ekonomi syariah Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/ekonomi-syariah Mon, 02 Jan 2023 03:01:00 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png ekonomi syariah Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/ekonomi-syariah 32 32 5 Jenis Riba dalam Islam dan Dalil Pelarangannya https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/jenis-riba-dalam-islam Mon, 02 Jan 2023 03:00:59 +0000 https://dalamislam.com/?p=12172 Tanpa kita sadari, ada banyak sekali produk keuangan yang sifatnya riba. Mulai dari simpanan, tabungan, pinjaman dengan atau tanpa agunan, transaksi ekonomi, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, produk keuangan yang erat kaitannya dengan bank konvensional menerapkan sistem riba atau bunga dalam setiap produk keuangannya. Hukum riba menurut Islam telah diajarkan bahwa agama Islam melarang sistem […]

The post 5 Jenis Riba dalam Islam dan Dalil Pelarangannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Tanpa kita sadari, ada banyak sekali produk keuangan yang sifatnya riba. Mulai dari simpanan, tabungan, pinjaman dengan atau tanpa agunan, transaksi ekonomi, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, produk keuangan yang erat kaitannya dengan bank konvensional menerapkan sistem riba atau bunga dalam setiap produk keuangannya.

Hukum riba menurut Islam telah diajarkan bahwa agama Islam melarang sistem riba di dalam transaksi keuangan. Jenis riba sendiri sudah diatur dalam surat-surat di Al Qur’an. Untuk kamu yang ingin mengetahui tentang apa itu riba, jenis riba dalam islam, dan hukum islam mengenai riba, Simak penjelasan lengkapnya pada artikel berikut ini.

Pengertian Riba

Riba memiliki arti sebagai ziyadah atau artinya adalah tambahan. Sederhananya, riba adalah suatu penambahan nilai melebih jumlah pinjaman pada saat dikembalikan. Nilai tersebut umumnya ditentukan berdasarkan nilai pinjaman yang nantinya harus dikembalikan oleh peminjam.

Jenis Riba

Dalam proses perdagangan yang sesuai dengan syariat Islam, Riba dibagi menjadi lima jenis, di antaranya adalah Riba Fadhl, Riba Yad, Riba Qardh, Riba Nasi’ah, dan Riba Jahilliyah. Berikut ini adalah penjelasan lengkap dari macam-macam Riba dan alasan mengapa riba diharamkan.

  • Riba Fadhl

Riba merupakan kegiatan transaksi jual beli atau pertukaran barang yang nantinya akan menghasilkan riba, tetapi, dengan jumlah atau berbeda. Contoh Riba Fadhl adalah pertukaran uang Rp 100.000 dengan uang pecahan Rp 2.000, namun uang pecahan yang dikembalikan hanya 48 lembar saja.

Sehingga jumlah yang diberikan pada pecahan uang tersebut totalnya adalah Rp 96.000. Untuk contoh lainnya adalah pertukaran emas 24 karat menjadi 18 karat saja.

  • Riba Yad

Riba Yad, dijelaskan bahwa riba tersebut adalah hasil dari transaksi jual beli dan juga pertukaran barang yang nantinya akan menghasilkan riba ataupun non ribawi. Akan tetapi, waktu penerimaan serah terima kedua barang akan mengalami penundaan.

Contoh Riba Yad adalah penjualan motor yang dihargai 12 Juta Rupiah apabila dibayarkan dengan tunai. Sementara apabila motor dijual secara kredit akan dijual seharga 15 Juta Rupiah. Baik pembeli ataupun penjual tidak akan menetapkan berapa jumlah nominal yang harus dibayar sampai transaksi selesai.

  • Riba Nasi’ah

Riba Nasi’ah merupakan kelebihan yang diperoleh dari proses transaksi jual beli dalam jangka waktu tertentu. Biasanya dalam transaksi ini menggunakan dua jenis barang yang sama. Namun, ada penangguhan dalam pembayarannya.

Contoh dari riba nasi’ah adalah penukaran emas 24 karat yang dilakukan oleh dua belah pihak yang berbeda. Ketika pihak yang pertama sudah menyerahkan emasnya, tapi pihak yang kedua mengatakan akan memberikan emas miliknya dalam waktu satu bulan lagi. Hal tersebut menjadi riba karena harga emas bisa berubah kapan saja.

  • Riba Qardh

Jenis riba qardh adalah tambahan nilai yang diperoleh karena pengembalian hutang dengan pemberian syarat dari pemberi hutang. Contoh dari riba qardh dalam kehidupan sehari-hari adalah pemberian hutang 100 juta oleh seorang rentenir, akan tapi terdapat bunga senilai 20 persen dalam waktu 6 bulan dalam pengembalian pinjamannya.

  • Riba Jahiliyah

Riba jahiliyah merupakan tambahan ataupun kelebihan jumlah nominal pelunasan hutang yang sudah melebihi pokok jumlah pinjaman. Umumnya, hal tersebut terjadi karena peminjam tidak bisa membayarnya sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Ketahui juga sejarah riba dalam Islam.

Dalil Tentang Riba

Berikut adalah dalil tentang riba beserta artinya:

Allah SWT mengharamkan secara tegar praktik riba. Allah SWT berfirman:  

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا 

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah: 275).

Kemudian Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghentikan praktik riba. Allah berfirman: 

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوۡا مَا بَقِىَ مِنَ الرِّبٰٓوا اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ 

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang beIum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” (Al Baqarah 278). 

Allah SWT mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintah-Nya untuk meninggalkan riba. Allah berfirman: 

فَاِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلُوۡا فَاۡذَنُوۡا بِحَرۡبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ‌ۚ  

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.” (QS Al Baqarah 279). 

Atas ayat ini, Imam Al Qurthubi menjelaskan, ketika Imam Malik ditanya seseorang yang mengatakan, “Istri saya tertalak jika ada yang masuk ke dalam rongga anak Adam lebih buruk daripada khamr.” Dia berkata,” Pulanglah, aku cari dulu jawaban pertanyaanmu! Keesokan harinya orang tersebut datang dan Imam Malik mengatakan hal serupa. Setelah beberapa hari orang itu datang kembali dan imam Malik berkata, “Istrimu tertalak. Aku telah mencari dalam seluruh ayat Alquran dan hadits Nabi tidak aku temukan yang paling buruk yang masuk ke rongga anak Adam selain riba, karena Allah memberikan sanksi pelakunya dengan berperang melawanNya.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi).

Dan Allah berjanji akan memasukkan pelaku riba ke dalam neraka kekal selamanya. Allah berfirman: 

 وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا‌ ؕ فَمَنۡ جَآءَهٗ مَوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّهٖ فَانۡتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَؕ وَاَمۡرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ‌ؕ وَمَنۡ عَادَ فَاُولٰٓٮِٕكَ اَصۡحٰبُ النَّارِ‌ۚ هُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekaI di dalamnya.” (QS Al Baqarah 275). 

The post 5 Jenis Riba dalam Islam dan Dalil Pelarangannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
3 Cara Menghadapi Inflasi dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/menghadapi-inflasi-dalam-islam Wed, 23 Nov 2022 02:19:00 +0000 https://dalamislam.com/?p=11899 Inflasi adalah kondisi kenaikan harga barang atau jasa secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Inflasi dianggap sebagai fenomena moneter karena terjadinya inflasi menyebabkan turunnya nilai uang rill terhadap suatu komoditas. Istilah inflasi dalam Al-Qur’an dan hadits tidak pernah tersurat. Karena permasalahan inflasi muncul pada masyarakat modern karena beberapa sebab yaitu daya konsumtif masyarakat yang […]

The post 3 Cara Menghadapi Inflasi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Inflasi adalah kondisi kenaikan harga barang atau jasa secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Inflasi dianggap sebagai fenomena moneter karena terjadinya inflasi menyebabkan turunnya nilai uang rill terhadap suatu komoditas.

Istilah inflasi dalam Al-Qur’an dan hadits tidak pernah tersurat. Karena permasalahan inflasi muncul pada masyarakat modern karena beberapa sebab yaitu daya konsumtif masyarakat yang berlebih.

Namun, sebelum timbulnya masalah inflasi, dalil Al-Qur’an dan hadist telah memberikan petunjuk bahwa manusia pada dasarnya sangat mencintai materi.

Seperti pada QS Ali Imran: 14, yang artinya:

Dijadikan indah pada pandangan manusia kencintaan kepada apa-apa yang diinginkannya, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang”.

Dalam rangka membatasi keinginan konsumtif manusia, pada QS At Takaatsur:1-8 dan QS Al Humazzah:1-9 telah memberikan peringatan secara tegas seperti:

bermegah-megahan telah malalikan kamu, sampai kamu masuk ke kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui”. (QS At Takaatsur:1-8), dan ada di ayat lain, “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”.  (QS Al Humazzah:1-9).

Adapun dalil Rasulullah SAW yang mengingatkan manusia akan bahayanya kemewahan dunia (materi), dijelaskan bahwa :

“Bergembiralah dan renungkanlah apa yang sesungguhnya mengembirakan kamu. Demi Allah! Aku tidak akan mengkhawatirkan kemelaratan yang menimpa kamu. Tetapi yang aku kuatirkan adalah bila kemewahan dunia menimpamu sebagaimana orang-orang yang sebelum kamu ditimpa kemewahan dunia. Lalu kamu berlomba-lomba dengan kemewahan dan kamu binasa oleh mereka.

Serta hadist lain dari riwayat yang sama yaitu. “Sangatlah celaka orang yang diperhamba oleh harta, baik berupa emas, perak dan lainnya”. (Hadist Riwayat Muslim).

Bagi umat Islam, beberapa dalil diatas dapat menjadi pegangan dalam berinteraksi sesama manusia dalam memenuhi kebutuhannya.

Dan timbulnya inflasi sebagai masalah perekonomian, tidak terlepas bagi manusia untuk mendapatkan kemewahan duniawi, sehingga melanggar prinsip dalam bermuamalah dalam Islam. Ketahui juga fiqih muamalah jual beli dalam Islam untuk memahami cara penjualan dalam Islam yang benar.

Dampak Inflasi

Inflasi berdampak pada menurunnya nilai uang rill yang beredar di masyarakat. Pendapatan rill masyarakat menurun karena tidak bisa mengimbangi antara pendapatan yang didapatkan dengan kenaikan harga.

Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, hal ini menjadi pengaruh yang sangat besar dengan menurunnya daya beli masyarakat. Biaya produksi dapat meningkat sehingga dapat menghambat jalannya produksi, karena produsen enggan meneruskan produksi dengan biaya produksi yang meningkat.

Cara mengatasi inflasi ini dengan mengurangi ekspor, mengurangi investasi, dan fokus pada kestabilan harga.

Cara Menghadapi Inflasi dalam Islam

Lalu, bagaimana islam menghadapi inflasi yang terjadi ini? Dalam ekonomi Islam dibahas mengenai cara menghadapi inflasi seperti yang dikemukakan oleh Umer Chapra berikut ini:

1. Perbaikan Moral

Strategi Islam dalam menghadapi inflasi untuk merealisasikan tujuan Islam adalah terpautnya semua aspek kehidupan dalam meningkatkan moral manusia.

Hal ini mengacu pada inti konsep kesejahteraan dalam Islam. Kesejahteraan setiap umat Islam dapat diwujudkan apabila sudah terpenuhi kebutuhan material dan juga spiritual manusia.

2. Pemerataan Distribusi Pendapatan dan Kekayaan

Pendistribusian dapat dilakukan dengan infaq, sadaqah, dan mengerjakan zakat. Kemudian harta itu diberikan kepada masyarakat muslim yang membutuhkan agar meringankan beban hidup saudara muslim.

3. Menghapus Riba

Riba menjadi salah satu faktor terjadinya inflasi. Dalam ekonomi Islam, alasan mengapa riba diharamkan dan patut dihindari karena lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaat yang diperoleh. Untuk itu, jenis riba dan contohnya yang harus dihindari menghapus riba berarti menghentikan seseorang dalam berbuat dzalim kepada orang lain.

Selain itu, Husain Shahathah memiliki pendapatnya sendiri dalam mengatasi inflasi, dengan cara berikut ini :

  • Pembaruan terhadap sistem moneter dan menghubungkan antara jumlah produksi dan jumlah uang.
  • Mengarahkan untuk belanja yang benar-benar dibutuhkan.
  • Larangan dalam menimbun harta kekayaan.
  • Mendorong dalam berinvestasi.
  • Meningkatkan produksi dengan mendorong masyarakat dalam berproduksi dari segi moral dan materil serta menjaga pasokan barang dalam mengendalikan inflasi.

Ketahui hukum investasi emas dalam Islam agar mempelajari cara berinvestasi yang baik dan benar.

Solusi Inflasi Perspektif Ekonomi Islam

Secara teori, inflasi tidak dapat dihapus dan dihentikan, namun laju inflasi dapat ditekan sedemikian rupa. Islam sebetulnya pula solusi menekan laju inflasi seperti yang telah dikemukan oleh tokoh-tokoh ekonomi Islam klasik.

Misalnya al-Ghazali (1058-1111) menyatakan, pemerintah mempunyai kewajiban menciptakan stabilitas nilai uang.

Dalam ini al-Ghazali membolehkan penggunaan uang yang bukan berasal dari logam mulia seperti dinar dan dirham, tetapi dengan syarat pemerintah wajib menjaga stabilitas nilai tukarnya dan pemerintah memastikan tidak ada spekulasi dalam bentuk perdagangan uang. Kenali juga asas sistem ekonomi Islam.

Ibnu Taimiyah (1263-1328) juga mempunyai solusi terhadap inflasi ini. Ia sangat menentang keras terhadap terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan uang yang berlebihan.

Ia berpendapat pemerintah seharusnya mencetak uang harus sesui dengan nilai yang adil atas transaksi masyarakat, tidak memunculkan kezaliman terhadap mereka. Ini berarti Ibnu Taimiyah menekankan bahwa percetakan uang harus seimbang dengan trasnsaksi pada sector riil.

The post 3 Cara Menghadapi Inflasi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
4 Alasan Mengapa Riba Diharamkan dan Patut Dihindari https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/alasan-mengapa-riba-diharamkan Mon, 26 Sep 2022 02:46:00 +0000 https://dalamislam.com/?p=11814 Di zaman sekarang ini mendengar kata riba, terutama masyarakat di Indonesia. Ada banyak sekali transaksi ekonomi mulai dari pembelian dan juga penjualan, serta beberapa tipe perdagangan yang melibatkan riba. Dalam transaksinya, walaupun terlihat sepele dan juga ringan namun ternyata riba merupakan salah satu hal yang diharamkan dan wajib dihindari. Karena banyak sekali kerugian dan juga […]

The post 4 Alasan Mengapa Riba Diharamkan dan Patut Dihindari appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Di zaman sekarang ini mendengar kata riba, terutama masyarakat di Indonesia. Ada banyak sekali transaksi ekonomi mulai dari pembelian dan juga penjualan, serta beberapa tipe perdagangan yang melibatkan riba.

Dalam transaksinya, walaupun terlihat sepele dan juga ringan namun ternyata riba merupakan salah satu hal yang diharamkan dan wajib dihindari. Karena banyak sekali kerugian dan juga hal buruknya, apalagi dampaknya bagi umat muslim jika menggunakan riba.

Dalam artikel ini akan kita bahas secara lengkap sejarah riba dalam islam dan alasan mengapa riba diharamkan.

Pengertian Riba

Menurut definisinya riba merupakan tambahan yang harus dibayarkan oleh seseorang, apabila berhutang kepada orang yang memberikan hutang tersebut melebihi uang yang diletakkan saat perjanjian awa. Bisa dikatakan riba adalah tambahan. Terdapat banyak jenis riba, yang tentunya patut kita hindari.

Surah Mengenai Riba

Dalam agama Islam, riba sendiri banyak dibahas dalam beberapa ayat dan hadist. Jelas sekali bahwa riba adalah hal yang diharamkan, di antaranya:

Ali Imron ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Selain surah Ali Imron ada juga surah Al Baqarah, yang membahas mengenai buruknya riba:

Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 278-280

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَاإِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَوَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 276:

يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”

Dalil dari al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,

وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah telah mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Dalil dari As-Sunnah:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim nomor 2995)

Itulah beberapa surah yang seringkali dikutip untuk menyatakan bahwa riba diharamkan hal ini. Karena menimbulkan banyak sekali hal buruk ataupun mudhorot apabila seorang umat muslim, menggunakan riba dalam transaksi ekonomi ataupun kehidupannya.

Alasan Riba Diharamkan

Apa jenis apa saja kira-kira hal buruk yang seringkali dirasakan baik secara langsung ataupun tidak langsung dan menjadi alasan riba diharamkan:

  • Memutus Silaturahmi

Hal pertama tentu saja memutus tali silaturahmi yang telah dijalin baik. Sebagai keluarga teman ataupun sahabatnya seringkali kita tolong-menolong, antar sesama termasuk salah satunya dalam kehidupan, seperti yang sudah dituliska dalam dalil tentang riba.

Misalnya saja masalah keuangan ataupun hal lainnya. Tetapi dengan adanya riba, ada pihak yang mencari keuntungan di atas kesulitan orang lain dan pihak yang merasa kesulitan tidak bisa melakukan apapun, kecuali terpaksa.

Hal ini menjadikan tali silaturahmi keduanya akan terputus secara otomatis dan hubungan tersebut langsung meregang.

  • Melahirkan Permusuhan

Tanpa disadari dan juga tidak bisa dipungkiri bahwa riba melahirkan permusuhan dan juga balas dendam atau rasa benci. Sikap mengambil keuntungan diatas penderitaan orang lain tentu saja sangat dibenci dan tidak bermoral. Sebab ini lah menjadi alasan alasan riba diharamkan.

Apabila kita tidak dapat membantu ada baiknya untuk tidak membebani atau menambah pilihan buruk yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan sikap riba seperti ini justru berkebalikan hal inilah yang menyebabkan seseorang yang terlibat dengan riba, umumnya memiliki rasa benci yang amat sangat besar. Sebab itu penting untuk mengetahui syarat kredit tanpa riba.

  • Menentang Allah SWT

Selanjutnya bagi mereka yang menggunakan riba. Maka secara tidak langsung bergelut dan berinteraksi secara terang-terangan, mereka juga menggumumkan bahwa dirinya adalah penentang Allah dan Rasulullah.

Karena riba adalah sesuatu yang diharamkan memakan riba juga menunjukkan kelemahan serta lenyapnya taqwa dalam diri pelaku. Sehingga hukum mengumpulkan dana riba adalah kerugian secara dunia dan akhirat akan langsung diterima.

  • Selalu Kekurangan

Terakhir kerugian yang dirasakan seseorang yang menggunakan jalur riba yaitu dilaknat oleh Allah dan Rasulullah, serta seringkali merasa kekurangan terutama dalam segi ekonomi. Walaupun dirasa kita bisa mendapatkan banyak sekali keuntungan dari riba baik pelaku ataupun yang menggunakan jasa riba.

Tetapi Allah sudah memberikan penjelasan bahwa mereka yang memanfaatkan riba akan merasa kekurangan dan tidak pernah cukup dalam hidupnya. Sehingga mereka tidak pernah merasa bersyukur, apalagi mendapatkan manfaat dari harta yang dimilikinya.

The post 4 Alasan Mengapa Riba Diharamkan dan Patut Dihindari appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam https://dalamislam.com/dasar-islam/aturan-bagi-hasil-usaha-dalam-islam Thu, 21 Mar 2019 03:55:21 +0000 https://dalamislam.com/?p=5994 Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab terdapat kasih sayang Allah kepada hambaNya, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89) […]

The post Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab terdapat kasih sayang Allah kepada hambaNya, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89)

Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa seperti memahami jenis usaha yang dianjurkan dalam islam.

Di antara produk Islam di dalam bidang ekonomi adalah Al-Mudharabah (bagi hasil). Al-Mudharabah ini bisa menjadi salah satu solusi untuk bisnis skala kecil maupun besar, terlebih lagi untuk orang-orang yang:

  1. Punya skill (kemampuan) dan pengalaman tetapi tidak punya modal.
  2. Punya modal yang uangnya ‘menganggur’ di bank tetapi tidak memiliki skill (kemampuan) dan pengalaman dan tetapi juga menginginkan keuntungan.
  3. Orang yang tidak punya kedua hal di atas, tetapi bisa diajak bekerja dan bekerjasama.

Ketiga kekuatan ini apabila digabungkan, insya Allah akan menjadi kekuatan yang besar untuk ‘mendongkrak’ perekonomian Islam yakni jenis kerjasama dalam ekonomi islam.

Di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:

“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam tentang kedudukan harta dalam ekonomi islam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ no. 1472.]

Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam etika jual beli dalam ekonomi islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?

Insya Allah soal-soal tersebut akan dijawab pada artikel ini.

Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:

  1. Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
  2. Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
  3. Ra’sul-maal (modal)
  4. Al-‘Amal (pekerjaan)
  5. Ar-Ribh (keuntungan)

Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).

Pengusaha tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jika modalnya telah kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yang disepakati.

Di dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.

Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:

  • Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
  • Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.

Inilah garis besar permasalahan dalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.

A. Investor dan Pengusaha

Investor dan pengusaha adalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta dan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh pengadilan dan lain-lain.

Anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada perselisihan pendapat dalam hal ini.

B. Akad

Akad Al-Mudharabah membutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak diketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan. Oleh karena itu, ijab-qabul (serah terima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:

– Adanya kesepakatan jenis usaha

– Adanya keridhaan dari kedua belah pihak

– Diucapkan atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha

Karena akad ini adalah akad kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.

C. Modal

Para ulama mensyaratkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:

– Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang

Para ulama berijma’ bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.

Sebagai contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahan usaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40 juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.

– Harus nyata ada dan bukan hutang

Seorang investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang saya dan nanti saya bayar.”

– Harus diketahui nilai harta tersebut

Modal yang dikeluarkan harus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorang berinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lain berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta. Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil ketika mendapatkan keuntungan.

– Harus diserahkan kepada pengusaha

Modal dari investor harus diserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modal tersebut tidak boleh ditahan oleh investor.

D. Jenis Usaha

Tidak ada pembatasan jenis usaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan, eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.

E. Keuntungan

Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian keuntungan

– Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.

– Harus diprosentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha

Keuntungan yang diperoleh juga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% – 50%, 60% – 40%, 5 % – 95% atau 95% – 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.

Tidak diperkenankan membagi keuntungan 0% – 100% atau 100% – 0%.

Besar prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.

– Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak

Tidak boleh mengikut sertakan orang yang tidak terlibat dalam usaha dengan prosentase tertentu. Misal A adalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harus mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase keuntungan.

Kapankah pembagian keuntungan dianggap benar?

Keuntungan didapatkan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.

Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.

Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apakah boleh pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?

Apabila hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa.

Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.

Bagaimana solusinya agar pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain usaha tersebut bisa mendapatkan uang bulanan untuk hidupnya?

Apabila pengusaha berhutang kepada simpanan usaha tersebut sebesar Rp 3 juta/bulan, misalkan, dan hal tersebut disetujui oleh investor, maka hal tersebut diperkenankan.

Hutang tersebut harus dibayar. Hutang tersebut bisa dibayar dari hasil keuntungan nantinya.

Apabila pengusaha berhutang Rp 10 juta, misalkan, dan ternyata pembagian keuntungannya dia mendapatkan Rp 15 juta, maka Rp 15 juta langsung dipergunakan untuk membayar hutangnya Rp 10 juta. Dan pengusaha berhak mendapatkan Rp 5 juta sisanya.

Akan tetapi, jika tenyata pembagian keuntungannya hanya Rp 8 juta, berarti hutang pengusaha belum terbayar seluruhnya. Pengusaha masih berhutang Rp 2 juta kepada investor.

Dan yang perlu diperhatikan dan ditekankan pada tulisan ini, dalam Al-Mudharabah, keuntungan didapatkan dari prosentase keuntungan bersih dan bukan dari modal.

Adapun yang diterapkan di lembaga-lembaga keuangan atau perusahan-perusahaan yang menerbitkan saham, keuntungan usaha didapatkan dari modal yang dikeluarkan, dan modal yang diinvestasikan bisa dipastikan keamanannya dan tidak ada resiko kerugian, maka jelas sekali ini adalah riba.

Setelah membaca paparan di atas, tentu kita akan mengetahui hikmah yang sangat besar di dalam syariat kita. Bagaimana syariat kita mengatur agar jangan sampai terjadi kezaliman antara pengusaha dengan investor, jangan sampai terjadi riba dan jangan sampai perekonomian Islam melemah sehingga tergantung dengan orang-orang kafir.

Coba kita bayangkan jika seluruh usaha baik kecil maupun besar menerapkan sistem bagi hasil ini, maka ini akan menjadi solusi yang sangat hebat agar terhindar dari berbagai macam riba yang sudah membudaya di masyarakat kita.

Ini juga menjadi solusi bagi orang-orang yang tidak memiliki modal sehingga bisa memiliki usaha mandiri dan ini juga menjadi solusi untuk orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Sungguh indah syariat Islam, karena dia berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian. Mudah mudahan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menerima Komisi dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-menerima-komisi-dalam-islam Fri, 02 Nov 2018 07:26:38 +0000 https://dalamislam.com/?p=4615 Dari sisi ekonomi Islam atau tipe organisasi bisnis dalam islam, membantu menjualkan atau membelikan barang untuk individu atau perusahaan disebut dengan istilah samsarah (makelar), yang berarti menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Orang yang menjadi perantara itu disebut simsaar. Ia disebut juga sebagai penunjuk (dallal) karena dialah yang menunjukkan dan mencarikan untuk si penjual orang […]

The post Hukum Menerima Komisi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dari sisi ekonomi Islam atau tipe organisasi bisnis dalam islam, membantu menjualkan atau membelikan barang untuk individu atau perusahaan disebut dengan istilah samsarah (makelar), yang berarti menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Orang yang menjadi perantara itu disebut simsaar. Ia disebut juga sebagai penunjuk (dallal) karena dialah yang menunjukkan dan mencarikan untuk si penjual orang yang mau membeli barangnya dan mencarikan untuk si pembeli orang yang menjual barang yang dibutuhkannya.

Pada dasarnya, pekerjaan samsarah dan upah atau komisi dari transaksi pekerjaan itu dibolehkan atau merupakan cara bisnis yang diperbolehkan dalam islam karena mendatangkan manfaat bagi pembeli, penjual, dan simsaar itu sendiri. Samsarah ini banyak dibutuhkan orang karena banyak yang tidak tahu cara melakukan tawar menawar (negosiasi) dalam jual beli. Tidak sedikit pula orang yang tidak mampu mencari dan meneliti spesifikasi dan kualitas barang yang hendak dibelinya.

Atau tidak punya waktu untuk melakukan sendiri proses jual beli yang hendak dilakukannya. Di sinilah diperlukan seorang simsaar yakni sebagai perantara keutamaan berbisnis dalam islam. Imam Malik ketika ditanya tentang upah bagi simsaar  menjawab, “Hal itu tidak apa apa.” Imam Bukhari dalam kitab Shahih nya membuat bab sendiri tentang upah samsarah dan menjelaskan bahwa Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim al Nakh’I, dan Hasan al Bashri mengatakan, upah atau komisi untuk simsaar itu tidak apa apa.

Para ulama memasukkan masalah samsarah ini sebagaia bagian dari tips mencari kerja menurut islam pada pembahasan ji’alah (upah yang didapatkan oleh individu karena suatu pekerjaan yang dilakukannya) yang disepakati kebolehannya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT. “Penyeru penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.‘” (QS Yusuf [12] : 72).

Dalam ayat di atas, para pegawai Nabi Yusuf mengatakan tentang etika bisnis dalam islam, barang siapa yang dapat menunjukkan di mana letak piala raja yang hilang, akan mendapatkan imbalan berupa makanan seberat beban unta.Ini merupakan bentuk ji’alah, yaitu menjanjikan upah kepada individu jika ia melakukan apa yang dimintakan kepadanya. Tentu saja komisi akan menjadi haram jika diterima oleh individu yang telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya,

seperti seorang pegawai pengadaan barang atau pejabat terkait yang mendapatkan komisi dari vendor atau suplier perusahaan atau lembaga negara.Sebagaimana banyak terjadi di kalangan elite negara dan pejabat BUMN yang menerima komisi berbagai proyek, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisiennya proyek proyek pemerintah. Seperti, proyek pengadaan Alquran dan impor daging sapi yang baru baru ini terjadi.

Seorang simsaar (perantara) harus memenuhi beberapa syarat untuk boleh melakukan samsarah tersebut.

  • Pertama, ia haruslah orang sudah berpengalaman di bidangnya agar tidak membahayakan kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.
  • Kedua, ia harus jujur, tidak menipu salah satu pihak demi keuntungan pihak yang lain. Ia harus menjelaskan kelebihan dan kekurangan barang atau produk yang hendak ditransaksikan tanpa melebih lebihkan atau mengurangi.
  • Ketiga, ia tidak boleh menjadi perantara untuk menjual atau membeli sesuatu yang tidak halal untuk diperjual belikan, dimiliki, atau diambil manfaatnya.

Berdasarkan itu maka boleh menerima komisi atas perbuatan menjualkan atau membelikan barang untuk individu, baik dilakukan secara profesional maupun hanya sebatas kerabat dan teman asalkan memenuhi syarat syarat di atas.

Tinjauan Islam Terhadap Komisi Makelar

Coba kita lihat fatwa komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah berikut ini:

Pertanyaan:

Saya pernah membawa  individu konsumen ke salah satu pabrik atau toko untuk membeli suatu barang. Lalu pemilik pabrik atau toko itu memberi saya komisi atas konsumen yang saya bawa. Apakah komisi yang saya peroleh itu halal atau haram? Apabila pemilik pabrik itu memberikan tambahan uang dalam jumlah tertentu dari setiap item yang dibeli konsumen tersebut, dan saya mau menerima tambahan tersebut sebagai atas pembelian konsumen tersebut, apakah hal tersebut dibolehkan? Dan apabila hal itu tidak dibolehkan, lalu apakah komisi yang dibolehkan?

Jawaban:

Apabila pihak pabrik atau pedagang memberi Anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri Anda sebagai balas jasa atas kerja keras yang telah Anda lakukan untuk mencari konsumen, dan uang tersebut tidak ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula memberi mudharat pada  individu lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh  individu lain, maka hal itu boleh dan tidak dilarang.

Tetapi, apabila uang yang Anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka Anda tidak boleh mengambilnya dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli karena harus menambah uang pada harga barangnya.

Fatwa di atas menunjukkan bahwa pengambilan komisi dari makelar atau makelar (dari pihak buyer/pembeli) dirinci sebagai berikut:

  • Apabila komisi bagi makelar dibebankan pada harga yang mesti dibayar pembeli tanpa sepengetahuan pembeli, maka tidak dibolehkan karena merugikan pembeli.
  • Apabila komisi bagi makelar tidak dibebankan pada pembeli atau dibebankan pada pembeli dengan seizinnya, maka dibolehkan.

Contoh: Bila A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genteng @ Rp 1.000,  (seribu rupiah), akan tetapi karena konsumen B datang ke toko tersebut dibawa oleh C yang biasanya berprofesi sebagai tukang bangunan, maka A menjual gentingnya kepada B seharga @ Rp. 1.050,  (seribu lima puluh rupiah), dengan perhitungan: Rp 1.000,  adalah harga genteng sebenarnya, dan Rp 50,

adalah fee untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko A. Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000,  menjadi Rp 1.050,  dengan perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Dengan demikian, pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50,  sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Dan ini tentu bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,

Hai  individu  individu yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)

Adapun bila pemilik toko memberi fee kepada C tanpa menaikkan harga jual, sehingga tetap saja ia menjual genteng tersebut seharga @ Rp 1.000,  maka itu tidak mengapa. Atau, bila sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting, ditambah dengan fee yang akan diberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka praktek semacam ini dibenarkan.

Apabila makelar tadi adalah dari pihak penjual (seller), maka rinciannya sebagai berikut:

  • Apabila si makelar menaikkan harga tanpa izin atau sepengetahuan si penjual, maka ini tidak dibolehkan.
  • Apabila si makelar menaikkan harga dengan izin atau sepengetahuan si penjual (baik kadar kenaikannya diserahkan kepada makelar atau ditentukan oleh pemilik barang), ini dibolehkan.

Komisi Harus Jujur dan Amanah

Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah menerangkan, “Hendaklah si makelar adalah  individu yang paham terhadap info yang ia dapat dari penjual atau apa yang diinginkan pembeli. Sehingga dari sini ia tidak merugikan penjual atau juga pembeli, yang awalnya disangka ia punya info, tak tahunya hanya bualan belaka. Si makelar juga harus memiliki sifat amanah dan jujur. Si makelar tidak boleh hanya menguntungkan salah satu dari keduanya (merugikan lainnya). Apabila ada ‘aib (kejelekan) dari barang yang dijual, ia harus menerangkannya dengan amanah dan jujur. Ia pun tidak boleh melakukan penipuan kepada penjual atau pembeli.”

Apabila pihak pabrik atau pedagang memberi anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri anda sebagai motivasi bagi anda atas kerja keras yang telah anda lakukan untuk mencari konsumen, maka uang tersebut tidak boleh ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula hal tersebut memberi mudharat pada  individu lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh  individu lain, maka hal itu boleh dan tidak dialarang.

Tetapi, apabila uang yang anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka anda tidak boleh mengambilnya, dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli dengan harus menambah uang pada harganya.

Apabila telah terjadi kesepakatan antara makelar dengan penjual dan pembeli bahwa dia akan mengambil atau dari keduanya secara bersama sama atas usahanya yang jelas, maka hal itu boleh. Dan tidak ada batas atas usaha itu dengan nilai tertentu. Tetapi apa yang menjadi

kesepakatan dan persetujuan pihak pihak yang terlibat maka hal itu boleh. Hanya saja, harus pada batasan yang biasa dilakukan oleh banyak  individu, yang bisa memberi keuntungan bagi perantara atas usaha dan kerja kerasnya untuk menyelesaikan proses jual beli antara penjual dan pembeli, serta tidak terdapat mudharat kepada penjual atau pembeli atas tambahan yang di luar kebiasaan.

Nah sobat, jadi jelas ya, hukum komisi ialah halal jika memang sudah ada kesepakatan sebelumnya dan tidak merugikan pihak manapun, baik itu pembeli atau penjual, juga tidak boleh menipu dengan memasang harga yang berbeda dengan kesepakatan. Semoga ulasan yang disampaikan bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Menerima Komisi dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Gaji Pegawai Bank dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-gaji-pegawai-bank-dalam-islam Fri, 02 Nov 2018 07:18:24 +0000 https://dalamislam.com/?p=4614 Hukum Gaji Pegawai Bank Konvensional dalam Islam Menurut para ulama bahwa  gaji sesuai pengertian bank konvensional di bank bank konvensional secara mutlak tidak diperbolehkan, karena termasuk memakan harta riba, atau menuliskannya, atau menyaksikannya, atau membantu mereka yang bermuamalah dengannya. Sejumlah ulama besar telah mengeluarkan fatwa haramnya  gaji di bank bank konvensional, meskipun pekerjaannya tidak berkaitan […]

The post Hukum Gaji Pegawai Bank dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Gaji Pegawai Bank Konvensional dalam Islam

Menurut para ulama bahwa  gaji sesuai pengertian bank konvensional di bank bank konvensional secara mutlak tidak diperbolehkan, karena termasuk memakan harta riba, atau menuliskannya, atau menyaksikannya, atau membantu mereka yang bermuamalah dengannya. Sejumlah ulama besar telah mengeluarkan fatwa haramnya  gaji di bank bank konvensional, meskipun pekerjaannya tidak berkaitan secara langsung dengan riba, seperti satpam, petugas kebersihan, pelayanan.

gaji di bank ribawi hukumnya haram sebab termasuk macam macam riba dalam ekonomi islam, karena hal ini berarti tolong menolong dalam dosa dan permusuhan sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah ayat dan sebuah hadits. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim menjauhi riba dan segala perbuatan yang bisa membantu riba. Kita wajib bertakwa (takut) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam masalah ini. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong.

  • Fatwa Lajnah Daimah 15/41:

(seorang muslim tidak boleh  gaji di bank yang bermuamalah dengan riba, meskipun pekerjaannya tidak langsung berkaitan dengan riba, tetapi karena dia menyediakan keperluan para pegawai yang bermuamalah dengan riba dan bantuan yang mereka perlukan untuk muamalah riba. Allah Ta’alaa berfirman: (janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al Maidah:2).

  • Lajnah Daimah pernah ditanya (15/38): Apa hukum gaji di bank bank sehubungan dengan hukum riba menurut islam sekarang ini?

Maka Lajnah menjawab:

(Kebanyakan muamalah keuangan sekarang ini mengandung unsur riba, dan itu haram berdasarkan Al Qur’an, Sunah dan Ijma umat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah menghukumi bahwa orang yang membantu pemakan riba dan wakil yang menuliskannya, atau yang bersaksi untuknya atau semacamnya, maka dia bersekutu dengan pemakannya dan wakilnya dalam laknat dan kutukan dari rahmat Allah.

(Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makannya, penulisnya, dan para saksinya) dan beliau bersabda: (mereka sama (yakni dalam dosa)).

Dan mereka yang  gaji di bank bank konvensional adalah para pembantu bagi majikan majikan bank tersebut dalam mengatur pekerjaannya: sebagai penulis, saksi, pemindah dokumen, kasir, atau yang menerima uangnya dsb yang termasuk ”memberi bantuan bagi

para pelaku riba”, oleh karena itu jelas bahwa pekerjaan di bank bank sekarang adalah haram, dan hendaklah setiap muslim menghindarinya, dan mencari pendapatan dengan cara yang dihalalkan Allah, dan itu banyak, hendaklah bertakwa kepada Allah Rabbnya, dengan tidak menjerumuskan dirinya kepada laknat Allah dan Rasul Nya.

  • Lajnah Daimah juga ditanya (15/55):

apakah  gaji di bank bank terutama di negeri negeri Islam halal atau haram ? apakah sama dengan hukum bekerja pada rentenir? apakah ada bagian bagian tertentu di bank yang halal sebagaimana yang diragukan sekarang, dan bagaimana statusnya jika itu benar ?

Maka Lajnah menjawab:

Pertama:  gaji di bank bank yang bermuamalah dengan riba haram, baik itu di negara Islam atau kafir, karena termasuk tolong menolong dalam dosa dan pemusuhan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa dalam firman Nya: (Tolong  menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al Maidah: 2).

Kedua: Yang nampak bagi kami tidak ada bagian tertentu di bank kenvensional yang dikecualikan dalam Syariat yang suci ini, karena tolong menolong dalam dosa dan permusuhan terjadi diantara seluruh pegawai bank).

  • Dan Lajnah Daimah juga ditanya (15/18):

(Apa hukum bekerja sebagai insinyur maintenance di salah satu perusahaan perangkat elektronika yang bermualah dengan sejumlah bank  bank riba, perusahaan menjual perangkat tersebut (komputer, mesin fotokopi, telefon) kepada bank, dan menugaskan kami sebagai

insinyur maintenance untuk pergi ke bank untuk merawat perangkat ini secara rutin, maka apakah pekerjaan ini haram dengan dasar bahwa bank menggunakan perangkat ini untuk menyiapkan tagihan tagihannya dan mengatur kerja kerjanya, dengan demikian kami membantunya dalam maksiat? ).

Maka Lajnah menjawab:

Anda tidak boleh bekerja di perusahaan seperti yang diceritakan karena termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.

  • Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apakah boleh bekerja di lembaga riba sebagai supir atau satpam ?

Beliau menjawab:

(tidak boleh bekerja di lembaga lembaga riba meskipun hanya sebagai supir atau satpam, karena masuknya dia sebagai pegawai di lembaga riba bermakna dia rela, karena yang mengingkari sesuatu tidak mungkin bekerja untuk kepentingannya, jika bekerja untuk kepentingannya maka berarti dia ridho dengannya, dan yang ridho dengan sesuatu yang diharamkan akan menanggung dosanya.

Adapun orang yang secara langsung bertugas dalam penulisan, pengiriman, penyimpanan, dan semacamnya maka tidak ragu lagi dia berhubungan langsung dengan hal haram. Telah diriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya, dan penulisnya dan beliau berkata: mereka semua sama). Kitab Fatawa Islamiyah (2/401).

Dan banyak lagi fatwa yang masyhur dan terkenal yang mengharamkan  gaji di bank bank konvensional, apapun posisinya, maka bagi yang masih  gaji di bank bank tersebut hendaklah bertaubat kepada Allah serta meninggalkan pekerjaannya, dan memohon kepada Allah dengan bertawakal kepada Nya serta yakin bahwa rizki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’alaa:

(Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikannya jalan keluar dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka sangka. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia Yang mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusannya. Allah telah menentukan takdir bagi segala urusan) (QS Ath thalaq:2 3).

  • Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘anhuRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR. Muslim)

  • Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR. At Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan Al Anshari Radhiallahu ‘anhu )

Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita cita/harapannya, maka Allah akan cerai beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan

barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘anhu  dan dishahihkan Asy Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad 1/263)

  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al Bukhari dari Miqdam bin Ma’dikarib Radhiallahu ‘anhu )

Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan tawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, setelah itu banyak bersyukur dan qana’ah atas anugerah rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.

Hukum Gaji Pegawai Bank Syariah dalam Islam

Adapun  gaji di bank bank syariat maka tidak mengapa apabila dapat dibuktikan bahwa itu benar benar bank islami yang tidak bermuamalah kecuali dengan yang dihalalkan Allah. Berikut fatwa yang kami nukil dari website Al Meshkat Al Islamiyah oleh Abdul Hayyi Yusuf:

Sesungguhnya bank bank syariat muncul sebagai upaya dari sebagian kaum muslimin yang sadar ingin membebaskan kaum muslimin dari dosa dosa riba dan buruknya muamalah dengan riba, sehingga dibentuklah bentuk bentuk transaksi yang diterapkan dalam muamalah sesama manusia yang lebih mendekati maksud syariat Insya Allah, akan tetapi muamalah muamalah ini belum seluruhnya selamat dari riba atau syubhat riba.

Oleh karenanya, maka bermuamalah seperti ini dengan setiap lembaga yang hartanya masih bercampur, ada diantara ulama yang memfatwakan kebolehannya. Maka saya berpendapat tidak mengapa  InsyaAllah – untuk menerima pekerjaan ini. Ini benar Insya Allah, karena selama pihak manajemen bank menyatakan bahwa manajemen bank syariatnya terpisah dengan bank induknya yang konvesional,

demikian juga menyatakan bahwa muamalahnya telah diusahakan sesuai dengan muamalah syariat maka kita tidak perlu lagi untuk memaksakan diri menyelidiki kebenarannya, karena Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah diberi daging bakar oleh seorang wanita yahudi

dan beliau tidak memaksakan diri untuk mencari tahu kepastian kehalalannya, seperti kita tahu bahwa makanan mereka dihalalkan untuk kita, padahal mereka termasuk orang yang bermuamalah dengan yang diharamkan seperti minuman keras atau daging babi dan sebagainya. Wallahu A’lam.

The post Hukum Gaji Pegawai Bank dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Deposito dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-deposito-dalam-islam Fri, 02 Nov 2018 06:58:54 +0000 https://dalamislam.com/?p=4612 Dalam hal perbankan dan produknya, salah satunya yaitu tabungan dan deposito agar terhindar dari bahaya hidup boros dalam islam, pada dasarnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Sebagai contoh pada saat Nabi SAW dipercaya masyarakat Mekkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, Nabi meminta kepada Ali bin Abi Thalib untuk […]

The post Hukum Deposito dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam hal perbankan dan produknya, salah satunya yaitu tabungan dan deposito agar terhindar dari bahaya hidup boros dalam islam, pada dasarnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Sebagai contoh pada saat Nabi SAW dipercaya masyarakat Mekkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah,

Nabi meminta kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua tabungan tersebut kepada para pemiliknya. Selain itu, Menabung adalah tindakan yang dianjurkan dalam Islam, karena dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal hal yang tidak diinginkan.

Sebagaimana Allah berfirman  dalam surat al Hasyr ayat 18 tentang prinsip pengelolaan uang dalam islam sebagai berikut:  “Hai orang orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al Hasyr: 18 )

Deposito Konvensional dan Deposito Syariah

Produk deposito yang dilakukan dengan niat melakukan cara hidup hemat menurut islam merupakan produk bank sejenis jasa tabungan yang biasa ditawarkan kepada masyarakat. Dana dalam produk deposito dijamin oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan persyaratan tertentu. Produk deposito merupakan produk penyimpanan uang di bank dengan

sistem penyetoran yang penarikannya hanya bisa dilakukan setelah melewati waktu tertentu.  Produk deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu di mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik nasabah. Produk deposito baru bisa dicairkan sesuai dengan tanggal jatuh temponya, biasanya produk deposito mempunyai jatuh tempo 1, 3, 6, atau 12 bulan.

Sedangkan Produk deposito syariah yang merupakan salah satu tips menabung dalam islam adalah produk produk deposito atau tabungan berjangka yang dijalankan berdasarkan hukum islam, dimana transaksinya menggunakan prinsip syariah. Produk deposito syariah juga termasuk dalam tabungan syariah yang dinilai halal dan menguntungkan, khususnya bagi umat muslim yang mengedepankan prinsip syariah dalam pengelolaan keuangannya.

Produk deposito syariah memiliki perbedaan yang menonjol jika dibandingkan dengan produk deposito konvensional, yaitu dalam pemberian keuntungan. Jika dalam produk deposito konvensional, keuntungan yang diperoleh berdasarkan bunga tetap. Sedangkan produk deposito syariah menggunakan sistem bagi hasil yang ditentukan oleh nisbah/ porsi yang telah disepakati sebelumnya.

Hukum Deposito dalam Islam

1. Deposito di Masa Rasulullah dan Dasar Hukumnya

Dalam Islam akad mudharabah untuk produk deposito dibolehkan sebab termasuk jenis investasi yang diperbolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus.

Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh. Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah :

  • Surah al Muzzammil ayat 20 :“….dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah….” (Al muzammil : 20).
  • Surah al Baqarah ayat 198 : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu….”. (al Baqarah : 198).

Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi.

  • Abbas Ibn al Muthalib

Tuan kami ‘Abbas Ibn Abd al Muthalib’ jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah lembah,

dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakanAbbas Ibn Abd al Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath Tabrani).

Dikatakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi kongsi Mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah berdasarkan riwayat riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.

2. Bunga dalam Deposito

Produk deposito merupakan produk perbankan yang dimaksudkan sebagai bentuk tabungan. Artinya, mengajak orang untuk menabung yang nilainya akan bertambah serta mendapatkan keuntungan dari penggunaan dana setoran. Dalam kajian fikih, tabungan dikenal dengan istilah istishna’. Dalam tabungan terkandung nisbah atau porsi keuntungan yang wajib diberikan

pelaku usaha kepada shohibul maal (pemilik harta) yaitu nasabah melalui mudlarib (wakil pelaku usaha), dalam hal ini bank. Nisbah ini ditetapkan di awal ketika nasabah menyatakan mendaftar produk produk deposito dan sifatnya tetap. Dalam sistem perbankan konvensional, nisbah keuntungan disebut dengan bunga produk deposito.

Terkait hal ini, Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud Al Kasani memberikan penjelasan dalam kitab Badai’us Shana’i. ” Bila (jenis akad) sudah dikenali, maka dapat kami katakan di sini bahwa bila disampaikan kepada mudlarib satu nisbah yang ma’lum dari laba, maka nisbah laba itu merupakan haknya, sedangkan sisanya merupakan hak pemilik harta sebab modalnya.”

Sementara terkait apakah bunga produk deposito termasuk riba, Az Zuhaily dalam kitab Al Qawa’idul Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fil Madzahibil Arba’ah menerangkan terdapat sebuah kaidah dalam fikih untuk dijadikan dasar. ” Pada dasarnya, suatu akad bergantung pada niat dan maknanya, bukan pada lafal dan bentuknya.”

Dari penjelasan ini, meskipun namanya adalah bunga produk deposito, namun itu sebenarnya nisbah keuntungan. Nisbah tersebut muncul karena uang produk deposito digunakan sebagai modal usaha pihak tertentu yang disalurkan oleh bank. Sehingga dapat disimpulkan bahwa deposito diperbolehkan dalam islam dan hukumnya halal.

3. Menurut MUI

Perbedaan utama antara produk deposito konvensional dan syariah terletak pada sistem pembagian keuntungan. Jika produk deposito konvensional memberikan keuntungan sesuai bunga yang diterapkan, produk deposito syariah menawarkan sistem bagi hasil atau nisbah. Pada produk deposito konvensional, perhitungan bunga memiliki rumus tersendiri tergantung banyak faktor,

seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Suku bunga yang ditawarkan juga berbeda tergantung dari kebijakan masing masing bank.  Menurut MUI / Majelis Ulama Indonesia, bunga bank ini haram hukumnya karena termasuk riba atau keuntungan yang diperoleh dari cara cara yang dilarang hukum Islam. Maka dari itu digunakanlah sistem nisbah dengan pembagian hasil sesuai rasio yang disepakati antara bank dan nasabah.

4. Deposito yang Dihalalkan

Produk deposito yang halal ialah yang memiliki hukum akad mudharabah. Dalam produk deposito syariah dikenal istilah akad mudharabah yang berarti bahwa nasabah memercayakan dananya untuk dikelola oleh bank dengan prinsip syariah. Dalam akad mudharabah ini dijelaskan rasio keuntungan yang akan kamu peroleh. Misalnya saja, ketika akad disepakati bahwa rasio yang digunakan adalah 65:35. Artinya, kamu akan mendapatkan bagi hasil sebesar 65% dan bank mendapatkan 35%.

Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dari landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Berdasarkan prinsip ini bank syariah akan berfungsi sebagai mitra baik dengan penabung demikian juga pengusaha yang meminjam dana. Produk deposito mudharabah adalah produk deposito dengan akad antara pemilik dana sebagai shohibul maal‟ (nasabah /pemilik dana) dengan

bank sebagai pengelola dana atau “mudhorib‟ untuk mengelola dana dan memperoleh laba serta dibagi sesuai nisbah yang disepakati. Pada produk deposito mudharabah ini memang dirancang sebagai sarana untuk tabungan orang orang yang mempunyai dana sehingga dana tersebut akan menghasilkan nisbah bagi hasil yang menguntungkan yang akan diberikan setiap bulannya sesuai jangka waktu yang telah disepakati.

Aplikasi dalam perbankan akad mudharabah biasanya diterapkan pada produk produk pendanaan dan pembiayaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada:

  • Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya
  • Produk deposito biasa dan produk deposito special dimana produk deposito special dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murobahah saja atau ijaroh saja

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:

  • Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
  • Tabungan khusus, disebut juga mudharabah muqoyadoh dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat syarat yang telah ditetapkan oleh shohibul maal.

Nah sobat, jadi jelas ya, deposito yang halal hukumnya ialah yang menggunakan akad sesuai syariat islam. Demikian yang dapat penulis sampaikan, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Deposito dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Bursa Efek Dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-bursa-efek-dalam-islam Tue, 16 Oct 2018 08:45:02 +0000 https://dalamislam.com/?p=4491 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online yang dimaksud dengan bursa efek adalah pusat perdagangan surat-surat berharga dari perusahaan umum. Di dalam bursa efek terjadi proses jual beli efek perusahaan yang telah terdaftar di bursa efek. Adapun pihak yang terlibat dan berperan dalam proses transaksi jual beli efek perusahaan adalah wakil-wakil perusahaan seperti emiten atau perusahaan […]

The post Hukum Bursa Efek Dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online yang dimaksud dengan bursa efek adalah pusat perdagangan surat-surat berharga dari perusahaan umum. Di dalam bursa efek terjadi proses jual beli efek perusahaan yang telah terdaftar di bursa efek.

Adapun pihak yang terlibat dan berperan dalam proses transaksi jual beli efek perusahaan adalah wakil-wakil perusahaan seperti emiten atau perusahaan penerbit efek dan investor selaku pembeli efek.

Selain itu, Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam pun turut hadir sebagai hakim yang menengahi proses transaksi. Saksi-saksi pun dihadirkan yang terdiri dari perusahaan efek, biro administrasi efek, dan bank kustodian selaku tempat menyimpan efek-efek yang hendak diperjualbelikan.

Bagimanakah Islam memandang hal ini?

Praktek jual beli saham atau efek ini belum terjadi di masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya (semoga Allah SWT ridha dan merahmati mereka semua).

Namun hal ini tidak berarti bahwa praktek jual beli saham atau efek ini adalah haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih yang menyatakan bahwa,

“Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Karena Al Qur’an dan Al Hadits tidak mengatur hukum bursa efek dalam Islam, maka harus merujuk pada pendapat para sahabat Nabi atau melalui ijma’ jumhur ulama dengan tetap berlandaskan pada dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Al-Hadis.

Di Indonesia sendiri, beberapa dalil Al Qur-an dan Al-Hadits menjadi landasan diterbitkannya Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syari’ah di Bidang Pasar Modal.

Adapun dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat para ulama di seluruh dunia termasuk indonesia terkait dengan hukum bursa efek dalam Islam salah satunya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya,

“ … dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” (QS. Al-Baqarah : 275)

Ayat tersebut menyatakan bahwa transaksi jual beli adalah halal hukumnya jika dilakukan sesuai dengan ajaran Islam.

Sementara itu, dalil yang berasal dari Al Hadits Nabi SAW yang menjadi landasan hukum bagi para ulama menyatakan pendapatnya tentang hukum bursa efek dalam Islam di antaranya adalah :

  • “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, Ahmad bin Ibn ‘Abbas, dan Malik dari Yahya).
  • “Tidak boleh menjual sesuatu hingga kamu memilikinya”. (HR. Baihaqi dari Hukaim bin Hizam).
  • “Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Adapun beberapa pendapat para ulama terkait dengan hukum bursa efek dalam Islam di antaranya adalah :

  • Pendapat Ibnu Qudumah dalam Al-Mughni juz 5/173 yang menyatakan,

“Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.”  (Beirut : Dar al-Fikr, tanpa tahun).

  • Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al Islami wa Adillatuhu juz 3/1841 yang menyatakan,

“Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.”

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum bursa efek dalam Islam adalah halal sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah serta efek atau saham yang diperjualbelikan berasal dari bisnis yang halal.

Demikianlah ulasan singkat tentang hukum bursa efek dalam Islam. Artikel lain yang dapat dibaca dan berkaitan dengan ekonomi Islam di antaranya adalah jenis usaha yang dianjurkan dalam Islam, cara bisnis yang diperbolehkan dalam Islam, cara pengembangan harta yang dilarang dalam Islam, jenis kerjasama dalam ekonomi Islam, harta dalam Islam, hukum forex dalam Islam, hukum trading dalam Islam, hutang dalam Islam, jual beli kredit dalam Islam, dan hukum saham dalam Islam.

Semoga bermanfaat.

The post Hukum Bursa Efek Dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
5 Jenis Kerja Sama Dalam Ekonomi Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/jenis-kerja-sama-dalam-ekonomi-islam Sun, 30 Sep 2018 00:56:46 +0000 https://dalamislam.com/?p=4412 Dalam perjalanannya, ekonomi dalam islam tidak dapat dilepaskan dari akad-akad atau instrumen yang mempertahankan para pelakunya agar senantiasa tetap pada  kaidah ekonomi islam yang telah ditentukan sehingga tujuan ekonomi islam untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat dapat tercapai. Termasuk kerja sama yang dijalankan, terdapat 5 Jenis Kerja Sama Dalam Ekonomi Islam Syirkah Jenis kerja sama […]

The post 5 Jenis Kerja Sama Dalam Ekonomi Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam perjalanannya, ekonomi dalam islam tidak dapat dilepaskan dari akad-akad atau instrumen yang mempertahankan para pelakunya agar senantiasa tetap pada  kaidah ekonomi islam yang telah ditentukan sehingga tujuan ekonomi islam untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat dapat tercapai.

Termasuk kerja sama yang dijalankan, terdapat 5 Jenis Kerja Sama Dalam Ekonomi Islam

  1. Syirkah

Jenis kerja sama dalam islam yang pertama yaitu Syirkah. Dalam ekonomi konvensional akad ini biasa disebut joint venture. Syirkah dalam arti bahasa adalah kerjasama, kongsi, atau bersyarikat. Syirkah pada prakteknya dalam kegiatan ekonomi merupakan suatu usaha untuk menggabungkan sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama, sumberdaya yang dimaksud bisa berupa modal uang, keahlian, bahan baku, jaringan kerja, dan dilakukan oleh dua orang atau lebih.

  1. Mudharabah

Adalah akad untuk mengikat kerjasama antara dua pihak yaitu pemodal (shahib al-mal) dan pelaksana usaha (mudharib), akad mudharabah juga disebut bagi hasil bagi sebagian orang. Dengan cara menentukan berapa persen bagian keuntungan yang akan diterima oleh kedua pihak. Mudharib wajib mengembalikan modal yang dipinjamkan dan membayarkan bagian keuntungan yang telah ditentukan dengan tenggat waktu atau masa kontrak yang disetujui atau tanpa masa kontrak.

  1. Jual Beli dalam Islam (Bai’ Al Murabahah)

Murabahah adalah akad yang berlaku untuk mengikat penjual dan pembeli dengan adanya penyerahan kepemilikan  antara pedagang dan pembeli.

Ayat Al Quran berikut ini menjelaskan terkait jual beli Murabahah:

“ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. ( Quran :  Al Baqarah : 198).”

Beberapa akad yang ada dalam transaksi jual beli (Bai’ Al Murabahah) diantaranya:

  • Bissamanil Ajil, yaitu transaksi jual beli barang dengan harga yang berbeda antara kontan dan angsuran.
  • Salam, yaitu jual beli barang secara tunai dengan penyerahan barang ditunda sesuai kesepakatan.
  • Istishna, yaitu jual beli barang dengan pemesanan dan pembayarannya pada waktu pengambilan barang.
  • Isti’jar, yaitu jual beli antara pembeli dengan penyuplai barang.
  • Ijarah, yaitu jual beli jasa dari benda (sewa) atau tenaga/keahlian (upah).
  • Sarf, yaitu jual beli pertukaran mata uang antar negara.

4. Transaksi dengan Pemberian Kepercayaan

Transaksi Pemberian Kepercayaan adalah akad atau perjanjian mengenai penjaminan hutang atau penyelesaian dengan pemberian kepercayaan.

Akad transaksi pemberian kepercayaan adalah sebagai berikut :

  • Jaminan (Kafalah / Damanah), yaitu mengalihkan tanggung jawab seseorang (yang dijamin) kepada orang lain (penjamin).
  • Gadai (Rahn),yaitu menjadikan barang berharga yang nilainya setara atau lebih dari nilai pinjaman sebagai jaminan yang mengikat dengan hutang dan dapat dijadikan sebagai bayaran hutang jika kreditur yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya.
  • Pemindahan Hutang (Hiwalah),yaitu pemindahan kewajiban atas pembayaran hutang kepada orang lain yang memiliki sangkutan hutang.

5. Titipan (Wadi’ah)

Adalah akad dimana seseorang menitipkan barang berharganya kepada seseorang yang ia percaya dan memberikan biaya atas jasa simpanan yang ia lakukan, Dalam bank konvensional dapat kita kenal dengan deposit box.

6. Transaksi Pemberian/ Perwakilan dalam Transaksi (Wakalah)

Transaksi ini berupa pemberian kekuasaan untuk menyelesaikan transaksi tertentu, semisal penyerahan rumah atau transaksi jual beli surat berharga yang dilakukan oleh manajer investasi yang dilakukan pada bank kustodian.

The post 5 Jenis Kerja Sama Dalam Ekonomi Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Riba Menurut Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-riba-menurut-islam Sat, 29 Sep 2018 02:02:24 +0000 https://dalamislam.com/?p=4405 Dalam keseharian, tentunya kita melakukan transaksi keuangan setiap harinya. Dalam Islam, terdapat transaksi keuangan yang dilarang dan diharamkan, yakni riba. Pengertian riba adalah mengambil harta dalam Islam atau imbalan secara batil. Hukum riba dalam Islam adalah haram. Kebanyakan riba terdapat dalam bahaya hutang dalam Islam, sehingga semakin menyengsarakan orang yang susah. Allah ta’ala berfirman: وَمَا […]

The post Hukum Riba Menurut Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam keseharian, tentunya kita melakukan transaksi keuangan setiap harinya. Dalam Islam, terdapat transaksi keuangan yang dilarang dan diharamkan, yakni riba. Pengertian riba adalah mengambil harta dalam Islam atau imbalan secara batil.

Hukum riba dalam Islam adalah haram. Kebanyakan riba terdapat dalam bahaya hutang dalam Islam, sehingga semakin menyengsarakan orang yang susah.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)

Baca juga:

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا – وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.

Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130)

Allah kembali berfirman,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٧)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 275-279)

Baca juga:

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

{ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ }

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:

“Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. “

Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”

Baca juga :

Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

{ رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا }

“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai.

Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya: “Apa ini?” Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab: “Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba.”

Itulah penjelasan tentang hukum riba dalam Islam. Betapa besar bahaya riba dalam Islam. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua dan kita terhindar dari dosa riba. Aamiin.

The post Hukum Riba Menurut Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>