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Makan Sahur Saat Adzan Shubuh appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Qunut di Pertengahan Ramadhan https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-qunut-di-pertengahan-ramadhan Sat, 11 May 2019 23:38:05 +0000 https://dalamislam.com/?p=6873 Ibadah shalat Witir yang memilikikeutamaan shalat witir disyari’atkan dalam ibadah shalat malam dan disyari’atkan juga melakukan sebuah qunut yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bagaimana ketentuan sebuah qunut pada ibadah shalat Witir ini? Berikut penjelasannya. Hukum Qunut di Pertengahan Ramadhan. Pengertian Qunut Kata sebuah qunut yang berhubungan denganhukum lupa membaca doa qunut, […]

The post Hukum Qunut di Pertengahan Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ibadah shalat Witir yang memilikikeutamaan shalat witir disyari’atkan dalam ibadah shalat malam dan disyari’atkan juga melakukan sebuah qunut yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bagaimana ketentuan sebuah qunut pada ibadah shalat Witir ini? Berikut penjelasannya. Hukum Qunut di Pertengahan Ramadhan.

Pengertian Qunut
Kata sebuah qunut yang berhubungan denganhukum lupa membaca doa qunut, dalam bahasa Arab digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya sebagai berikut.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah segala ibadah shalat(mu), dan (peliharalah) ibadah shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam ibadah shalatmu) dengan khusyu’. [al-Baqarah/2:238].

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. [at-Tahrim/66:12].

Oleh karena itu, Ibnul-Qayyim mengatakan tentang hukum tidak membaca doa qunut subuh: “Kata sebuah qunut digunakan untuk pengertian berdiri, diam, berkesinambungan dalam ibadah, doa, tasbih dan khusyu’.” Adapun yang dimaksudkan dalam pembahasan ini, ialah istilah sebuah qunut sebagai doa dalam ibadah shalat pada tempat posisi yang khusus dari berdiri.

Hukum Qunut Witir di Pertengahan Ramadhan
Secara umum, para ulama memandang sebuah qunut dalam Witir disyariatkan sebab terdapatmakna doa qunut, namun mereka berselisih tentang hukumnya, wajib ataukah sunnah? Apakah juga disunnahkan sepanjang tahun setiap malam, ataukah hanya saat Ramadhan saja atau di akhir Ramadhan?

  • Yang râjih –wallahu a’lam- sebuah qunut Witir disunnahkan di sepanjang tahun, inilah pendapat madzhab Hambali dan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibrahiim, Ishâq dan ash-hab ar-ra’yi. Hal ini berdasarkan amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana terdapat dalam riwayat Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, ia berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Witir lalu melakukan sebuah qunut sebelum ruku`. [HR Ibnu Mâjah, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalil 2/167, hadits no. 426].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhu untuk mengucapkan doa sebuah qunut, sebagaimana terdapat dalam perkataan beliau Radhiyallahu anhu :

عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: ” اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ ؛ إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَ إِنَّهُ لاَ يُذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku doa yang aku ucapkan pada Witir: “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana

Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah keberkahan kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu; sesungguhnya Engkau mentakdirkan dan tidak ditakdirkan, dan sesungguhnya tidak terhinakan orang yang menjadikan Engkau sebagai wali, dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha suci dan Maha tinggi Engkau, wahai Rabb kami”. [HR Abu Dawud, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalil, 2/172].

  • Demikian juga para sahabat yang meriwayatkan ibadah shalat Witir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka tidak menyebutkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersebuah qunut.

Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya terus-menerus, tentulah para sahabat akan menukilkannya. Memang ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu yang meriwayatkan sebuah qunut Witir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini menunjukkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang melakukannya, dan juga berisi dalil bahwa sebuah qunut dalam Witir tidak wajib.

  • Dalil lainnya, yaitu amalan sebagian sahabat dan Tabi’in yang tidak melakukan sebuah qunut Witir, dan sebagian lainnya hanya melakukannya pada bulan Ramadhan. Juga ada sebagian lainnya melakukan sebuah qunut Witir sepanjang tahun.

Perbedaan ini disampaikan Imam at-Tirmidzi dalam pernyataan beliau: “Para ulama berbeda pendapat dalam sebuah qunut Witir. ‘Abdullah bin Mas’ud z memandang sebuah qunut Witir dilakukan sepanjang tahun dan memilih melakukan sebuah qunut sebelum ruku’. Ini merupakan pendapat dari sebagian ulama dan pendapat Sufyaan ats-Tsauri rahimahullah, Ibnu al-Mubarak rahimahullah, Ishaaq rahimahullah dan Ahlu Kufah.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , bahwa beliau tidak sebuah qunut kecuali di separuh akhir dari bulan Ramadhan dan melakukannya setalah ruku`. Inilah pendapat sebagian ulama, dan menjadi pendapat asy-Syafi’i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah”.

Semua ini menunjukkan sebuah qunut Witir di pertengahan ramadhan tidak wajib. Sedangkan yang menunjukkan dilakukan di sepanjang tahun, yaitu keumuman amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dijelaskan kekhususannya dalam bulan tertentu. Ini menunjukkan, boleh dilakukan sepanjang tahun, dan lebih utama lagi tidak terus-menerus melakukannya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang dirâjihkan Syaikh al-Albâni dalam Shifat Ibadah shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Kapan Sebuah Qunut Dilakukan dalam Ibadah Shalat di bulan Ramadhan?
Sebuah qunut dilakukan pada rakaat terakhir setelah membaca surat dan sebelum ruku’. Inilah yang shahîh dari amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Namun, terkadang beliau juga melakukannya setelah ruku’ sebelum sujud. Dalinya ialah sebagai berikut.

  • Hadits Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu , ia berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan sebuah qunut sebelum ruku’. [HR Ibnu Majah dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167 hadits no. 426].

  • Atsar Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu yang disampaikan Alqamah rahimahullah, ia berkata:

أَنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن أبي شيبة.

Sungguh, dahulu Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sebuah qunut dalam Witir sebelum ruku’. [HR Ibnu Abi Syaibah, dan dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (2/166): “Sanadnya baik dan ia sesuai syarat Muslim,” setelah itu beliau berkata: “Kesimpulannya, bahwasanya yang shahih benar dari para sahabat ialah sebuah qunut sebelum ruku’ dalam Witir”.

  • Ada riwayat lain yang menunjukkan bolehnya melakukan sebuah qunut Witir setelah ruku’. Yaitu riwayat Urwah bin az-Zubair , ia berkata:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِي –وَ كَانَ فِيْ عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الأَرْقَمِ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ –قَالَ: أَنَّ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَبْدٍ الْقَارِي فَطَافَ بِالْمَسْجِدِ ، وَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ : وَاللهِ إِنِّيْ أَظُنُّ لَوْ جَمَعْنَا هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ ؛ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ عُمَرُ عَلَى ذَلِكَ وَ أَمَرَ أُبَيَّ أَنْ يَقُوْمَ لَهُمْ فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عُمَرُ عَلَيْهِمْ وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، فَقَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هِيَّ ، وَالَّتِيْ يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ -يريد: آخر الليل- فَكاَنَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ وَكَانُوْا يَلْعَنُوْنَ الْكَفَرَةَ فِيْ النِّصْفِ : اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ ، وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ ، وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِوَعْدِكَ ، وَخاَلِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ ، وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرَّعْبَ ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ ، إِلهُ الْحَقِّ. ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَِيَدْعُوْ لِلْمُسْلِمِيْنَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ خَيْرٍ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ . قَالَ: وَكَانَ يَقُوْلُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنِهِ الْكَفَرَةِ وَصَلاَتِهِ عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَمَسْأَلَتِهِ : اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا ، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدِّ ، إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحَقٌ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَهْوِي سَاجِداً)”.

Sesungguhnya ‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri –beliau, dahulu pada zaman ‘Umar bin al-Khaththab bersama ‘Abdullah bin al-Arqam memegang Baitul Mal- berkata: “Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu keluar pada malam hari di bulan Ramadhan, lalu ‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri keluar dan mengelilingi masjid dan mendapatkan orang-orang di masjid terbagi berkelompok-kelompok tidak bersatu; seorang ibadah shalat sendiri dan yang lainnya mengimami ibadah shalat sejumlah orang.

Maka ‘Umar berkata: ‘Demi Allah! Saya pandang, seandainya kita kumpulkan mereka pada satu imam saja, tentu akan lebih baik,’ kemudian ‘Umar bertekad untuk itu, dan ia memerintahkan ‘Ubai bin Ka’ab untuk mengimami ibadah shalat malam mereka di bulan Ramadhan. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang ibadah shalat di belakang satu imam,

sehingga ‘Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah ialah ini dan yang tidur (tidak ikut) lebih utama dari yang ikut ibadah shalat,’ -yang beliau inginkan (yang ibadah shalat) di akhir malam (lebih utama)- karena orang-orang melakukan ibadah shalat tarawih di awal malam. Mereka melaknat (mendoakan keburukan) bagi orang kafir pada separuh bulan Ramadhan dengan doa:

‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi (manusia) dari jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut di hati-hati mereka, serta timpakan siksaan dan adzab-Mu atas mereka, wahai sesembahan yang haq,’ kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin”.

Beliau berkata: “Apabila selesai melaknat orang-orang kafir, bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , memohon ampunan untuk kaum mukminin dan mukminat serta permintaan lainnya, ia mengucapkan: ‘Ya Allah, kami hanya menyembah kepada-Mu, berusaha dan beramal hanya untuk-Mu, dan memohon rahmat kepada-Mu,

wahai Rabb kami, dan kami takut kepada adzab-Mu yang pedih. Sesungguhnya adzab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi,’ kemudian ia bertakbir dan turun untuk sujud”. [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya 2/155-156. Dikatakan oleh pentahqîqnya: “Isnadnya shahîh”.].

Kata “kemudian bertakbir dan turun untuk sujud,” ini menunjukkan bahwasanya sebuah qunut Witir dilakukan setelah ruku’, sebab, bila doa sebuah qunutnya dibaca setelah mambaca surat, tentulah bertakbir untuk ruku’ bukan untuk sujud. Yang berarti menunjukkan, bolehnya hal tersebut karena dilakukan di hadapan para sahabat, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Wallahu a’lam.

Sampai jumpa di artikel berikutnya, semoga bermanfaat untuk menambah wawasan islami Anda.

The post Hukum Qunut di Pertengahan Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-menikah-diam-diam-dalam-islam Mon, 06 May 2019 22:20:39 +0000 https://dalamislam.com/?p=6772 Kita seringkali menemukan orang-orang yang merahasiakan acara pernikahannya misalnya nikah siri. Karena beberapa hal yang tidak mungkin disampaikan kepada halayak ramai, maka ada beberapa pasangan yang lebih memilih merahasiakan acara pernikahannya. Namun, bagaimanakah Islam memandang merahasiakan acara pernikahan itu sendiri? Bolehkah kita merahasiakan acara pernikahan? berikut penjelasannya. Kita perlu membedakan antara mengumumkan acara pernikahan dengan […]

The post Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kita seringkali menemukan orang-orang yang merahasiakan acara pernikahannya misalnya nikah siri. Karena beberapa hal yang tidak mungkin disampaikan kepada halayak ramai, maka ada beberapa pasangan yang lebih memilih merahasiakan acara pernikahannya. Namun, bagaimanakah Islam memandang merahasiakan acara pernikahan itu sendiri? Bolehkah kita merahasiakan acara pernikahan? berikut penjelasannya.

Kita perlu membedakan antara mengumumkan acara pernikahan dengan walimah yang dilakukan dengan menjalankan sunnah sebelum akad nikah. Inti dari walimah adalah acara makan-makan untuk merayakan kebahagiaan setelah akad nikah. Sementara pengumuman bentuknya pemberitahuan kepada masyarakat akan adanya acara pernikahan. Dalam hadis dari Zubair bin Awam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umumkanlah nikah.” (HR. Ahmad 16130, Ibnu Hibban 4066 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Nah, yuk baca ulasan lengkap tentang Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam.

Pertama, batasan mengumumkan acara pernikahan adalah menghadirkan saksi dalam acara pernikahan sesuai syarat pernikahan dalam islam. Artinya, selama dalam acara pernikahan telah dihadirkan 2 saksi, maka sudah dianggap mengumumkan acara pernikahan. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Setelah Ibnu Hibban membawakan hadis pengumuman nikah di atas, beliau mengatakan tentang hukum nikah di masjid, Guruku – radhiyallahu ‘anhu – mengatakan, makna hadis, umumkan acara pernikahan dengan menghadirkan 2 saksi yang adil. (Shahih Ibnu Hibban, keterangan hadis no. 4066)

Ini berdasarkan hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha yang memiliki keutamaan aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak ada nikah kecuali melalui wali dan ada dua saksi yang adil. (HR. ad-Daruquthni 9291 dan dishahihkan al-Albani). Hanya saja, para ulama menekankan agar acara pernikahan tetap diramaikan. Tidak sebatas ada saksi, tapi infonya juga disebarkan ke masyarakat. Meskipun jika dirahasiakan.

Ibnu Qudamah mengatakan, Jika ada orang melakukan akad nikah, ada wali dan dua saksi, lalu mereka merahasiakannya atau sepakat untuk merahasiakannya, maka hukumnya makruh, meskipun nikahnya sah. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ibnul Mundzir. Diantara sahabat yang membenci nikah siri adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, Urwah, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, as-Sya’bi, dan Nafi. (al-Mughi, 7/428)

Kedua, bentuk pengumuman acara pernikahan adalah dengan menyebarkan informasi kepada masyarakat tentang adanya acara pernikahan (at-Tasyhir). Tidak cukup dengan kehadiran 2 saksi.

Ini merupakan pendapat Malikiyah, Ahmad dalam salah satu riwayat, Abu Bakr Abdul Aziz dan yang lainnya. Setelah Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat di atas, beliau mengatakan,

Sementara Abu Bakr Abdul Aziz, mengatakan, nikahnya batal. Ada riwayat dari Imam Ahmad, beliau ditanya, “Jika orang menikah, apakah cukup dengan wali dan dua saksi?” jawab beliau, “Belum cukup, sampai diumumkan.” Dan ini pendapat Imam Malik. (al-Mughi, 7/428).

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan, Jika semua yang terlibat dalam akad nikah sepakat untuk merahasiakan nikah, maka statusnya batal menurut sebagian ulama, seperti Malikiyah dan yang sepemahaman dengan mereka. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 127689).

Nikah diam-diam secara sirri

Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu acara pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Namun, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan  terjadinya acara pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nikah dalam bentuk walimatul-‘ursy atau dalam bentuk yang lain. Lalu yang menjadi persoalan adalah apakah acara pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya.

Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah acara pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.

Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:

  • Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
  • Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dan bagi seorang suami yang ingin berpoligami, seperti yang tercantum dalam kompilasi hukum islam harus menyertakan surat kesediaan/kerelaan dari pihak istri pertama. Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Dengan demikian, Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, acara pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di‘ilankan/ diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-‘ursy. Nabi saw bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة

Umumkanlah acara pernikahan dan pukullah rebana“.  [HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah].

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ

 “Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing“. [HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf].

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya.

Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.

Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.

Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.

Ibnu al-Qayyim menyatakan :

تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.

Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat”.

Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak.

Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya..

Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:

وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ٢١

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:

تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.

Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.

Oleh karena itu, dalam pembahasan bahtsul masail yang diadakah oleh NU Sumatra Barat menyatakan bahwa nikah sirri tanpa pencatatan di KUA adalah HARAM, begitu juga majlis Tarjih Muhammadiyah mewajibkan acara pernikahan dengan pencatatan sesuai undang-undang yang berlaku, karena kalau tidak dicatat dapat merugikan pihak perempuan dan juga kemungkinan adanya madharat dikemudian hari jika terjadi perselisihan pada masing-masing pihak karena tiadanya bukti hukum yang tertulis. Hal ini terkait dengan kaidah fiqih bahwa menolak mafsadat itu harus lebih didahulukan daripada memperbaiki kemudian. Jadi, letak keharaman dan kewajiban untuk dicatat lebih pada pertimbangan mencegah mafsadat dan mengambil manfaat dan mashlaha baik dalam konteks hukum dan sosial.

Dalamislam.com sangat menekankan agar setiap acara acara pernikahan diumumkan. Minimal kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut masalah kehormatan. Ketika itu dirahasiakan, bisa jadi akan menimbulkan buruk sangka di tengah masyarakat karena dia berduaan dengan lawan jenis yang belum pernah mereka kenal. Sampai jumpa di artikel berikutnya, semoga bermanfaat.

The post Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Investasi dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-investasi-dalam-islam Mon, 06 May 2019 22:11:49 +0000 https://dalamislam.com/?p=6770 Dalam prinsip ajaran Islam, investasi termasuk bagian dari aktifitas muamalah yang harus dilakukan setiap muslim. Sesuai firman Allah SWT : Perbuatan baik laksana satu bulir yang menghasilkan tujuh bulir. Dari tujuh bulir menghasilkan banyak bulir lainnya. Selain itu, Allah SWT berfirman : Hai orang yang beriman hendaklah kalian memperhatikan apa yang telah kalian usahakan (investasi) […]

The post Hukum Investasi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam prinsip ajaran Islam, investasi termasuk bagian dari aktifitas muamalah yang harus dilakukan setiap muslim. Sesuai firman Allah SWT : Perbuatan baik laksana satu bulir yang menghasilkan tujuh bulir. Dari tujuh bulir menghasilkan banyak bulir lainnya. Selain itu, Allah SWT berfirman : Hai orang yang beriman hendaklah kalian memperhatikan apa yang telah kalian usahakan (investasi) untuk hari esok.

Fungsi investasi bukan hanya itu, investasi juga berguna menjaga keberlangsungan hidup manusia selama di dunia.  Agama Islam menganjurkan manusia melakukan investasi sejak dini. Sebagaimana Allah SWT melarang manusia melakukan perbuatan penimbunan uang.

Uang maupun harta benda yang dipunyai setiap muslim hendaknya diputar jadi sebuah roda kegiatan perekonomian supaya bersifat produktif memberikan keuntungan dan memberikan kemaslahatan bagi banyak orang dengan jalan berinvestasi. Investasi merupakan cara termudah memperbesar nilai harta tersebut yang berguna bagi orang tersebut, bangsa dan masyarakat.

Agama Islam menegaskan bahwa semua harta yang dipunyai seorang muslim hendaknya dipergunakan untuk kegiatan investasi. Seperti menanamkan modal dalam bidang usaha real yang produktif. Bahkan harta anak yatim pun diharuskan dimasukkan dalam portofolio produk investasi. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

”Barangsiapa yang mempunyai anak yatim. Adapun anak yatim tersebut mempunyai warisan uang atau harta benda maka orang yang memelihara anak yatim itu harus menginvestasikan harta anak yatim dengan cara bisnis atau usaha. Jangan sampai nilai hartanya sama bahkan berkurang terus karena zakat.”

Tampak jelas, ajaran agama Islam sangat menganjurkan setiap muslim yang memiliki harta benda dan uang agar melakukan investasi atas uangnya tersebut. Dan jalan investasi tersebut tidak bisa lepas dengan hukum Islam.

Hal di atas diperkuat dari sebuah hadits bahwa Nabi SAW telah bersabda :”Berikanlah satu kesempatan pada pemilik lahan untuk menggarap tanah miliknya melalui cara mereka. Dan apabila mereka tak memanfaatkannya maka ia hendaknya memberikan kepada orang lain supaya bisa dimanfaatkan dengan baik.” Kemudian khalifah Umar ra berkata bahwa barangsiapa yang memiliki harta uang maka ia harus gunakan untuk jalan investasi. Dan orang yang memiliki tanah harus memanfaatkannya.

Dari dalil di atas jelaslah, ajaran agama Islam melarang setiap pemeluknya membiarkan harta benda mereka tidak berkembang. Melainkan uang dan harta benda harus produktif menghasilkan uang dan harta benda lainnya.

Hukum Investasi dalam Islam

Sudah jelas bahwa hukum melaksanakan investasi adalah wajib yang mengacu kepada tuntunan sumber hukum Islam, Al Quran dan Sunnah. Allah SWT berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum kepada hukum Allah maka ia telah kafir. Adapun prinsip-prinsip dasar  investasi sebagai berikut :

  • Halal

Produk investasi mesti terbebas dari yang namanya unsur haram atau syubhat baik itu dalam jenis barang atau produk, macam usaha, jenis bisnis dll harus tak mengandung unsur haram dan syubhat. Misalnya usaha yang bersifat haram dalam investasi antara lain bisnis jasa finansial riba, usaha minuman keras, bisnis perjudian, dan lain sebagainya.

  • Terhindar dari Unsur Riba, Spekulasi dan Penipuan

Investasi yang dilaksanakan harus tak mengandung unsur bunga atau riba dan tak terlibat di dalamnya. Karena itu merupakan haram dalam agama Islam. Sebagaimana firman Allah SWT : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dan yang tak kalah penting, investasi mesti dikelola secara baik dan benar supaya tidak mengalami kerugian di lain waktu namun tetap menguntungkan setiap berjalan waktu.

Jenis Investasi Syariah yang Diperbolehkan dalam Islam 

Telah jelas di terangkan bahwa Allah SWT memberikan petunjuknya kepada kita dalam bentuk Al-Quran sebagai pedoman hidup yang harus di taati. Meskipun dalam islam sendiri kita dianjurkan untuk melakukan investasi syariah, namun juga terdapat asas sistem ekonomi dalam islam, cara dan tatanan serta jenis investasi syariah yang dipeebolehkan dalam islam.

Sebagai tambahan referensi bagi anda berikut 10 jenis investasi syariah yang diperbolehkan dalam islam. Simak selengkapnya.

1. Usaha atau Bisnis

Rasulullah SAW dikenal sebagai seorang saudagar dan pedangan yang termasyur. Karenanya dalam hal investasi syariah usaha dagang atau bisnis merupakan salah satu jenis investasi syariah yang  dianjurkan dan menjadi bentuk  transaksi ekonomi dalam islam . Bahkan Rasulullah sendiripun melakukan hal tersebut untuk dapat mengelola sumber kekayaannya. Sebagaimana dalam Al Quran Surat Al Ahzab ayat 21 disebutkan,

“Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, bagi orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” Maka contohlah investasi syariah usahq dan bisnis terbaik ala Nabi Muhammad Saw.

2. Menyewakan Lahan

Dalam Hadits HR Bukhori Nomor 2329 dan Muslim Nomor 1551 dijelaskan bahwa Rasulullah Saw menyerahkan kebun kurma dan ladang daerah Khaibar kepada bangsa Yahudi. Mereka menggarapnya dengan biaya sendiri.

Adapun perjanjiannya, Rasulullah Saw mendapatkan setengah dari hasil panennya. Ini merupakan investasi syariah yang paling cocok bagi anda yang memiliki lahan, sawah atau kebun yang tidak tergarap oleh anda. Dari pada tidak termanfaatkan maka anda bisa menyewakan kepad pihak lain yang membutuhkan. Sebagaimana seperti yang Rasulullah SAW contohnya diatas.

3. Ternak Hewan

Investasi syariah terbaik menurut Islam selanjutnya adalah ternak hewan. Anda pasti tahu bila Baginda Rasulullah adalah penggembala kambing. Beliau juga punya puluhan hewan unta yang bila dirupiahkan sekarang mencapai angka ratusan juta untuk satu ekor.

4. Emas

Emas merupakan salah satu bentuk investasi syariah paling menguntungkan. Selain itu, dalam islam sendiri investasi syariah emas diperbolehkan. Anda bisa membeli emas batangan langsung atau melalui penggadaian, kemudian pada saat harga emas naik, anda dapat menjualnya kembali. Investasi syariah ini sangat cocok dipilih sebagai bentuk investasi syariah jangka panjang. Emas sendiri memiliki harga yang relatif stabil. Meskipun begitu anda harus memperhatikan dan memiliki ketelitian serta kesabaran dan kecermatan dalam investasi syariah ini.

5. Properti

Meskipun tidak memiliki embel-embel syariah namun investasi syariah di bidang properti juga merupakan investasi syariah yang diperbolehkan. Bentuk properti ada berbagai macam, mulai dari tanah, bangunan, ruko, kost an dan masih banyak lainnya. Anda bisa menyewakan properti kepada mereka yang membutuhkan. Sehingga tentu anda akan mendapatkan keuntungan daripenyewaan tersebut.

6. Deposito Syariah

Deposito syariah merupakan sebuah mekanisme dimana nasabah menyetorkan sejumlah uang kepada bank. Kemudian dalam periode waktu tertentu uang tersebut akan menghasilkan bunga. Pada deposito syariah bunga yabg diberikan adalah dalam bentu pembangian hasil atau mudharabah.

Besar kecilnya nilai bagi hasil tersebut tergantung kepada seberapa untung lembaga keuangan tersebut dalam mengelola uang yang anda setorkan. Sehingga hal ini tidak tergolong kedalam riba. Karena secara jelas islam mengharamkan riba.

7. Investasi syariah Produk Perbankan Syariah 

Investasi syariah produk perbankan syariah menjadi salah satu investasi syariah yang halal dan diperbolehkan. Dalam hal ini, investasi syariah ini berbeda dengan produk perbankan konvensional. Karena anda akan menerima bentuk keuntungan dalam bentuk bagi hasil dan bukan bentuk bubga tetap. Tentunya hal ini, akan menghindarkan anda dari kegiatan riba. Sehingga anda bisa memilih satu satu jenis produk perbankan syariah untuk dapat dijadikan benruk investasi syariah.

8. Investasi syariah Tanah

Anda juga berinvestasi syariah pada produk tanah. Sebagaimana anda tahu bahwa tanah memiliki harga yabg cenderung naik setip tahunnya. Jika anda membeli sebidang tanah dengan harga murah, maka 10-20 tahun yang akan datang jika di jual maka harganya bisa naik 5 kali lipat. Bahkan jika lokasi tanah anda cukup strategis untuk membuka usaha maka harganya bisa lebih tinggi lagi.

9 Asuransi Syariah

Asuramsi syariah juga menjadi salah satu investasi syariah yang menguntungkan selanjutnya. Dalam asuransi syariah, anda masih memiliki hak kepemilikan atas uang yang anda setor. Sehingga kelak jika uang tersebut kembali kepada anda maka anda masih memiliki hak didalamnya. Berbeda dengan siatem asuransi konvensional dimana premi yang anda setorkan merupaka  hak mutlak perusahaan sehingga anda tidak memiliki hak dalam uang tersebut.

10. Sedekah

Sedekah tidak hanya menjadi bentuk investasi syariah di dunia, namun juga merupakan bentuk investasi syariah di akhirat. Sedekah sendiri memiliki banyak manfaat. Dalam pandangan Islam, jelas disebutkan dalam Al Quran, Allah akan melipatgandakan rezeki seseorang dengan memberikan sedekah atau sodaqoh. Sebagaimana firman Allah SWT berikut :

Orang yang menginfakkan harta di jalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan 70 tangkai pada setiap tangkainya terdapat 100 biji. Allah melipatgandakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.” ( Alquran Surat Al Baqarah ayat 261.)

Tentunya artikel di atas akan semakin menambah pengetahuan anda untuk dapat memilah milah investasi syariah yang masuk kategori halal atau diperbolehkan dalam islam. Dan juga investasi syariah yang dilarang sebagaimana hukum trading dalam islam , hukum saham dalam islam . Dan hukum jual beli saham dalam islam.

Sehingga akan menghindarkan anda dari praktek dan bentuk investasi yang tidak sesuai dengan kaidah islam serta bahaya riba . Sampai jumpa di artikel berikutnya. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

The post Hukum Investasi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Gusi Berdarah Saat Puasa https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-gusi-berdarah-saat-puasa Mon, 22 Apr 2019 19:07:06 +0000 https://dalamislam.com/?p=6491 Salah satu masalah kesehatan yang dihadapi sebagian orang adalah gusi berdarah yang keluar dengan tiba-tiba atau saat menyikat gigi seperti hukum veneer gigi dalam islam. Hal itu sangatlah membuat tidak nyaman, apalagi ketika dalam keadaan berpuasa. Lalu apakah darah yang keluar dari gusi orang yang berpuasa tersebut dapat membatalkan puasanya? Pendapat Imam Zainudin Al Malibari […]

The post Hukum Gusi Berdarah Saat Puasa appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Salah satu masalah kesehatan yang dihadapi sebagian orang adalah gusi berdarah yang keluar dengan tiba-tiba atau saat menyikat gigi seperti hukum veneer gigi dalam islam. Hal itu sangatlah membuat tidak nyaman, apalagi ketika dalam keadaan berpuasa. Lalu apakah darah yang keluar dari gusi orang yang berpuasa tersebut dapat membatalkan puasanya?

Pendapat Imam Zainudin Al Malibari

Keluarnya darah dari gusi gigi tidaklah membatalkan puasa sepanjang darah tersebut tidak ditelan sepertihukum memakai gigi palsu dalam islam. Karena menelan darah dapat membatalkan puasa sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Zainudin al Malibari di dalam kitab Fathul Muin berikut ini

وخرج بالطاهر المتنجس بنحو دم لثته فيفطر بابتلاعه

Dan dikecualikan dengan benda yang suci adalah benda yang najis semisal darah gusi gigi, maka darah gusi gigi tersebut dapat membatalkan puasa sebab menelannya. (h. 56, Surabaya: Nurul Huda, tth)

Jadi, bagi orang yang berpuasa dan keluar darah di gusi giginya, hendaknya meludahkan darah tersebut seperti halnyatanam gigi menurut islam. Jika ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meludahkannya tetapi ada yang tertelan di luar kendalinya, maka hal ini tidak apa-apa. Sebagaimana penjelasan lanjutan dari Imam Zainuddin al Malibari berikut ini

ويظهر العفو عمن ابتلى بدم لثته بحيث لا يمكنه الاحتراز عنه

Dan jelas dimaafkan bagi orang yang menelan darah gusi giginya, sekiranya tidak memungkinkan menjaganya. (h. 56, Surabaya: Nurul Huda, tth)

Maka tidak perlu dirisaukan bagi penderita gusi berdarah saat puasa, selama ia sudah berusaha meludahkannya insya Allah puasanya tetap sah seperti ketika memakai gigi palsu menurut islam. Andaipun ada sedikit yang tertelan di luar kendali dirinya maka hal ini pun tidak apa-apa. Karena Islam adalah agama yang tidak menyulitkan umatnya.

Hal ini sebagaimana firman Allah Swt, “dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama (Islam) ini suatu kesempitan.” (QS. Alhajj ayat 78). Nabi Saw. juga pernah bersabda, “ saya diutus dengan membawa agama yang ramah dan mudah.” (HR. Al Bukhari.).

Jika Karena Berobat

Berobat merupakan sebuah ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba untuk menggapai kesembuhan misalnya hukum cuci darah saat puasa. Sebab Penyembuh yang sebenarnya, Allah swt tidak membutuhkan wasilah apapun untuk mengangkat penyakit yang sedang diderita para hambanya. Allah swt berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan jika Allah menimpakan suatu kemudlaratan kepadamu, maka tidak da yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu [Q.S. al-An’am (6): 17].”

Dan firman Allah swt ketika bercerita tentang Nabi Ibrahim as:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila kau sakit, Dial ah yang menyembuhkanku [Q.S. asy-Syu’ara (26): 80].”

Terkait dengan sakit, ia bisa datang kepada siapa saja dalam kondisi apapun. Termasuk ketika sedang menjalankan ibadah puasa. Seperti sakit gigi yang menyebabkan keluarnya darah secara terus menerus, atau seseorang yang mengalami luka pada bagian dalam hidungnya.

Jika dikaitkan dengan hukum puasa, bagaimana keadaan orang yang keluar darah dari hidung dan gusinya? Apakah dapat membatalkan puasa?

Hal yang harus sama kita ketahui terlebih dahulu, orang yang sakit jika ia merasa berat untuk melakukannya, dan haram hukumnya jika dapat membahayakan diri dan jiwanya.

Allah swt telah menetapkan syari’at rukhshah bagi orang yang berpuasa sehingga ia tidak merasa payah. Sebab seseorang tidak boleh memberatkan diri sendiri dan juga tidak diperkenankan berbuat hal yang dapat mengundang mudlarat.

Adapun menelan darah adalah termasuk hal yang membatalkan puasa. Namun apabila darah masuk ke tenggorokan dan ia tidak punya kemampuan untuk menolaknya dan juga bukan karena kesengajaan, maka tidak membatalkan puasa. Namun jika sengaja menelannya, maka puasanya batal baik darah berasal dari hidung atau pun mulut.

Menurut Imam Ibnu Qudamah Dalam Al-Mughni

Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (III: 36) mengatakan, jika ada darah yang mengalir melalui mulutnya kemudian ditelan, maka hal ini membatalkan puasa meskipun darah yang tertelan hanya sedikit. Sebab mulut dihukumi sebagai azh-zhahir (organ luar) sehingga apapun yang tersambung dengan mulut (kemudian masuk ke tenggorokan –pent) adalah membatalkan puasa.

Oleh karena itu, apabila ada benda najis (darah) yang berada di mulutnya bercampur dengan air liur kemudian ditelan, maka hal yang demikian adalah batal meskipun hanya sedikit. Dan tidak membatalkan jika yang tertelan adalah ludah semata.

Ulama dalam Organisasi Al-Lajnah Ad-Daimah

Berkata, jika gusi seseorang terluka ketika bersiwak, maka darah yang keluar tidak boleh ditelan dan wajib dikeluarkan. Namun jika masuk ke tenggorokan tanpa usaha dan kesengajaan, maka tidak berdampak apapun pada puasanya. Demikian halnya dengan muntahan jika kembali masuk ke tenggorokan tanpa usaha dan kesengajaan; puasa yang sedang dijalani tetap sah (lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, X: 254).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Mengatakan, jika seseorang mengalami pendarahan pada hidungnya, kemudian sebagian darah masuk ke tenggorokannya dan sebagiannya keluar dari hidung, maka yang demikian tidak membatalkan puasa.

Sebab darah yang turun ke tenggorokan terjadi bukan atau kehendaknya dan ia tidak punya kemampuan untuk menolaknya. Pun demikian dengan darah tang keluar; tidak berdampak pada puasa (lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, XIX: Soal no. 328).

Pada tempat yang lain beliau menyatakan, keluarnya darah dari gusi tidak member dampak apapun terhadap puasa. Namun orang yang mengalaminya wajib berhati-hati supaya tidak menelan darah. Sebab darah yang keluar bukan sesuatu yang biasa dan bisa ditoleransi (seperti halnya ludah –pent) sehingga menelannya dapat membatalkan puasa.

Berbeda dengan menelan ludah; tidak membatalkan puasa. Oleh karenanya, orang yang mencabut gigi ketika puasa wajib berhati-hati dan menjaga diri agar darah tidak sampai ke rongga perutnya mengingat hal demikian merupakan pembatal puasa.

Namun jika darah masuk (tasarrub) ke kerongkongan tanpa bisa menolaknya, maka tidak membatalkan puasa. Sebab ia bukanlah orang yang sengaja melakukan hal demikian (lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, XIX: soal no. 213).

Menurut Syaikh Ibn Baz yang juga ditanya tentang orang puasa yang menelan ludah, yang ada rasa darahnya. Beliau menjelaskan:

Untuk ludah maka dibolehkan menelannya. Seseorang menelan ludahnya, hukumnya tidak mengapa….Akan tetapi jika dalam ludah tersebut kecampuran sesuatu, seperti sisa makanan di sela-sela gigi, baik daging, roti, buah, atau darah ketika gosok gigi, maka dalam hal ini bisa dirinci:

  • Pertama, jika dia mengetahui hal itu maka tidak boleh dengan sengaja menelannya, namun wajib meludahkannya.

Kedua, jika dia tidak tahu, tetapi… dia anggap seperti ludah biasa, kemudian setelah ditelan dia merasakan ada darahnya maka tidak membatalkan puasanya. Karena dia tidak sengaja. Hal ini sebagaimana orang yang berkumur atau menghirup air ke dalam hidung, tiba-tiba tidak sengaja ada yang masuk ke kerongkongannya. (Fatwa Syaikh Abdul Aziz)

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan singkat ini, orang yang berpuasa dianjurlkan untuk mengambil keringanan dari Allah swt (berbuka) jika ia merasa berat. Dan wajib berbuka jika puasa berpotensi membahayakan diri kemudian mengqadla di hari yang lain.

Adapun darah yang berasal dari mulut dan hidung tidak membatalkan puasa selama tidak tertelan dengan sengaja. Dan makna SENGAJA adalah seseorang punya pilihan untuk menghindari hal tersebut namun tidak dilakukannya.

Namun jika ada sebagian darah yang masuk dan ia tidak punya kuasa untuk menolaknya (ikhtiyaran) dan bukan juga karena kesengajaan (ta’ammudan), maka puasanya tetap sah. 

Hukum asal darah adalah najis, karenanya secara umum bila darah yang keluar dari gusi ditelan akan membatalkan puasa. Namun bila darah keluar terus menerus dan kesulitan untuk meludahkan setiap waktu tidak membatalkan puasa karena kesulitan yang dimaafkan.

Dalam surat al baqarah 286 disebutkan seseorang tidak dibebani kecuali apa yang dia mampu. Dari ayat ini kemudian diurai dalam kaidah fikih yang menyatakan al masaqqatu tubiihu al mahdzurat kesulitan yang sulit dihindari dapat membuat suatu yang dilarang menjadi boleh dijalani karena kesulitan untuk menghindari.

Kondisi gusi yang bengkak dan berdarah tanpa bisa dihentikan meski sudah berkonsultasi dan berobat kepada dokter merupakan kondisi sulit dihindari dan masuk katagori masaqqat yang dapat melonggarkan beban hukum yang seharusnya ditanggung.

Darah yang keluar dari gigi (gusi) seseorang tidak membatalkan puasa, tetapi dia harus berhati-hati sedapat mungkin agar tidak menelannya. Begitu juga jika keluar darah dari hidungnya (mimisan) asal tidak berusaha menelannya, hukumnya tidak membatalkan puasa dan tidak wajib meng-qadha’. ( Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007)

Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Gusi Berdarah Saat Puasa appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Niat Puasa Saat Adzan Subuh https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-niat-puasa-saat-adzan-subuh Sat, 13 Apr 2019 03:47:30 +0000 https://dalamislam.com/?p=6372 Niat menempati posisi penting dalam Islam sebagaimana hukum membaca niat saat shalat. Hal ini bisa dilihat dari hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa sesungguhnya nilai segala amal itu tergantung pada niat yang bersangkutan. Teristimewa ibadah baik wajib maupun sunah. Ibadah mesti diawali dengan niat. Dari hadits itu yang merupakan dasar hukum islam ulama memasukkan niat […]

The post Hukum Niat Puasa Saat Adzan Subuh appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Niat menempati posisi penting dalam Islam sebagaimana hukum membaca niat saat shalat. Hal ini bisa dilihat dari hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa sesungguhnya nilai segala amal itu tergantung pada niat yang bersangkutan. Teristimewa ibadah baik wajib maupun sunah. Ibadah mesti diawali dengan niat.

Dari hadits itu yang merupakan dasar hukum islam ulama memasukkan niat di awal rangkaian ibadah sebagai rukun dari ibadah itu sendiri. Tetapi khusus untuk ibadah puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar, dan puasa qadha, niat harus dikerjakan di malam hari.

Karenanya keabsahan puasa Ramadhan dan jenis pahala yang tidak disadari kita bergantung niat di malam hari. Setidaknya demikian menurut madzhab Syafi’i. Demikian diterangkan oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna’-nya sebagai berikut.

ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر.

Artinya, “Disyaratkan memasang niat di malam hari sesuai sumber syariat islam bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW, ‘Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.’ Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Iqna’, Darul Fikr, Beirut, 2007 M/1428 H, Juz II).

Lalu bagaimana dengan orang yang lupa niat puasa Ramadhan di malam hari. Apakah sah puasanya bila ia memasang niat di siang hari dan tetap mendapat pahala puasa ramadhan selama 30 hari? Perihal niat puasa wajib di siang hari para ulama berbeda pendapat. Menurut Madzhab Syafi’i, puasa wajib dengan niat di siang hari tidak sah. Semenentara bagi kalangan Madzhab Hanafi, puasa baik wajib maupun sunah dengan memasang niat di siang hari tetap sah, hanya saja puasanya kurang sempurna. Karena puasa baik wajib maupun sunah akan menjadi sempurna kalau diniatkan di malam hari sebagaimana keterangan hadits Rasulullah SAW.

Perbedaan pandangan ulama ini didokumentasikan oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna sebagai berikut.

قوله: فلا صيام له أي صحيح لا كامل خلافا للحنفية، فإن نفي الصحة أقرب إلى نفي الحقيقة من نفي الكمال. وقوله خلافا للحنفية فإنهم يجوزون النية في النهار في الفرض والنفل.
Artinya, “Redaksi ‘maka tiada puasa baginya’, maksudnya tidak sah, bukan tidak sempurna. Pandangan Syafi’iyah ini berbeda dengan pandangan Hanafiyah. Karena menurut Syafi’iyah, menganulir keabsahan itu lebih dekat dipahami dengan menganulir puasa itu sendiri, dibandingkan hanya menganulir kesempurnaan puasa.

Sementara ‘Pandangan Syafi’iyah ini berbeda dengan pandangan Hanafiyah’ karena Hanafiyah membolehkan niat di siang hari baik puasa wajib maupun puasa sunah,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Iqna’, Darul Fikr, Beirut, 2007 M/1428 H, Juz II).

Sebagai wujud ihtiyath (kehati-hatian), orang yang lupa memasang niat puasa di malam hari ada baiknya memasang niat seketika ia ingat di siang hari dan tetap meneruskan puasanya. Insya Allah puasanya sah.

Hanya saja saran kami, ada baiknya kita mengantisipasi lupa niat puasa Ramadhan di malam hari dengan misalnya shalat tarawih berjamaah. Karena sebelum bubaran sembahyang tarawih, imam lazimnya di Indonesia memimpin jamaah masjid dan mushalla melafalkan niat untuk puasa esok harinya.

Jika ada yang berniat puasa setelah masuk waktu Shalat Shubuh (waktu fajar) -misal sudah jam 8 pagi-, apakah dibolehkan?

Dalam hadits disebutkan,

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka puasanya tidak sah.” (HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan An Nasa’i no. 2333. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun hadits ‘Aisyah di mana ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalil di atas adalah dalil bagi mayoritas ulama bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”(Syarh Shahih Muslim, 8: 33)

Al Lajnah Ad Daimah, Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia ditanya, “Apa hukum berniat puasa di pagi hari setelah terbit fajar shubuh dan sebelumnya belum mencicipi makan dan minum sama sekali?”

Jawab para ulama Lajnah, “Jika puasanya adalah puasa sunnah, maka sah-sah saja berniat di siang hari. Sedangkan untuk puasa wajib tidaklah sah. Niat untuk puasa wajib haruslah dilakukan sebelum terbit fajar shubuh (di malam hari). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat di malam hari (sebelum fajar shubuh, -pen)”.

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam tercurah pada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 17468, juz 9, hal. 150)

Seringkali karena aktivitas yang begitu padat di siang harinya, ditambah lagi aktivitas ibadah taraweh dan kembali melanjutkan segala pekerjaan di malam harinya, terkadang membuat kita kesiangan untuk bangun sahur.

Atau bahkan yang lebih kebablasan lagi, sampai kesiangan bangun untuk sholat subuh.Nah, apakah dengan bangun kesiangan, membuat puasa kita pun tidak sah alias batal? Kita lihat dulu, apakah dia telah berniat puasa sebelumnya ataukah belum berniat puasa?Adapun hadist yang membahas mengenai niat puasa ini sebagai berikut:

Rasulullaah bersabda:

”Barangsiapa yang belum niat sebelum fajar maka puasanya tidak sah“.  (H.R. Tirmidzi No. 662, Abu Daud No 2908, Nasa’i No. 2291 s.d 2296)

Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih. Rasulullah s,a,w, bersabda:

“Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat di waktu malam. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1690 dan Daruqutni)

Lain halnya dengan puasa pada hari Assyura yang diperintahkan Rasulullaah untuk berpuasa, mendadak diserukan di siang harinya. Sehingga bagi yang belum berencana untuk puasa atau sudah makan pun diperbolehkan untuk berpuasa.

Diceritakan kepada Abu ‘Ashim dari Yazid bin Abu ‘Ubaid dari Salamah bin Al Akwa’ radiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullaah mengutus seseorang agar menyeru manusia pada (waktu sahur) hari ‘Asyura’, bila ada seseorang yang sudah makan maka hendaklah ia meneruskan makannya atau hendaklah shaum dan barangsiapa yang belum makan, maka hendaklah ia tidak makan (maksudnya meneruskan berpuasa) “. (H.R. Bukhari No. 1790)

Pendapat Beberapa Imam

1. Pendapat Imam Hanafi

Orang yang lupa berniat di malam sebelumnya kemudian kesiangan bangun, lalu langsung berpuasa Ramadhan. Dia tidak juga sempat makan sahur. Maka puasanya tetap sah dan tidak perlu dibayar di luar Ramadhan.

Ketentuan ini berlaku untuk puasa ramadhan dan puasa sunnah. Beda halnya untuk puasa yang sifatnya hutang. Haruslah berniat pada malam harinya.

2. Pendapat Imam Malik

Boleh niat puasa Ramadhan setelah terbit fajar yaitu jika benar-benar tidak sengaja untuk bangun kesiangan.

Sama seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki pun memberlakukan ketentuan ini untuk puasa Ramadhan, maupun puasa sunnah. Bahkan diperbolehkan untuk berniat puasa Ramadhan untuk sebulan penuh.

3. Pendapat Imam Syafi’i 

Harus tabyīt niat (niat di malam hari), sehingga bila lupa niat di malam hari harus imsāk (tidak makan dan minum dan sebagainya) di siang harinya, selain juga berkewajiban mengqodlo puasanya. Catatan: Menurut Imam Hanafi sebagaimana di atas sebelumnya, niat di siang hari (qabla al-zawāl) tidak apa-apa (sah puasanya).

Karena itu, para ulama Syafi’iyah menganjurkan golongan Syafii ikut pada mazhab Hanafi ini agar (sekalipun tidak niat di malam hari) puasanya tetap sah dan tidak berkewajiban qodlo.Bahkan, lebih dianjurkan lagi golongan Syafi’i mengikuti mazhab Maliki yang meperbolehkan niat puasa 1 bulan penuh, dengan cara niat di malam hari tanggal 1 bulan Romadlon.

Pendapat Mayoritas Ulama

Menurut pendapat para ulama mayoritas, untuk lebih amannya lagi. Sebaiknya kita berniat puasa setelah Maghrib untuk berpuasa di esok harinya. Dengan begini, kita tetap bisa melanjutkan untuk puasa Ramadhan meskipun bangun kesiangan dan tidak sempat makan sahur.

Adapun lafadz niat puasa Ramadhan, bisa diucapkan dengan lisan. Atau juga bisa diniatkan di dalam hati saja. Meskipun tidak harus sesuai dengan niat lengkap untuk sahur. Karena dalam hatii pun sudah merupakan niat dan dihitung oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Namun, sekali lagi ditekankan dan disarankan bahwa dalam sahur itu ada keberkahan tersendiri.

Sehingga, kita harus pandai-pandai membagi waktu ibadah, waktu belajar, waktu kerja, dan waktu istirahat kita sesuai porsi masing-masing. Dan meniatkan untuk bangun lebih awal, berniat puasa Ramadhan dan bangun sahur. Karena bila kita telah terbiasa dengan waktu yang disiplin. Maka insya Allah segalanya akan berjalan dengan lancar.

Semoga kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah di bulan ramadhan ini dengan lebih khusyu’ dan teratur.

The post Hukum Niat Puasa Saat Adzan Subuh appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Aturan Potong Rambut Wanita dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/wanita/aturan-potong-rambut-wanita-dalam-islam Thu, 21 Mar 2019 02:20:27 +0000 https://dalamislam.com/?p=5988 Dalam kehidupan sehari hari, tentu manusia mengalami perubahan ada fisiknya ya sobat, salah satunya adalah rambut yang memanjang, yang dalam waktu tertentu memiliki kebiasaan untuk dipotong baik itu pada laki laki ataupun perempuan yang kadang suka dihubungkan dengan hukum meluruskan rambut , nah sobat, hal ini ternyata juga sudah diatur dalam islam, yakni boleh atau […]

The post Aturan Potong Rambut Wanita dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam kehidupan sehari hari, tentu manusia mengalami perubahan ada fisiknya ya sobat, salah satunya adalah rambut yang memanjang, yang dalam waktu tertentu memiliki kebiasaan untuk dipotong baik itu pada laki laki ataupun perempuan yang kadang suka dihubungkan dengan hukum meluruskan rambut , nah sobat, hal ini ternyata juga sudah diatur dalam islam, yakni boleh atau tidak atau tentang hukumnya dan apa saja yang sebaiknya dilakukan, yuk langsung simak saja ulasan lengkapnya.

Hukum yang Berhubungan dengan Rambut Seorang Muslim

1. Qaza’

Dalam kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Qaza’ adalah tindakan mencukur rambut anak kecil pada beberapa titik (secara acak) dan membiarkannya di beberapa titik lainnya sehingga tidak beraturan seperti gumpalan awan. Menurut Imam Nawawi qaza’ adalah mencukur sebagian kepala secara total.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang dari Qaza’.” Ditanyakan kepada Nâfi’ yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, “Apa Qaza’ itu?” Nâfi’ menjawab, “Sebagian kepala anak kecil digundul, dan sebagian yang lainnya ditinggalkan.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Lafazh hadits milik Muslim)

Dalam hal ini, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam melarang kegiatan qaza’ ini sebagaimana sabda beliau: “Cukurlah seluruhnya atau biarkan seluruhnya.” Terkait sifat rambut Rasulullah, Aisyah ra berkata: “Posisi rambut Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam adalah di atas ujung daun telinga dan di bawah ubun-ubun.”

Para ulama menyebutkan bahwa Qaza’ memiliki empat bentuk;

  • Pertama, menggundul tanpa berurut. Dia menggundul bagian kanan, bagian kiri, ubun-ubun dan tengguknya.
  • Kedua, menggundul bagian tengah dan meninggalkan dua bagian lainnya.
  • Ketiga, menggundul samping-sampingnya dan membiarkan bagian tengahnya.
  • Keempat, menggundul ubun-ubun saja dan membiarkan bagian yang lainnya.

(Baca Asy-Syarah Al-Mumti’ 1/167 karya Syaikh Ibnu ‘Utsamin dan Asy-Syarh Al-Mukhtashar ‘Alâ Zâd Al-Mustaqni’ 1/123 karya Syaikh Shalih Al-Fauzan)

2. Memanjangkan Rambut Bila Tak Memuliakan (Merapikan)

Dalam beberapa riwayat disebutkan, rambut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam panjangnya sampai menyentuh bahunya, sebagaimana dalam banyak hadits, seperti: Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah.” Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (HR. Muslim)

Namun berkaitan dengan hukum memanjangkannya yang bagi wanita beresiko hukum wanita shalat kelihatan rambut, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu hukumnya sunnah. Sedang yang lain tidak. Yang berdalil memanjangkan rambut adalah sunnah, berasal dari perbuatan Nabi.  Dan meniru Nabi adalah ibadah, sebagaimana dalil Al-Quran;

 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Sedang pendapat kedua memanjangkan rambut hukumnya bukan sunnah, tetapi hanya sekadar adat kebiasaan, dan hukumnya mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak).

Yang jelas, memanjangkan rambut harusnya memuliakan dan merawatnya dengan rapi. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Siapa yang memelihara rambutnya maka hendaklah memuliakannya”. Arti memuliakan rambut adalah meminyakinya, menyisirnya, dan tidak mencukurnya secara total karena hal tersebut bertentangan dengan memuliakan rambut.

Salah seorang sahabat datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam keadaan rambut dan jenggot yang acak-acakan. Kemudian Nabi saw menyuruhnya pulang untuk merapikan setelah rapi baru kembali lagi kepada beliau. Setelah itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Tidakkah yang seperti ini lebih baik daripada kalian datang dalam kondisi rambut acak-acakkan dan tidak berminyak sehingga berpenampilan seperti setan?”

3. Mencat Uban dengan Warna Hitam

Pada hari pembebasan kota Mekkah Abu Quhafah dihadapkan kepada Rasulullah yang saat itu rambutnya terlihat sangat putih. Kemudian Rasul menyuruhnya untuk pergi ke tempat isterinya agar isterinya mewarnai rambutnya dan menghindari warna hitam sebab diatur dalam hukum semir rambut warna hitam.

Anas bin Malik pernah ditanya tentang cat rambut Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Kemudian ia menjawab: “Rambut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak beruban kecuali sedikit. Akan tetapi, Abu Bakar dan Umar sepeninggal beliau mewarnai rambut mereka dengan  daun pacar/ inai dan daun katam (sejenis tumbuhan untuk menyuburkan rambut).”

Berdasarkan hal itu, para salafush sholeh dan tabi’in berpendapat bahwa tidak mencatnya lebih baik berdasarkan hadits Rasulullah yang melarang mencat Uban juga beliau tidak mencat ubannya. Diriwayatkan  Abu Daud,  dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada di akhir zaman, kaum yang menyemir rambutnya seperti bulu merpati, maka dia tidak mencium bau surga.” (Dalam Shahih Abu Daud)

4. Menyambung Rambut

Menyambung rambut baik itu dengan rambut manusia maupun rambut hewan hukumnya dilarang dan diatur di hukum menyambung rambut . Berikut menurut Imam Malik, Ath-Thabari dan banyak Ulama lain menyatakan bahwa menyambung rambut baik itu dengan rambut, wol atau potongan kain dilarang. Sebagaimana sabda Nabi: “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambung.”

Aturan potong rambut wanita dalam islam

Nah sobat, setelah mengetahui ulasan hadist di atas, tentu sekarang bisa diambil kesimpulan sebagai berikut.

  • Wanita diperbolehkan memotong rambut, jika telah bersuami maka harus dengan ijin suami terlebih dahulu.
  • Memotong rambut wanita dapat memberikan manfaat yaki kebersihan dan kenyamanan sehingga tidak mengganggu kegiatan yang dilakuan sehari hari.
  • Wanita hendaknya memotong rambut dengan gaya perempuan, tidak dengan gaya laki alaki atau yang menyerupai laki laki, sebab wanita sudah memiliki kodratnya sendiri.
  • Dalam memotong rambut, harus dilakukan oleh pihak perempuan jika di salon dan tidak dilihat oleh lawan jenis sehingga tidak berhubungan dengan terbukanya aurat.
  • Jika tidak mampu menemukan pemotong rambut perempuan, maka boleh dilakukan sendiri atau dipotong sendiri.
  • Yang terbaik ialah menjaga kebersihan dan keindahan penampilan terutama ketika di depan suami sebab wanita memiliki rambut sebagai anugrah yang hanya boleh ditonton suami.
  • Memotong rambut wanita tidak boleh digunakan untuk pamer atau sekedar mengikuti tren yang menyerupai orang kafir atau dengan kata lain tidak menutup aurat.
  • Wanita hendaknya tidak memotong habis rambutnya kecuali jika dalam keadaan tertentu karena sakit dsb.

Hadist Tentang Wanita yang Potong Rambut di Masa Rasulullah

  • Dari Abu Salamah bin Abdurrahman Rahimullah mengatakan, ” Para istri Rasulullah memotong rambut mereka, hingga panjangnya seperti al-wafrah.” (HR. Muslim 320)
  • Al-wafrah adalah rambut yang panjangnya sampai daun telinga, namun tidak boleh lebih pendek dari daun telinga. (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 4: 4)
  • An-Nawawi menukil keterangan Al-Qodhi Iyadh, “ Mereka (para istri Nabi) melakukan hal itu setelah wafatnya Nabi SAW dan bukan ketika beliau masih hidup… itulah yang pasti. Tidak mungkin kita berprasangka bahwa mereka melakukan hal itu ketika Nabi SAW masih hidup.” (Syarh Shahih Muslim An-Nawawi, 4:5).
  • Kemudian An-Nawawi juga menegaskan, ” Hadis ini merupakan dalil bolehnya memangkas rambut bagi wanita.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 4: 5).

Nah sobat, jelas ya bahwa wanita boleh memotong rambut Dengan Aturan tertentu yakni sebagai berikut.

Pertama, tidak boleh ditujukan untuk menyerupai model rambut wanita kafir atau wanita fasik, seperti artis dan semacamnya. Jika ada mode rambut yang itu berasal dari orang kafir atau gaya seorang artis, maka tidak boleh ditiru.

Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk kaum itu.” (HR. Abu daud, Ibn Abi Syaibah dan dishahihkan al-Albani) Tentu saja kita tidak ingin dikatakan sebagai bagian dari orang jelek atau bahkan orang kafir, karena rambut kita meniru rambut mereka.

Kedua, tidak boleh menyerupai laki-laki. Potongan rambut yang umumnya menjadi ciri laki-laki, tidak boleh ditiru wanita. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

Ketiga, Dilakukan tanpa izin suami

Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong rambut mereka setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Ini memberikan pelajaran kepada kita bagaimana seorang istri berusaha berhias dan menampakkan kondisi paling menarik bagi suaminya. Jangankan model rambut yang menjadi mahkota kecantikan bagi wanita, bahkan syariat melarang wanita melakukan puasa sunah, tanpa seizin suami sementara suaminya berada di rumah. Itu semua dalam rangka mewujudkan keharmonisan antara suami-istri.

Demikian yang dapat diampaikan penulis, semoga menjadi wawasan yang berkualitas dan menjadi panduan dalam kehidupan sehari hari sehingga tiap urusan dapat dilakukan sebagai jalan ibadah dan jalan pahala. Jangan lupa selalu update wawasan islami sobat di dalamislam.com agar selalu update dan tidak kuper mengenai informasi yang berhubugan dengan islam. Terima kasih.

The post Aturan Potong Rambut Wanita dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menikahi Kakak Beradik dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-menikahi-kakak-beradik Thu, 18 Oct 2018 09:41:56 +0000 https://dalamislam.com/?p=4517 Didalam hal perkawinan juga telah diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum tentang perkawinan. Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah. Golongan Zhahiriah berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu para ulam malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya […]

The post Hukum Menikahi Kakak Beradik dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Didalam hal perkawinan juga telah diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum tentang perkawinan.

Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah.

Golongan Zhahiriah berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu para ulam malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib untuk sebagian orang, Sunnah untuk sebagian orang, dan Mubah untuk segolongan lainnya. Baca juga Hukum Membatalkan Lamaran Pernikahan

Lalu bagaimana Hukum Menikahi Kakak Beradik?

Menggabungkan menikahi wanita kakak beradik tidak diperbolehkan di dalam Islam.

Para ulama’ telah bersepakat atas haramnya mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam satu pernikahan. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;

وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا.

Dan (diharamkan bagi kalian) mengumpulkan dua wanita yang bersaudara (dalam satu pernikahan), kecuali yang telah terjadi pada masa lalu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ : 23)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Rahimahullah;

“Menikahi wanita kakak beradik sekaligus adalah haram secara ijma’, baik keduanya saudara kandung, saudara sebapak, atau (saudara) seibu. Sama saja, yang senasab atau sesusu.”

ولو نكح امرأة فبانت محرمة برضاع ببينة أو إقرار فرق بينهم ، فإن حملت منه كان الولد نسيباً لاحقاً بالواطىء لا يجوز نفيه ، وعليها عدة الشبهة ولها مهر المثل لا المسمى ، وللوطء المذكور حكم النكاح في الصهر والنسب لا في حل النظر والخلوة ولا في النقض ، فيحرم على الواطىء نكاح أصولها وفروعه ، وتحرم هي على أصوله وفروعه ، ويجوز النظر إلى المحرم المذكورة بلا شهوة.

Bila seorang pria terlanjur menikahi seorang wanita kemudian keduanya ternyata terjadi kejelasan masih saudara tunggal dengan tanda bukti kuat atau pengakuan maka mereka harus dipisahkan, bila wanita tersebut hamil maka anaknya ternasab dan disambungkan pada si penggaul ibunya (bapak biologisnya). Baca juga Hukum Menentukan Mahar dalam Islam untuk pernikahan

Dan tidak dapat dipungkiri, bagi wanita tersebut diperlakukan iddah subhat dan mahar mitsil (mas kawin kebiasaan untuk wanita sederajatnya didaerah tersebut) bukan mahar yang tersebut didalam pernikahan.

Akibat buah senggama semacam ini diperlakukan hukum pernikahan sebagaimana mestinya dalam arti terjalinnya ikatan kekeluargaan karena perkawinan dan persaudaraan tidak mempengaruhi hukum halalnya melihat, berkhalwat serta membatalkan wudhu keduanya. Baca juga dengan Hukum Datang ke Pernikahan Beda Agama

Karenanya bagi si pria haram menikahi biang wanita tersebut (ibu, nenek dan seterusnya/nasab keatas) juga haram menikahi keturunan anak akibat persetubuhannya, begitu juga wanita tersebut haram dinikahi oleh biang dan keturunan anak akibat persetubuhannya namun halal melihat mahram tersebut diatas dengan ketentuan tidak terjadi syahwat.

Tidak menjadi ketentuan khusus dalam masalah ini, yang terpenting telah terjadi pernikahan antara pria-wanita yang masih terjadi ikatan saudara mahram baik persaudaraan karena keluarga, tunggal susu atau perkawinan. Baca juga dengan Makna Pernikahan Dalam Islam

Rasulullah SAW bersabda,

Sungguh Allah akan mengampuni atas umatku karena tiga hal, keliru (tanpa sengaja), lupa, dan segala sesuatu yang dilakukan karena terpaksa.”(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi r.a dari Ibnu Abbas)

Wallaahu A’lamu Bis showaab.

The post Hukum Menikahi Kakak Beradik dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>