hukum ekonomi Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/hukum-ekonomi Thu, 21 Mar 2019 03:55:23 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png hukum ekonomi Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/hukum-ekonomi 32 32 Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam https://dalamislam.com/dasar-islam/aturan-bagi-hasil-usaha-dalam-islam Thu, 21 Mar 2019 03:55:21 +0000 https://dalamislam.com/?p=5994 Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab terdapat kasih sayang Allah kepada hambaNya, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89) […]

The post Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab terdapat kasih sayang Allah kepada hambaNya, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89)

Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa seperti memahami jenis usaha yang dianjurkan dalam islam.

Di antara produk Islam di dalam bidang ekonomi adalah Al-Mudharabah (bagi hasil). Al-Mudharabah ini bisa menjadi salah satu solusi untuk bisnis skala kecil maupun besar, terlebih lagi untuk orang-orang yang:

  1. Punya skill (kemampuan) dan pengalaman tetapi tidak punya modal.
  2. Punya modal yang uangnya ‘menganggur’ di bank tetapi tidak memiliki skill (kemampuan) dan pengalaman dan tetapi juga menginginkan keuntungan.
  3. Orang yang tidak punya kedua hal di atas, tetapi bisa diajak bekerja dan bekerjasama.

Ketiga kekuatan ini apabila digabungkan, insya Allah akan menjadi kekuatan yang besar untuk ‘mendongkrak’ perekonomian Islam yakni jenis kerjasama dalam ekonomi islam.

Di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:

“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam tentang kedudukan harta dalam ekonomi islam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ no. 1472.]

Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam etika jual beli dalam ekonomi islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?

Insya Allah soal-soal tersebut akan dijawab pada artikel ini.

Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:

  1. Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
  2. Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
  3. Ra’sul-maal (modal)
  4. Al-‘Amal (pekerjaan)
  5. Ar-Ribh (keuntungan)

Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).

Pengusaha tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jika modalnya telah kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yang disepakati.

Di dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.

Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:

  • Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
  • Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.

Inilah garis besar permasalahan dalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.

A. Investor dan Pengusaha

Investor dan pengusaha adalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta dan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh pengadilan dan lain-lain.

Anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada perselisihan pendapat dalam hal ini.

B. Akad

Akad Al-Mudharabah membutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak diketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan. Oleh karena itu, ijab-qabul (serah terima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:

– Adanya kesepakatan jenis usaha

– Adanya keridhaan dari kedua belah pihak

– Diucapkan atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha

Karena akad ini adalah akad kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.

C. Modal

Para ulama mensyaratkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:

– Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang

Para ulama berijma’ bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.

Sebagai contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahan usaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40 juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.

– Harus nyata ada dan bukan hutang

Seorang investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang saya dan nanti saya bayar.”

– Harus diketahui nilai harta tersebut

Modal yang dikeluarkan harus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorang berinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lain berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta. Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil ketika mendapatkan keuntungan.

– Harus diserahkan kepada pengusaha

Modal dari investor harus diserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modal tersebut tidak boleh ditahan oleh investor.

D. Jenis Usaha

Tidak ada pembatasan jenis usaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan, eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.

E. Keuntungan

Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian keuntungan

– Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.

– Harus diprosentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha

Keuntungan yang diperoleh juga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% – 50%, 60% – 40%, 5 % – 95% atau 95% – 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.

Tidak diperkenankan membagi keuntungan 0% – 100% atau 100% – 0%.

Besar prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.

– Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak

Tidak boleh mengikut sertakan orang yang tidak terlibat dalam usaha dengan prosentase tertentu. Misal A adalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harus mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase keuntungan.

Kapankah pembagian keuntungan dianggap benar?

Keuntungan didapatkan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.

Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.

Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apakah boleh pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?

Apabila hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa.

Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.

Bagaimana solusinya agar pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain usaha tersebut bisa mendapatkan uang bulanan untuk hidupnya?

Apabila pengusaha berhutang kepada simpanan usaha tersebut sebesar Rp 3 juta/bulan, misalkan, dan hal tersebut disetujui oleh investor, maka hal tersebut diperkenankan.

Hutang tersebut harus dibayar. Hutang tersebut bisa dibayar dari hasil keuntungan nantinya.

Apabila pengusaha berhutang Rp 10 juta, misalkan, dan ternyata pembagian keuntungannya dia mendapatkan Rp 15 juta, maka Rp 15 juta langsung dipergunakan untuk membayar hutangnya Rp 10 juta. Dan pengusaha berhak mendapatkan Rp 5 juta sisanya.

Akan tetapi, jika tenyata pembagian keuntungannya hanya Rp 8 juta, berarti hutang pengusaha belum terbayar seluruhnya. Pengusaha masih berhutang Rp 2 juta kepada investor.

Dan yang perlu diperhatikan dan ditekankan pada tulisan ini, dalam Al-Mudharabah, keuntungan didapatkan dari prosentase keuntungan bersih dan bukan dari modal.

Adapun yang diterapkan di lembaga-lembaga keuangan atau perusahan-perusahaan yang menerbitkan saham, keuntungan usaha didapatkan dari modal yang dikeluarkan, dan modal yang diinvestasikan bisa dipastikan keamanannya dan tidak ada resiko kerugian, maka jelas sekali ini adalah riba.

Setelah membaca paparan di atas, tentu kita akan mengetahui hikmah yang sangat besar di dalam syariat kita. Bagaimana syariat kita mengatur agar jangan sampai terjadi kezaliman antara pengusaha dengan investor, jangan sampai terjadi riba dan jangan sampai perekonomian Islam melemah sehingga tergantung dengan orang-orang kafir.

Coba kita bayangkan jika seluruh usaha baik kecil maupun besar menerapkan sistem bagi hasil ini, maka ini akan menjadi solusi yang sangat hebat agar terhindar dari berbagai macam riba yang sudah membudaya di masyarakat kita.

Ini juga menjadi solusi bagi orang-orang yang tidak memiliki modal sehingga bisa memiliki usaha mandiri dan ini juga menjadi solusi untuk orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Sungguh indah syariat Islam, karena dia berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian. Mudah mudahan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menerima Barang Titipan dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-menerima-barang-titipan-dalam-islam Thu, 21 Mar 2019 02:13:00 +0000 https://dalamislam.com/?p=5986 Yang dimaksud dengan Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) adalah menitipkan barang kepada orang lain untuk dipelihara dengan wajar sepertimacam macam bentuk amanah dalam islam. yang merupakan suatu amanat dan disunahkan bagi orang yang dipercayakan untuk menerimannya dan orang tersebut tidak diharuskan mengganti kerugian apa-apa jika ada kerusakan. terkecuali jika disebabkan kecerobohan terhadap barang yang […]

The post Hukum Menerima Barang Titipan dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Yang dimaksud dengan Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) adalah menitipkan barang kepada orang lain untuk dipelihara dengan wajar sepertimacam macam bentuk amanah dalam islam. yang merupakan suatu amanat dan disunahkan bagi orang yang dipercayakan untuk menerimannya dan orang tersebut tidak diharuskan mengganti kerugian apa-apa jika ada kerusakan. terkecuali jika disebabkan kecerobohan terhadap barang yang dititipkan tersebut. misalnya tidak disimpan ditempat yang layak atau wajar, dititipkan lagi kepada orang lain tanpa seizin yang punya, dipakai tanpa seizin yang mempunyai barang dan tiba-tiba rusak atau hilang.

Secara bahasa : Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) yang merupakan amanah dalam islam( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Sehingga secara sederhana Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) adalah sesuatu yang dititipkan.

Secara harfiah : Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya atau dijalankan dengan keutamaan jujur dalam islam.

Pada dasarnya orang yang menerima titipan itu tidak menanggung resiko apa-apa namun tetap harus menjalankanmanfaat jujur dalam agama islam sebagai mana sabda Rasulullah Saw berikut ini. “Dari ‘Amr bin Syu’abi dari ayahnya dari kakeknya ra, Nabi Saw bersabda: “Barang siapa yang menerima titipan, maka baginya tak usah ada jaminan.” (HR Ibnu Majah)

Akan tetapi barang titipan itu harus di jaga sebaik mungkin dan dipelihara dengan semestinya seperti ayat ayat al Quran tentang amanah. karena hal itu merupakan amanah dari orang yang menitipkan barang. Firman Allah Swt dalam surat An-Nisa ayat 58 yang berbunyi. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا Artinya:” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS An-Nisa: 58)

Rasulullah Saw bersabda: “Dari Abu hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw telah bersabda: “Tunaikanlah amanah itu kepada orang yang telah mempercayakan kepadamu, dan jangan lah engkau berkhianat pada sesuatu yang di pertaruhkan orang kepadamu.” (HR Abu Daud dan Turmudzi)

Hukum Menerima Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam)

Ulama fikih sependapat, bahwa Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia. Sebagai landasannya firman allah di dalam al-quran.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanaya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Dasar dari ijma’, yaitu ulama sepakat diperbolehkannya Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam). Ia termasuk ibadah sunnah. Dalam kitab Mubdi disebutkan : “ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam). Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) termasuk ibadah sunnah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.

Adapun hukum menerima Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) adalah sebagai berikut:

1. Wajib

Hukum Wadiah yang pertama adalah wajib bagi orang yang mampu dan merupakan orang satu-satunya dan orang yang menitipkan dalam keadaan terpaksa.

2. Sunnah

Kemudian hukum Wadiah yang kedua adalah sunah bagi orang yang mampu menjaga amanah.

3. Haram

Hukum Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) yang ketiga adalah haram bagi orang yang tidak mampu melaksanakan sebagaimana mestinya.

4. Makruh

Lalu hukum Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) yang terakhir adalah makruh bagi orang yang mampu tetapi tidak percaya pada dirinya sehingga dikhawatirkan tidak bertanggung jawab terhadap titipan itu.

Rukun Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam)

1. Barang yang dititpkan, keadaannya boleh menurut hukum.

2. Orang yang menitipkan dan yang dititipi, keduanya sha melakukan tindakan itu.

3. Sigat (akad), kedua belah pihak menunjukan adanya saling mempercayai.

Syarat Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam)

Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’,dan Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam). Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.

1. Syarat-syarat benda yang dititipkan.

2. Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib mengganti.

3. Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) tidak sah.

4. Syarat Shigat

Sighat adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan wadiah (titipan).

5. Syarat orang yang menitipkan (al-mudi’)

Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:

  • Berakal
  • Baligh. Wadiah tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi menurut Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadiah sehingga wadiah hukumnya sah apabila dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.
  • Syarat orang yang dititipi (al-muda’)
  • Berakal
  • Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
  • Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya,

Macam macam wadiah

1. Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) yad al-amanah (Trustee Defostery)

Al- Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) Yad Al-Amanah, yaitu titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara (disimpan) barang/uang tanpa mengelola barang/ harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak dibebankan terhadap kerusakan atau kehilangan pada barang/harta titipan selama hal tersebut. Aplikasinya di perbankan yaitu: safe deposit box.

Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
  • Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
  • Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
  • Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe defosit box.

2. Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)

Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain (bank) dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu dikelola pihak lain (bank) dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain (bank) dan bank boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan dasar tidak ada perjanjian sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu : tabungan dan giro tidak berjangka.

Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
  • Karena dimanfaatkan,barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
  • Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini.

3. Giro wadiah

Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah, yad al dhommanoh, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.

Hal ini berarti bahwa Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam) yad al dhomanoh, mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.

4. Tabungan Wadi’ah (menerima barang titipan dalam islam)

Di samping giro, produk perbankan syariah lainnya termasuk produk penghimpunan dana (funding) ada tabungan. Berdasarkan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU NO.7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, terima kasih.

The post Hukum Menerima Barang Titipan dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Refund Dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-refund-dalam-islam Mon, 05 Nov 2018 13:02:03 +0000 https://dalamislam.com/?p=4620 Refund adalah pengembalian dana atau uang pembayaran yang telah dilakukan oleh konsumen untuk membayar suatu produk dimana produk tersebut bisa berupa barang atau jasa dan pengembalian dana tersebut bisa berupa barang atau jasa karena batalnya transaksi atas salah satu pihak tersebut dalam melakukan transaksi. Leasing yang sering diimplementasikan dalam pembelian kendaraan bermotor ataupun rumah yaitu […]

The post Hukum Refund Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Refund adalah pengembalian dana atau uang pembayaran yang telah dilakukan oleh konsumen untuk membayar suatu produk dimana produk tersebut bisa berupa barang atau jasa dan pengembalian dana tersebut bisa berupa barang atau jasa karena batalnya transaksi atas salah satu pihak tersebut dalam melakukan transaksi.

Leasing yang sering diimplementasikan dalam pembelian kendaraan bermotor ataupun rumah yaitu finance lease atau sering kita kenal dengan kredit kendaraan bermotor maupun rumah KPR misalnya. Baca juga Hukum Mengajak Orang Masuk Islam

Leasing yang semacam ini, menurut Islam hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan, yang pertama alasannya adalah terdapat dua akad (perjanjian) dalam satu perjanjian leasing yaitu penjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli yang dilakukan antara seseorang dengan pihak leasing. Baca juga Hukum Tidak Membaca Doa Setelah Wudhu

Sebagaimana yang dilarang rasulullah dalam sebuah hadist berikut:

“Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (Shafqatain fi shafqatin wahidah)” (HR. Ahmad, Al Musnad, I/398).

Alasan yang kedua adalah terdapat bunga dalam proses leasing ini yang dimana bunga tesebut termasuk riba yang sudah jelas haram hukumnya dalam islam. Sebagaimana disebutkan dalam terjemahan ayat berikut ini:

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS al-Baqarah: 275).

Alasan yang ketiga adalah adanya denda apabila terlambat dalam membayar angsuran atau melunasi angsuran sebelum waktu angsuran tersebut. Baca juga Hukum Tidak Bertegur Sapa Dengan Suami

Pertama, firman Allah,

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Akad kredit termasuk salah satu bentuk jual beli utang.

Oleh karena itu, keumuman ayat ini dijadikan dasar bolehnya akad kredit dalam islam.

Kedua, Hadits riwayat ‘Aisyah radhiyalahu ‘anha.

اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Baca juga Hukum Operasi Caesar Dalam Islam

Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran di hutang dalam pembayarannya.

Ketiga, Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan,

Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat.

Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. (HR. Ahmad).

The post Hukum Refund Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Penawaran Dalam Ekonomi Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-penawaran-dalam-ekonomi-islam Fri, 14 Sep 2018 08:18:36 +0000 https://dalamislam.com/?p=4307 Membahas mengenai hukum penawaran islami, kita harus kembali kepada sejarah penciptaan manusia. Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat yang sama, bumi berevolusi sedemikian rupa sampai akhirnya dapat ditinggali oleh manusia. Manusialah yang pertama kali diciptakan dan diturunkan ke bumi. Dari refleksi ini Allah SWT, telah mempersiapkan bumi ini utuk kepentingan manusia. Seperti tercantum dalam surat […]

The post Hukum Penawaran Dalam Ekonomi Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Membahas mengenai hukum penawaran islami, kita harus kembali kepada sejarah penciptaan manusia. Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat yang sama, bumi berevolusi sedemikian rupa sampai akhirnya dapat ditinggali oleh manusia. Manusialah yang pertama kali diciptakan dan diturunkan ke bumi. Dari refleksi ini Allah SWT, telah mempersiapkan bumi ini utuk kepentingan manusia. Seperti tercantum dalam surat Ibrahim ayat 32-34 yang artinya:

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.

Dalam memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah bagi keperluan manusia, larangan yang harus dipatuhi adalah “janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi”. Larangan ini terdapat di banyak sekali ayat alquran. Dari sini sangat terlihat bahwa Allah sangat membenci mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi. Meskipun definisi kerusakan dangat luas, dalam kaitannya dalam produksi, larangan tersebut member arahan nilai dan panduan moral. Dengan kata lain, produksi dalam islam bagi barang-barang yang dapat menyebabkan kerusakan itu tidak diperbolehkan.

Hukum Penawaran Dalam Ekonomi Islam

Penawaran adalah barang atau jasa yang ditawarkan pada jumlah dan tingkat harga tertentu dan dalam kondisi tertentu sebagaimana hukum pajak dalam islam . Penawaran islam pun ada hal yang membedakannya dengan penawaran hedonis, bahwa barang atau jasa yang ditawarkan harus transparan dan dirinci spesifikasinya, bagaimana keadaan barang tersebut, apa kelebihan dan kekurangan barang tersebut. Jangan sampai penawaran yang kita lakukan  merugikan pihak yang mengajukan permintaan. Adapun rasulullah dalam melakukan penawaran selalu merinci tentang spesifikasi barang dagangannya, sampai-sampai harga beli nya pun disebutkan dan menawarkan dengan harga berapa barang tersebut dibeli dan yang akan diperoleh olehnya sebagimana dalam kedudukan harta dalam ekonomi islam dan kehidupan manusia.

Dalam  mengkaji  masalah  demand, Ibnu Khaldun membahas faktor-faktor penentu yang menaikkan  dan menurunkan permintaan. Menurutnya, setidaknya ada lima faktor, yaitu :

  1. Harga,
  2. Pendapatan,
  3. Jumlah penduduk,
  4. kebiasaan masyarakat dan
  5. Pembangunan kesejahteraan umum.

Adapun perbedaan prinsip antara permintaan dan penawaran dalam islam dengan konfesional  yaitu menurut ekonomi konfesional titik beratnya yaitu pada harga, jika harga tinggi maka permintaan akan turun, begitu pula sebaliknya, sedangkan dalam ekonomi islam ini di titik beratkan pada faedah, kemaslahatan ataupun manfaat suatu barang, sedangkan harga bukanlah tinjauan dasar dalam ekonomi islam, tapi sisi religiuslah yang menjadi patokan utama, dimana kehalalan lebih di utamakan, bukan rendahnya harga.

Ibnu Taimiyah menyatakan alasan harga itu naik dapat disebabkan karena turunnya penawaran atau kenaikkan populasi jumlah pembeli yang berarti ada kenaikkan jumlah dalam permintaan pasar. Oleh karena itu sebuah harga dapat saja naik, karena penawaran turun pergeseran kurva ke kiri, atau permintaan naik pergeseran kurva ke kanan yang diekspresikan sebagai “tindakan Allah”, sebenarnya melambangkan sebuah fenomena alamiah yang berkait dengan fluktuasi harga. Tetapi sebagaimana yang tercermin dari pernyataan di atas, naik turunnya harga juga terjadi, karena tindakan-tindakan curang dalam pasar seperti aksi penimbunan yang dilakukan oleh spekulan seperti pada zakat dalam islam .

Dalam khasanah pemikiran ekonomi Islam klasik, penawaran telah dikenali sebagai kekuatan penting di dalam pasar. Penawaran sebagai ketersediaan barang di pasar sebagaimana hukum membayar pajak dalam islam . Penawaran barang atau jasa dapat berasal dari hasil impor (barang dari luar) dan produksi lokal. Kegiatan ini dilakukan oleh produsen maupun penjual. Nilai tawar dalam islam didasarkan pada:

  • Maslahah

Pengaruh mashlahah terhadap penawaran pada dasarnya akan tergantung pada tingkat keimanan dari produsen jika jumlah mashlahah yang terkandung dalam barang yang diproduksi semakin meningkat maka produsen muslim akan memperbanyak jumlah produksinya cateris paribus.

  • Keuntungan

Keuntungan meupakan bagian dari mashlahah karena ia dapat mengakumulasi modal yang pada akhirnya dapat digunakan untuk berbagai aktivitas lainnya.  Dengan kata lain, keuntungan akan menjadi tambahan modal guna memperoleh mashlahah lebih besar lagi untuk mencapai falah.

Dalam ekonomi Islam diketahui bahwa ada 4 hal yang dilarang dalam menjalankan aktivitas ekonomi, yaitu: Mafsadah, Gharar, Maisir, dan Transaksi Riba sebagiamna cara membersihkan harta riba . Mafsadah, gharar dan maisir sebagai tindakan yang menyebabkan kerusakan (negative externalities) sebagai akibat yang melekat dari suatu aktivitas produksi yang hanya memperhatikan keuntungan semata, walaupun sudah dikemukakan, namun tidak tercerminkan dengan baik di dalam konsep dan model dalam ekonomi Islam, sehingga sisi ini akan mendapat perhatian lebih banyak.

Hukum penawaran adalah kuantitas barang dan jasa yang bersedia untuk dijualnya pada berbagai tingkat harga dalam periode waktu tertentu. Dengan demikian, hukum penawaran adalah “perbandingan lurus antara harga terhadap jumlah barang yang ditawarkan, yaitu apabila harga naik, maka penawaran akan meningkat, sebaliknya apabila harga turun penawaran akan turun.”

Manakala pada suatu pasar terdapat penawaran suatu produk yang relatif sangat banyak, maka:

  1. Barang yang tersedia di pasar dapat memenuhi semua permintaan, sehingga untuk mempercepat penjualan produsen akan menurunkan harga jual produk tersebut;
  2. Penjual akan berusaha untuk meningkatkan dan memperbesar keuntungannya dengan cara secepat mungkin memperbanyak jumlah penjualan produknya (mengandalkan turn over yang tinggi).

Sebaliknya, manakala pada suatu pasar penawaran suatu produk relatif sedikit, maka, yang terjadi adalah harga akan naik. Keadaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Barang yang tersedia pada produsen/penjual relatif sedikit sehingga manakala jumlah permintaan stabil, maka produsen akan berusaha menjual produknya dengan menaikkan harga jualnya.
  2. Produsen/penjual hanya akan meningkatkan keuntungannya dari menaikkan harga.

Sangat penting untuk kemudian mengarisbawahi bahwa dalam hukum ekonomi islam, sebuah penawaran yang dilakukan haruslah memperhatikan berbagai hal. Dengan kata lain bahwa barng yang ditawarkan bukanlah produk yang dilarang dan jelas jelas diharamkan dalam islam. Serta juga bahwa penawaran dilakukan dengan dasar dan hukum syariah ekonomi islam yang berlaku sebagimana hukum dagang dalam islam. Sehingga tentunya berdasarkan hukum penawaran ini tidk terjadi tumpang tindah dengan hukum agama islam mengenai kegiatan transaksi dan produksi.

irulah tadi, Hukum Penawaran Dalam Ekonomi Islam. Semoga dapat menjadi refensi dan tambahan pengetahuan bagi anda, serta semoga artikel ini dapat bermanfaat.

The post Hukum Penawaran Dalam Ekonomi Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Kredit yang Dihalalkan https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-kredit-yang-dihalalkan Mon, 16 Jul 2018 09:00:35 +0000 https://dalamislam.com/?p=3867 Kredit adalah sesuatu yang kini dimiliki oleh hampir setiap orang terlebih sekarang ada begitu banyak lembaga yang memberikan kemudahan dalam memfasilitasinya, kredit dianggap memberi keringanan dan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang memberi semangat untuk dapat bekerja lebih keras lagi karena memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dipenuhi tiap jangka waktu yang ditentukan. Hukum kredit menurut […]

The post Hukum Kredit yang Dihalalkan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kredit adalah sesuatu yang kini dimiliki oleh hampir setiap orang terlebih sekarang ada begitu banyak lembaga yang memberikan kemudahan dalam memfasilitasinya, kredit dianggap memberi keringanan dan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang memberi semangat untuk dapat bekerja lebih keras lagi karena memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dipenuhi tiap jangka waktu yang ditentukan. Hukum kredit menurut islam tentunya beragam melihat dari sisi syariat dan caranya.

Namun tentunya dalam islam memiliki pandangan dan syariat tersendiri mengenai kredit, yakni apa saja kredit yang diperbolehkan dan bagaimana sistem kredit tersebut dijalankan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak mengingat kredit ada begitu banyak seperti hukum kredit rumah KPR dsb. Selengkapnya simak dalam uraian berikut, hukum kredit yang dihalalkan dalam islam.

Kredit dalam Islam

Kredit dalam islam tidak hanya terjadi pada masa modern saja, kredit juga sudah ada sejak jaman terdahulu dan juga dengan berbagai cara yang sama, ada yang dengan syariat islam, ada pula yang dijalankan dengan cara riba, Tentunya kredit ialah hal yang berhubungan dengan jual beli, dimana penjual menjual barang tertentu kepada pembeli dengan sistem pembayaran bertahap dan di dalamnya sudah termasuk keuntungan dari penjual seperti jual beli kredit dalam islam.

Misalnya ialah harga barang yang dijual Rp 2.000.000 dan diperbolehkan untuk membayarnya secara bertahap dengan aturan Rp 200.000 per bulan selama 11 kali sehingga penjual memiliki untung sebanyak Rp 200.000. Kredit yang demikian adalah diperolehkan dalam islam sebab dilakukan dengan akad jual beli serta penjual memang berhak untuk mendapat keuntungan. Jika bekerja tidak mendapat keuntungan tentunya hanya merugi dan tidak ada orang yang ingin melakukannya. Tentunya dalam hukum kredit dalam islam – emas dan barang misalnya, tetap diperbolehkan untuk mencari keuntungan.

Hukum Kredit yang Dihalalkan

Nah sobat pembaca, dalam islam ada beberapa syarat kredit tersebut dihalalkan dan diperbolehkan untuk dilakukan, yakni dengan berbagai syarat sesuai syariat islam berikut.

Dilakukan dengan Pencatatan yang Jelas

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282). “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603).

Kredit harus dilakukan dengan pencatatan dan kesepakatan yang jelas serta tidak memberikan keuntungan yang berlebih pada penjual hingga merugikan dan memberatkan pembeli, kredit harus dilakukan dengan bukti misalnya menuliskannya dan mencatat setiap pembayaran yang diberikan serta kekurangan dan tidak diperkenankan untuk menambah untung, misalnya memberi riba jika terlembat membayar dsb.

Kredit tersebut pun harus dijalankan sebaik mungkin oleh kedua belah pihak, misalnya pembeli harus membayar di waktu yang ditentukan, jika ia mengingkari maka dosa baginya dan jika penjual melebihkan untung di luar kesepakatan atau memaksa membayar sebelum waktunya juga merupakan perbuatan dosa atau seperti bahaya riba dalam islam.

Tidak Disertai dengan Riba

Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat:

  • sama ukurannya
  • dan dilakukan secara tunai (cash)

Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim). Ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343). “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275). Tidak diperkenankan kredit yang berhubungan dengan uang sebab jelas bahwa hal itu bukan jual beli, namun riba.

Ditentukan Ukuran dan Batas Waktu yang Jelas

Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604). Keadaan mereka yang seperti itu sebenarnya disebabkan karena mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Ayat tersebut juga berlaku untuk jual beli Kredit Angsuran Berjangka. Namun para Ulama’ berselisih pendapat tentang hal ini, karena Rasulullah SAW juga pernah melakukan jual beli dengan cara menunda waktu pembayaran, dijelaskan dalam hadits:Dari ‘Aisyah Ra : Bahwasanya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai buroh atau gadai.(H.R Bukhari nomor 2134 ). Diperbolehkan untuk kredit makanan atau barang dengan ukuran dan batas waktu pembayaran yang jelas.

Dalam kisah Rasul, beliau membeli makanan dengan menukarkan dengan baju besi, hal ini juga diperbolehkan dalam islam sebab kedua barang bernilai sama dan telah terjadi kesepakatan satu sama lain. Tentunya dalam kredit pun demikian, bagi penjual dan pembeli sama sama memberikan keuntungan serta dilakukan dalam tempo waktu atau batas waktu yang jelas dan kedua belah pihak wajib untuk menepati.

Tidak Boleh ada Penambahan Harga Jika Pembayaran Tertunda

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Penmabahan harga tidak boleh dilakukan ketika terjadi kelambatan atau permasalahan dalam proses pembayaran, sebab hal ini berhubungan dengan riba, jika terjadi hal demikian, wajib untuk dibuat akad perjanjian jual beli yang baru dan tidak boleh dilakukan dengan kesengajaan seperti sengaja mengulur waktu pembayaran padahal ia mampu.

Tidak Boleh Diperjualbelikan seperti Rentenir

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih). “Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut)

tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim).

Dalam kredit, tidak boleh dilakukan dengan niat dijual untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi, misalnya seseorang membeli barang dengan kredit Rp 200.000 per bulan dan ia sengaja menjual kepada orang lain dengan harga yang lebih mahal angsuran per bulannya padahal benda tersebut sama, hal itu sama saja dengan rentenir sebab merugikan dan lebih banyak mementingkan keuntungan daripada niat membantu orang lain.

Jenis Keuntungan yang Halal dari Sistem Kredit

Keuntungan yang didapat dari selisih harga beli dengan harga jual itu 100% halal. Itulah yang disebut dengan jual-beli yang Allah telah halalkan di dalam Al-Quran. Pada dasarnya, kredit dilakukan untuk memberi keringanan pada orang lain yang belum mampu membeli secara tunai sekaligus sebagai jalan untuk mendapatkan keuntungan yang halal dari barang dagangan.

Kredit yang dijual sebagaimana kesepatakan yang dibuat adalah kredit yang memiliki keuntungan halal bagi penjual, begitu pula sebaliknya, jika kredit diberikan dengan keringanan seusai kesepakatan namun pihak pembeli mengingkari perjanjian dengan sengaja mengulur waktu untuk pembayaran, maka barang yang dibeli juga akan berkurang keberkahannya kecuali jika karena ia kesulitan dan dalam hal ini dibuat akad yang baru sesuai kesepakatan.

Demikian yang bisa disampaikan penulis, semoga menjadi wawasan islami yang bermanfaat dan menjadi pertimbangan ketika sobat pembaca semua berurusan dengan kredit sehingga dapat menjalankannya sesuai syariat islam. Terima kasih.

 

The post Hukum Kredit yang Dihalalkan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Mengurangi Timbangan Dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-mengurangi-timbangan-dalam-islam Sun, 11 Mar 2018 03:11:47 +0000 https://dalamislam.com/?p=2989 Dunia Menurut Islam adalah sementara dan orang-orang tidak melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya, malah melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah salah satunya adalah mengurangi timbangan. Mengurangi timbangan adalah salah satu fenomena yang terjadi sejak jaman dahulu hingga sekarang. Hal ini sudah sering dilakukan oleh para pedagang atau pembisnis dan bukan menjadi hal yang tabu di masyarakat. Para […]

The post Hukum Mengurangi Timbangan Dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dunia Menurut Islam adalah sementara dan orang-orang tidak melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya, malah melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah salah satunya adalah mengurangi timbangan.

Mengurangi timbangan adalah salah satu fenomena yang terjadi sejak jaman dahulu hingga sekarang. Hal ini sudah sering dilakukan oleh para pedagang atau pembisnis dan bukan menjadi hal yang tabu di masyarakat.

Para pedangan akan melakukan banyak cara untuk melakukan penipuan dengan mengurangi timbangan. Misalnya saja, para pedagang yang menggunakan timbangan tradisional. Mereka biasanya mengganjal timbangan sehingga pengukuran menjadi lebih berat dari berat barang sebenarnya.

Akibatnya para pedagang akan mendapatkan keuntungan lebih, sedangkan konsumen menjad dirugikan.

Tentu saja, hal ini tidak diperkenankan dalam Islam. Sebab semua bentuk kecurangan adalah haram dan hal itu bukanlah Cara Bahagia Menurut Islam dalam Kehidupan Dunia yang disukai Allah. Bagaimana hukum mengurangi timbangan dalam Islam. Berikut adalah ulasannya.

Hukum mengurangi timbangan dalam Islam

Mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk praktek pencurian milik orang lain. Apabila takaran timbangan itu sedikit, bisa menjadi sebuah ancaman dan akan menjadi ancaman yang lebih besar bila takaran timbangan tersebut meningkat dengan jumlah yang besar.

Hukum mengurangi timbangan dalam Islam termasuk dalam dosa besar atau sama dengan dosa orang yang melalaikan shalatnya. Allah akan membawa pelakunya ke neraka Wayl (fawaiilul lil mushallin). Wailun atau Wayl adalah lembah jahannam dimana bukit-bukit apabila dimasukkan ke dalamnya langsung mencair karena amat panasnya.

  • Assayid berkata bahwa turunnya ayat ini saat Nabi Muhammaad SAW hijrah ke Madinah, kemudian Nabi melihat Abu Juhainah yang memiliki dua alat timbangan yaitu timbangan membeli untuk menguntungkan dirinya dan timbangan menjual untuk merugikan pembelinya.
  • Ikrimah berkata bahwa beliau bersaksi bahwa tukang timbang itu ada dalam neraka lalu seseorang menegur, “anakmu juga tukang timbang”. Ikrimah mengatakan bahwa persaksilah dia pun akan juga berada dalam neraka.
  • Saayidina Ali r.a berkata bahwa janganlah meminta kebutuhanmu dari seseorang yang rezekinya berada di ujung takaran dan timbangan.
  • Hukamak berkata bahwa celakalah orang yang menjual biji-bijian dengan takaran yang dikurangi sebab Allah akan mengurangi nikmat surga yang seluas langit dan bumi dan menggantinya dengan menambah lubang di dalam neraka dimana bukit-bukit akan mencair jika terkena panasnya.
  • Al-Syafi’i dari Malik bin Dinar berkata kepada keluarganya “Apa kelakuannya dulu?” mereka menjawab “Dia memiliki dua timbangan yaitu untuk menjual dan membeli, kemudian beliau menghancurkan keduanya’‘ dan berkata “Bagaimana keadaanmu sekarang?” ia menjawab “Tetap, bahkan sangat sukar” hingga ia meninggal dengan keadaan sakit itu. Bahkan dalam kisah yang lain, ada seseorang yang menghadiri orang yang akan meninggal, orang tersebut diajarkan agar membaca kalimat tayyibah, namun ia berkata “Saya tidak bisa membaca kalimat tersebut sebab jarum timbngan mengganjal lidah saya”, “Bukanya dulu Anda menepati timbangan?”, “Benar, tetapi saya tidak membersihkan kotoran yang terdapat pada takaran sehingga saya merugikan orang lain”

Sungguh kisah-kisah di atas adalah salah satu ancaman untuk orang yang berani mengurangi timbangan dalam kegiatan jual beli. Bahkan hukum tersebut telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits :

  1. “Sempurnakan takaran dan jangan menjadi orang yang merugikan. Dan timbanglah menggunakan timbangan yang lurus.” (QS. Asy-Syu’ara 181-182)
  2. “Jika kamu menimbang harus ditepati” (HR. Ibnu Majah)
  3. وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ﴿١﴾الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ﴿٢﴾وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ﴿٣﴾أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya : “Kecelakaan besar bagi orang yang curang. Yaitu orang yang menerima takaran, harus dipenuhi. Dan apabila mereka menakar, mereka akan mengurangi. Tidakkah orang-orang yakin mereka dibangkitakan pada hari yang besar yaitu hari saat manusia menghadap Rabb semesta alam” (QS. Al-Muthaffifin 1-6)

Allah SWT menafsirkan muthaffifin sebagai perilaku kecurangan. Kegiatan kecurangan tersebut seperti yang terkandung dalam ayat tersebut adalah, apabila orang tersebut menakar untuk diri sendiri, mereka meminta agar takarannya penuh bahkan meminta tambahan.

Namun, apabila mereka menakarkan untuk orang lain, mereka akan mengurangi takaran tersebut, baik dengan alat timbangan yang direkayasa atau dengan cara yang lain. Maka, hukum bagi orang yang melakukannya adalah siksaan neraka yang dahsyat yaitu neraka Jahannam.

Sempurnakan Takaran dan Timbangan

Maka dari itu, Islam telah memberikan perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan. Allah SWT berfirman :

  1. QS. Ar-Rahman : 9

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

“Dan tegakkan timbangan dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca tersebut”

  1. Al-An’am : 152

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Dan sempurnakan takaran serta timbangan secara adil. Kami tidak akan memikulkan beban sesuai dengan kemampuannya.

  1. Al-Isra’ : 35

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Dan baikkan takaran saat menakar, timbangn menggunakan neraca. Sebab itu lebih utama dna lebih baik.”

  1. Allah SWT berfirman :

وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ﴿٨٤﴾وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ﴿٨٥﴾بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۚ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ

“Dan untuk penduduk Madyan. Kamu utus Syu’aib dan berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah sebab tiada Tuhan selain Dia. Dan jangan mengurangi takaran dan timbangan, aku melihat kamu mampu dan aku khawatir pada azab yang membinasakan.” Syu’aib berkata, “Hai kaumku, takar dan timbanglah dengan adil dan tidak merugikan hak mereka dan jangan melakukan kejahatan an kerusakan. Sisa keuntungan dari Allah jika akmu beriman. Dan aku bukan menjaga dirimu.” (Hud : 84-86)

Sebab-sebab seseorang melakukan tindakan kecurangan diantaranya :

  • Kuranganya ilmu dan pengetahuan tata cara berniaga dan berdagang yang baik menurut Islam
  • Tidak mendalami fiqh buyu atau hukum-hukum jual beli dalam muamalah Islam.

Allah dan Rasul-Nya dengan tegas melarang kita untuk mengurangi timbangan sebab ini adalah perbuatan merugikan. Apabila Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Rukun Iman dan Rukun Islam kita perkuat, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi. Jika mengurangi timbangan terus dilakukan, maka tidak ada lagi kepercayaan dan kejujuran dari para pembeli.

Pembeli akan selalu merasa was-was membeli barang di pasar sebab ia merasa bahwa ia harus membayar dengan jumlah yang sama, namun dengan jumlah timbangan yang dikurangi.

Oleh sebab itu, pebisnis dan pedagang muslin harus selalu memperhatikan timbangan dengan baik. Hindari mencari keuntungan dengan mengurangi takaran. Pebisnis muslin harus mengutamakan kejujuran dan mencari keuntungan dengan cara yang halal. Sehingga tak hanya keuntungan saja yang didapat, akan tetapi ketentraman dan keberkahan juga.

Seorang pebisnis muslim juga harus memperhatikan timbangan barang yang dibeli untuk menghindari kecurangan dan memajukan bisnis. Demikian hukum mengurangi timbangan dalam Islam. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang dimurkai Allah sebab Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam adalah tidak dengan merugikan orang lain. Semoga bermanfaat.

The post Hukum Mengurangi Timbangan Dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Trading Emas dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-trading-emas-dalam-islam Sat, 11 Nov 2017 02:07:09 +0000 https://dalamislam.com/?p=2314 Emas merupakan barang berharga yang sudah diperjualbelikan sejak dulu dan bahkan digunakan sebagai alat pembayaran dalam urusan jual beli tersebut. Islam sendiri sudah memberikan pedoman terbaik mengenai trading emas ini agar pelakunya tidak terjerumus dalam bahaya riba sebab bisa berbahaya selama masih hidup di dunia dan juga akhirat. Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengulas […]

The post Hukum Trading Emas dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Emas merupakan barang berharga yang sudah diperjualbelikan sejak dulu dan bahkan digunakan sebagai alat pembayaran dalam urusan jual beli tersebut. Islam sendiri sudah memberikan pedoman terbaik mengenai trading emas ini agar pelakunya tidak terjerumus dalam bahaya riba sebab bisa berbahaya selama masih hidup di dunia dan juga akhirat. Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengulas dengan tuntas mengenai hukum trading emas dilihat dari kacamata Islam seperti berikut ini.

Apabila dilihat, pedoman mengenai trading emas terkandung dalam sebuah hadits Ubadah bin Shamit dimana Rasulullah SAW bersabda, ““emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” [HR. Al Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafadz Muslim].

Sebagai bukti kesempurnaan agama Islam adalah diperbolehkannya jual beli dengan cara memesan sebuah barang dengan kriteria yang sudah disepakati dan juga pembayaran kontan saat akan tersebut dilakukan. Hal ini dikarenakan akad yang dilakukan kedua belah pihak memberikan keuntungan tanpa adanya unsur penipuan atau ghoror. Beberapa keuntungan tersebut umumnya berupa:

  • Jaminan mendapatkan barang sesuai dengan kebutuhan dan waktu yang diinginkan.
  • Mendapatkan barang dengan harga lebih mudah dibandingkan pembelian saat barang dibutuhkan.

Sementara penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah dengan pembelinya, yakni:

  • Mendapatkan modal untuk menjalankan usaha dengan halal sheingga bisa mengembangkan usaha tanpa harus membayar bunga.
  • Penjual memiliki kebebasan untuk memenuhi permintaan pembeli dan tenggang waktu antara transaksi bersama pembeli cukup lama.

Dalam dasar hukum Islam, keabsahan dari jual beli emas ini ditentukan dengan rukun dan juga syarat seperti berikut ini:

  1. Rukun

Rukun Islam berfungsi sebagai unsur utama tang harus terdapat dalam transaksi yakni:

  • Pelaku transaksi atau aqid yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
  • Objek transaksi ‘ma’qud ilaih yakni barang komoditi berjangka dan juga nilai tukar [a’s al-mal al-salam dan al-muslim fih].
  1. Syarat

Beberapa persyaratan merupakan pelengkap dari transaksi dan diantaranya adalah:

”Bila ada dua orang saling berjaul-beli, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyar (pilih), selama keduanya belum berpisah dan selama mereka masih bersama-sama [satu majelis].” [Muttafaqun ‘alaih]

  • Syariat yang memiliki tujuan untuk menghindari pelaku dari sifat tergesa gesa adalah dengan menyempitkan ruang perdagangan jual beli emas dalam Islam dan perak. Islam sangat menjaga status keduanya sebagai sebuah alat transaksi dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan dan juga stabilnya perniagaan manusia. Dalam syariat Islam diberi kebebasan untuk menukarkan emas dan perak dengan barang lainnya yang senilai ataupun tidak dengan mengikuti dua ketentuan yakni:
  • Apabila ditukar dengan barang serupa seperti emas dengan emas atau perak dengan perak yang sama beratnya meskipun beda kualitas.
  • Proses trading harus dilakukan secara tunai sehingga setelah akad harus dilanjutkan dengan serah terima emas, perak atau uang yang akan ditukarkan tanpa ditunda.

Ketentuan ini diambil berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ““Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satu dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satu dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Ketentuan trading emas sendiri sudah diatur dalam Islam sejak abad ke-14 dan ketentuan ini relevan sampai akhir jaman meskipun kondisi jaman selalu berubah. Namun, untuk hukum trading dalam Islam yakni emas online harus diperhatikan apakan trading tersebut dilakukan secara kontan yakni serah terima barang langsung pada saat akad.

Apabila tidak demikian, maka tidak diperbolehkan seperti yang sudah dijelaskan Syaikh Sholeh al Munajjid jika trading emas lewat internet dilarang secara syariat sebab serah terima barang dilakukan tidak kontan yakni pembeli yang mentrasfer sejumlah uang lewat internet banking akan tetapi barang baru diterima beberapa hari kemudian dan ini tidak diperbolehkan dalam sumber syariat Islam.

Trading emas secara online masuk ke dalam bentuk riba ba’i yakni membeli lewat internet sebab pembeli melakukan transaksi beli emas lewat website dari pedagang emas atau dinar dan membayar tunai memakai internet banking atau kartu kredit.

Sesudah transaksi jual beli dilakukan, maka penjual mengirimkan emas yang sudah di pesan pembeli tersebut dan baru bisa diterima beberapa waktu transaksi sehingga termasuk dalam salah satu macam macam riba yakni riba ba’i sebab ilat emas dan juga uang kartal adalah sama. Akan tetapi, serah terima barang dan juga uang tidaklah tunai dan uang sudah diterima penjual akan tetapi pembeli belum menerima emas tersebut.

Dengan kata lain, trading emas dalam Islam diperbolehkan apabila dilakukan dengan pembayaran kontan dan nilai barang serta jumlahnya bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Semoga ulasan dari kami kali ini bisa bermanfaat dan berguna untuk anda.

The post Hukum Trading Emas dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Forex Dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-forex-dalam-islam Thu, 09 Nov 2017 02:39:46 +0000 https://dalamislam.com/?p=2306 Forex yang berasal dari kata Foreign Exchange merupakan pertukaran mata uang asing atau valas yang ditukar berdasarkan pasangan pasangannya atau pairs secara online. Perdebatan mengenai halal atau haram forex ini sebetulnya sudah diselesaikan dari Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang [Al-Sharf]. Namun, dalam fatwa ini tidak dikatakan dengan tegas mengenai […]

The post Hukum Forex Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Forex yang berasal dari kata Foreign Exchange merupakan pertukaran mata uang asing atau valas yang ditukar berdasarkan pasangan pasangannya atau pairs secara online. Perdebatan mengenai halal atau haram forex ini sebetulnya sudah diselesaikan dari Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang [Al-Sharf]. Namun, dalam fatwa ini tidak dikatakan dengan tegas mengenai hukum trading dalam Islam ini.

Dalam fatwa ini hanya disebutkan mengenai trading forex dalam artian umum dimana transaksi jual beli uang prinsipnya diperbolehkan dengan ketentuan seperti:

  • Tidak untuk spekulasi atau untung untungan
  • Terdapat kebutuhan transaksi atau untuk berjaga jaga dan simpanan
  • Jika transaksi dilakukan pada mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan tunai [at taqabudh]
  • Jika transaksi yang idlakukan berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar atau kurs yang berlaku disaat transaksi dan dilakukan secara tunai.
  • Al tsaman: Kejelasan dari jenis alat tukar yakni dirham, dinar, Rupiah, Dollar dan sebagainya atau berupa barang yang bisa ditimbang.
  • Kejelasan objek transaksi: Kejelasan dari kualitas objek transaksi apakah memiliki kualitas istimewa, sedang atau buruk. Ini dilakukan untuk menghilangkan jahala fi al aqd atau alasan tentang ketidaktahuan tentang kondisi barang di saat transaksi sebab akan menimbulkan perselisihan diantara pelaku transaksi dan merusak nilai transaksi.

MUI memberikan fatwa jika transaksi jual beli mata uang diperbolehkan jika tidak dilakukan untuk spekulasi. Ini mengartikan jika transaksi jual beli mata uang akan berubah hukumnya menjadi haram jika dilakukan atas dasar spekulasi sebab masuk ke dalam jenis judi.

MUI juga memberikan fatwa jika ini diperbolehkan apabila terdapat kebutuhan transaksi atau untuk simpanan. Ini mengartikan jika kebutuhan transaksi mu’amalah seperti traveling, membayar hutang dalam Islam pada orang asing dan sebagainya bukan dilakukan karena sengaja mencari keuntungan dari perubahan nilai kurs tersebut.

Madharatnya, jika jual beli mata uang yang dilakukan hanya untuk mencari keuntungan maka hukumnya adalah haram. Namun, trading forex yang dilakukan selalu memiliki tujuan untuk mencari keuntungan dari perubahan nilai mata uang tersebut dan tidak pernah bertujuan untuk simpanan. Dengan ini, maka bisa disimpulkan jika trading forex hukumnya adalah haram.

Hukum Islam Tentang Transaksi Valas

Ada beberapa persyaratan dalam Islam yang berhubungan dengan masalah transaksi valas seperti ulasan dari kami dibawah ini.

  1. Terdapat Ijab Qobul

Transaksi valas harus dilakukan dengan adanya ijab qobul yakni perjanjian memberi dan juga menerima. Penjual harus menyerahkan barang dan pembeli juga harus membayarnya dengan tunai dan ijab qobul bisa dilakukan dengan cara lisan, utusan ataupun tulisan. Pembeli dan penjual juga memiliki hak penuh untuk melaksanakan dan melakukan segala tindakan hukum yakni dewasa dan berpikiran yang sehat.

  1. Memenuhi Syarat Transaksi Jual Beli

Transaksi valas yang dilakukan juga harus memenuhi syarat yang dijadikan objek transaksi jual beli. Barang tersebut harus merupakan barang suci dan bukan barang yang najis serta bisa memberikan manfaat, bisa diserahterimakan dan bisa dijual atau dibeli oleh pemiliknya atau kuasa atau izin pemiliknya. Selain itu, barang yang sudah ada di tangan apabila barang tersebut didapat dengan imbalan.

Hadits Tentang Jual Beli Dalam Islam

Dalam Islam sendiri juga terdapat beberapa hadits yang mengulas tentang jual beli di dalam Islam dan diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas’ud

Jual beli barang yang tidak dilakukan pada tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus dijelaskan sifat dan ciri cirinya. Apabila barang sesuai dengan keterangan yang diberikan penjual, maka jual beli tersebut menjadi sah. Namun jika tidak sesuai, maka pembeli memiliki hak khiyar yakni diperbolehkan untuk meneruskan atau membatalkan jual beli tersebut.

“Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”. [Hadits Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah]

  1. QS. Al-Baqarah[2]:275

Allah SWT juga berfirman jika kegiatan jual beli adalah perbuatan yang halal namun untuk urusan macam macam riba merupakan kegiatan yang diharamkan.

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

  1. Hadits Al-Baihaqi dan Ibnu Majah

Kegiatan jual beli hanya diperbolehkan jika dilakukan atas dasar kerelaan dari dua belah pihak.

“Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)”, [HR. albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban].

  1. Hadits Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri

Rasulullah SAW bersabda jika dalam jual beli emas dalam Islam selayaknya dilakukan dengan nilai yang sama dan tidak ditambahkan sebagian. Dengan kata lain, nilai jual tidak boleh melebihi dari nilai barang tersebut.

“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”

  1. Hadits Riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf

Dalam sebuah riwayat dikatakan jika perjanjian yang dilakukan sesama umat muslim boleh dilakukan. Namun, jika perjanjian tersebut adalah haram atau menghalalkan yang haram maka hal ini tidak diperbolehkan.

“Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Dalil Mengenai Jual Beli

Diantara dalil dalil yang memperlihatkan jika hukum jual beli mata uang yang dihukumi dengan emas dan perak atau dinar dan dirham, maka dilakukan dengan kontan dan tanpa berhutang sedikit pun atau meminjamkan uang dalam Islam. Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hukum ini.

  1. HRS Muslim

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum)  dijual dengan sya’ir, korma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama.”

  1. Al Bukhary dan Muslim

“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan.”

  1. Imam Malik dan Al Baihaqi

” Dan bila ia meminta agar engkau menantinya sejenak hingga ia masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya sebelum ia menyerah barangnya, maka jangan sudi untuk menantinya. Sesungguhnya aku khawatir kalian melampaui batas kehalalan, dan yang dimaksud dengan melampaui batas kehalalan ialah riba. Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan emas, salah satunya tidak diserahkan secara kontan sedangkan yang lainnya diserahkan secara kontan. “

Transaksi Yang Dilarang Dalam Islam

Dalam Islam sendiri sudah diatur sedemikian rupa mengenai apa saja transaksi yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan atau contoh jual beli terlarang.

  1. Dilakukan Dengan Hati Hati

Pelaksanaan transaksi harus dilakukan atas dasar prinsip hati hati dan tidak diperbolehkan jika dilakukan atas dasar spekulasi atau manipulasi yang didalamnya terkandung unsur riba, gharar, risywah, kezhaliman dan juga kemaksiatan.

  1. Jenis Transaksi Haram

Beberapa transaksi yang diharamkan dalam arti mengandung unsur riba, gharar, risywah, maizir, maksiat dan kezhaliman diantaranya adalah:

  • Bai’ al ma dum: Melakukan penjualan atas barang atau efek syariah yang belum dimiliki atau short selling.
  • Najsy: Memberikan atau melakukan penawaran palsu.
  • Insider trading: Menggunakan informasi dari orang dalam yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah transaksi yang dilarang.
  • Memberikan informasi yang menyesatkan
  • Margin trading: Melaksanakan transaksi dengan efek syariah dan fasilitas pinjaman berbunga atas kewajiban penyelesaian efek syariah itu.
  • Ihtikar atau penimbunan: Melakukan pembelian atau mengumpulkan sebuah efek syariah sehingga menyebabkan harga efek syariah dengan memiliki tujuan untuk mempengaruhi pihak lainnya.

Demikian ulasan dari kami mengenai hukum forex dalam Islam. Dengan ulasan ini, semoga bisa memberikan banyak manfaat dan bisa menjalankan bisnis tanpa unsur spekulasi akan tetapi dengan benar dipakai analisa sehingga hasil yang didapatkan akan menjadi halal dan sukses menurut Islam.

The post Hukum Forex Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
6 Hukum Jual Beli Saham Dalam Islam yang Benar https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-jual-beli-saham-dalam-islam Wed, 08 Nov 2017 03:53:56 +0000 https://dalamislam.com/?p=2299 Mendengar istilah jual beli saham sudah menjadi hal yang umum sekarang ini dan sering dilihat dalam acara televisi yang membahas mengenai saham. Namun, untuk umat muslim yang belum mengetahui hukum jual beli saham dalam islam dan apa arti dari saham, saham merupakan surat berharga yang menjadi tanda dari penyertaan modal pada perseroan terbatas seperti yang […]

The post 6 Hukum Jual Beli Saham Dalam Islam yang Benar appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Mendengar istilah jual beli saham sudah menjadi hal yang umum sekarang ini dan sering dilihat dalam acara televisi yang membahas mengenai saham. Namun, untuk umat muslim yang belum mengetahui hukum jual beli saham dalam islam dan apa arti dari saham, saham merupakan surat berharga yang menjadi tanda dari penyertaan modal pada perseroan terbatas seperti yang sudah diatur oleh undang undang. Meskipun sudah ada hukum yang mengatur mengenai jual beli saham ini, namun mungkin ada sebagian dari anda yang belum mengetahui dengan pasti apa hukum saham dalam Islam dan pada kesempatan kali ini akan kami ulas selengkapnya untuk anda.

Hukum Halal Jual Beli Saham

Ulama Fiqih kontemporer mengemukakan pendapat yang sama jika hukum memperdagangkan saham di pasar modal merupakan kegiatan yang haram apabila berasal dari perusahaan yang bergerak di bidang yang diharamkan dalam Islam dan akan lebih baik jika melaksanakan cara berdagang Rasulullah. Saat mengikuti kegiatan jual beli saham pada perusahaan yang bergerak di bidang haram, maka seseorang juga ikut andil dalam membantu kemaksiatan tersebut. I’anah ‘Ala Al-Ma’ashiy ma’shiyyatun [menolong atas kemaksiatan adalah perbuatan maksiat].

“Tinggalkanlah suatu yang meragukanmu menuju kepada hal yang tidak meragukanmu”.[ Hadits shahih riwayat Imam Ahmad, An-Nasa’i, At-Tirmidzy, dan lain-lain].

“Barang siapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya.” [HR. Al-Bukhary dan Muslim].

Hukum Jual Beli Saham Adalah Haram Mutlak

Sementara ada sebagian ulama yang mengharamkan jual beli saham secara mutlak entah dari perusahaan yang bergerak di bidang haram ataupun tidak. Taqiyyudin An-Nabhani dalam An-Nizam Al-Iqtishadi memberi penjelasan jika haram hukumnya memperdagangkan saham sebab Perseroan Terbatas atau PT adalah salah satu bentuk Syirkah Musahamah yang batil sebab bertentangan dengan hukum Syirkah dalam syariat Islam.

Mereka juga menyinggung mengenai masalah ijab qobul dimana PT tidak memiliki ijab dan qobul seperti pada masalah Syirakh. Transaksi yang dilakukan adalah secara sepihak yakni dari para investor yang memberikan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan lewat pasar modal tersebut tanpa dilakukan perundingan atau negosiasi dari perusahaan atau investor yang lainnya.

Hukum Saham di Bank atau perusahaan

Sementara untuk hukum jual beli saham pada perusahaan atau bank yang bertransaksi dengan cara macam macam riba maka tidak diperbolehkan. Jika penanam modal ingin melepaskan dirinya dari keikut sertaan dalam perusahaan riba tersebut atau menjual saham, maka harus dilakukan dengan cara lelang dengan harga yang berlaku di pasar modal lalu hasilnya hanya boleh diambil sebesar modal yang sudah dikeluarkan dan sisanya harus diinfakan di jalan kebaikan dalam Islam sebab tidak halal untuk mengambil sedikit pun dari bunga atau keuntungan saham.

Menanamkan modal di perusahaan yang tidak menjalankan transaksi riba, maka keuntungan yang didapat menjadi halal dan tidak mengandung bahaya riba. Berikut ini adalah beberapa keputusan dari rapat anggota Al Majma al Fiqhy dibawah Rabithah Alam Islami pada rapat ke-14 di kota Mekkah.

  • Hukum dasar dari perniagaan adalah halal dan mubah, sehingga mendirikan sebuah perusahaan publik dengan tujuan untuk mubah adalah diperbolehkan dalam syariat.
  • Tidak dijadikan perselisihan atas keharaman dalam keikutsertaan menanam saham dalam perusahaan yang memiliki tujuan utama haram seperti di transaksi riba, produksi barang haram dan memperjualbelikannya dan cara menghindari riba adalah segera keluar dari perusahaan tersebut.
  • Tidak diperbolehkan muslim untuk membeli saham dari perusahaan yang sebagian usahanya bergerak di praktik riba.
  • Jika terlanjur membeli saham perusahaan dan tidak mengetahui jika perusahaan itu menjalani transaksi riba lalu baru diketahui, maka wajib hukumnya untuk segera keluar dari perusahaan itu.

Hukum Jual Beli Saham Secara Terbuka

Perusahaan ataupun badan usaha yang tidak menjalani praktik riba seperti pinjaman tanpa riba dan tidak menjual barang haram, maka diperbolehkan untuk menanam saham. Sedangkan untuk perusahaan yang menjalani praktik riba atau transaksi haram, maka haram untuk ikut dalam jual beli saham. Apabila seorang muslim ragu tentang kejelasan sebuah perusahaan, maka akan lebih baik jika tidak ikut menanam saham dalam badan usaha atau perusahaan tersebut.

Ketentuan Hukum Islam Tentang Jual Beli Saham

Dasar hukum Islam dalam urusan saham diperbolehkan menurut syariah apabila sudah memenuhi beberapa persyaratan seperti yang disebutkan dalam ulasan berikut ini.

  1. Saham Mempunyai Underlying Asset

Saham yang akan diperjualbelikan harus memiliki underlying asset yang menjadi landasan utama sehingga saham tidak boleh dalam bentuk uang semata.

  1. Saham Harus Berbentuk Barang

Saham juga harus berbentuk barang dan tidak diperbolehkan untuk menjual saham dalam bentuk uang. Dalam praktiknya, sesudah perusahaan berhasil menjual saham, maka saham tersebut tidak boleh lagi diperjualbelikan dalam bursa kecuali sesudah dijalankan menjadi usaha riil dan juga uang ataupun modal sudah berbentuk barang.

  1. Kaidah Pada Aneka Aset

Aset dalam jual beli saham yang akan dijalani juga harus lebih dominan pada aset barang adn bukan hanya uang. Apabila aset perusahaan beragam seperti jasa, barang, piutang dan uang maka kaidah yang berlaku adalah sebagai berikut:

  • Perusahaan berbentuk investasi aset seperti barang dan jasa, maka boleh diperjualbelikan pada pasar saham tanpa mengikuti kaidah sharf dengan syarat harga barang dan jasa tidak boleh kurang dari 30 persen dari total aset perusahaan.
  • Apabila perusahaan dalam bentuk jual beli mata uang, maka diperbolehkan jual beli di pasar bursa kecuali dengan mengikuti kaidah sharf.
  • Apabila perusahaan berbentuk investasi pitung, maka boleh diperjualbelikan dalam pasar saham dengan menjalani kaidah piutang.

Ketiga hal diatas diperbolehkan asalkan dengan syarat tidak dijadikan hilah untuk melaksanakan sekuritasi hutang yakni dengan menggabungkan barang dan jasa pada hutang.

  1. Aset Barang Harus Dominan

Apabila dalam aset perusahaan terdiri dari bermacam macam seperti jasa, barang dan piutang, maka komposisi dari aset barang haruslah lebih dominan dan para ulama kontemporer sudah memberi batasan jika aset yang bukan barang tidak boleh melebihi dari 51 persen.

Apabila aset perusahaan berbentuk barang dan sebagian kecil berbentuk uang kas, maka harus mengikuti kaidah dan jika aset perusahaan adalah beraneka macam barang, maka untuk menentukan jenis barang yang dijadikan underlying adalah yang paling dominan aghlabnya.

  1. Emiten Harus Memenuhi Kriteria

Selain itu, emiten atau perusahaan publik juga harus sudah memenuhi beberapa macam kriteria seperti berikut ini:

  • Jenis usaha, jasa dan produk barang yang diberikan dan juga akad dan cara mengelola perusahaan emiten atau perusahaan publik yang menggunakan sifat syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah yang sudah ditetapkan.
  • Jenis kegiatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah seperti transaksi tingkat nisbah, hutang perusahaan di lembaga keuangan ribawi yang lebih dominan dari modalnya atau lembaga konvensional atau ribawi seperti perbankan dan asuransi konvensional.

Jenis Jual Beli Saham Haram

Ada beberapa aktivitas jual beli saham yang termasuk dalam aktivitas ribawi dan sudah diharamkan dalam nash dan berikut ini adalah contoh jual beli terlarang, yakni: 

  • Perjudian dan permainan: Perusahaan yang tergolong dalam judi ataupun perdagangan adalah dilarang sebab termasuk dalam maisir atau judi yang dilarang dalam Islam.
  • Makanan haram atau minuman haram: Produsen, distributor dan juga penyedia berbagai jasa atau barang yang bisa merusak moral dan memiliki sifat mudara adalah diharamkan atau dilarang seperti menjual atau memasarkan makanan haram dalam Islam, minuman keras dalam Islam.
  • Menggunakan efek syariah: Sebuah emiten atau perusahaan publik yang menggunakan efek syariah sangat wajib untuk menandatangani dan juga memenuhi seluruh ketentuan dari akad yang sesuai dengan syariah.
  • Bai najsy: Bai najsy adalah melakukan penjualan barang dengan efek syariah yang belum dimiliki sehingga mengartikan menjual saham yang belum menjadi tanggung jawab dan menjadi hal terlarang.
  • Insider trading: Insider trading adalah menggunakan informasi orang dalam untuk mencari keuntungan dari transaksi yang dilarang.
  • Margin trading atau bai’ al hamisy: Ini merupakan pelaksanaan transaksi dengan efek syariah memakai fasilitas pinjaman dengan basis bunga atas kewajiban menyelesaikan pembelian efek syariah itu.
  • Melakukan manipulasi: Pelaksanaan dalam transaksi jual beli saham juga harus dilakukan atas dasar prinsip hati hati dan tidak diperbolehkan untuk melakukan spekulasi dan juga manipulasi yang didalamnya terkandung unsur terlarang.

Jika berbicara tentang hukum jual beli saham dalam Islam, maka terdapat dua pendapat yang berbeda di antara para ulama yakni halal apabila perusahaan tersebut tidak bergerak di bidang yang diharamkan. Sedangkan pendapat kedua adalah mengharamkan sebab tidak terdapat ijab qobul didalamnya. Demikian ulasan singkat dari kami mengenai hukum jual beli saham menurut Islam. Semoga bisa bermanfaat untuk anda.

The post 6 Hukum Jual Beli Saham Dalam Islam yang Benar appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Asuransi Dalam Islam – Boleh atau Tidak? https://dalamislam.com/hukum-islam/asuransi-dalam-islam Thu, 31 Aug 2017 04:02:43 +0000 http://dalamislam.com/?p=1988 Asuransi merupakan perdagangan atau jaminan yang diberikan dari penanggung pada yang menanggung resiko kerugian sebagaimana seperti yang sudah ditetapkan dalam surat perjanjian seperti, kerusakan, pencurian, kebakaran dan sebagainya atau bahkan kehilangan jiwa atau kecelakaan lain. Dari pengertian diatas bisa disimpulkan jika seseorang bersedia untuk membayar dalam kadar kerugian yang kecil saat sekarang supaya bisa menghadapi […]

The post Asuransi Dalam Islam – Boleh atau Tidak? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Asuransi merupakan perdagangan atau jaminan yang diberikan dari penanggung pada yang menanggung resiko kerugian sebagaimana seperti yang sudah ditetapkan dalam surat perjanjian seperti, kerusakan, pencurian, kebakaran dan sebagainya atau bahkan kehilangan jiwa atau kecelakaan lain. Dari pengertian diatas bisa disimpulkan jika seseorang bersedia untuk membayar dalam kadar kerugian yang kecil saat sekarang supaya bisa menghadapi kerugian besar yang mungkin saja bisa terjadi di masa yang akan datang.

Artikel terkait:

Asuransi dilihat dari Sudut Pandang Islam

Umat muslim di Indonesia saat ini juga sudah banyak yang terlibat dalam urusan asuransi, oleh karena itu sangat perlu ditinjau dari sudut pandang agama Islam dengan lebih detail. Bagi umat muslim sendiri ada yang beranggapan jika asuransi bukanlah suatu kegiatan yang Islami, sehingga seseorang yang terlibat dengan asuransi, sama halnya dengan mengingkari rahmat Allah SWT.”

Allah sudah menentukan rezeki untuk setiap makhluknya seperti yang sudah difirmankan Allah SWT, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yg memberi rezekinya”. “dan siapa yg memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan ??” “Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup dan makhluk-makhluk yg kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.”

Dari tiga ayat tersebut bisa diartikan jika Allah SWT memang sudah menyiapkan segala sesuatu untuk semua urusan dan kebutuhan makhluk hidup seperti pada manusia sebagai khalifah di muka bumi dan Allah menyiapkan barang dalam bentuk mentah dan bukan dalam wujud matang. Ini membuat manusia harus mengolahnya terlebih dulu dan mencari ikhtiarnya. Sementara orang yang terlibat dengan asuransi merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan juga masa tuanya.

Akan tetapi, karena urusan asuransi tidak dijelaskan secara lugas dalam nash, maka permasalahan ini masih dipandang sebagai ijtihadi, yakni masalah tentang perbedaan pendapat yang masih agak sulit dijindari dan juga tetap harus menghargai perbedaan tersebut.

Artikel terkait:

Pendapat Larangan Asuransi Dalam Islam

Asuransi merupakan hal haram apapun wujudnya termasuk asuransi jiwa. Pendapat tersebut telah dikemukakan oleh Sayyid Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf Qardhawi dan juga Muhammad Bakhil al-Muth’i. Sementara beberapa alasan mengapa asuransi dikatakan haram adalah sebagai berikut:

  • Asuransi terkandung unsur yang belum pasti.
  • Asuransi sama dengan judi: Seperti yang kita ketahui, judi memiliki unsur taruhan dan sama halnya dengan premi yang ditanam sehingga sama dengan judi.
  • Asuransi terkandung unsur riba atau renten: Asuransi juga mengandung unsur ruba fadhel atau riba perniagaan sebab adanya sesuatu yang terlalu berlebihan dan juga riba nasi’ah atau riba karena penundaan secara bersamaan.
  • Asuransi mengandung unsur pemerasan sebab apabila pemegang pois tidak dapat melanjutkan pembayaran, maka pembayaran premi yang sudah dibayarkan akan hilang atau dikurangi.
  • Premi yang sudah dibayarkan akan diputar kembali dalam praktek riba.
  • Hidup dan mati manusia dijadikan sebagai bisnis dan ini sama halnya dengan mendahului takdir Allah SWT.

Terdapat bentuk memakan harta yang batil: Dalam asuransi juga mengandung bentuk memakan harta orang lain yang dilakukan dengan jalan kebhatilan dan pihak asuransi mengambil harta akan tetapi tidak selalu memberikan timbal balik. Padahal, di dalam akad mu’awadhot atau yang terdapat di dalam syarat keuntungan haruslah memiliki timbal balik dan jika tidak, maka masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.

Selain itu, juga terdapat sisi ghoror lainnya dari sisi besaran yang dikatakan sebagai timbal balik yang bisa diperoleh dan besarnya sendiri tidak diketahui dengan pasti. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah melarang jual beli yang memiliki kandungan ghoror atau spekulasi tinggi seperti yang ada dalam hadits Abu Hurairah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

Artikel terkait:

Pendapat Diperbolehkan Asuransi Dalam Islam

Sementara untuk pendapat kedua, praktek asuransi diperbolehkan dan dikemukakan oleh Abd. WWahab Khalaf Mustafa Akhmad Zarqa Muhammad Yusuf Musa dan juga Abd. Rakhman isa. Sementara alasan diperbolehkannya asuransi adalah sebagai berikut:

  • Terjadi kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak.
  • Tidak terdapat nash yang melarang praktek asuransi.
  • Asuransi termasuk ke dalam akda mudhrabah.
  • Memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
  • Asuransi bisa digunakan untuk kepentingan umum karena premi yang sudah terkumpul bisa diinvestasian sebagai proyek produktif dan juga pembangunan.
  • Asuransi termasuk ke dalam jenis koperasi.
  • Asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti pada taspen.

Pendapat Makruh tentang Asuransi Dalam Islam

Sementara untuk pendapat yang ketiga, asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan, sedangkan yang bersifat komersil diharamkan. Pendapat ketiga ini dikemukakan oleh Muhammad Abdu Zahrah yakni dengan alasan serupa dengan pendapat yang pertama untuk asuransi bersifat komersil dan sama pendapatnya untuk pendapat kedua dalam asuransi yang bersifat sosial.

Alasan dari golongan yang mengungkapkan asuransi syubhat sebab tidak terdapat dalil tegas yang mengharamkan atau tidak mengharamkan asuransi tersebut. Dari beberapa ulasan diatas bisa dipahami jika urusan tentang asuransi masih menimbulkan keraguan sehingga agak sulit untuk menentukan pilihan mana yang paling mendekati dengan hukum yang benar.

Artikel terkait:

Jenis Asuransi Berdasarkan Syariah

Sebagai alternatif baru yang ditawarkan, sekarang ini juga terdapat asuransi yang sesuai dengan ketentuan Islam dan dalam urusan ini, hedaknya tetap berpegang pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkan hal-hal yg meragukan kamu kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.”

Asuransi menurut ajaran Islam yang sudah mulai dilaksanakan dan digalakkan seperti yang sudah dilakukan beberapa asuransi Indonesia yang menganut sistem berbeda yakni memakai sistem mudharabah. Sementara dalam asuransi takaful berdasarkan syariah terdiri dari beberapa jenis, diantaranya:

  1. Takaful Kebakaran

Asuransi takaful kebakaran memberikan perlindungan pada harta benda seperti kantor, toko, industri, kerugian karena kebakaran, jatuhnya pesawat terbang, ledakan gas, tersambar petir, pabrik dan sebagainya.

  1. Takaful Pengangkutan Barang

Asuransi dalam bentuk ini akan memberikan perlindungan untuk kerugian harta benda dalam pengiriman barang dan dalam pengiriman tersebut terjadi kecelakaan atau musibah.

  1. Takaful keluarga

Asuransi takaful keluarga meliputi takaful berencana pembiayaan jangka panjang seperti pendidikan, kesehatan, umroh, wisata dan takaful perjalanan haji. Dana yang sudah terkumpul dari peserta asuransi ini nantinya akan diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah. Setelah itu, hasil yang didapat dari cara mudharabah akan dibagi untuk seluruh peserta dan juga untuk perusahaan.

Riba Dalam Asuransi Konvensional

Riba di dalam asuransi konvensional bisa terjadi karena dana yang diinvestasikan, sedangkan untuk masalah riba juga dipermasalahkan oleh para alim ulama. Ada sebagian ulama yang mengharamkan dan ada sebagian ulama yang memperbolehkan sementara ada juga yang berpendapat syubhat. Sedangkan jalan yang dilakukan asuranasi takaful adalah dengan cara mudhrabah sehingga tidak ada riba di dalam asuransi takaful tersebut.

Supaya asuransi takaful dengan landasan syariah Islam bisa berjalan dengan baik di masyarakat, maka asuransi takaful juga perlu lebih dimasyarakatkan dan dilaksanakan dengan baik supaya akhirnya bisa memperoleh kepercayaan masyarakat. Masyarakat sendiri juga menginginkan bukti yang nyata tentang sebuah gagasan, supaya nantinya bisa mendapatkan jaminan ketenangan selama hidup dan juga ada yang menginginkan jaminan untuk anak beserta keturunan selepas meninggal dunia.

Jika asuransi takaful dengan landasan syariah Islami bisa mewujudkan dengan nyata keperluan masyarakat, maka akan membuat orang yang senang dengan hal syubhat dan berhadapan dengan hukum, akan bertolak belakang dan akan berkurang.

Dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan tentang haram dan tidaknya asuransi. Namun sebagai umat muslim yang baik, alangkah lebih baik untuk lebih cermat sehingga tidak tertipu dengan penambahan syar’i saja dan harus diselidiki terlebih dahulu apakah memang benar atau hanya sekedar penambahan kata saja. Akan lebih baik juga untuk tidak mengajukan premi sebab kalim yang didapat juga belum bisa dipastikan kehalalannya dan juga tidak boleh dimanfaatkan kecuali dalam keadaan terpaksa dan sudah terikat kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan premi yang sudah disetorkan seperti asuransi kesehatan dan tidak boleh melebihi dari hal tersebut.

Apabila anda sudah terlanjur berkecimpung dalam asuransi, maka berusahalah lebih keras untuk meninggalkannya dan perbanyak istighfar serta taubat dan juga amalan kebaikan. Akan lebih baik lagi jika uang yang sudah ditanamkan ditarik kembali.

The post Asuransi Dalam Islam – Boleh atau Tidak? appeared first on DalamIslam.com.

]]>