haidh Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/haidh Fri, 12 Apr 2019 11:42:17 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png haidh Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/haidh 32 32 Hukum Istihadhah Saat Puasa Ramadhan https://dalamislam.com/info-islami/hukum-istihadhah-saat-puasa-ramadhan Fri, 12 Apr 2019 11:42:15 +0000 https://dalamislam.com/?p=6359 Istihadah adalah darah yang keluar di luar jadwal haid dan juga di luar masa nifas dan hendaknya memahami larangan saat nifas menurut islam Darah ini disebut darah penyakit. Karena bukan berasal dari rahim sebagaimana darah haid atau nifas. Namun disebabkan oleh adanya urat yang pecah atau putus dan kalau keluar langsung mengental. Sifatnya hampir mirip […]

The post Hukum Istihadhah Saat Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Istihadah adalah darah yang keluar di luar jadwal haid dan juga di luar masa nifas dan hendaknya memahami larangan saat nifas menurut islam

Darah ini disebut darah penyakit. Karena bukan berasal dari rahim sebagaimana darah haid atau nifas. Namun disebabkan oleh adanya urat yang pecah atau putus dan kalau keluar langsung mengental. Sifatnya hampir mirip dengan darah yang keluar saat luka.

Para ulama menjelaskan, bahwa hukum yang berlaku pada darah istihadoh berbeda dengan darah haid. Wanita yang haid dilarang untuk sholat, puasa dan tawaf. Adapun wanita yang mengalami Istihadah, hukumnya seperti keadaan suci. Dia tetap diwajibkan sholat, puasa, dan boleh melakukan ibadah lainnya selayaknya wanita yang suci sebagaimana sumber syariat islam.

Imam al Qurtubi rahimahullah menerangkan,

المستحاضة تصوم، وتصلِّي، وتطوف، وتقرأ، ويأتيها زوجه

“Wanita yang mustahadhoh, tetap diperintahkan puasa, sholat, tawaf, membaca Al Quran (meski dengan menyentuh mushaf, pent), dan diperbolehkan melakukan hubungan intim dengan suaminya agar mendapat pahala yang didapat bersama istri.” (Al-Jami’ li Ahkam al Qur’an 2/86).

Keterangan ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Aisyah radhiyallah ‘anha, beliau mengatakan,

جائت فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي اِمْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ اَلصَّلَاةَ؟

Fathimah binti Abu Hubaisy datang menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kemudian berkata: tentang adab wanita saat haid dalam islam

“Ya Rasulullah, sungguh aku ini perempuan yang selalu keluar darah (Istihadah) dan tidak pernah suci. Bolehkah aku meninggalkan shalat? ”

Rasul menjawab : keutamaan haid dalam islam

لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي اَلصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ ثُمَّ صَلِّي

“Tidak, itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haid. Bila haidmu datang tinggalkanlah shalat. Dan bila haid itu berhenti, bersihkanlah dirimu dari darah itu (mandi), lalu shalatlah. ” (Muttafaqun ‘alaih).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, saat menjelaskan potongan hadis “darah Istihadah itu hanyalah darah penyakit.”,

وفي هذا إشارة إلى أن الدم الذي يخرج إذا كان دم عرق – ومنه دم العملية [ الجراحية ]- فإن ذلك لا يعتبر حيضاً ، فلا يحرم به ما يحرم بالحيض ، وتجب فيه الصلاة والصيام إذا كان في نهار رمضان.

“Ini menunjukkan, bahwa darah yang keluar apabila darah tersebut adalah darah penyakit; diantaranya darah yang keluar saat operasi, maka darah itu tidak disebut darah haid. Oleh karenanya, tidak menyebabkan berlakunya larangan sebagaimana yang berlaku pada wanita haid. Maka tetap diwajibkan sholat dan puasa; apabila terjadi di siang hari ramadhan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, jilid 11, soal nomor 226).

Banyak yang ragu-ragu berpuasa saat wanita masih mengeluarkan darah selepas atau di luar siklus menstruasinya. Pengasuh Pesantren Daarut Taubah Harapan Jaya Ustad Mohammad Rois menjawab bahwa darah yang keluar selain haid dan nifas maka darah itu disebut darah penyakit atau darah istihadhah.
“Untuk yang mengalami darah istihadhah ini, diwajibkan menjalan syariat sebagaimana ia masih dalam keadaan suci,”kata Ustaz Rois.

Ustaz Rois merujuk kepada hadis dari Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, “Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari setan, maka anggaplah dirimu haid selama enam atau tujuh hari. Setelah lewat dari itu mandi lah, maka apabila engkau telah suci salat lah selama 24 atau 23 hari, puasa lah dan salat lah. Hal ini mencukupimu, demikianlah engkau lakukan setiap bulannya sebagaimana para wanita biasa berhaidh.”(HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan Al-Imam Ahmad terhadap hadis ini, sedangkan Al-Imam Al-Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160).

Oleh karena itu, diwajibkan bagi wanita yang masih mengeluarkan darah istihadhah untuk berpuasa dan salat sebagaimana biasanya.

Istihadhah adalah keluarnya darah secara terus menerus pada diri seorang wanita. Bisa terjadi selamanya, bisa pula berhenti dalam beberapa waktu. Dalil akan kemungkinan darah akan terus menerus keluar adalah hadist ‘Aisyah dalam shahih buhkari beliau berkata Fatimah bintu Abi Hubaisy berkata Rasulullah bersabda :

“wahai Rasulullah sesungguhnya aku wanita yang tidak pernah mengalami masa suci” (dalam riwayat yang lain); sesungguhnya aku mengalami istihadhah dan tidak pernah suci”

Adapun dalil yang menjelaskan yang keluarnya terhenti kecuali hanya dalam waktu yang sebentar saja adalah hadist Hammah bini Jahsyin, dimana beliau mendatangi nabi dan berkata :

“wahai Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali “ (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Di nukil bahwasannya Imam Ahmad menshahihkannya dan Al Bukhari menghasankan)”

Kondisi wanita yang mengalami Istihadhah

Wanita yang mengalami istihadah ada tiga keadaan :

1. Dia memiliki massa haid yang jelas sebelum mengalami istihadhah. Maka kondisi yang seperti ini dikembalikan kepada masa haidnya yang sudah diketahui pada massa sebelum dia istihadhah dan di luar hari hari yang biasa dia mengalami haid, berlaku padanya hukum wanita yang istihadhah.
Fatimah bintu Abi Hubaisy berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah dan tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat ? beliau menjawab :

“ Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada rahim) yang terbuka, akan tetapi tinggalkan shalat seukuran engkau biasa mengalami haid kemudian mandilah (haid) dan shalatlah (HR. Al Bukhari).

2. Apabila dia tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas sebelum dia mengalami istihadhah. Apabila dia tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas sebelum dia mengalami istihadhah, karena istihadhah itu berlangsung terus menerus sejak awal keluar darah darinya.

Maka pada kondisi yang seperti ini dia beramal dengan perbedaan kondisi darah yang keluar tersebut. dimana haidnya diperhitungkan dengan kondisi darah yang berwarna kehitaman, atau kental atau baunya yang dengan itu berlaku padanya hukum – hukum haid. Adapun jika cirinya tidak seperti itu maka di hukumi darah istihadhah sehingga berlaku padanya hukum – hukum istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda nabi kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy :

“ jika darah itu haid, maka sesungguhnya darahnya kehitaman dan dikenali. Jika demikian kondisi darahnya maka tahanlah dirimu dari melakukan shalat. Sedangkan jika kondisi darahnya tidak demikian , maka berwudhulah dan shalatlah karena sesungguhnya itu hanyalah dari urat (rahim) yang terbuka (HR. Abu Dawud dam An Nasa’I dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)

pada sanad dan matannya hadist ini ada kelemahan, akan tetapi para ulama telah beralmal dengan hadist tersebut. dan yang demikian lebih utama daripada mengembalikan hukum wanita yang kondisinya seperti ini kepada adat / kebiasaan keumuman wanita.

3. Seorang yang tidak memiliki masa haid yang jelas juga dan tidak ada perbedaan kondisi perbedaan darah yang jelas pula.

Seperti seorang yang mengalami istihadhah terus menerus sejak pertama kali keluar darah, sedangkan sifat darahnya sama atau sifatnya kacau, sehingga tidak mungkin di hukumi sebagai darah haid. Kondisi ini di berlakukan padanya kondisi haid keumuman wanita.
Contoh dalam masalah ini : seorang melihat darah terus keluar pada hari kelima bulan tersebut. kemudian darah terus keluar tanpa ada perbedaan sifat darah yang jelas untuk bisa dihukumi sebagai darah haid, tidak dari sisi warnanya tidak pula yang lainya. Maka haid dihitung setiap bulan selama enam atau tujuh hari

Dalilnya adalah hadist Hamnah bintu Jahsyin dia berkata :

“wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku telah terhalang dengan sebab itu dari menuaikan shalat dan puasa”. Beliau berkata : “aku akan tunjukan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena di akan menutup aliran darahmu” dia berkata : darah tersebut terlalu deras. Kemudian di hadist tersebut Nabi bersabda : “sesungguhnya darah tersebut tendangan – tendangan syaitan, maka massa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” (HR.Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Di nukilkan bahwasannya Imam Ahmad menshahihkanya dan Al Bukhari menghasankannya)”

Kondisi yang mirip dengan Orang terkena Istihadhah.

Terkadang terjadi pada seorang wanita suatu sebab yang mengharuskan mengalir darah dari kemaluanya, seperti akibat oprasi rahim atau sebab lainya. Keadaan ini ada dua macam :

1. diketahui bahwa wanita tersebut tidak akan mengalami haid lagi sesudah oprasi. Misal : jika oprasi itu beruapa untuk pengangkatan rahim atau memutus salauran (vasektomi) sehingga tidak ada lagi darah yang mengalir dari rahim, Maka kondisi seperti itu tidak diberlakukan padanya hukum istihadhah. Yang diberlakukan padanya hukum orang yang melihat warna kuning atau keruh atau basah sesudah masuk massa suci.

Maka dia tidak boleh meninggalkan shalat, puasa, tidak pula terlarang menggaulinya, dan tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah tersebut. akan tetapi yang harus di lakukan ketika hendak shalat adalah mencuci darah dan menyumbat kemaluannya dengan kain atau semacamnya untuk mencegah keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Dia tidak berwudu kecuali sesudah masuk waktu shalat jika.

2. tidak bisa di pastikan dia tidak akan haid lagi sesudah operasi. Bahkan mungkin dia akan mengalami haid lagi. Maka kondisi ini, hukumnya hukum wanita yang mengalami istihadhah.Rasulullah bersabda kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy :

“ Darah tersebut sesungguhnya bukan haid. Jika telah tiba massa haidmu maka tinnggalkan shalat (HR. Al Bukhari)

Semoga bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Istihadhah Saat Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Membaca Al-Quran Digital Bagi Wanita Haid https://dalamislam.com/hukum-islam/wanita/hukum-membaca-al-quran-digital-bagi-wanita-haid Wed, 07 Mar 2018 08:05:29 +0000 https://dalamislam.com/?p=2888 Bagi seorang muslim, manfaat membaca Al-Quran atau kibat Allah merupakan sebuah keutamaan di samping ibadah-ibadah wajib yang mereka kerjakan. Meskipun hukumnya tidak wajib, namun banyak orang berlomba untuk bisa menyempatkan waktunya demi membaca dan mempelajari kitab Allah yang satu ini. Terutama saat bulan ramadhan tiba terutama mengenai keutamaan mengkhatamkan Al-Quran. Namun adakalanya seorang muslim tidak […]

The post Hukum Membaca Al-Quran Digital Bagi Wanita Haid appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bagi seorang muslim, manfaat membaca Al-Quran atau kibat Allah merupakan sebuah keutamaan di samping ibadah-ibadah wajib yang mereka kerjakan. Meskipun hukumnya tidak wajib, namun banyak orang berlomba untuk bisa menyempatkan waktunya demi membaca dan mempelajari kitab Allah yang satu ini.

Terutama saat bulan ramadhan tiba terutama mengenai keutamaan mengkhatamkan Al-Quran. Namun adakalanya seorang muslim tidak diperbolehkan membacanya khususnya bagi para wanita yang sedang dalam keadaan haid atau menstuasi.

Haid atau menstruasi adalah keadaan di mana darah keluar dari varji kemaluan seorang wanita dewasa. Hukum darah haid adalah najis besar dan untuk mensucikannya pun wanita harus melakukan mandi besar. Untuk itu, beberapa pendapat melarang seorang wanita yang sedang dalam keadaan yang tidak suci (sedang haid) tidak diperbolehkan menyantuh dan membaca Al-Qur’an.

Di satu sisi ada beberapa pendapat yang memperbolehkan membaca Al-Qur’an tanpa menyentuhnya meskipun wanita tersebut masih dalam keadaan berhadast. Tentunya dengan syarat yang telah ditetapkan islam. Namun, bagaimana jika membacanya melalui Al-Qur’an  digital yang ada di smartphone? Apakah tetap diperbolehkan?

Untuk menjawab pertanyaan yang sering terbesit di dalam benak pikiran para muslimah. Berikut uraian dan penjalasan mengenai hukum membaca Alquran saat haid.

Hukum Membaca Al-Qur’an Digital Dalam Keadaan Haid/Menstruasi

Dalam kondisi berhadast (haid/mestruasi) seorang muslimah (perempuan) tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah-ibadah yang telah ditentukan. Seperti sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah-ibadah lain yang apabila dikerjakan seseorang harus dalam keadaan suci terlebih dahulu. Ini juga berhubungan dengan hukum wanita haid masuk masjid, hukum wanita haid ziarah kubur, hukum memotong rambut saat haid dalam islam.

Hal tersebut dikarenakan darah yang keluar dari varji (kemaluan) seorang muslimah bersifat najis. Sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

Mereka bertanya kepadamu mengenai darah ahid. Katakanlah jika haid itu merupakan sebuah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari seorang wanita ketida dalam keadaan haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka dalam keadaan yang suci. Apabila mereka sudah dalam keadaan yang suci maka campurilah mereka di tempat yang telah di perintahkan oleh Allah SWT. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang telah mensucikan dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dalam beberapa dalil menyebutkan jika wanita yang sedang dalam keadaan berhadast atau sedang haid tidak diperbolehkan membaca Al-Qur’an. Selain membaca, mereka juga tidak diperbolehkan menyentuh ataupun melihat isi tulisan di dalamnya.

Hal ini sesuai dengan dalil Al-Qur’an yang menyebutkan: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah sebuah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihata (Lauhul Mahfuzd), tidak diperbolehkan menyentuhnya keciali bagi hamba-hamba yang dalam keadaan suci.” (QS. Al-Waqiah: 76 – 79).

Selain dalil Al-Qur’an, hadist lain yang menyebutkan tentang larangan membaca Al-Qur’an bagi wanita haid adalah dari salah satu sahabat Rasulullah SAW yaitu Amr Ibn Hazm Radiyallahu’anhu yang menyatakan: “Hanya orang-orang dalam keadaan sucilah yang diperkenakan untuk menyentuh Al-Qur’an.” (HR. Imam Malik).

Selain itu Imam Nawawi juga menegaskan dalam kitabnya Al-Majmu Syarh Al-Muhadzab: “Dalam mahzab kami (Syafi’iyyah) yang yang sedang dalam keadaan junub dan bagi para wanita yang haid maka diharamkan untuk membaca Al-Qur’an baik itu sedikit maupun banyak, atau bahkan hanya sebagian ayat saja.” Karena hal ini merupakan pendapat mayoritas besar ulama kita.

Ada pula sebuah hadist yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Ummar Radiallahu’anha menyatakan: “Janganlah (perempuan) yang dalam keadaan berhadast (haid) dan orang yang masih dalam keadaan junub membaca sedikit pun dari ayat-ayat Al-Qur’an.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Namun kedudukan hadist ini sangat lemah atau Dhaif.

Berdasarkan firman Allah SWT yang terkandung dalam surat Al-Waqiah yang berbunyi: “Al-Qur’an tidak diperbolehkan disentuh kecuali bagi mereka yang telah dalam kondisi bersuci.” (QS. Al-Waqiah: 78).

Selain itu hadist lain dari Muhammad bin Fadl, dari Bapaknya Thawus dan Jabir, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “ Tidak boleh bagi perempuan haid atau nifas (orang yang dalam keadaan junub) membaca ayat-ayat Al-Qur’an sedikit pun juga dari ayat yang terkandung di dalamnya.”

Namun hadist ini Maudhu’ (palsu) yang telah diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Abu Nua’im pada kitabnya Al-Hilyah. Sanad dari hadist ini adalah Maudhu’ atau palsu karena Muhammad bin Fadl yang dikatakan oleh para imam ahli sebagai pendusta sebagaimana yang telah diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Dari dalil di atas, membaca Al-Qur’an bagi wanita dalam keadaan haid adalah tidak diperbolehkan. Karena pada dasarnya, saat membaca Al-Qur’an seorang muslim atau muslimah secara langsung akan berhubungan dengan muskhaf dan hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali bagi mereka yang sudah dalam keadaan bersuci (wudhu).

Namun, apabila mereka tidak menyentuhnya secara langsung, maka hal tersebut masih diperbolehkan menurut beberapa pendapat ulama lain.

Pendapat Ulama

Dari beberapa dalil di atas, telah disebutkan apabila seorang muslim atau muslimah yang ingin atau sedang membaca Al-Qur’an. Maka diwajibkan untunya bersuci terlebih dahulu (wudhu). Namun, hal tersebut berlaku ketika mereka sedang dalam keadaan menyentuh atau memegang muskhaf secara langsung. Karena ada larangan untuk menyentuh mushkaf Allah bagi mereka yang dalam kondisi tidak suci.

Hal inilah yang menimbulkan beberapa pendapat yang justru memperbolahkan seorang muslimah (wanita) dalam keadaan haid untuk membaca Al-Qur’an tapi tidak menyentuhnya. Hal ini tentu berdasarkan atas dalil yang telah dijelaskan sebelumnya.

Misalnya saja, seorang wanita yang masih dalam keadaan haid tetap bisa membaca Al-Qur’an dengan meminta tolong kepada orang lain untuk memegangnya. Atau bisa dengan jalan lain yaitu melalui Al-Qur’an digital (bukan mushkaf).

Contoh lain yang bisa digunakan untuk memperjelas pendapat ulama mengenai hukum membaca Al-Qur’an digital bagi seorang wanita yang sedang haid adalah ketika seorang hafidzah atau wanita yang sedang menghafalkan Al-Qur’an.

Maka ketika ia tidak membacanya, maka para ulama menakutkan apa yang sudah dihafalkannya akan hilang. oleh sebab itu, ada beberapa ulama yang memperbolehkan seorang wanita membaca Al-Qur’an meskipun ia dalam kondisi sedang haid dan baca juga mengenai penjelasan tentang larangan saat haid.

Hal ini berdasarkan hadist Aisyah yang berbunyi: “ Aisyah berkata: Kami keluar untuk (menunaikan ibadah haji) bersama Rasulullah SAW (dan) kami pun tidak menyebutnya selain haji”. Ketika kami telah sampai di suatu tempat yang bernama Sarif Aku Haid. Lalu Rasulullah masuk dan menemuiku dalam kondisi sedang menangis. Lalu Beliau pun bertanya:

Apa yang membuatnya menangis wahai Aisyah?” Aku menjawab: “Aku ingin demi Allah jikalau sekiranya aku tidak haji tahun ini”. Beliau pun bersabda: “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah SWT  bagi anak-anak perempuan Adam, oleh sebab itu kerjakanlah apa yang dikerjakan  orang yang sedang dalam keadaan berhaji kecuali engkau tidak diperbolehkan untuk Thawaf di Ka’bah hingga engkau suci dari (haid).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, membaca Al-Qur’an saat haid juga diperbolehkan apabila niatnya adalah hanya untuk mengajarkan atau membenarkan bacaan yang salah. Bukan untuk mendapatkan pahala dari membaca Al-Qur’an itu sendiri. Maka hal yang seperti inilah juga diperbolehkan menurut sebagian dari ulama islam.

Namun yang perlu diketahui, membaca bacaan Al-Qur’an sebaiknya tetap dilakukan dalam atau keadaan yang suci. Hal tersebut selain memiliki keutamaan dari apa yang ia kerjakan. Tentu Allah SWT juga akan lebih menyukai mereka yang benar-benar mengikuti ajaran-Nya.

Membaca Al-Qur’an dengan langsung memegang atau menyentuh Al-Qur’an. Tentu pahala dan keutamaannya lebih tinggi dibandingkan tidak menggunakan mushkaf secara langsung.

Namun apabila karena alasan lain seperti memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang lain. Maka menggunakan atau membaca Al-Qur’an digital bagi wanita haid itu diperbolehkan. Karena mengajarkan sesuatu kepada sesama muslim merupakan pahala yang sangat mulia dihadapan Allah SWT. Seperti hanya keutamaan membaca alquran di bulan ramadhan.

Kasimpulan mengenai hukum membaca Al-Qur’an digital bagi wanita haid terdapat dua pendapat yakni

  1. Beberapa Ulama melarangnya karena pada dasarnya membaca Al-Qur’an hanya diperbolehkan untuk mereka (muslim dan muslimah) yang dalam keadaan suci (berwudhu). Dan hal ini merupakan pendapat sebagian besar ulama ahli.
  2. Sedangkan diperbolehkan membaca melalui perangkat digital dengan niat bukan untuk mendapatkan pahala dari bacaan yang telah mereka kerjakan. Namun hal tersebut diperbolehkan bagi mereka yang memiliki tugas atau tanggung jawab untuk membenarkan bacaan orang lain.

Dari dua pendapat mengenai hukum membaca Al-Qur’an  digital bagi wanita haid di atas. Sebenarnya kembali kepada kepercayaan masing-masing. Waalahu’alm bii showaf.

The post Hukum Membaca Al-Quran Digital Bagi Wanita Haid appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Mandi Wajib : Pengertian, Syarat, Rukun dan Cara Pelaksanannya https://dalamislam.com/info-islami/mandi-wajib Mon, 20 Jun 2016 04:45:15 +0000 http://dalamislam.com/?p=708 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh […]

The post Mandi Wajib : Pengertian, Syarat, Rukun dan Cara Pelaksanannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS : Al-Maidah : 6)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa islam sangat mewajibkan umatnya untuk menjaga kebersihan dan kesucian diri. Fungsi Al-Quran bagi umat manusia, salah satunya adalah memberikan informasi terkait kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah menjaga kebersihan dan kesucian. Menjaga kebersihan dan kesucian adalah sebagian dari iman. Dalam ajaran islam, setiap muslim harus mampu menjaga kebersihan dan kesuciannya, terutama ketika akan melaksanakan ibadah (habluminallah).

Pengertian mandi wajib

Cara untuk menjaga kebersihan dan kesucian diri adalah dengan mandi dan berwudhu. Namun, dalam islam dikenal dengan istilah mandi wajib. Mandi wajib ini adalah sebuah aturan dari Allah untuk umat muslim dalam kondisi tertentu dan syarat tertentu. Bagaimana sebetulnya mandi wajib dan cara untuk melaksanakannya, akan dibahas dalam artikel di bawah ini.

Dalam bahasa arab, mandi berasal dari kata Al-Ghuslu, yang artinya mengalirkan air pada sesuatu. Menurut istilah, Al-Ghuslu adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus bertujuan untuk menghilangkan hadast besar.  Mandi wajib dalam islam ditujukan untuk membersihkan diri sekaligus mensucikan diri dari segala najis atau kotoran yang menempel pada tubuh manusia. Untuk itu, mandi wajib diharuskan sebagaimana dalam Ayat diatas.

Kondisi yang Mensyarakatkan Mandi Wajib dalam Islam

Dalam Islam, ada kondisi-kondisi dimana seorang muslim atau muslimah diwajibkan untuk melaksanakan mandi (mandi wajib). Hal-hal tersebut membuat seseorang terhalang untuk shalat, masuk ke dalam masjid, dan juga melaksanakan ibadah lainnya karena dalam kondisi yang tidak suci.

  1. Keluarnya Air Mani (Setelah Junub)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. (QS : An-Nisa : 43)

Dalam ayat diatas ditunjukkan bahwa setelah berjunub (berhubungan suami istri), yang dimana antara laki-laki atau perempuan akan mengeluarkan cairan dari kemaluannya, maka wajiblah ia untuk melaksanakan mandi wajib setelahnya. Sedangkan jika tidak, ia tidak bisa shalat dan menghampiri masjid, dan jika dilalaikan tentu akan berdosa, karena meninggalkan yang wajib.

Selain itu, sebagaimana Rasulullah SAW dalam sebuah hadist, mengatakan bahwa

Diriwayatkan dari Abu Sa’id berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Mandi diwajibkan dikarenakan keluar air mani” (HR. Muslim)

“Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim berkata,’Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu tentang masalah kebenaran, apakah wanita wajib mandi apabila dia bermimpi? Nabi saw menjawab,’Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)

Sayyid Sabiq, seorang ulama fiqh mengatakan tentang persoalan keluarnya air mani dan mandi wajib, hal-hal tersebut adalah berikut :

  • Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak wajib mandi.
  • Jika seseorang bermimpi namun tidak mendapatkan air mani maka tidak wajib baginya mandi, demikian dikatakan Ibnul Mundzir.
  • Jika seseorang dalam keadaan sadar (tidak tidur) dan mendapatkan mani namun ia tidak ingat akan mimpinya, jika dia menyakini bahwa itu adalah mani maka wajib baginya mandi dikarenakan secara zhohir bahwa air mani itu telah keluar walaupun ia lupa mimpinya. Akan tetapi jika ia ragu-ragu dan tidak mengetahui apakah air itu mani atau bukan, maka ia juga wajib mandi demi kehati-hatian.
  • Jika seseorang merasakan akan keluar mani saat memuncaknya syahwat namun dia tahan kemaluannya sehingga air mani itu tidak keluar maka tidak wajib baginya mandi.
  • Jika seseorang melihat mani pada kainnya namun tidak mengetahui waktu keluarnya dan kebetulan sudah melaksanakan shalat maka ia wajib mengulang shalatnya dari waktu tidurnya terakhir
  1. Bertemunya/bersentuhannya alat kelamin laki-laki dan wanita, walaupun tidak keluar mani

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seseorang duduk diantara anggota tubuh perempuan yang empat, maksudnya; diantara dua tangan dan dua kakinya kemudian menyetubuhinya maka wajib baginya mandi, baik mani itu keluar atau tidak.” (HR. Muslim dan

Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Apabila dua kemaluan telah bertemu maka wajib baginya mandi. Aku dan Rasulullah saw pernah melakukannya maka kami pun mandi.” (HR. Ibnu Majah)

Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bila suami-istri yang telah berhubungan badan, walaupun tidak keluar mani, sedangkan telah bertemunya kemaluan dia antara keduanya, maka wajib keduanya mandi wajib, untuk mensucikan diri.

  1. Haid dan Nifas

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS : Al-Baqarah : 222)

Darah yang dikeluarkan dari proses Haidh dan Nifas statusnya adalah suatu kotoran, najis, dan membuat tidak suci diri wanita. Untuk itu wanita yang telah melewati haidh dan nifas, maka wajib baginya untuk bersuci dengan mandi wajib, agar bisa kembali beribadah.  Hal ini disebabkan ada larangan saat haidh dan nifas untuk melangsungkan shalat dan puasa, sebelum benar-benar suci dari hadast. Sedangkan menundanya, merupakan kedosaan karena meninggal hal wajib, yang dalam kondisi telah melewati haidh atau nifas.

Melakukan mandi atau Keramas saat haidh tentunya tidak menjadikan diri muslimah suci, sebelum benar-benar berhentinya darah haidh dan nifas. Hal ini pun sebagaimana dalam Hadist Rasulullah, wanita dalam kondisi haidh dilarang shalat dan wajib untuk mandi setelahnya.

Sabda Rasulullah saw kepada Fatimah binti Abu Hubaisy ra adalah,”Tinggalkan shalat selama hari-hari engkau mendapatkan haid, lalu mandilah dan shalatlah.” (Muttafaq Alaih)

Sebetulnya bagi wanita, ada kondisi dimana melahirkan diwajibkan juga untuk mandi wajib. Namun, hal ini terjadi perbedaan pendapat antar ulama fiqh. Secara umum mewajibkan, sedangkan yang lainnya ada yang tidak mewajibkan. Muslimah bisa mengambil mana yang sesuai dengan keyakinan hati dan pertanggungjawaban masing-masing ulama.

  1. Karena kematian                                 

“Dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Rasulullah saw bersabda dalam keadaan berihram terhadap seorang yang meninggal terpelanting oleh ontanya,”Mandikan dia dengan air dan daun bidara.” (HR.Bukhori Muslim)

Orang yang mengalami kematian, ia wajib untuk dimandikan. Untuk itu mandi wajib ini berlaku pula bagi yang meninggal, walaupun ia bukan mandi oleh dirinya sendiri, melainkan dimandikan oleh orang-ornag yang lain. Untuk pelaksanaannya, maka setelah dimandikan ada pelaksanaan shalat jenazah dalam islam, sebagai shalat terakhir dari mayit.

Rukun dan Cara Pelaksanaan Mandi Wajib

Cara mandi dalam islam disampaikan teknisnya oleh Rasulullah SAW, untuk menunjukkan cara mensucikan diri yang benar. Untuk melaksanakan mandi wajib, berikut cara-caranya yang diambil dari HR Muslim dan Bukhari, mengenai bab tata cara pelaksanaan mandi wajib.

  1. Niat untuk mengangkat hadas besar

Segala sesuatu berasal dari niatnya. Untuk itu, termasuk pada pelaksanaan mandi wajib pun juga harus diawali dari niat. Untuk pelafadzan niat adalah “Aku berniat mengangkat hadas besar kerana Allah Taala”. Setelah itu bisa kita mengucapkan bismillah, sebagai permulaan untuk mensucikan diri. Hal ini dikarenakan ada banyak fadhilah bismillah jika dibacakan seorang muslim dalam aktivitasnya.

  1. Membasuh seluruh anggota badan yang zahir.

“Ummu Salama RA, aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang cara-cara mandi, beliau bersabda, “Memadailah engkau jiruskan tiga raup air ke kepala. Kemudiian ratakannya ke seluruh badan. Dengan cara itu, sucilah engkau” (HR Muslim)

Membasuh semua anggota badan termasuk kulit atau rambut dengan air serta meratakan air pada rambut hingga ke pangkalnya. Selain itu wajib juga membasuh dengan air ke seluruh badan termasuk rambut-rambut, bulu yang ada pada seluruh anggota badan, telinga, kemaluan bagian belakang ataupun depan.

  1. Rambut dalam kondisi terurai/tidak terikat

Untuk mandi besar, maka rambut harus dalam kondisi terurai atau tidak terikat. Hal ini untuk benar-benar mensucikan seluruh tubuh, sedangkan jika terikat maka tidak sempurna mandinya. Dikhawtirkan tidak semua bagian dibasuh atau terkenai air. Selain itu, bisa juga selepas dalam kondisi junub atau haidh bagi wanita mencukur bulu kemaluan. Mencukur bulu kemaluan dalam islam adalah suatu yang juga sangat dianjurkan dan mencukur bulu kemaluan pria dalam islam pun sangat dianjurkan. Hal ini bisa menambah kebersihan, dan tidak banyak kotoran yang bersisa yang masih melekat dalam bulu di badan.

Namun, perlu diperhatikan walaupun mencukup bulu-bulu atau rambut dianjurkan dalam islam, namun berbeda dengan mencukur alis. Untuk itu, ada hukum mencukur alis dalam islam yang perlu diperhatikan, terutama bagi kaum wanita.

  1. Memberikan wewangian bagi wanita yang setelah haid

“Ambillah sedikit kasturi kemudin bersihkan dengannya

Hal ini sifatnya tidak wajib, melainkan sunah saja. Untuk wanita, maka bisa memberikan semacam wewangian ataupun sari-sari bunga yang bisa membersihkan dan membuat wangi kemaluannya, dimana telah terkena darah haid selama periodenya. Untuk itu di zaman Rasulullah diberikan bunga kasturi, sedangkan di zaman sekarang ada banyak sari-sari bunga atau hal lainnya yang bisa lebih membersihkan, mensucikan, dan membuat wangi.

Cara Mandi Wajib yang Baik Menurut Rasulullah

Hal-hal berikut adalah cara mandi yang baik menurut Rasulullah dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Muslim yang melaksanakannya maka akan sesuai sebagaimana Rasulullah melakukannnya. Tahapannya adalah sebagai berikut :

  1. Terlebih dahulu mencucui tangan sebanyak tiga kali, sebelum tangan tersebut digunakan mandi, atau dimasukkan ke dalam tempat pengambilang atau penampungan air
  2. Untuk membersihkan kemaluan dan kotoran, maka hendaklah untuk menggunakan tangan kiri, bukan tangan kanan. Tangan kanan digunakan untuk makan, sedangkan tidak mungkin menggunakannya untuk membersihkan kemaluan.
  3. Setelah membersihkan kemaluan, maka cucilah tangan dengan menggosokkannya pada tanah, bisa juga dengan sabun agar hilang kotoran tersebut dari tangan.
  4. Berwudhu dengan cara berwudhu yang benar sesuai aturan/rukunnya dalam islam, selagi akan melakukan shalat.
  5. Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali
  6. Mencuci kepala (keramas) mulai dari kepala bagian kanan ke bagian kiri dan membersihkannya hingga sela-sela rambut, agar benar-benar bersih dan sempurna
  7. Mengguyur air mulai dari sisi badan sebelah kanan lalu pada sisi sebelah kiri

Hal yang makruh saat melaksanakan mandi wajib

  1. Menggunakan air secara berlebihan

“Nabi SAW mandi dengan segayung hingga lima gayung air dan berwudhu dengan secupak air” (HR Bukhari dan Muslim)

“Cukuplah engkau mandi dengan segantang air. Lalu seorang lelalki berkata, ini tidak mencukupi bagiku. Jabir menjawab, Ia telah pun mencukupi bagi orang yang lebih baik dan rambutnya lebih lebat daripada engkau (yakni Rasulullah SAW)”  (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadist di atas dijelaskan oleh Rasulullah bahwa untuk melaksanakan mandi, maka tidak perlu berlebihan menggunakan air. Air yang digunakan adalah secukupnya dan tidak menghambur-hamburkannya. Hal ini mengingat bahwa dalam ajaran islam tidak mengajarkan sikap berlebih-lebihan termasuk dalam menggunakan sesuatu.

  1. Mandi dari air yang tenang

“Janganlah seseorang daripada kamu yang junub mandi di dalam air yang tenang. Orang ramai bertanya. Wahai abu hurairah bagaimanakah sepatutnya dia lakukan? Abu hurairah menjawab, ambil air. (Dengan tangan atau bekas kecil beserta niat mencedok sekiranya air itu sedikit, supaya tidak menjadi musta’mal disebabkan bersentuh dengan tangan, atau ambil sedikit air dari bekas sebelum berniat mengangkat janabah. Kemudia berniat, memasuh tangan, dan ambilah air seterusnya dengan tangannya itu”

Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa hendaknya muslim yang akan melaksanakan mandi wajib, menggunakan air yang mengalir.

Begitulah tata cara pelaksanaan mandi wajib, semoga kita senantiasa menjadi muslim yang selalu membersihkan diri. Karena, mensucikan diri lahir dan batin, adalah salah satu fungsi agama yang harus dijalankan setiap muslim.

The post Mandi Wajib : Pengertian, Syarat, Rukun dan Cara Pelaksanannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>