ekonomi islam Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/ekonomi-islam Mon, 10 Apr 2023 07:40:38 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png ekonomi islam Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/ekonomi-islam 32 32 Riba, Gharar, dan Maisir Dalam Ekonomi Islam : Pengertian dan Contohnya https://dalamislam.com/info-islami/riba-gharar-dan-maisir-dalam-ekonomi-islam Mon, 10 Apr 2023 07:40:36 +0000 https://dalamislam.com/?p=12361 Ekonomi mempunyai Kedudukan Harta Dalam Ekonomi Islam dan Kehidupan Manusia yang tinggi dalam islam. Maka dari itu, muncullah ekonomi syariah atau ekonomi islam yang menjelaskan aturan tentang kegiatan ekonomi sesuai dengan syariat islam. Kita ketahui bahwa ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Maka dari itu, setiap negara harus memajukan perekonomiannya, baik pendidikan, sosial, teknologi, […]

The post Riba, Gharar, dan Maisir Dalam Ekonomi Islam : Pengertian dan Contohnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ekonomi mempunyai Kedudukan Harta Dalam Ekonomi Islam dan Kehidupan Manusia yang tinggi dalam islam. Maka dari itu, muncullah ekonomi syariah atau ekonomi islam yang menjelaskan aturan tentang kegiatan ekonomi sesuai dengan syariat islam.

Kita ketahui bahwa ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Maka dari itu, setiap negara harus memajukan perekonomiannya, baik pendidikan, sosial, teknologi, dan lain lain.

Apa Itu Ekonomi Islam

Ekonomi Islam adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya dan untuk mencapai falah berdasarkan prinsip Sunnah dan Al Quran. Jadi, dalam 5 Asas Sistem Ekonomi Islam itu bagaimana manusia dalam mengatur, mengalokasikan, dan mengelola sumber daya yang dimiliki untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berikut, Terdapat 3 istilah dalam ekonomi islam, yaitu Riba, Gharar, dan Maisir.

MAYSIR

Maisir atau Qimar adalah suatu bentuk permainan yang di dalamnya diberikan syarat apabila seorang pemain menang, maka ia akan mengambil keuntungan dari pemain yang kalah, begitu pula sebaliknya.

Contoh Maisir adalah aktivitas permainan judi yang termasuk dalam kategori yang dilarang dalam islam, selain itu misalnya ada undian SMS berhadiah dan kuis berbasis telepon. Mengenai Hukum Undian dalam Islam Beserta Dalil yang berkaitan hal ini sudah terdapat dalil Al-Qur’an yang melarang maisir dalam QS. Al Maidah : 90 berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah:90)

GHARAR

Gharar adalah sebuah transaksi bisnis yang didalamnya tidak terdapat kejelasan bagi para pihak, seperti kualitas, kuantitas, fisik barang, waktu penyerahan, bahkan barang yang menjadi objek transaksinya masih bersifat spekulatif. Ketidakpastian ini melanggar prinsip syariah, dimana dalam ekonomi islam idealnya adalah harus transparan dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.

Dengan demikian, Islam memandang bahwa Gharar adalah hal yang merugikan khususnya bagi pembeli. Karena tidak ada transparansi dalam prosesnya. Apabila konsumen sudah membayar terlebih dahulu tanpa melihat pesananannya, dan barangnya tidak sesuai dengan keinginanannya maka ini akan menimbulkan kerugian bagi pembeli.

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah ‎kalian memakan harta-harta kalian di antara ‎kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan ‎perdagangan yang kalian saling ridha. Dan ‎janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, ‎sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang ‎kepada kalian. (Q.S. An-Nisa ayat 29).

Contoh Gharar dalam Islam

Menurut penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa melakukan jual beli dengan unsur gharar tidak diperbolehkan dalam islam. Karena telah melanggar ajaran islam, Anda perlu mengantisipasinya dengan contoh transaksi gharar berikut ini.

  • Jual Beli Benda yang Tidak Diserahterimakan

Ketika penjual tidak tahu kapan ia bisa menyerahkan objek transaksi kepada pembeli, misalnya jual beli motor yang tidak bisa diserahkan pemiliknya karena dicuri.

  • Jual Beli Benda yang Belum Ada

Contoh jual beli gharar adalah ketika objek transaksi yang dijual belum tersedia. Contohnya membeli burung, sedangkan tidak jelas apakah penjual sudah menyediakan burung sesuai pesanan atau tidak.

  • Jual Beli Benda yang Tidak Jelas Harganya

Pada unsur gharar ini adalah dari nominal harga objek transaksi. Misalnya, hari ini, sepasang sepatu merek A dijual dengan harga Rp1.5 juta apabila dibayar lunas. Namun jika Anda membeli besok, harganya naik menjadi Rp2 juta per pasang.

RIBA

Kemudian adalah Riba, yang mungkin sudah tidak asing Anda dengar. Dari istilah bahasa sama dengan “Ziyadah” yaitu artinya tambahan, sedangkan menurut istilah teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok (modal) secara bathil.

Alasan Mengapa Riba Diharamkan dan Patut Dihindari Terdapat perbedaan pendapat dalam menjelaskan riba, umumnya Riba penambahan dalam hutang yang setiap penambahan dalam hutang itu baik itu banyak maupun sedikit tetap diharamkan.

Landasan mengenai Riba ini sudah ada dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ( 4 ) ayat 29 yang berarti :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil”.

Adapun yang dimaksud dengan jalan yang bathil dalam hal ini yaitu pengambilan tambahan dari modal pokok tanpa ada imbalan pengganti (kompensasi) yang dapat dibenarkan oleh Syar’i.

Salah satu contoh riba yang banyak terjadi dalam keseharian yaitu jual beli mobil baru dengan skema kontan dan kredit. Semisal, harga mobil baru jika dibeli secara tunai Rp 150 juta, sedangkan secara kredit Rp 200 juta. Berikut ini adalah Jenis Riba dalam Islam dan Dalil Pelarangannya.

Al-Quran Surat Ar-Rum ayat 39

وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 278-280

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَاإِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَوَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

The post Riba, Gharar, dan Maisir Dalam Ekonomi Islam : Pengertian dan Contohnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
5 Larangan Dalam Islam Tentang Ruang Lingkup Ekonomi Islam https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/larangan-dalam-islam-tentang-ruang-lingkup-ekonomi-islam Mon, 20 Mar 2023 04:08:40 +0000 https://dalamislam.com/?p=12299 Dalam islam terdapat pemahaman lebih mengenai dunia perekonomian. Ekonomi islam menjadi bentuk keterlibatan dalam Kerja Sama Dalam Ekonomi Islam seperti dasarnya  menyesuaikan dalam ajaran islam. Ekonomi islam merupakan sistem ekonomi yang mencangkup kepemilikan, penggunaan, dan pendistribusian sumber daya ekonomi dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, kebersamaan, dan keseimbangan. Hal itu bisa menghadirkan prinsip utama dari ekonomi islam. […]

The post 5 Larangan Dalam Islam Tentang Ruang Lingkup Ekonomi Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam islam terdapat pemahaman lebih mengenai dunia perekonomian. Ekonomi islam menjadi bentuk keterlibatan dalam Kerja Sama Dalam Ekonomi Islam seperti dasarnya  menyesuaikan dalam ajaran islam.

Ekonomi islam merupakan sistem ekonomi yang mencangkup kepemilikan, penggunaan, dan pendistribusian sumber daya ekonomi dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, kebersamaan, dan keseimbangan. Hal itu bisa menghadirkan prinsip utama dari ekonomi islam.

Seperti, keadilan dalam perdagangan, kepemilikan bersama, dan penghindaran dari riba (bunga) itu sendiri. Masih dalam kepemahaman terhadap ekonomi islam, dijelaskan pula bahwa dalam ekonomi islam memiliki praktik yang sudah ditetapkan.

Meliputi :

  • Zakat (pembayaran wajib dari harta)
  • Waqaf (pendirian yayasan atau badan amal),
  • Infaq (sumbangan sukarela)
  • Musyarakah (kerja sama bisnis), dan lainnya.

Konsep dari ekonomi islam sendiri, mencerminkan cara pandang islam yang komprehesif serta mencangkup aspek ekonomi, sosial, moral, dan spiritual.

Hal ini membentuk potensi dalam pemberian solusi alternatif terhadap masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat kaman sekarang, dan cara terbaik yang dilakukan adalah memberikan inspirasi dalam menciptakan sistem (ekonomi) yang adil dan berkelanjutan.

Dengan ini pula, Islam memiliki beberapa larangan dalam ruang lingkup ekonomi yang perlu diperhatikan, khususnya Umat Islam. Antara lain:

1. Riba

Riba, karena dianggap sbagai bentuk ketidakadilan yang bisa merugikan pihak bawah dalam melakukan tranksaksi. Hal tersebut, Islam memberikan alternatif dalam bentuk profit-sharing dan rent-sharing ketika melakukan transaksi.

إن الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند اللهفي الخطيئة من ست وثلاثين زنية يزيها الرجل 

Artinya:

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya satu dirham yang didapatkan seorang Iaki-laki dari hasil riba Iebih besar dosanya di sisi Allah daripada berzina 36 kali.”  (HR Ibnu Abi Dunya).

2. Maysir

Maysir bisa sangat merugikan pihak bawah dalam melakukan transaksi, juga bisa merusak nilai-nilai norma dalam masyarakat.

Dalil larangan praktik maysir ada pada Surah Al-Maidah (5) ayat 90 yang menggambarkan maysir sebagai judi dan mengundi nasib dengan anak panah. Kemudian pelarangan tersebut ditegaskan dalam HR Riwayat Bukhari & Muslim bahwa ketika seorang muslim berkata “Mari aku bertaruh denganmu” maka setelahnya ia harus bersedekah.

Para ulama menafsirkan hadits ini sebagai larangan maysir karena setelah umat muslim mengajak bertaruh, mereka harus memberikan “kafarat” atau sejumlah denda yang harus ditunaikan karena perbuatan dosa agar tertutup dan dampak negatifnya tidak menimpa kita di dunia maupun akhirat.

3. Gharar

Gharar, karena mengandung ketidakpastian yang berlebihan, sehingga praktik ini di anggap bisa merusak stabilitas keuangan dan sosial.

Larangan gharar tertuang dalam Surat An Nisa ayat 29 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

Menurut Surat Al Baqarah ayat 188, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Secara garis besar, kedua surat Al-Quran tersebut menjelaskan adanya larangan tentang tidak boleh saling memakan atau mengambil atau harta seseorang dengan cara yang bathil.

4. Monopoli

Monopoli, karena bisa merugikan konsumen dan merusak persaingan sehat antar pasar. Monopoli ini hukumnya Haram, karena bagaimanapun transaksi melibatkan yang tidak halal, jelas semua akan dilarang dalam islam.

Rasulullah SAW bersabda: “Man-ikhtakara fahuwa khaa-ith,”. Yang artinya: “Barangsiapa yang menimbun barang (melakukan monopoli), maka ia berdosa,”

5. Ghibah

Ghibah bisa merusak persosialisasian saat melakukan jual-beli barang dengan mencela orang lain atau merendahkan pihak-pihak tertentu. Pahala Bagi Orang Yang Dighibah adalah bahwa kelak di hari kiamat, pada waktu dilakukan hisab, pahala orang yang mendzalimi akan diberikan kepada orang yang didzalimi sampai kedzaliman itu habis.

“Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah SWT akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (malakukan sesuatu yang dapat membebaskannya)” (HR. Ahmad).

Jadi, Anda yang merasa telah dighibahi tidak perlu merasa resah apalagi bersedih hati karena ada pahala bagi orang yang dighibah. Dan tidak perlu juga untuk balas mengghibahi orang tersebut. Ikhlaslah dan tawakal hanya kepada Allah, insya Allah akan dibalas dengan pahala.

Contoh ruang lingkup ekonomi islam yang di larang

Keenam larangan di atas, tentu saja berpengaruh pada jaminan keadilan saat melakukan transaksi. Penerapan larangan ini, bisa membantu menciptakan sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan untuk semua pihak. Dalam sistem ekonomi islam, pelanggaran bisa dilakukan dari berbagai pihak. Berikut contohnya.

  • Individu yang melakukan riba atau bunga saat melakukan transaksi,
  • Pemerintah yang tidak adil dalam menetapkan kebijakan ekonomi (subsidi),
  • Lembaga keungan yang mempraktikan riba dalam produk dan layanannya,
  • Perusahan atau nonperusahaan yang memanipulasi pasar dengan melakukan praktik monopoli,
  • Produsen atau distributor yang menipu konsumen dengan menawarkan produk tidak layak pakai,
  • Lembaga atau non yang memanfaatkan tenaga kerja dengan tidak adil (upah rendah, dll),
  • Perusahaan atau individu yang merusak lingkungan dalam produksi barang dan jasa.

Pentingnya dalam kita selalu mengedepankan nilai moral saat transaksi adalah bisa memperoleh keberkahan dari ridha Allah SWT. Setiap orang memiliki jalan dan keputusan masing-masing ketika mereka dihadapkan dengan halal-haram.

Tapi, semua ini tergantung dari bagaimana cara mereka memilih lingkungan, diri sendiri, dan ketidaktahuan. Tentunya, dengan kita selalu mengikuti apa yang dihalalkan, dampak baiknya adalah semua itu akan kembali kepada diri kita. Jadi, bila kita sudah keluar dari apa yang sudah ditetapkan, maka hal tersebut akan membuat ybs sulit untuk menghalalkan sesuatu.

Kembali dalam pembahasan larangan dari kepercayaan islam sendiri, tujuan islam memiliki banyak larangan yang di atur adalah untuk melindungi kesejahteraan dan kepentingan umat manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa, selain menjaga apa yang sudah diharuskan, agama sendiri menjadi keseimbangan dalam kehidupan manusia setiap memenuhi kebutuhan.

The post 5 Larangan Dalam Islam Tentang Ruang Lingkup Ekonomi Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Sedekah Kepada Orang Kaya, Siapa Orang yang Berhak Menerima Sedekah? https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-sedekah-kepada-orang-kaya Thu, 12 May 2022 07:21:36 +0000 https://dalamislam.com/?p=10332 Sedekah dalam Islam adalah bentuk amalan yang memiliki pahala besar. Seorang muslim yang menyedekahkan harta bendanya sebagian akan mendapat pahala berlipat ganda dan Allah SWT tidak akan mengurangi harta bendanya sama sekali melainkan akan dilipat gandakan lagi. Biasanya penerima harta sedekah adalah orang yang kurang mampu yang membutuhkan bantuan dari kita. Lantas bagaimana jika kita […]

The post Hukum Sedekah Kepada Orang Kaya, Siapa Orang yang Berhak Menerima Sedekah? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sedekah dalam Islam adalah bentuk amalan yang memiliki pahala besar. Seorang muslim yang menyedekahkan harta bendanya sebagian akan mendapat pahala berlipat ganda dan Allah SWT tidak akan mengurangi harta bendanya sama sekali melainkan akan dilipat gandakan lagi.

Biasanya penerima harta sedekah adalah orang yang kurang mampu yang membutuhkan bantuan dari kita. Lantas bagaimana jika kita bersedekah kepada orang kaya yang mampu dan bagaimana Islam memandang fenomena ini?

Sebelum membahas mengenai apa hukum bersedekah kepada orang kaya, kita akan membahas mengenai apa itu sedekah dan orang yang berhak menerima sedekah.

Sedekah adalah memberikan sebagian harta kita dengan mengharap ridha Allah SWT. Sedekah bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Sedekah merupakan amal shaleh yang ganjarannya sangat besar yang diberikan Allah SWT kepada pelakunya, Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah,

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya : “Perumpamaan golongan yang membelanjakan harta mereka di jalan Allah adalah seperti satu biji benih yang menumbuhkan tujuh batang tangkai. Dan di setiap satu batang tangkai itu terdapat seratus biji benih. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki dan Allah itu Maha Memberi Keluasan lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2 : 261).

Biasanya orang yang menerima sedekah adalah orang yang kurang mampu atau fakir dan miskin karena mereka merupakan golongan yang memang memerlukan bantuan. Dalam sudut pandang zakat pun, yang berhak menerima sedekah adalah orang yang mempunyai anafnya sendiri.

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surah Al-Baqarah,

وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ

Artinya : “Dan sekiranya kamu menyembunyikan (sedekah) dan memberikan sedekah kepada golongan fakir, maka itu aadalah lebih baik buat kamu serta akan menghapus dosa-dosa kamu.” (QS. Al-BAqarah 2 : 271).

Adapun orang-orang yang berhak menerima sedekah adalah antara lain sebagai berikut :

  • Anak-anaknya
  • Orang tua
  • Kerabat dekat
  • Anak yatim
  • Orang miskin, dan
  • Musafir

Itu lah orang-orang yang berhak menerima sedekah dan orang kaya tidak termasuk ke dalam orang-orang yang menerima sedekah karena mereka adalah golongan orang yang bisa menafkahi dan sanggup atas kebutuhan apapun.

Menurut Imam al-Nawawi mengatakan bahwa, Halal (dibolehkan) untuk bersedekah sunat kepada golongan kaya tanpa khilaf (akan keharusannya di sisi para ulama). Maka, boleh untuk memberikan (sedekah) kepada golongan kaya dan diberi pahala kepada yang memberi sedekah tersebut. Akan tetapi (sedekah yang diberikan kepada) golongan yang memerlukan adalah lebih afdal. Para ashab kami berkata : “Dan disunatkan bagi orang yang kaya membersihkan diri (daripada mengambilnya) serta dimakruhkan untuk berusaha ke arah mendapatkannya.”

Jadi hukum bersedekah kepada orang kaya dibolehkan, hanya saja lebih afdal jika diberikan kepada orang fakir dan miskin yang lebih membutuhkan. Karena tujuan dari sedekah adalah membantu meringankan beban seseorang yang sedang kesulitan, baik dari segi finansial dan material.

Bersedekah kepda orang kaya juga merupakan pelajaran agar mereka sadar terhadap kepentingan orang lain bukan hanya keperluan diri sendiri saja. Dari situ timbul perilaku atas perbuatan sedekah yang menyadarkan mereka.

Sedekah juga bisa membuat kita belajar, seperti dikutip dalam hadits, mengatakan bahwa, “Sedekah kamu kepada pencuri itu mudah-mudahan akan menyebabkan dia berhenti mencuri. Sedekah kepada pezina pula mudah-mudahan menyebabkan dia berhenti dari perbuatan zina. Manakala sedekah kepada orang kaya pula mudah-mudahan dia akan mengambil penganjaran, lalu dia juga turut membelanjakan apa yag telah Allah kurniakan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari).

Jadi bisa disimpulkan bahwa sedekah kepada orang kaya adalah boleh dan tidak ada larangannya. Malah bisa membuat mereka menggerakan hatinya untuk mengikuti sedekah karena sesungguhnya perbuatan sedekah adalah sebuah anjuran bagi seorang mukmin.

Sesuatu yang dilakukan dengan kebaikan akan mendapatkan kebaikan pula kelak, dan tidak ada yang sia-sia atas harta yang diberikan atas dasar mengharap ridha Allah SWT.

Siapapun sasaran sedekahnya, tidak akan mengurangi harta dari keluarnya bersedekah tersebut. Dan harta yang keluar dari kantong kita dengan tujuan bersedekah tidak akan membuat kita menjadi manusia miskin. Salah satu ayat yang menerangkan keutamaan sedekah ada dalam firman Allah SWT surah Saba’,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Artinya : “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’ : 39)

Sedekah pun tidak harus dalam wujud uang bisa dalam wujud tenaga atau jasa. Sedekah dalam bentuk uang bisa meringankan beban ekonomi seseorang, sedangkan sedekah tenaga atau jasa bisa membantu meringankan masalah seseorang.

Sedekah kepada orang kaya pun bisa jadi bukan perkara uang saja, namun sedekah tenaga dan jasa. Karena tidak perlu menjadi kaya (bermateri) untuk bisa sedekah, namun karena bersedekahlah kita akan dikayakan oleh Allah SWT.

Semoga Allah SWT memberikan kita semua rejeki yang cukup agar senantiasa dipermudah dalam menebarkan kebaikan.

The post Hukum Sedekah Kepada Orang Kaya, Siapa Orang yang Berhak Menerima Sedekah? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
4 Prinsip Rasulullah dalam Berdagang https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/prinsip-rasulullah-dalam-berdagang https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/prinsip-rasulullah-dalam-berdagang#respond Wed, 03 Feb 2021 12:25:55 +0000 https://dalamislam.com/?p=8918 Seperti dikutip dari buku Muhammad: Business Strategi dan Ethics, Etika dan Strategi Bisnis Nabi Muhammad SAW oleh M. Suyanto, Rasulullah SAW mengajarkan jual beli yang halal dan terhindar dari hal-hal yang syubhat (dipertanyakan kehalalan dan keharamannya) apalagi yang haram. Pernah suatu waktu Rasulullah SAW ditanya, أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ […]

The post 4 Prinsip Rasulullah dalam Berdagang appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Seperti dikutip dari buku Muhammad: Business Strategi dan Ethics, Etika dan Strategi Bisnis Nabi Muhammad SAW oleh M. Suyanto, Rasulullah SAW mengajarkan jual beli yang halal dan terhindar dari hal-hal yang syubhat (dipertanyakan kehalalan dan keharamannya) apalagi yang haram.

Pernah suatu waktu Rasulullah SAW ditanya,

أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

Pekerjaan apa yang terbaik, Ya Rasulallah?”

Nabi menjawab, “Pekerjaan yang paling baik ialah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perniagaan yang baik” (Ahmad Baihaqi)

Nabi Muhammad SAW di masa mudanya, merupakan pedagang yang terkenal. Jaringan bisnisnya tidak hanya sebatas regional Makkah saja, bahkan lintas negara.

Kesuksesannya berdagang patut dikaji dan diamalkan khususnya untuk umat muslim, agar profesi berdagang tidak hanya mendatangkan kemaslahatan di dunia tetapi juga keselamatan di akhirat.

Tuntunan Rasulullah ini dapat memberikan teladan bagi yang mungkin baru memulai berdagang. Maka dari itu, ada baiknya para pemula memperhatikan terlebih dahulu seperti apa Rasulullah berdagang pada saat itu. Mulai dari sikap yang ditunjukkan saat berdagang hingga cara Rasul mengatur perniagaannya.

Selengkapnya, di bawah ini merupakan prinsip berdagang ala Nabi Muhammad SAW:

1. Shidiq

Dalam hal apapun, Rasulullah SAW dikenal dengan kejujurannya, apalagi di dunia perdagangan. Beliau tidak pernah mengurangi takaran dagangannya, menipu atau berbuat curang, malah terkadang memberikan bonus agar pembeli senang dengan pelayanannya.

Kelebihan maupun kekurangan pada kondisi barang dagangannya pun selalu beliau katakan ke pembeli. Karena kejujurannya itu, sampai akhirnya Rasulullah diberikan julukan al amin artinya seseorang yang dapat dipercaya. Padahal pada saat itu beliau belum diutus Allah menjadi nabi.

Rasulullah pernah bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ

“Sesungguhnya golongan pedagang akan dibangkitkan saat hari kiamat sebagai penjahat kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur” Hadits riwayat Tirmidzi.

2. Amanah

Sudah barang tentu pedagang mengharapkan keuntungan dalam usahanya. Namun, masih banyak pedagang yang mengambil laba yang sangat tinggi tanpa memikirkan pembeli.

Selama berdagang, Nabi Muhammad SAW memberitahu harga pokok dengan jujur ketika ditanya pembeli. Sebab, cara berdagang Rasulullah tidak hanya semata untuk mencari keuntungan, tapi juga menerapkan perilaku yang baik dalam berdagang, sehingga tercipta persaingan usaha yang sportif.

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat” (QS. asy-Syuraa: 20)

3. Tabligh

Ketika Rasulullah mendapati barang yang dijual memiliki cacat, maka beliau akan menjelaskan kekurangan dari barang tersebut, bukan malah menutup-nutupinya karena akan merugikan pembeli.

Oleh karena itu, selain selalu menjaga kualitas barang dagangannya, Rasulullah juga selalu menyampaikan bagaimana kondisi barang yang dijual dengan apa adanya.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Ibn Majah, suatu ketika Uqbah bin Amir pernah mendengar Rasulullah berkata,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual barang yang ada cacatnya kepada saudaranya, kecuali jika dia mejelaskan (kekurangan itu)”. (HR. Ibn Majah)

4. Fathanah

Kreatif dan tidak mudah putus asa adalah sikap yang sangat diperlukan ketika menjalankan usaha apa saja, termasuk berdagang. Seorang pedagang tidak akan berhasil jika kurang kreatif dan sangat mudah putus asa.

Perlu diingat, dalam setiap usaha selalu membutuhkan proses. Apalagi dalam perjalanannya, akan banyak hambatan yang akan menghadang. Begitu juga dengan berdagang. Mungkin kita butuh waktu panjang untuk mendapat keuntungan yang baik dan cukup secara finansial.

Tetapi yang perlu diingat adalah terus berusaha dan tidak gampang putus asa. Apalagi Allah sudah menjanjikan nikmat dan rahmat bagi hambanya yang terus berusaha.

وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“…Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87)

Selain dari keterangan di atas, tentu masih banyak dari sifat Nabi Muhammad SAW yang dapat dijadikan tuntunan khususnya dalam hal perdagangan.

Maka yang harus kita lakukan adalah terus menggali bagaimana Rasulullah berniaga, sembari terus menerapkan tata cara berdagang yang sesuai dengan ketentuan Islam.

The post 4 Prinsip Rasulullah dalam Berdagang appeared first on DalamIslam.com.

]]>
https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/prinsip-rasulullah-dalam-berdagang/feed 0
Pengelolaan Baitul Maal pada Masa Rasulullah https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/pengelolaan-baitul-maal-pada-masa-rasulullah https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/pengelolaan-baitul-maal-pada-masa-rasulullah#respond Tue, 02 Feb 2021 04:09:24 +0000 https://dalamislam.com/?p=8891 Di masa Nabi Muhammad SAW, pemerintahan memiliki badan administratif untuk mengurus kepentingan umum, diantaranya yaitu: Pemimpin adalah Rasulullah SAW sendiri, dibantu oleh sahabat atau murid beliau. Panglima Perang. Kadang Rasulullah SAW langsung seperti dalam beberapa peperangan. Industri, seperti pembuatan mimbar dan lain sebagainya. Peradilan, termasuk di dalamnya hisbah. Baitul Maal, yaitu lembaga yang mengurusi pendapatan […]

The post Pengelolaan Baitul Maal pada Masa Rasulullah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Di masa Nabi Muhammad SAW, pemerintahan memiliki badan administratif untuk mengurus kepentingan umum, diantaranya yaitu:

  • Pemimpin adalah Rasulullah SAW sendiri, dibantu oleh sahabat atau murid beliau.
  • Panglima Perang. Kadang Rasulullah SAW langsung seperti dalam beberapa peperangan.
  • Industri, seperti pembuatan mimbar dan lain sebagainya.
  • Peradilan, termasuk di dalamnya hisbah.
  • Baitul Maal, yaitu lembaga yang mengurusi pendapatan dan belanja negara.

Struktur pemerintahan yang sederhana ini dikarenakan memang kebutuhan untuk menyelesaikan problematika kehidupan pada masa itu sudah cukup.

Berbeda dengan kondisi sekarang yang memiliki problem beraneka ragam sehingga membutuhkan struktur yang lebih komplek, namun komprehensifnya Islam bisa menjawab persoalan itu.

Rasulullah SAW sebagai pemimpin bertanggungjawab penuh terhadap kesejahteraan umatnya. Sekalipun masih dalam bentuk-bentuk yang sangat sederhana, pengelolaan keuangan publik di masa Rasulullah SAW ini menginspirasi para umat muslim sesudah beliau. Prinsip keuangan publik modern seperti sekarang pun juga dilakukan oleh Rasulullah SAW dulu.

Keuangan negara di masa pemerintahan Rasulullah SAW masih sangat terbatas jumlahnya. Namun sedikitnya kas negara itu tidak berarti negara dalam keadaan defisit anggaran.

Hal demikian terjadi karena Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta sedikit pun dalam waktu yang singkat. Karena harta yang ada langsung dialokasikan sesuai dengan keperluan yang ada.

Aktifitas pengelolaan keuangan publik pada masa Rasulullah SAW misalnya kebijakan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan anshar dalam aspek muamalah, harta dan seluruh urusan mereka.

Orang-orang anshar sangat dermawan kepada saudara-saudaranya muhajirin. Mereka memberikan harta dan pendapatannya serta bersama-sama dalam memenuhi kebutuhan dunia.

Para saudagar dan petani sama-sama menyumbangkan keahliannya masing-masing. Para saudagar muslim membuat jaringan pasar baru. Abdurrahman bin Auf menjual mentega dan keju, pedagang muslim yang lain juga berniaga sampai mereka mengendalikan pasar Madinah dalam urusan perdagangan.

Para sahabat yang tidak memiliki kesibukan berdagang, seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya, mereka menggarap lahan pertanian di kebun-kebun pemberian kaum anshar. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعَهَا أَوْلِيَمْنَحْهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ

Barang siapa memiliki tanah (persawahan) maka hendaklah dia menanaminya atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak mau menjalankan maka tahanlah tanahnya itu. (HR. Bukhori dan Muslim)

Rasulullah SAW juga berkerja sama dengan kaum Yahudi. Mereka adalah ahlu al dzimmah yang berhak memperoleh perlindungan dan hak yang sama dalam transaksi apapun bersama kaum muslim.

Rasulullah saw pernah menarik kembali pemberiannya kepada Abyadh bin Hamal setelah mengetahui bahwa yang diberikannya itu tambang garam yang depositnya melimpah. Sebagaimana hadits riwayat Imam Tirmidzi dalam sunannya berikut:

Dari Abyadh bin Hamal, sesungguhnya dia bermaksud meminta tambang garam kepada Rasulullah SAW maka Rasul pun memberikannya. Setelah diberikan, berkatalah seseorang dalam majelis itu: “Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan tambang laksana air yang terus mengalir” Akhirnya Rasul saw bersabda: “Kalau begitu, tarik kembali”

Ini artinya tambang yang depositnya melimpah menjadi tanggungjawab negara, mengelolanya untuk kemudian digunakan sebesar-besar kemakmuran umat.

Point-point di atas terkait dengan pendapatan negara di masa Rasulullah SAW. Adapun beberapa contoh pos-pos pengeluarannya sebagai berikut:

  • Pemenuhan kebutuhan vital masyarakat (pendidikan, keamanan dan kesehatan)
  • Pemenuhan kebutuhan pokok individu rakyat (sandang, pangan dan papan)
  • Untuk keperluan jihad dan dakwah
  • Untuk gaji pegawai negara dan untuk semua kemaslahatan masyarakat seperti pembangunan jalan, pengairan dan lain-lain

Alokasi kekayaan negara oleh lembaga negara di masa Rasulullah SAW misalnya sebagaimana pernyataan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Barry: “Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa Zaid bin Tsabit mengambil gaji sebagai qodhi”.

Dalam rangka menjaga stabilitas pasar, Rasulullah SAW bahkan turun langsung ke pasar-pasar, semacam aksi mendadak (sidak) sehingga pernah beliau menjumpai seorang pedagang gandum berlaku curang, yaitu dengan menyembunyikan gandum basah dibawah gandum kering sebagaimana masyhur dalam hadits shubroh al tha’am.

Rasulullah SAW juga menolak ketika diminta untuk mematok harga (tas’ir) sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad berikut:

Dari Anas bin Malik r.a berkata: Pada masa Rasulullah saw di Madinah pernah terjadi lonjakan harga, manusia berkata: “Wahai Rasulullah, harga-harga melonjak, maka patoklah harga-harga itu untuk kami” Rasul saw menjawab, “sesungguhnya Allahlah Dzat yang maha menetapkan harga, yang mencengkeram dan memaksa dan maha memberi rezki. Dan aku tidak berharap kelak ketika menghadap Allah sementara ada seseorang yang menuntutku karena suatu kedzoliman yang telah aku lakukan kepadanya baik dalam urusan darah ataupun harta”

Rasulullah SAW juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk menarik zakat, sebagaimana hadits shohih riwayat Imam Bukhori berikut:

Sampaikan kepada mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan mereka membayar zakat atas harta-harta mereka, yang diambil dari kalangan mereka yang kaya dan disalurkan kepada mereka yang fakir”.

Kekayaan negara juga dialokasikan untuk pendidikan. Pada masa Rasulullah SAW, lembaga pendidikan menyatu dengan masjid dimana setiap saat Rasulullah SAW langsung mengajar para sahabatnya, seperti Abu Dzar, Abu Hurairah, Salman al-Farisi dan lain-lain. Biaya hidup mereka dijamin oleh baitul maal.

Pada akhir periode Rasulullah SAW, dasar-dasar pengaturan pengelolaan keuangan publik Islam sudah dibakukan dengan regulasi tasyri yang kokoh. Maqashid al syar’i yang terkait dengan penjagaan terhadap harta (hifdzu al maal) yang dijalankan Rasulullah SAW menjadi master plan untuk dilanjutkan oleh para pengganti Rasulullah SAW di periode-periode berikutnya.

Rasulullah SAW menjadi teladan sempurna bagi para pengikutnya ketika mengurusi urusan umat dalam seluruh aspek kehidupan yang dihadapinya. Baik di sektor privat, di tengah-tengah komunitas masyarakat maupun dalam rangka menjaga, mempertahankan dan menyebarkan sistem-sistem Islam.

The post Pengelolaan Baitul Maal pada Masa Rasulullah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/pengelolaan-baitul-maal-pada-masa-rasulullah/feed 0
5 Jenis Riba dan Contohnya yang Harus Dihindari https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/jenis-riba https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/jenis-riba#respond Tue, 02 Feb 2021 03:10:00 +0000 https://dalamislam.com/?p=8884 Alasan kenapa riba diharamkan adalah karena riba akan menetapkan atau membebankan persentase suku bunga tertentu untuk melebih-lebihkan jumlah seluruh pokok pinjaman yang dibayarkan kembali kepada peminjam. Arti riba sendiri adalah tambahan tertentu yang diberikan untuk barang tertentu secara tidak adil dengan tanpa adanya kesepakatan yang terjadi dalam suatu transaksi. Selain kerugian yang diterima oleh salah […]

The post 5 Jenis Riba dan Contohnya yang Harus Dihindari appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Alasan kenapa riba diharamkan adalah karena riba akan menetapkan atau membebankan persentase suku bunga tertentu untuk melebih-lebihkan jumlah seluruh pokok pinjaman yang dibayarkan kembali kepada peminjam.

Arti riba sendiri adalah tambahan tertentu yang diberikan untuk barang tertentu secara tidak adil dengan tanpa adanya kesepakatan yang terjadi dalam suatu transaksi.

Selain kerugian yang diterima oleh salah satu pelaku transaksi, pengambilan dasar hukum dari pengaharam riba adalah Hadits dari Jabir yang menyatakan bahwa “Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda: mereka semua sama (dilaknat).” Hadits ini merupakan hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Dalam bertransaksi, pasti semua orang mengharapkan keuntungan dari proses transaksi yang manfaatnya sama-sama disepakati pihak pertama dan kedua. Maka dari itu, agar tidak terjebak jerat riba, sudah seharusnya setiap orang mengenal dan memahami jenis-jenis riba ini.

Dalam literatur hukum islam, riba dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:

1. Riba Qardh

Pengertian dari riba qardh ini adalah tambahan pengembalian pokok pinjaman yang disyaratkan kepada peminjam. Singkatnya, riba ini terjadi apabila kreditur mengambil kelebihan dari kreditor, sehingga pemberi utang menjadikan tambahan tersebut sebagai keuntungannya.

Sebagai contoh, rentenir yang meminjamkan Rp. 10 juta dengan syarat pengembalian ditambah bunga 20 persen selama 6 bulan.

2. Riba Fadhl

Riba fadhl adalah apabila ada tindakan jual beli suatu produk atau pertukaran barang ribawi sejenis dengan berbeda takaran, kadar maupun ukuran.

Misalnya seseorang menukarkan satu karung kopi kualitas baik dengan dua karung yang juga berkualitas baik. Hal ini termasuk riba karena berbeda ukuran timbangan dalam satu jenis barang yang sama. Cara menghindarinya, sebaiknya masing-masing membeli dengan harga atau menukar dengan barang yang sesuai.

3. Riba Yad

Riba yad adalah riba yang diakibatkan oleh aktivitas yang jika pada saat transaksi mengalami keterlambatan, maka nilai jual atau belinya akan berbeda. Dengan kata lain, pada saat transaksi tidak ada kepastian nominal pembayaran dan tidak ada kesepakatan mengenai kapan barang akan diserahterimakan.

Contoh prakteknya, ada seseorang yang akan menjual mobilnya. Kemudian ia memberikan penawaran, jika dibeli dengan tunai maka pembeli akan mendapatkan harga Rp. 60 juta dan Rp. 100 juta jika dibeli dengan sistem angsuran. Selanjutnya, keduanya tidak tegas dalam menentukan cicilan yang dibayarkan berkala sampai akhir transaksi.

4. Riba Nasi’ah

Riba nasi’ah merupakan salah satu jenis riba yang diakibatkan oleh proses jual beli atau pertukaran komoditas ribawi yang berbeda-beda dan dilakukan dalam bentuk hutang, sehingga muncul adanya tambahan nilai atau harga barang ketika terdapat penangguhan waktu pembayaran.

Semisal si A membeli motor si B seharga Rp. 15 juta dengan cara berhutang dan akan dicicil selama tiga bulan. Lalu, jika waktu pelunasan melebihi waktu yang sudah disepakati, maka si A harus membayar tambahan cicilan sebesar Rp. 500 ribu setiap bulannya.

5. Riba Jahiliyah

Jenis riba ini disebabkan karena total hutang yang dibayarkan lebih tinggi dari pokok hutang yang ada. Sehingga ketidakmampuan mengembalikan utang ini, dimanfaatkan oleh kreditur untuk meraup keuntungan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, peminjam tidak dapat melunasi hutangnya setelah jatuh tempo, sedangkan hutang semakin menggunung dan merugi.

Seperti contoh ketika rentenir yang memberikan pinjaman dengan syarat harus lunas dalam waktu tertentu. Seandainya dalam waktu yang sudah ditentukan belum bisa melunasi, maka rentenir berhak mengambil BPKB atau surat tanah sebagai jaminan.

Konsep jenis riba ini hampir sama dengan riba nasi’ah karena keduanya masih berhubungan dengan hutang dan telatnya tempo pembayaran yang menyebabkan bertambahnya nilai yang dibayarkan. Selain itu, juga ada beberapa  ulama yang menyamakan keduanya.

Yang mengherankan sekarang ini adalah kenyataan di sekitar kita yang jamak terjadi praktek riba sebagai sarana meraup keuntungan. Maka dari itu, setelah mengetahui jenis dan proses riba itu terjadi, kita harus menghindarinya dan jangan sampai terjatuh dalam jurang dosa besar yang bernama riba.

The post 5 Jenis Riba dan Contohnya yang Harus Dihindari appeared first on DalamIslam.com.

]]>
https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/jenis-riba/feed 0
Hukum Menimbun Barang dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-menimbun-barang Fri, 17 Apr 2020 06:11:03 +0000 https://dalamislam.com/?p=8445 Tahun 2020 merupakan tahun yang didalamnya terdapat banyak ujian bagi seluruh umat manusia. Dari januari berturut turut seluruh umat manusia diberikan ujian hidup oleh Allah SWT. Ujian kesehatan yang tengah ramai kali ini adalah datangnya pandemi Covid-19 di dunia terutama Indonesia. Tak tanggung-tanggung virus ini menyebabkan ribuan warga dunia meninggal. Ujian hidup ini mengajarkan manusia […]

The post Hukum Menimbun Barang dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Tahun 2020 merupakan tahun yang didalamnya terdapat banyak ujian bagi seluruh umat manusia.

Dari januari berturut turut seluruh umat manusia diberikan ujian hidup oleh Allah SWT.

Ujian kesehatan yang tengah ramai kali ini adalah datangnya pandemi Covid-19 di dunia terutama Indonesia. Tak tanggung-tanggung virus ini menyebabkan ribuan warga dunia meninggal.

Ujian hidup ini mengajarkan manusia untuk membaca doa saat terjadi musibah.

Virus ini berhasil melumpuhkan aktivitas manusia seperti pendidikan, pelayanan dan ekonomi.

Seperti di Indonesia, karena ekonomi yang terus melonjak membuat masyarakat pindah usaha menjadi penjual masker dan hand sanitizer dadakan demi mengais rezeki ditengah pandemi ini.

Masalahnya adalah mereka menjual dengan cara menimbun barang hingga tidak ada lagi dipasaran. Lalu menjualnya dengan harga yang tinggi. Bagaimanakah hukumnya?

Menimbun barang disaat barang tersebut dibutuhkan sangatlah merugikan banyak orang. Terutama masker. Karena banyak orang membutuhkan itu untuk menghindari virus.

Namun, banyak orang tidak bertanggung jawab yang menyimpannya hingga menimbulkan kelangkaan lalu menjualnya dengan harga selangit saat barang tersebut benar benar dibutuhkan.

Hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu:

من احتكر قوت المسلمين أربعين يوماً يريد الغلاء، فقد برئ من ذمة الله وبرئ الله منه

Artinya:  “Siapa menimbun makanan kaum Muslimin selama empat puluh malam maka terlepas dari naungan Allah dan Allah melepaskan naungan darinya.” (HR. Ahmad).

Dari riwayat lain menyampaikan,

روى أبو أمامة الباهلى أن النبى صلى اهلل عليه وسلم نهى أن يحتكر الطعام )رواه احلاكم فى املستدرك

Artinya: “Abu Umamah al-Bahili meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ telah melarang penimbunan makanan.” (HR. Hakim). 

Dari kedua hadits tersebut merupakan larangan menimbun barang, jika:

  • Sesuatu yang ditimbun adalah barang yang dibeli
  • Menimbun dengan niat untuk dijual kembali pada waktu harga melambung
  • Menimbun pada waktu barang dibutuhkan oleh banyak orang
  • Sesuatu yang ditimbun melebihi kebutuhannya
  • Sesuatu yang ditimbun adalah berupa bahan makanan
  • Menimbun pada waktu tertentu.

Pada kitab Fathul Mu’in, Syaikh Zainudin al-Malibari mendefinisikan ihtikar sebagai berikut:

الِاحْتِكَارُ هو إمساك ما اشتراه في وقت الغلاء – لا الرخص – ليبيعه بأكثر عند اشتداد حاجة أهل محله أو غيرهم إليه

Artinya: “Ihtikar adalah menahan (menimbun) barang yang dibelinya di waktu harga mahal, bukan di waktu harga murah, dengan tujuan untuk dijual lebih tinggi ketika penduduk setempat atau lainnya sangat membutuhkan.”

Telah dikatakan oleh Syaikh Zakaria al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib berikut.

فَيَحْرُمُ الِاحْتِكَارُ لِلتَّضْيِيقِ عَلَى النَّاسِ

Artinya: “Maka ihtikar (menimbun barang) hukumnya adalah haram karena ada unsur menyulitkan masyarakat.”

Lalu apa azab bagi tukang penimbun barang?

Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Nabi Saw bersabda:

مَنْ اِحْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ

Artinya: “Barangsiapa melakukan ihtikar atau menimbun makanan kaum Muslimin, maka Allah akan memberinya dengan penyakit kusta dan kerugian.”

The post Hukum Menimbun Barang dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam https://dalamislam.com/dasar-islam/aturan-bagi-hasil-usaha-dalam-islam Thu, 21 Mar 2019 03:55:21 +0000 https://dalamislam.com/?p=5994 Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab terdapat kasih sayang Allah kepada hambaNya, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89) […]

The post Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab terdapat kasih sayang Allah kepada hambaNya, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89)

Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa seperti memahami jenis usaha yang dianjurkan dalam islam.

Di antara produk Islam di dalam bidang ekonomi adalah Al-Mudharabah (bagi hasil). Al-Mudharabah ini bisa menjadi salah satu solusi untuk bisnis skala kecil maupun besar, terlebih lagi untuk orang-orang yang:

  1. Punya skill (kemampuan) dan pengalaman tetapi tidak punya modal.
  2. Punya modal yang uangnya ‘menganggur’ di bank tetapi tidak memiliki skill (kemampuan) dan pengalaman dan tetapi juga menginginkan keuntungan.
  3. Orang yang tidak punya kedua hal di atas, tetapi bisa diajak bekerja dan bekerjasama.

Ketiga kekuatan ini apabila digabungkan, insya Allah akan menjadi kekuatan yang besar untuk ‘mendongkrak’ perekonomian Islam yakni jenis kerjasama dalam ekonomi islam.

Di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:

“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam tentang kedudukan harta dalam ekonomi islam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ no. 1472.]

Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam etika jual beli dalam ekonomi islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?

Insya Allah soal-soal tersebut akan dijawab pada artikel ini.

Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:

  1. Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
  2. Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
  3. Ra’sul-maal (modal)
  4. Al-‘Amal (pekerjaan)
  5. Ar-Ribh (keuntungan)

Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).

Pengusaha tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jika modalnya telah kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yang disepakati.

Di dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.

Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:

  • Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
  • Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.

Inilah garis besar permasalahan dalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.

A. Investor dan Pengusaha

Investor dan pengusaha adalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta dan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh pengadilan dan lain-lain.

Anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada perselisihan pendapat dalam hal ini.

B. Akad

Akad Al-Mudharabah membutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak diketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan. Oleh karena itu, ijab-qabul (serah terima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:

– Adanya kesepakatan jenis usaha

– Adanya keridhaan dari kedua belah pihak

– Diucapkan atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha

Karena akad ini adalah akad kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.

C. Modal

Para ulama mensyaratkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:

– Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang

Para ulama berijma’ bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.

Sebagai contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahan usaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40 juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.

– Harus nyata ada dan bukan hutang

Seorang investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang saya dan nanti saya bayar.”

– Harus diketahui nilai harta tersebut

Modal yang dikeluarkan harus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorang berinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lain berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta. Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil ketika mendapatkan keuntungan.

– Harus diserahkan kepada pengusaha

Modal dari investor harus diserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modal tersebut tidak boleh ditahan oleh investor.

D. Jenis Usaha

Tidak ada pembatasan jenis usaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan, eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.

E. Keuntungan

Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian keuntungan

– Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.

– Harus diprosentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha

Keuntungan yang diperoleh juga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% – 50%, 60% – 40%, 5 % – 95% atau 95% – 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.

Tidak diperkenankan membagi keuntungan 0% – 100% atau 100% – 0%.

Besar prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.

– Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak

Tidak boleh mengikut sertakan orang yang tidak terlibat dalam usaha dengan prosentase tertentu. Misal A adalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harus mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase keuntungan.

Kapankah pembagian keuntungan dianggap benar?

Keuntungan didapatkan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.

Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.

Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apakah boleh pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?

Apabila hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa.

Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.

Bagaimana solusinya agar pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain usaha tersebut bisa mendapatkan uang bulanan untuk hidupnya?

Apabila pengusaha berhutang kepada simpanan usaha tersebut sebesar Rp 3 juta/bulan, misalkan, dan hal tersebut disetujui oleh investor, maka hal tersebut diperkenankan.

Hutang tersebut harus dibayar. Hutang tersebut bisa dibayar dari hasil keuntungan nantinya.

Apabila pengusaha berhutang Rp 10 juta, misalkan, dan ternyata pembagian keuntungannya dia mendapatkan Rp 15 juta, maka Rp 15 juta langsung dipergunakan untuk membayar hutangnya Rp 10 juta. Dan pengusaha berhak mendapatkan Rp 5 juta sisanya.

Akan tetapi, jika tenyata pembagian keuntungannya hanya Rp 8 juta, berarti hutang pengusaha belum terbayar seluruhnya. Pengusaha masih berhutang Rp 2 juta kepada investor.

Dan yang perlu diperhatikan dan ditekankan pada tulisan ini, dalam Al-Mudharabah, keuntungan didapatkan dari prosentase keuntungan bersih dan bukan dari modal.

Adapun yang diterapkan di lembaga-lembaga keuangan atau perusahan-perusahaan yang menerbitkan saham, keuntungan usaha didapatkan dari modal yang dikeluarkan, dan modal yang diinvestasikan bisa dipastikan keamanannya dan tidak ada resiko kerugian, maka jelas sekali ini adalah riba.

Setelah membaca paparan di atas, tentu kita akan mengetahui hikmah yang sangat besar di dalam syariat kita. Bagaimana syariat kita mengatur agar jangan sampai terjadi kezaliman antara pengusaha dengan investor, jangan sampai terjadi riba dan jangan sampai perekonomian Islam melemah sehingga tergantung dengan orang-orang kafir.

Coba kita bayangkan jika seluruh usaha baik kecil maupun besar menerapkan sistem bagi hasil ini, maka ini akan menjadi solusi yang sangat hebat agar terhindar dari berbagai macam riba yang sudah membudaya di masyarakat kita.

Ini juga menjadi solusi bagi orang-orang yang tidak memiliki modal sehingga bisa memiliki usaha mandiri dan ini juga menjadi solusi untuk orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Sungguh indah syariat Islam, karena dia berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian. Mudah mudahan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Refund Dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-refund-dalam-islam Mon, 05 Nov 2018 13:02:03 +0000 https://dalamislam.com/?p=4620 Refund adalah pengembalian dana atau uang pembayaran yang telah dilakukan oleh konsumen untuk membayar suatu produk dimana produk tersebut bisa berupa barang atau jasa dan pengembalian dana tersebut bisa berupa barang atau jasa karena batalnya transaksi atas salah satu pihak tersebut dalam melakukan transaksi. Leasing yang sering diimplementasikan dalam pembelian kendaraan bermotor ataupun rumah yaitu […]

The post Hukum Refund Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Refund adalah pengembalian dana atau uang pembayaran yang telah dilakukan oleh konsumen untuk membayar suatu produk dimana produk tersebut bisa berupa barang atau jasa dan pengembalian dana tersebut bisa berupa barang atau jasa karena batalnya transaksi atas salah satu pihak tersebut dalam melakukan transaksi.

Leasing yang sering diimplementasikan dalam pembelian kendaraan bermotor ataupun rumah yaitu finance lease atau sering kita kenal dengan kredit kendaraan bermotor maupun rumah KPR misalnya. Baca juga Hukum Mengajak Orang Masuk Islam

Leasing yang semacam ini, menurut Islam hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan, yang pertama alasannya adalah terdapat dua akad (perjanjian) dalam satu perjanjian leasing yaitu penjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli yang dilakukan antara seseorang dengan pihak leasing. Baca juga Hukum Tidak Membaca Doa Setelah Wudhu

Sebagaimana yang dilarang rasulullah dalam sebuah hadist berikut:

“Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (Shafqatain fi shafqatin wahidah)” (HR. Ahmad, Al Musnad, I/398).

Alasan yang kedua adalah terdapat bunga dalam proses leasing ini yang dimana bunga tesebut termasuk riba yang sudah jelas haram hukumnya dalam islam. Sebagaimana disebutkan dalam terjemahan ayat berikut ini:

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS al-Baqarah: 275).

Alasan yang ketiga adalah adanya denda apabila terlambat dalam membayar angsuran atau melunasi angsuran sebelum waktu angsuran tersebut. Baca juga Hukum Tidak Bertegur Sapa Dengan Suami

Pertama, firman Allah,

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Akad kredit termasuk salah satu bentuk jual beli utang.

Oleh karena itu, keumuman ayat ini dijadikan dasar bolehnya akad kredit dalam islam.

Kedua, Hadits riwayat ‘Aisyah radhiyalahu ‘anha.

اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Baca juga Hukum Operasi Caesar Dalam Islam

Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran di hutang dalam pembayarannya.

Ketiga, Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan,

Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat.

Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. (HR. Ahmad).

The post Hukum Refund Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menerima Komisi dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-menerima-komisi-dalam-islam Fri, 02 Nov 2018 07:26:38 +0000 https://dalamislam.com/?p=4615 Dari sisi ekonomi Islam atau tipe organisasi bisnis dalam islam, membantu menjualkan atau membelikan barang untuk individu atau perusahaan disebut dengan istilah samsarah (makelar), yang berarti menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Orang yang menjadi perantara itu disebut simsaar. Ia disebut juga sebagai penunjuk (dallal) karena dialah yang menunjukkan dan mencarikan untuk si penjual orang […]

The post Hukum Menerima Komisi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dari sisi ekonomi Islam atau tipe organisasi bisnis dalam islam, membantu menjualkan atau membelikan barang untuk individu atau perusahaan disebut dengan istilah samsarah (makelar), yang berarti menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Orang yang menjadi perantara itu disebut simsaar. Ia disebut juga sebagai penunjuk (dallal) karena dialah yang menunjukkan dan mencarikan untuk si penjual orang yang mau membeli barangnya dan mencarikan untuk si pembeli orang yang menjual barang yang dibutuhkannya.

Pada dasarnya, pekerjaan samsarah dan upah atau komisi dari transaksi pekerjaan itu dibolehkan atau merupakan cara bisnis yang diperbolehkan dalam islam karena mendatangkan manfaat bagi pembeli, penjual, dan simsaar itu sendiri. Samsarah ini banyak dibutuhkan orang karena banyak yang tidak tahu cara melakukan tawar menawar (negosiasi) dalam jual beli. Tidak sedikit pula orang yang tidak mampu mencari dan meneliti spesifikasi dan kualitas barang yang hendak dibelinya.

Atau tidak punya waktu untuk melakukan sendiri proses jual beli yang hendak dilakukannya. Di sinilah diperlukan seorang simsaar yakni sebagai perantara keutamaan berbisnis dalam islam. Imam Malik ketika ditanya tentang upah bagi simsaar  menjawab, “Hal itu tidak apa apa.” Imam Bukhari dalam kitab Shahih nya membuat bab sendiri tentang upah samsarah dan menjelaskan bahwa Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim al Nakh’I, dan Hasan al Bashri mengatakan, upah atau komisi untuk simsaar itu tidak apa apa.

Para ulama memasukkan masalah samsarah ini sebagaia bagian dari tips mencari kerja menurut islam pada pembahasan ji’alah (upah yang didapatkan oleh individu karena suatu pekerjaan yang dilakukannya) yang disepakati kebolehannya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT. “Penyeru penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.‘” (QS Yusuf [12] : 72).

Dalam ayat di atas, para pegawai Nabi Yusuf mengatakan tentang etika bisnis dalam islam, barang siapa yang dapat menunjukkan di mana letak piala raja yang hilang, akan mendapatkan imbalan berupa makanan seberat beban unta.Ini merupakan bentuk ji’alah, yaitu menjanjikan upah kepada individu jika ia melakukan apa yang dimintakan kepadanya. Tentu saja komisi akan menjadi haram jika diterima oleh individu yang telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya,

seperti seorang pegawai pengadaan barang atau pejabat terkait yang mendapatkan komisi dari vendor atau suplier perusahaan atau lembaga negara.Sebagaimana banyak terjadi di kalangan elite negara dan pejabat BUMN yang menerima komisi berbagai proyek, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisiennya proyek proyek pemerintah. Seperti, proyek pengadaan Alquran dan impor daging sapi yang baru baru ini terjadi.

Seorang simsaar (perantara) harus memenuhi beberapa syarat untuk boleh melakukan samsarah tersebut.

  • Pertama, ia haruslah orang sudah berpengalaman di bidangnya agar tidak membahayakan kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.
  • Kedua, ia harus jujur, tidak menipu salah satu pihak demi keuntungan pihak yang lain. Ia harus menjelaskan kelebihan dan kekurangan barang atau produk yang hendak ditransaksikan tanpa melebih lebihkan atau mengurangi.
  • Ketiga, ia tidak boleh menjadi perantara untuk menjual atau membeli sesuatu yang tidak halal untuk diperjual belikan, dimiliki, atau diambil manfaatnya.

Berdasarkan itu maka boleh menerima komisi atas perbuatan menjualkan atau membelikan barang untuk individu, baik dilakukan secara profesional maupun hanya sebatas kerabat dan teman asalkan memenuhi syarat syarat di atas.

Tinjauan Islam Terhadap Komisi Makelar

Coba kita lihat fatwa komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah berikut ini:

Pertanyaan:

Saya pernah membawa  individu konsumen ke salah satu pabrik atau toko untuk membeli suatu barang. Lalu pemilik pabrik atau toko itu memberi saya komisi atas konsumen yang saya bawa. Apakah komisi yang saya peroleh itu halal atau haram? Apabila pemilik pabrik itu memberikan tambahan uang dalam jumlah tertentu dari setiap item yang dibeli konsumen tersebut, dan saya mau menerima tambahan tersebut sebagai atas pembelian konsumen tersebut, apakah hal tersebut dibolehkan? Dan apabila hal itu tidak dibolehkan, lalu apakah komisi yang dibolehkan?

Jawaban:

Apabila pihak pabrik atau pedagang memberi Anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri Anda sebagai balas jasa atas kerja keras yang telah Anda lakukan untuk mencari konsumen, dan uang tersebut tidak ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula memberi mudharat pada  individu lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh  individu lain, maka hal itu boleh dan tidak dilarang.

Tetapi, apabila uang yang Anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka Anda tidak boleh mengambilnya dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli karena harus menambah uang pada harga barangnya.

Fatwa di atas menunjukkan bahwa pengambilan komisi dari makelar atau makelar (dari pihak buyer/pembeli) dirinci sebagai berikut:

  • Apabila komisi bagi makelar dibebankan pada harga yang mesti dibayar pembeli tanpa sepengetahuan pembeli, maka tidak dibolehkan karena merugikan pembeli.
  • Apabila komisi bagi makelar tidak dibebankan pada pembeli atau dibebankan pada pembeli dengan seizinnya, maka dibolehkan.

Contoh: Bila A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genteng @ Rp 1.000,  (seribu rupiah), akan tetapi karena konsumen B datang ke toko tersebut dibawa oleh C yang biasanya berprofesi sebagai tukang bangunan, maka A menjual gentingnya kepada B seharga @ Rp. 1.050,  (seribu lima puluh rupiah), dengan perhitungan: Rp 1.000,  adalah harga genteng sebenarnya, dan Rp 50,

adalah fee untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko A. Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000,  menjadi Rp 1.050,  dengan perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Dengan demikian, pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50,  sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Dan ini tentu bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,

Hai  individu  individu yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)

Adapun bila pemilik toko memberi fee kepada C tanpa menaikkan harga jual, sehingga tetap saja ia menjual genteng tersebut seharga @ Rp 1.000,  maka itu tidak mengapa. Atau, bila sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting, ditambah dengan fee yang akan diberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka praktek semacam ini dibenarkan.

Apabila makelar tadi adalah dari pihak penjual (seller), maka rinciannya sebagai berikut:

  • Apabila si makelar menaikkan harga tanpa izin atau sepengetahuan si penjual, maka ini tidak dibolehkan.
  • Apabila si makelar menaikkan harga dengan izin atau sepengetahuan si penjual (baik kadar kenaikannya diserahkan kepada makelar atau ditentukan oleh pemilik barang), ini dibolehkan.

Komisi Harus Jujur dan Amanah

Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah menerangkan, “Hendaklah si makelar adalah  individu yang paham terhadap info yang ia dapat dari penjual atau apa yang diinginkan pembeli. Sehingga dari sini ia tidak merugikan penjual atau juga pembeli, yang awalnya disangka ia punya info, tak tahunya hanya bualan belaka. Si makelar juga harus memiliki sifat amanah dan jujur. Si makelar tidak boleh hanya menguntungkan salah satu dari keduanya (merugikan lainnya). Apabila ada ‘aib (kejelekan) dari barang yang dijual, ia harus menerangkannya dengan amanah dan jujur. Ia pun tidak boleh melakukan penipuan kepada penjual atau pembeli.”

Apabila pihak pabrik atau pedagang memberi anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri anda sebagai motivasi bagi anda atas kerja keras yang telah anda lakukan untuk mencari konsumen, maka uang tersebut tidak boleh ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula hal tersebut memberi mudharat pada  individu lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh  individu lain, maka hal itu boleh dan tidak dialarang.

Tetapi, apabila uang yang anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka anda tidak boleh mengambilnya, dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli dengan harus menambah uang pada harganya.

Apabila telah terjadi kesepakatan antara makelar dengan penjual dan pembeli bahwa dia akan mengambil atau dari keduanya secara bersama sama atas usahanya yang jelas, maka hal itu boleh. Dan tidak ada batas atas usaha itu dengan nilai tertentu. Tetapi apa yang menjadi

kesepakatan dan persetujuan pihak pihak yang terlibat maka hal itu boleh. Hanya saja, harus pada batasan yang biasa dilakukan oleh banyak  individu, yang bisa memberi keuntungan bagi perantara atas usaha dan kerja kerasnya untuk menyelesaikan proses jual beli antara penjual dan pembeli, serta tidak terdapat mudharat kepada penjual atau pembeli atas tambahan yang di luar kebiasaan.

Nah sobat, jadi jelas ya, hukum komisi ialah halal jika memang sudah ada kesepakatan sebelumnya dan tidak merugikan pihak manapun, baik itu pembeli atau penjual, juga tidak boleh menipu dengan memasang harga yang berbeda dengan kesepakatan. Semoga ulasan yang disampaikan bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Menerima Komisi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>