bid'ah Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/bidah Sat, 23 Feb 2019 02:53:32 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png bid'ah Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/bidah 32 32 Hukum Mengadzankan Jenazah Dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-mengadzankan-jenazah-dalam-islam Wed, 20 Feb 2019 06:41:32 +0000 https://dalamislam.com/?p=5474 Kematian adalah hal yang pasti dan menjadi rahasia Allah SWT. Dalam Islam, pengurusan jenazah adalah hal yang wajib dilakukan dengan baik dan sesuai dengan syariat Islam. Layaknya menghormati manusia selagi masih hidup, mengurus jenazah juga harus dilakukan dengan adab-adab menghargai si mayit. Namun terdapat salah satu kebiasaan yang dianggap sunnah dalam pengurusan jenazah, yakni mengadzankan […]

The post Hukum Mengadzankan Jenazah Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kematian adalah hal yang pasti dan menjadi rahasia Allah SWT. Dalam Islam, pengurusan jenazah adalah hal yang wajib dilakukan dengan baik dan sesuai dengan syariat Islam. Layaknya menghormati manusia selagi masih hidup, mengurus jenazah juga harus dilakukan dengan adab-adab menghargai si mayit.

Namun terdapat salah satu kebiasaan yang dianggap sunnah dalam pengurusan jenazah, yakni mengadzankan jenazah. Banyak masyarakat yang melakukan hal ini dengan anggapan bahwa jika lahir diadzankan maka meninggal pun harus diadzankan. Namun bagaimana sebenarnya hukum mengadzankan jenazah dalam Islam?

Tidak Ada Tuntunan dalam Syariat Perihal Mengadzankan Jenazah

Mengenai hal ini, Ibnu Hajar Al Haitsaimi rahimahullah pernah ditanya pertanyaan yang senada. Beliau menjawab,

هو بدعة، ومن زعم أنه سنة عند نزول القبر قياساً على ندبها في المولود إلحاقاً لخاتمة الأمر بابتدائه فلم يصب، وأي جامع بين الأمرين، ومجرد أن ذاك في الابتداء وهذا في الانتهاء لا يقتضي لحوقه به.

“Perbuatan tersebut tidak ada tuntunan dalam syariat. Siapa yang menyangkanya sebagai sunah yang dilakukan ketika turun ke liang kubur, karena meng-qiyaskan dengan anjuran mengadzani bayi yang baru lahir, sebagai bentuk penyamaan antara akhir kehidupan dengan awal kehidupan, maka dia telah keliru. Dimana sisi kesamaannya sehingga bisa dikaitkan?! Semata – mata ini dilakukan di awal, kemudian yang ini dilakukan di akhir, tidak bisa kemudian dianalogikan seperti itu.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro 3/24).

Baca juga:

Larangan Adzan dan Iqamah di Kuburan

Begitu pula dengan penjelasan yang disampaikan oleh Lajnah Dâ-imah (Komisi fatwa ulama Arab Saudi) yang telah ditanda tangani oleh Syaikh Abdulaziz bin Baz, Syaikh Abdurrazaq Afifi, Syaikh Abdullah Ghudyan dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud,

لا يجوز الأذان ولا الإقامة عند القبر بعد دفن الميت ، ولا في القبر قبل دفنه ؛ لأن ذلك بدعة محدثة..

“Tidak boleh adzan dan iqamah di kuburan setelah menguburkan mayit, atau sebelumnya. Karena perbuatan ini tidak ada tuntunannya dan termasuk perkara baru dalam agama” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Dâ-imah Li Al-Ifta’ 9/72).

Berkata Syeikh Shalih bin Fauzan:

أما بعد خروج الروح فإن الميت لا يلقن لا قبل الدفن ولا بعد الدفن، ولم يرد بذلك سنة صحيحة عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ فيما نعلم، وإنما استحب تلقين الميت بعد دفنه جماعة من العلماء، وليس لهم دليل ثابت عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ لأن الحديث الوارد في ذلك مطعون في سنده، فعلى هذا يكون التلقين بعد الدفن لا أصل له من سنة الرسول صلى الله عليه وسلم، وإنما قال به بعض العلماء اعتمادًا على حديث غير ثابت .
فالتلقين بعد الدفن لا أصل له في السنة، وإنما التلقين المشروع هو عند الاحتضار، لأنه هو الذي ينفع المحتضر ويعقله المحتضر لأنه مازال على قيد الحياة ويستطيع النطق بهذه الكلمة وهو لا يزال في دار العمل، أما بعد الموت فقد انتهى العمل .

“Adapun setelah keluarnya nyawa maka mayit tidak ditalqin, apakah sebelum dikuburkan atau setelahnya, dan setahu kami tidak ada hadist yang shahih dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini. Hanya saja sebagian ulama menganjurkannya setelah mayit dikubur, namun mereka tidak memiliki dalil yang tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hadist yang mereka jadikan dalil ada pembicaraan dalam sanadnya, oleh karena itu talqin setelah mayit dikuburkan adalah tidak ada asalnya dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya sebagian ulama menganjurkan karena berpegang pada hadist yang tidak tetap.”

Baca juga:

Talqin Setelah Penguburan Tidak Ada dalam Sunnah

“Jadi talqin setelah penguburan tidak ada asalnya di dalam sunnah, dan talqin yang disyariatkan adalah ketika mau meninggal, karena itulah yang bermanfaat bagi orang yang mau meninggal dan bisa dia pahami sebab dia masih hidup dan mampu mengucapkan kalimat ini, dan dia masih di negeri amal, adapun setelah mati maka amal sudah selesai” (Al-Muntaqa min Fatawa Al-fauzan no: 131).

Tidak ada Rasul mencontohkan untuk mengadzankan jenazah saat menguburkannya sehingga amalan tersebut termasuk bid’ah. Sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ

“Kebiasaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika usai menguburkan jenazah, beliau berdiri di dekat kuburnya kemudian bersabda, “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan doakan supaya dia diberikan keteguhan. Karena sekarang ini dia sedang ditanya”. (HR Abu Dawud).

Ibnul Qosim rahimahullah dalam Hasyiah Ar Raudh Al Murbi’ menyatakan,

وقال ابن المنذر رحمه الله : “قال بمشروعيته ـ الدعاء ـ الجمهور ، وقال الآجري وغيره : يستحب الوقوف بعد الدفن قليلاً ، والدعاء للميت

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Pendapat disyariatkan doa untuk mayit (setelah menguburkan) adalah pendapat mayoritas ulama.”

Al-Ajurri dan yang lainnya mengatakan, “Dianjurkan berdiri sejenak setelah menguburkan, lalu mendo’akan mayit.”

Adzan dan Iqamah dalam Perjalanan Menuju Pekuburan Hukumnya Sunnah

Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam Hasyiyah al-Baijuri menjelaskan:

ويسن الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر ولا يسن الأذان عند إنزال الميت القبر خلافا لمن قال بسنيته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها قال ابن حجر ورددته في شرح العباب لكن إن وافق إنزاله القبر بأذان خفف عنه في السؤال

“Disunnahkan azan dan iqamah saat melakukan perjalanan dan tidak disunnahkan azan ketika menguburkan mayat. Pendapat ini berbeda dengan ulama yang mensunnahkan azan karena menyamakan hukumnya dengan mengazankan anak yang baru lahir. Ibnu Hajar berkata, saya menolaknya dalam Syarah al-‘Ubab, akan tetapi jika penguburan mayat disertai azan, maka mayat diringankan dalam menjawab pertanyaan di dalam kubur”

Baca juga:

Dianjurkan untuk Menuntun Seseorang Mengucapkan Kalimat Tauhid Saat Sakratul Maut

Sedangkan ketika seorang manusia sedang salam keadaan sakaratul maut, maka dianjurkan untuk menuntunnya mengucapkan kalimat tauhid.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لقنوا موتاكم لا إله إلا الله

Talqinlah (tuntunlah) orang yang mau meninggal (untuk mengucapkan) Laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudry)

Berkata An-Nawawy:

مَعْنَاهُ مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْت ، وَالْمُرَاد ذَكِّرُوهُ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه لِتَكُونَ آخِر كلامه

“Maknanya: Orang yang sedang didatangi kematian, maksudnya: Ingatkan dia laa ilaaha illallah supaya itu menjadi akhir ucapannya.” (Syarh Muslim 6/219)

Beliau shallalllahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

Barangsiapa yang ucapan terakhirnya “laa ilaaha illallah” maka akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud, dari Mua’dz bin Jabal, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).

Baca juga:

Ketika paman beliau Abu Thalib mau meninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk beliau dan menalqinnya seraya mengatakan:

أي عَمِّ، قل لا إله إلا الله، كلمةً أُحَاجُّ لك بها عند الله

Wahai pamanku, katakanlah laa ilaaha illallahu, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu disisi Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Itulah penjelasan singkat mengenai hukum mengadzankan jenazah dalam Islam. Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

The post Hukum Mengadzankan Jenazah Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Amalan Bid’ah Di Bulan Sya’ban dan Dalilnya https://dalamislam.com/landasan-agama/hadist/amalan-bidah-di-bulan-syaban Wed, 25 Apr 2018 02:03:08 +0000 https://dalamislam.com/?p=3390 Amalan bid’ah merupakan amalan yang dibuat-buat tanpa tuntunan dari Rasulullah SAW. Asy Syatibi rahimahullah dalam kitab Al I’tishom mnejelaskan tentang pengertian bid’ah: عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ “Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran […]

The post Amalan Bid’ah Di Bulan Sya’ban dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Amalan bid’ah merupakan amalan yang dibuat-buat tanpa tuntunan dari Rasulullah SAW. Asy Syatibi rahimahullah dalam kitab Al I’tishom mnejelaskan tentang pengertian bid’ah:

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”

Bulan Sya’ban adalah bulan penuh kebaikan dimana kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sebanyak mungkin tanpa menunggu Ramadhan tiba, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Baca juga:

Namun sayang, banyak umat Muslim saat ini yang justru terjerumus ke dalam ajaran yang tidak sesuai dengan panutan Rasulullah SAW. Pada bulan Sya’ban, banyak sekali ditemukan amalan-amalan bid’ah yang seharusnya tidak dilakukan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali  bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui ajaran yang tanpa tuntunan yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049).

Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah telah mengetahui bahwa akan ada umatnya yang melakukan ibadah bid’ah yang tidak sesuai dengan ajaran yang ia bawa.

Sunggu mereka yang melakukan amalan bid’ah tidak termasuk ke dalam golongan umat Rasulullah SAW. Adapun beberapa amalan bid’ah yang sering dilakukan pada bulan Sya’ban  beberapa di antaranya adalah:

1. Melakukan yasinan atau tahlilan untuk saudara yang telah meninggal.

Beberapa daerah di Indonesia menyebutnya dengan Ruwahan karena Ruwah (sebutan bulan Sya’ban bagi orang Jawa) berasal dari kata arwah sehingga bulan Sya’ban identik dengan kematian.

Makanya sering di beberapa daerah masih laris tradisi yasinan atau tahlilan di bulan Sya’ban. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.

Baca juga:

2. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat dan do’a.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248). Juga yang mengatakan seperti itu adalah Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, penulis Tuhfatul Ahwadzi.

Salah satu hadits dho’if atau lemah yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban, yaitu hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini  munqothi’ (terputus sanadnya).” Berarti hadits tersebut dho’if/ lemah.

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ

Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144). Hadist ini menunjukkan bahwa Rasul melarang kita mengkhususkan suatu malam atau hari untuk sholat karena semua hari sebenarnya sama.

3. Melakukan sholat khusus

Ada banyak sholat khsusu yang dilakukan beberapa orang pengikut amalan bid’ah, beberapa diantaranya adalah shalat al-Bara’ah, yaitu shalat seratus rakaat yang dikhususkan pelaksanaannya pada malam nishfu Sya’ban, shalat tujuh raka’at dengan niat untuk menolak bala’ (bencana dan musibah), panjang umur, dan kecukupan sehingga tidak meminta-minta kepada manusia.

4. Meyakini bahwa malam Nishfu Sya’ban adalah malam Lailatul Qadar.

Al-Syuqairi berkata, “Dia (pendapat itu) adalah batil berdasarkan kesepakatan para peneliti dari kalangan Muhadditsin.” (Al-Sunan al-Mubtadi’ah, hal. 146) Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala,

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),

maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q. S. Al-Baqarah: 185)

Baca juga:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailataul Qadar (malam kemuliaan).” (Q. S. Al-Qadar:1)

5. Melakukan ziarah kubur

Banyak orang  ketika menjelang Ramadhan diyakini sebagai waktu utama untuk ziarah kubur, yaitu mengunjungi kubur orang tua atau kerabat.

Padahal ziarah kubur itu tidak dikhususkan pada bulan Sya’ban saja. Kita diperintahkan melakukan ziarah kubur setiap saat agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).” (HR. Muslim no. 976).

Amalan bid’ah ini bukan baru terjadi saat ini saja, tapi sudah sejak lama. Pada mulanya, amalan bid’ah ini berasal dari kesalahpahaman. Imam Al-Maqdisi berkata, “Perkara ini pertama kali terjadi di tempat kami pada tahun 448 Hijriyah.

Pada saat itu ada seorang laki-laki yang dikenal dengan Ibnu Abil Humaira’ yang memiliki bacaan bagus.

Dia shalat di Masjid al-Aqsha pada malam nisfu Sya’ban lalu ada seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya kemudian bergabung orang ketiga dan keempat sehingga tidaklah ia selesai dari shalatnya kecuali ia berada di tengah-tengah jama’ah yang banyak.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hal. 124-125)

Selain itu, banyak terdapat hadist palsu tentang Sya’ban yang patut diwaspadai.  Dari Ali radliyallahu ‘anhu secara marfu’, berkata, “Apabila tiba malam nishfu Sya’ban maka berdirilah shalat pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1388, dan ini adalah hadits Maudlu’.

Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Dhaif Sunan Ibni Majah, “Lemah sekali atau maudlu –palsu-” no. 1388, juga dalam Al-Misykah no. 1308, Al-Dhaifah no. 2132)

Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, lalu Dia akan mengampuni umatku lebih dari jumlah bulu domba yang digembalakan Bani Kalb.” (HR. Ibn Majah no. 1389 dan al-Tirmidzi no. 670. Syaikh al-Albani mendhaifkannya dalam Dhaif Sunan Ibni Majah no. 295 dan Dhaif al-Jami’ al-Shaghir no. 1761)3.

Demikianlah artikel tentang amalan bid’ah pada bulan Sya’ban yang singkat ini. Semoga artikel ini dapat menjauhkan kita semua dari amalan bid’ah yang sesat.

The post Amalan Bid’ah Di Bulan Sya’ban dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Larangan di Bulan Sya’ban dan Dalilnya https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/larangan-di-bulan-syaban Wed, 25 Apr 2018 01:53:52 +0000 https://dalamislam.com/?p=3393 Bulan Sya’ban merupakan bulan yang dipenuhi dengan kebaikan sekaligus sebagai pengingat bahwa puasa di bulan Ramadhan bulan penuh berkah akan segera tiba. Sebagaimana sabda Rasul: “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, […]

The post Larangan di Bulan Sya’ban dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bulan Sya’ban merupakan bulan yang dipenuhi dengan kebaikan sekaligus sebagai pengingat bahwa puasa di bulan Ramadhan bulan penuh berkah akan segera tiba.

Sebagaimana sabda Rasul: “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ya, pada bulan Sya’ban, Rasulullah SAW memang menganjurkan kita untuk melaksanakan puasa sebanyak mungkin. Beliau memberikan contoh tentang pelaksanaan puasa pada bulan Sya’ban. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan.

Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Baca juga:

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.”(HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Namun walaupunbulan Sya’ban merupakanbulan penuh kebaikan, terdapat pula beberapa larangan pada bulan Sya’ban yang tidak boleh dilakukan, diantaranya adalah:

 1. Menghidupkan malam Nifsu Sya’ban

Saat ini, semakin banyak orang yang melakukan sholat khusus pada malam Nifsu Sya’ban, padahal Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan perkara ini sebelumnya.

Beberapa ulama juga melarang untuk menghidupkan malam Nifsu Sya’ban karena tidak ada satu pun hadist yang kuat untuk membenarkan ajaran ini. Ibnu Rajab mengatakan,

“Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).

Salah satu hadist lemah yang sering digunakan sebagai sandaran adalah :

“Apabila tiba malam pertengahan sya’ban maka dirikanlah (shalat) dimalam harinya & puasalah disiang harinya;karena pada malam tersebut Allah akan turun kelangit dunia mulai dari terbenam matahari kemudian berfirman: “(pada saat ini) Adakah hamba yang minta ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni, adakah hamba yang minta rizki niscaya akan Aku beri, adakah hamba yang ditimpa mushibah niscaya akan Aku sembuhkan, adakah hamba…adakah hamba…sampai terbit fajar. ” (HR. Ibnu Majah, no. 1388, 1/444).

Padahal Rasulullah telah melarang untuk mengkhususkan malam atau hari tertentu. Sebagaimana sabda Rasul:

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”(HR. Muslim no. 1718)

Baca juga:

2. Berpuasa pada hari yang meragukan

Dilarang untuk melakukan puasa pada hari yang meragukan atau yaumul yask, yakni hari yang diragukan antara tanggal 29 atau 30 Sya’ban.

Hari yang meragukan maksudnya adalah apakah sudah masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah saat itu Sya’ban 29 hari atau digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah saat itu amat beresiko, yakni jika ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah.

Tentunya ini sah tidaknya puasa yang ia lakukan akan menjadi masalah. Sebagaimana sabda Rasul: “Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu fa shuumuu)

Namun larangan ini hanya berlaku pada orang yang tidka terbiasa berpuasa, lain halnya dengan mereka yang memang terbiasa berpuasa, maka diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasul: “Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)

3. Melakukan amalan bid’ah

Banyak amalan bid’ah yang dilakukan beberapa orang pada bulan Sya’ban tanpa hadist yang kuat, diantaranya adalah melakukan ziarah kubur, yasinan, tahlilan, atau sholat khusus lainnya.

Padahal Rasulullah tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan amalan bid’ah tersebut. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Baca juga:

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali  bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui ajaran yang tanpa tuntunan yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049).

Demikianlah artikel tentang larangan di bulan Sya’ban yang singkat ini. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua dan kita dihindari dari berbagai hal yang merusak akidah. Aamiin.

The post Larangan di Bulan Sya’ban dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Tukar Kado Dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-tukar-kado-dalam-islam Thu, 19 Oct 2017 01:51:21 +0000 https://dalamislam.com/?p=2195 Dalam sebuah acara, seringkali diadakan kegiatan bertukar kado untuk meramaikan acara tersebut. Jika dilihat dasarnya, memberikan sebuah hadiah untuk orang lain menjadi kegiatan yang disarankan, akan tetapi bertukar kado dengan memberikan hadiah merupakan dua hal berbeda. Apabila memberikan hadiah, maka tidak boleh mengharapkan imbalan dari orang yang kita berikan hadiah. Sementara tukar kado merupakan kegiatan […]

The post Hukum Tukar Kado Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam sebuah acara, seringkali diadakan kegiatan bertukar kado untuk meramaikan acara tersebut. Jika dilihat dasarnya, memberikan sebuah hadiah untuk orang lain menjadi kegiatan yang disarankan, akan tetapi bertukar kado dengan memberikan hadiah merupakan dua hal berbeda. Apabila memberikan hadiah, maka tidak boleh mengharapkan imbalan dari orang yang kita berikan hadiah. Sementara tukar kado merupakan kegiatan memberikan hadiah kaan tetapi orang tersebut juga harus memberikan hadiah pada kita dan apakah hal ini diperbolehkan oleh dasar hukum Islam?.

Hukum tukar kado dalam Islam adalah gharar yakni ketidakjelasan pada akad karena objek yang tidak jelas atau tidak pasti mengenai nilai dan harga barang tersebut. Ini membuat hukum bertukar kado bisa diperbolehkan atau mubah dan juga bisa tidak diperbolehkan atau haram.

Penyebab Haram Bertukar Kado

Acara bertukar kado menjadi haram karena merupakan transaksi saling bertukar harta dalam Islam akan tetapi untuk nilai dan bentuk barang yang diberi dan juga alat pembayaranya belum jelas dan tidak diketahui secara pasti. Ini membuat acara tukar kado menjadi haram hukumnya sebab ada ketidaktahuan barang apa yang akan diterima oleh penerima kado tersebut.

Allah SWT Berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perniagaan yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian”. [surat An-Nisaa’ ayat 29]

Penyebab Diperbolehkan Tukar Kado

Diperbolehkanya acara bertukar kado apabila acara tersebut tidak mengandung unsur Gharar seperti menentukan harga dan juga jenis barang yang akan dijadikan acara bertukar kado tersebut.

Selain itu, acara bertukar kado yang diselenggarakan tersebut harus tidak melanggar sumber syariat Islam dan tidak terdapat kemungkaran didalamnya. Sedangkan untuk benda atau barang yang dijadikan hadiah juga bukan benda yang dilarang syariat baik dalam bentuk dzat atau pemakaiannya. Pemberi hadiah juga harus ikhlas dan rela untuk memberikan kado tersebut dan apabila dilakukan dengan terpaksa, maka orang yang akan diberi hadiah tersebut tidak boleh menerima kado tersebut.

Hadiah sebenarnya merupakan bentuk dari rasa kasih sayang antara sesama muslim. Jika ingin memberikan hadiah atau bertukar kado dengan non muslim, maka juga diperbolehkan selama bukan didasari dengan kasih sayang akan tetapi hanya menjadi perbuatan kemanusiaan atau melembutkan hatinya sehingga bisa menerima Islam.

Tukar Kado Saat Valentine

Sementara untuk hukum tukar kado disaat hari merayakan Valentine dalam Islam maka hukumnya diharamkan  karena merupakan salah satu perayaan Gereja bernama Saint Valentin’e sehingga menjadi ritual kaum Nasrani pada tanggal 14 Februari. Apabila kaum muslim ikut merayakan Valentine dengan cara saling bertukar kado, maka ini mengartikan meniru budaya dari orang kafir.

Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)

Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Orang Nashrani punya perayaan, demikian pula orang Yahudi, di mana mereka mengistimewakan hari tersebut. Maka janganlah seorang muslim meniru mereka dalam perayaan tersebut. Sebagaimana kita dilarang meniru syari’at dan tidak mengikuti kiblat mereka.” (Tasyabbuh Al Khosis bi Ahlil Khomis, dinukil dalam Majalah Al Hikmah, 4: 193)

Akan tetapi, lebih baik jika acara bertukar kado tersebut dihindari sebab kita tidak dapat menilai dan juga mengetahui keikhlasan seseorang saat menerima kado yang sudah kita berikan.

The post Hukum Tukar Kado Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Amalan Nisfu Sya’ban Menurut Islam dan Hadistnya https://dalamislam.com/info-islami/amalan-nisfu-syaban-menurut-islam Wed, 05 Apr 2017 13:27:15 +0000 http://dalamislam.com/?p=1432 Di masyarakat islam dikenal ibadah di malam-malam nisfu sya’ban yaitu di tengah bulan Sya’ban. Adanya amalan ini terjadi pro dan kontra sehingga tidak semua sepakat dengan nisfu sya’ban dan juga tidak semua menolak nisfu sya’ban. Padahal, banyak sekali keutamaan nisfu sya’ban bagi umat yang melaksanakannya Tentunya, dalam pelaksanaan ibadah, kita harus mengikuti apa yang telah […]

The post Amalan Nisfu Sya’ban Menurut Islam dan Hadistnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Di masyarakat islam dikenal ibadah di malam-malam nisfu sya’ban yaitu di tengah bulan Sya’ban. Adanya amalan ini terjadi pro dan kontra sehingga tidak semua sepakat dengan nisfu sya’ban dan juga tidak semua menolak nisfu sya’ban. Padahal, banyak sekali keutamaan nisfu sya’ban bagi umat yang melaksanakannya

Tentunya, dalam pelaksanaan ibadah, kita harus mengikuti apa yang telah Rasulullah sampaikan dan juga mengikuti sunnah tersebut. Hal ini karena Rasulullah adalah teladan dan telah menjalankannya agar umat islam mengikuti. Jika amalan ibadah tidak sesuai dan dibuat sendiri oleh manusia tentu hal ini akan mempengaruhi kesatuan dan kemurnian ajaran islam.

Untuk itu jangan sampai kita terjebak kepada Ciri-Ciri Aliran Sesat Menurut IslamAliran Islam di Indonesia , dan Bid’ah dalam Islam.

Hadit-Hadist Tentang Amalan Nisfu Sya’Ban

Sebelum mengetahui tentang amalan-amalan nisfu sya’ban dan adakah malam nisfu sya’ban, maka sebaiknya umat islam mengetahui terlebih dahulu mengenai dalil-dalil atau hadist yang berkenaan dengan nisfu sya’ban. Berikut adalah informasi hadsit yang berkenaan dengan nisfu sya’ban.

  1. Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim

“Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali (pada) bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau (banyak berpuasa) dalam suatu bulan kecuali bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadist ini mendukung pada adanya amalan nisfu sya’ban yaitu berpuasa. Rasulullah sendiri menyempurnakan amalannya di bulan Ramadhan. Tetapi hadist ini tidak mengkhususkan ibadah tertentu atau mengkhususkan bulan Rajab hingga umat islam harus melaksanakannya.

  1. Hadist Riwayat An Nasai

“Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat anda sering berpuasa dalam beberapa bulan seperti puasa anda di bulan Sya’ban. Beliau menjawab, ‘Itu adalah satu bulan yang manusia lalai darinya. (Bulan itu adalah) bulan antara Rajab dan Ramadan, dan pada bulan itu amalan-amalan manusia diangkat kepada Rabbul ‘alamin, maka aku ingin supaya amalanku diangkat pada saat aku berpuasa.” (HR An Nasai)

Hadist ini juga sebagaimana hadist yang pertama, bahwa ada amalan yang bisa dilakukan salah satunya berpuasa. Akan tetapi tidak ada pengkhususan amalan yang harus dilakukan umat islam, karena Rasulullah berpuasa sunnah di tiap bulannya.

  1. Hadist yang Mendukung Amalan Nisfu Sya’ban

“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit fajar.” (HR Ibnu Majah dan Al Baihaqi)

Hadist ini menunjukkan adanya amalan-amalan tertentu yang harus dilaksanakan oleh umat islam. Sedangkan, beberapa ulama memandang hadist ini tidak shahih dan terdapat beberapa kekurangan.

Untuk itu, dalam hal ini terdapat berbagai pendapat mengenai malam nisfu sya’ban dan tentunya walaupun ada perbedaan tersebut, umat islam harus benar-benar bisa mempertanggungjawabkan atas apa yang dipilihnya.

Mendudukkan Perbedaan Pendapat Tentang Amalan Nisfu Sya’ban

Jika dilihat dari hadist-hadist di atas, amalan nisfu sya’ban memang memiliki perbedaan pendapat di masing-masing umat islam dan ulama. Tentu saja untuk menyelesaikan masalah ini, kita harus mampu untuk mendudukkan perbedaan pendapat antar ulama dan umat islam.

Berikut agar perbedaan pendapat tentang amalan nisfu sya’ban bisa diselesaikan dengan baik, sebagaimana contoh perilaku dari Rasulullah SAW.

  1. Kembali Kepada Dalil

Antara yang menyebutkan ada dalil dan tidak, masing-masing memiliki dalil. Untuk itu, yang dilarang dan tidak boleh adalah ketika berkata dan menyampaikan informasi yang tidak ada dalilnya. Selagi masih ada dalil dan mampu mempertanggungjawabkannya, maka hal ini bisa diterima.

Hal ini juga disampaikan dalam Al-Quran,

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (QS : Yunus : 19)

Untuk itu segala perbedaan pendapat termasuk masalah nisfu sya’ban kembalikan kepada dalil yang kuat dan pertanggungjawaban ijtihad yang benar. Perbedaan pendapat di zaman Rasulullah pun sudah mulai muncul. Apalagi di zaman ini, dimana sudah ditinggal oleh Rasulullah sejak lama, maka kembali kepada dalil yang kuat adalah hal yang harus dilakukan.

  1. Tidak Membiarkan Konflik Karena Perbedaan Pendapat

Sebagai umat islam, jangan sampai kita mebiarkan konflik hanya karena adanya perbedaan pendapat. Dalam umat islam selagi masih berpegang teguh pada Al-Quran, Sunnah, Rukun Islam, Dasar Hukum Islam, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Sumber Syariat Islam, dan Rukun Iman secara universal, tentu mereka masih saudara seiman.

Jangan sampai kita mebiarkan konflik karena perbedaan pendapat apalagi sampai memecah ukhuwah islamiyah di kalangan umat islam.

Hal ini juga Allah sampaikan dalam Al-Quran, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS An-Nahl : 93)

Untuk itu, setiap amalan akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Maka jangan biarkan konflik terjadi hanya karena masalah yang berbeda padahal masih dalam tujuan yang sama.

  1. Tidak Mudah Mengklaim atau Menjugdge Negatif

Untuk bisa menjaga perbedaan pendapat dalam islam, termasuk masalah Nisfu Sya’ban maka jangan sampai kita mudah mengklaim sesat atau menjugde negatif seseorang yang memiliki dalil dan pendapat berbeda. Tentu saja, hal ini tidak diinginkan setiap orang dan masing-masing menganggap dalilnya yang benar.

Untuk itu, jangan sampai apa yang kita utarakan kepada sesama muslim menjadi sakit hati dan juga berbekas hingga ke hati. Menjaga perasaan dan pendapat adalah hal yang baik dan dibutuhkan dalam islam. Selagi masih sesuai dengan landasan islam maka mereka adalah saudara kita yang harus dijaga.

Selain dari Nisfu sya’ban umat islam juga bisa mengikuti sunnah rasul lainnya seperti

Semoga kita selalu menjadi umat islam yang mengutamakan amalan berdasarkan sunnah Rasul dan menjadi ummat Rasululullah SAW.

The post Amalan Nisfu Sya’ban Menurut Islam dan Hadistnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban dan Dalilnya https://dalamislam.com/akhlaq/amalan-shaleh/keutamaan-nisfu-sya-ban Fri, 31 Mar 2017 07:39:14 +0000 http://dalamislam.com/?p=1423 Di masyarakat islam, tentunya dikenal dengan istilah Nisfu Sya’ban. Malam ini dianggap sebagai malam yang khusus dan spesial karena adanya berbagai dalil dan hadist yang dikemukakan berbagai riwayat. Akan tetapi, malam Nisfu Sya’ban sendiri terdapat berbagai pendapat di dalamnya yang mengganggap benar dan tidak. Tentunya umat islam harus menjalankan sesuai dengan kisah teladan nabi muhammad dan fungsi agama dalam […]

The post Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Di masyarakat islam, tentunya dikenal dengan istilah Nisfu Sya’ban. Malam ini dianggap sebagai malam yang khusus dan spesial karena adanya berbagai dalil dan hadist yang dikemukakan berbagai riwayat. Akan tetapi, malam Nisfu Sya’ban sendiri terdapat berbagai pendapat di dalamnya yang mengganggap benar dan tidak.

Tentunya umat islam harus menjalankan sesuai dengan kisah teladan nabi muhammad dan fungsi agama dalam islam. Berikut adalah penjelasan sekilas mengenai malam Nisfu Sya’ban agar umat islam bisa mengetahui masalah keutamaan nisfu sya’ban ini dan mengambil sikap atas hasil pengetahuannya.

Pengertian Nisfu Sya’ban

Secara umum nisfu sya’ban berarti sebuah bulan yang berada di tanggal 15 atau pertengahan bulan sya’ban (kalendar islam hijriah). Malam ini dianggap sebagai malam yang istimewa karena didalamnya dianggap sebagai malam dimana dipindahkannya kiblat dari baitul maqdis ke masjidi haram.

Hal ini disampaikan menurut pendapat Al Qurthubi dan mendasarkan dalilnya dalam QS Al-Baqarah : 142,  “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”

Al-Qurthubi memiliki pendapat bahwa ada perbedaan rentang waktu antara pemindarahan kiblat dengan kedatangan ke Madinah. Beberapa mengatakan bahwa pemindahan tersebut terjadi setelah tanggal 16 atau 17 bulan sya’ban kalendar hijriah.

Hal ini juga berbeda dengan apa yang dipendapatkan oleh Imam malik. Imam Malik mengatakan bahwa pemindahan tersebut terjadi sebelum adanya perang badr yaitu pada bulan Rajab di tahun ke-2 Hijriah. Selain itu, ada pula ulama yang mengatakan bahwa malam itu bukanlah malam nisfu sya’ban melainkan lailatul qadar.

Terkait ibadah-ibadah yang dianjurkan di malam ini, beberapa riwayat mengatakan bahwa Rasulullah dalam beribadah senantiasa melaksanakannya setiap waktu atau setiap hari. Rasulullah menyempurnakannya di bulan Ramadhan sedangkan dalam keseharian, Rasulullah senantiasa melaksanakan shalat malam, puasa sunnah, dan ibadah lainnya tanpa mengenal waktu.

Hadist Keutamaan Nisfu Sya’ban

Beberapa ulama tau masyarakat yang memandang bahwa nisfu syaban memiliki keutamaan, mendasarkan pada beberapa hadist yang akan dijelaskan di bawah ini. Akan tetapi, hadist-hadist ini pun masih dalam pertentangan pendapat dan perdebatan yang berbeda antar ulama.

Salah satu hadist ini diriwayatkan oleh Aisyah, “Aku pernah kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku keluar, ternyata beliau di Baqi, sambil menengadahkan wajah ke langit. Nabi bertanya; “Kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya akan menipumu?” (maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi jatah Aisyah). Aisyah mengatakan: Wahai Rasulullah, saya hanya menyangka anda mendatangi istri yang lain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam nisfu syaban, kemudian Dia mengampuni lebih dari jumlah bulu domba bani kalb.”

Riwayat ini menjadi dasar atau dalil yang sering digunakan oleh orang-orang yang meyakininya hingga di malam nisfu sya’ban ini banyak sekali muslim yang beribadah dan menyempurnakan berbagai amalan. Untuk itu, masjid-masjid ramai dan berbondong orang untuk menyempurnakan shalat.

Pendapat Ulama Tentang Nisfu Sya’ban

Walaupun ada berbagai dalil yang berkenaan dengan nisfu sya’ban banyak pula pendapat ulama yang bertentangan dengan hal tersebut. Bahkan, ada pula riwayat-riwayat yang ternyata hadistnya masih dhoif, bahkan palsu. Berikut adalah pendapat ulama mengenai nisfu sya’ban.

  1. Tidak Ada Keutamaan dalam Nisfu Sya’ban

“Tidak ada satupun riwayat yang shahih tentang malam nisfu syaban, dan para perowi yang jujur tidak menyampaikan adanya shalat khusus di malam ini. Sementara yang terjadi di masyarakat berasal dari mereka yang suka mempermainkan syariat Muhammad yang masih mencintai kebiasaan orang majusi” (Ibnu Dihyah)

Ibnu Dhiyah menyampaikan hal tersebut, sehingga ia berpendapat bahwa dalam malam nisfu sya’ban tidak ada kekhususan atau keutamaan di dalamnya. Untuk itu, melangsungkan ibadah atau ritual khusus tentunya tidak terdapat dalam syariah. Sebagai bentuknya, ia tidak mengadakan ritual apapun atau kekhususan pada malam nisfu sya’ban. Bahkan menganggap tidak ada nisfu sya’ban.

  1. Adanya Keutamaan dalam Nisfu Sya’ban

Pendapat yang lain disampaikan dalam riwayat, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR Ibnu Majah dan Athtabrani)

Adanya dalil ini membuat ulama lainnya mengatakan bahwa ada kekhsuusan dalam malam nisfu sya’ban. Untuk itu, beribadah di dalamnya dan segala hal kebaikannya akan mendapat ganjaran pahala lebih. Sehingga benar-benar menyempurnakan ibadah di malam nisfu sya’ban adalah keutamaan.

Hal ini juga disampaikan dalam pendapat lainnya bahwa, “Terkait malam nishfu Sya’ban, dahulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu” (Lathaiful Ma’arif, 247)

Sikap Terhadap Malam Nisfu Sya’ban

Ada beberapa hal yang bisa diambil terhadap keutamaan malam nisfu sya’ban, baik yang sepakat atau tidak sepakat adanya keutamaan di dalam malam tersebut.

  1. Bersikap Atas Dalil Bukan Kelompok/Golongan

Terhadap malam nisfu sya’ban tentunya tidak semua ulama memiliki pendapat yang sama. Untuk itu, jikapun menjalankan nisfu sya’ban ataupun tidak maka yang menjadi dasar adalah dalil yang kuat dan pendapat yang kuat bukan atas dasar ikut-ikutan kelompok atau golongan.

Umat islam harus mengikuti pendapat yang benar dan dapat dipertanggungjawabkkan bukan atas dasar golongan semata apalagi sampai pada tindakan mengkafirkan atau mengklaim muslim lainnya seenaknya. Tentu sikap seperti ini mengajarkan bahwa umat islam harus benar-benar memahami islam berdasarkan dalil dan pertanggungjawaban yang ilmiah, bukan hawa nafsu kelompok atau golongan semata (ashobiyah).

Pengertian Ukhuwah Islamiyah, Insaniyah dan Wathaniyah tentunya harus menjadi pegangan umat islam, bukan hanya kepentingan kelompok. Selagi bukan Ciri-Ciri Aliran Sesat Menurut Islam tentu saja masih saudara dan semuslim.

  1. Sikap Jangan Sampai Memecah Belah

Sikap yang kita ambil terhadap Nisfu sya’ban jangan sampai membuat perpecahan di kalangan umat islam. Hal ini membuat umat islam semakin jauh dan terpecah hanya karena persoalan khialfiyah yang sama-sama mendasarkan pada dalil atau pendapat.

Selagi masih berpegang teguh pada rukun islam dan rukun iman, Fungsi Iman Kepada Kitab Allah, dan Fungsi Iman Kepada Allah SWT tentu hendaknya umat islam bisa memahami hal tersebut dan tetap menjaga ukhuwah islamiyah di dalamnya.

  1. Beribadah Secara Istiqomah Bukan Saat-saat tertentu saja

Walaupun terdapat keutamaan nisfu sya’ban, hal ini tidak mengurangi semangat kita beribadah di waktu-waktu lainnya. Begitupun juga tidak perlu mengurangi semangat kita beribadah di malam tersebut, bagi yang tidak meyakini adanya keutamaan.

Allah senantiasa melihat atas dasar niat dan keisitoqmahan kita bukan hanya pada waktu-waktu tertentu. Begitupun sama seperti bulan Ramadhan, yang dilihat adalah output atas keisitiqomahan kita menjalankan ibadah dan menaahan hawa nafsu bukan saat Ramadhan saja. Melainkan di waktu-waktu yang lainnya.

Semoga umat islam senantiasa mengikuti ibadah atas dasar contoh dan sunnah Rasulullah SAW. Umat islam juga bisa menjalankan sunnah rasul lainnya, seperti : Sunnah Rasul Malam Jumat cara makan Rasulullah , cara mandi dalam Islam , macam -macam shalat sunnah , adab ziarah kubur, dsb sebagai bentuk fungsi iman kepada Allah SWT dan manfaat beriman kepada Allah SWT.

The post Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bid’ah dalam Islam – Pengertian, Jenis, dan Cara Menghindarinya https://dalamislam.com/dasar-islam/bid-ah-dalam-islam Thu, 23 Mar 2017 06:05:54 +0000 http://dalamislam.com/?p=1400 Dalam islam, segala aktivitas dan ibadah yang kita jalankan haruslah sesuai dengan garis yang telah Allah tetapkan dalam Al-Quran atau apa yang telah Nabi contohkan melalui Sunnahnya. Tentu saja hal ini agar manusia tidak sembarangan dalam melaksanakan perintah Allah atau merubah-rubah sesuai dengan keinginan dirinya sendiri. Di dalam islam sendiri telah ada rukun iman, rukun islam, […]

The post Bid’ah dalam Islam – Pengertian, Jenis, dan Cara Menghindarinya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam islam, segala aktivitas dan ibadah yang kita jalankan haruslah sesuai dengan garis yang telah Allah tetapkan dalam Al-Quran atau apa yang telah Nabi contohkan melalui Sunnahnya. Tentu saja hal ini agar manusia tidak sembarangan dalam melaksanakan perintah Allah atau merubah-rubah sesuai dengan keinginan dirinya sendiri.

Di dalam islam sendiri telah ada rukun iman, rukun islam, Iman dalam Islam, Hubungan Akhlak Dengan Iman Islam dan Ihsan, dan Hubungan Akhlak dengan Iman yang memandu agar umat islam tidak terjebak pada ibadah yang salah.

Untuk itu, muncul istilah bid’ah sebagai bentuk perbuatan yang tidak dicontohkan Rasulullah atau terdapat dalam aturan islam khususnya dalam masalah ibadah yang berhubungan langsung kepada Allah SWT. Berikut adalah permasalahan bid’ah dalam islam, yang dapat diketahui oleh umat islam secara umum.

Pengertian Bid’ah

Menurut Imam Asy-syatibi, bid’ah adalah bentuk ibadah atau perilaku yang menyerupai ajaran agama islam namun tidak sesuai dengan syariat atau tidak terdapat dalilnya secara tepat. Adapun pengertian lain dari bid’ah yaitu mengada-ngada bentuk ibadah atau syariat agama. Tentu saja, hal ini tidak diperbolehkan dalam islam.

Umat islam tentunya menjalankan ibadah dengan benar sesuai tuntunan syariah agar dapat menjalankan tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama. Bid’ah tentunya dapat merusak hal tersebut.

Dalam pelaksanaanya, bid’ah memiliki dua bagian perilaku. Perbuatan bid’ah bisa masuk dalam bentuk kebiasaan atau tradisi atau juga dalam bentuk pelaksanaan agama islam. Perbuatan bid’ah yang masuk dalam kebiasaan atau tradisi tidak semuanya diharamkan atau dilarang, selagi tidak melanggar prinsip dasar islam atau agama. Misalnya saja penemuan baru IPTEK atau mengembangkan teknologi. Hal ini pada dasarnya adalah mubah.

Dalam bi’dah agama atau pelaksanaan dien islam, tentu hal ini dilarang atau diharamkan. Hal ini sebagaimana yang pernah Rasulullah sampaikan : “Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan urusan tersebut, maka perbuatannya akan tertolak atau diterima.”

Di dalam hadist lain, Rasulullah pun pernah menyampaikan bahwa pelaku bi’dah yang amalannya tidak didasarkan kepada urusan kami (agama islam, sunnah Rasulullah) maka perbuatannya akan ditolak.

Jenis-Jenis Bid’ah

Untuk lebih memahami mengenai bid’ah maka ada beberapa jenis bid’ah dan yang tergolong ke dalam aktivitas bid’ah. Bid’ah ini sebagaimana disebutkan di atas terdiri dari dua macam salah satunya adalah bid’ah yang dilakukan berhubungan dengan islam.

Bid’ah Ad-Dien Islam terdiri dari dua macam yaitu bid’ah qualiyah i’tiqadiyah dan bid’ah fil ibadah. Untuk Bid’ah Ibadah sendiri terdiri dari 2 jenis yaitu yang berhubungan dengan pokok ibadah dan juga yang berkaitan dengan penambahan ibadah.

  1. Bid’ah Qauliyah Itiqadiyah

Bid’ah ini adalah bentuk bid’ah yang berbentuk keyakinan dari ucapan-ucapan yang disebutkan oleh kelompoknya atau golongannya. Akan tetapi, tentu saja perkataan-perkataan mereka tidak selalu benar dan bisa bernilai sesat.

  1. Bid’ah Menambah Ibadah

Bid’ah ini berkaitan dengan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah dalam tuntunan islam atau panduan sunnah Rasul. Pada dasarnya, bid’ah ini adalah pelaksanaan yang tidak sesuai dengan pelaksanaan syariat islam. Pelaksanaan syariat islam tentu saja dibutuhkan agar umat islam tidak sembarangan atau tanpa tuntunan dalam menjalankan ibadah.

Jenis Bid’ah Dalam Ibadah

Bid’ah dalam ibadah sering kali terjadi, khususnya bagi mereka yang kurang ilmu atau tidak memahami konsep ibadah dalam islam secara umum. Dalam bid’ah ibadah contohnya disebutkan dibawah ini.

  1. Bid’ah Yang Berhubungan dengan Pokok Ibadah

Bidah yang berkaitan dengan pokok-pokok ibadah adalah bi’dah yang mengadakan ibadah tanpa ada dasar dalam islam atau syariat islam. Dalam hal ini, islam tidak pernah mengadakan bentuknya namun dibentuk sendiri oleh manusia atau kebiasaan budayanya. Misalnya saja seperti perayaan hari ulang tahun, shalat yang tidak ada sunnah-nya, atau perayaan har besar yang tidak ada dalam islam.

  1. Bid’ah yang Menambah-Nambah Ibadah

Bid’ah ini adalah bid’ah yang melakukan tambahan-tambahaan ibadah padahal tidak ada dalam Al-Quran dan Sunah. Misalnya saja menambah rakaat shalat wajib, melakukan shalat sunnah di luar waktu yang sudah ditentukan, dan lain sebagainya. Bid’ah ini tentu dilarang dan diharamkan, karena islam sudah menetapkan aturan baku secara jelas mengenai hal tersebut.

  1. Bid’ah Pada Sifat Ibadah

Bid’ah ini misalnya saja pelaksanaan zikir yang dilakukan dengan suara kencang, berjamaah, atau sampai ribuan kali hingga mezalimi diri sendiri. Zikir adalah perintah Allah agar umat islam bisa mengingat dan menghayati kebesaran Allah, bukan malah menzalimi diri. Karena hakikat manusia beribadah sejatinya agar manusia bisa berjuang dan hidup di dunia untuk bekal di akhirat semaksimal mungkin.

  1. Bid’ah untuk Mengkhususkan Ibadah

Bid’ah ini contohnya adalah pelaksanaan nisfu sya’ban yang dilakukan tanggal 15 bulan sya’ban. Pelaksanaan ini tentu saja tidak berdasarkan pada ajaran agama islam, karena Rasulullah sendiri tidak pernah mensyariatkannya. Untuk bisa mengkhususkan sesuatu tentu saja membutuhkan dalil, tidak bisa sembarangan.

Agar Tidak Terjebak Bid’ah

Sebagai umat islam, tentu saja kita mengingakan agar ibadah kita dapat diterima sempurna oleh Allah SWT. Untuk itu, umat islam harus bisa memahami bagiamana cara agar tidak terkena ibadah atau perilaku bid’ah yang bisa menolak ibadha kita. Beirikut adalah cara agar tidak terjebak pada bid’ah dalam ibadah.

  1. Memahami Substansi Ibadah

Sebelum menjalankan ibadah, tentu kita harus memahami terlebih dahulu substansi dari ibadah yang akan kita laksankaan. Hal ini supaya kita mengetahui ibadah kita tersebut apa tujuan dan fugsinya yang dimaksudkan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Dengan Memahami Subsntasinya kita tidak akan salah jalan dan selalu berada dalam jalur ibadah tersebut.

  1. Melengkapi Ilmu Pengetahuan dengan Dalil

Agar tidak terjebak juga pada bid’ah maka sebaiknya ketika mempelajari masalah ibadah kita senantiasa menjaga ilmu pengetahuan tersebut dengan dalil yang sah dan benar. Pengetahuan islam mengenai ibadah yang tanpa dalil akan membuat kita

  1. Menanyakan Ibadah Kepada Ahlinya

Dalam menjalankan perintah Allah, tentu saja tidak boleh sembarangan. Untuk itu, jika ada informasi atau pengetahuan ibadah yang tidak kita ketahui maka tanyakanlah kepada ahlinya yang benar-benar memiliki pengetahuan dan kredibilitas. Hal ini menghindarkan kita dari para ulama yang asal-asalan dalam memahami ilmu.

  1. Selalu Mempelajari Lebih Dalam Masalah Agama

Walaupun seorang muslim bukanlah ulama, mempelajari lebih dalam soal agama adalah kewajiban. Orang yang menjalankan bid’ah biasanya karena memang ia tidak memahami dan mempelajarinya lebih mendalam. Untuk itu, selalu  memperdalam masalah agama adalah hal yang harus dilakukan untuk menghindari bid’ah.

  1. Tidak Tergesa-Gesa

Tidak tergesa-gesa dalam menerapkan agama artinya bukan menunda-nunda namun selalu mengkroscek dan mencari sumber pengetahuan yang lebih mendalam lagi. Tidak mudah mempercayai dari apa yang disampaikan terutama oleh orang yang dalam ilmunya mengenai agama.

Semoga kita dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW agar hidup kita dapat mencapai  sukses di Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam yang diridhoi Allah SWT.

The post Bid’ah dalam Islam – Pengertian, Jenis, dan Cara Menghindarinya appeared first on DalamIslam.com.

]]>