hukum haid Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/hukum-haid Fri, 12 Apr 2019 11:42:17 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png hukum haid Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/hukum-haid 32 32 Hukum Istihadhah Saat Puasa Ramadhan https://dalamislam.com/info-islami/hukum-istihadhah-saat-puasa-ramadhan Fri, 12 Apr 2019 11:42:15 +0000 https://dalamislam.com/?p=6359 Istihadah adalah darah yang keluar di luar jadwal haid dan juga di luar masa nifas dan hendaknya memahami larangan saat nifas menurut islam Darah ini disebut darah penyakit. Karena bukan berasal dari rahim sebagaimana darah haid atau nifas. Namun disebabkan oleh adanya urat yang pecah atau putus dan kalau keluar langsung mengental. Sifatnya hampir mirip […]

The post Hukum Istihadhah Saat Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Istihadah adalah darah yang keluar di luar jadwal haid dan juga di luar masa nifas dan hendaknya memahami larangan saat nifas menurut islam

Darah ini disebut darah penyakit. Karena bukan berasal dari rahim sebagaimana darah haid atau nifas. Namun disebabkan oleh adanya urat yang pecah atau putus dan kalau keluar langsung mengental. Sifatnya hampir mirip dengan darah yang keluar saat luka.

Para ulama menjelaskan, bahwa hukum yang berlaku pada darah istihadoh berbeda dengan darah haid. Wanita yang haid dilarang untuk sholat, puasa dan tawaf. Adapun wanita yang mengalami Istihadah, hukumnya seperti keadaan suci. Dia tetap diwajibkan sholat, puasa, dan boleh melakukan ibadah lainnya selayaknya wanita yang suci sebagaimana sumber syariat islam.

Imam al Qurtubi rahimahullah menerangkan,

المستحاضة تصوم، وتصلِّي، وتطوف، وتقرأ، ويأتيها زوجه

“Wanita yang mustahadhoh, tetap diperintahkan puasa, sholat, tawaf, membaca Al Quran (meski dengan menyentuh mushaf, pent), dan diperbolehkan melakukan hubungan intim dengan suaminya agar mendapat pahala yang didapat bersama istri.” (Al-Jami’ li Ahkam al Qur’an 2/86).

Keterangan ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Aisyah radhiyallah ‘anha, beliau mengatakan,

جائت فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي اِمْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ اَلصَّلَاةَ؟

Fathimah binti Abu Hubaisy datang menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kemudian berkata: tentang adab wanita saat haid dalam islam

“Ya Rasulullah, sungguh aku ini perempuan yang selalu keluar darah (Istihadah) dan tidak pernah suci. Bolehkah aku meninggalkan shalat? ”

Rasul menjawab : keutamaan haid dalam islam

لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي اَلصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ ثُمَّ صَلِّي

“Tidak, itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haid. Bila haidmu datang tinggalkanlah shalat. Dan bila haid itu berhenti, bersihkanlah dirimu dari darah itu (mandi), lalu shalatlah. ” (Muttafaqun ‘alaih).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, saat menjelaskan potongan hadis “darah Istihadah itu hanyalah darah penyakit.”,

وفي هذا إشارة إلى أن الدم الذي يخرج إذا كان دم عرق – ومنه دم العملية [ الجراحية ]- فإن ذلك لا يعتبر حيضاً ، فلا يحرم به ما يحرم بالحيض ، وتجب فيه الصلاة والصيام إذا كان في نهار رمضان.

“Ini menunjukkan, bahwa darah yang keluar apabila darah tersebut adalah darah penyakit; diantaranya darah yang keluar saat operasi, maka darah itu tidak disebut darah haid. Oleh karenanya, tidak menyebabkan berlakunya larangan sebagaimana yang berlaku pada wanita haid. Maka tetap diwajibkan sholat dan puasa; apabila terjadi di siang hari ramadhan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, jilid 11, soal nomor 226).

Banyak yang ragu-ragu berpuasa saat wanita masih mengeluarkan darah selepas atau di luar siklus menstruasinya. Pengasuh Pesantren Daarut Taubah Harapan Jaya Ustad Mohammad Rois menjawab bahwa darah yang keluar selain haid dan nifas maka darah itu disebut darah penyakit atau darah istihadhah.
“Untuk yang mengalami darah istihadhah ini, diwajibkan menjalan syariat sebagaimana ia masih dalam keadaan suci,”kata Ustaz Rois.

Ustaz Rois merujuk kepada hadis dari Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, “Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari setan, maka anggaplah dirimu haid selama enam atau tujuh hari. Setelah lewat dari itu mandi lah, maka apabila engkau telah suci salat lah selama 24 atau 23 hari, puasa lah dan salat lah. Hal ini mencukupimu, demikianlah engkau lakukan setiap bulannya sebagaimana para wanita biasa berhaidh.”(HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan Al-Imam Ahmad terhadap hadis ini, sedangkan Al-Imam Al-Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160).

Oleh karena itu, diwajibkan bagi wanita yang masih mengeluarkan darah istihadhah untuk berpuasa dan salat sebagaimana biasanya.

Istihadhah adalah keluarnya darah secara terus menerus pada diri seorang wanita. Bisa terjadi selamanya, bisa pula berhenti dalam beberapa waktu. Dalil akan kemungkinan darah akan terus menerus keluar adalah hadist ‘Aisyah dalam shahih buhkari beliau berkata Fatimah bintu Abi Hubaisy berkata Rasulullah bersabda :

“wahai Rasulullah sesungguhnya aku wanita yang tidak pernah mengalami masa suci” (dalam riwayat yang lain); sesungguhnya aku mengalami istihadhah dan tidak pernah suci”

Adapun dalil yang menjelaskan yang keluarnya terhenti kecuali hanya dalam waktu yang sebentar saja adalah hadist Hammah bini Jahsyin, dimana beliau mendatangi nabi dan berkata :

“wahai Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali “ (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Di nukil bahwasannya Imam Ahmad menshahihkannya dan Al Bukhari menghasankan)”

Kondisi wanita yang mengalami Istihadhah

Wanita yang mengalami istihadah ada tiga keadaan :

1. Dia memiliki massa haid yang jelas sebelum mengalami istihadhah. Maka kondisi yang seperti ini dikembalikan kepada masa haidnya yang sudah diketahui pada massa sebelum dia istihadhah dan di luar hari hari yang biasa dia mengalami haid, berlaku padanya hukum wanita yang istihadhah.
Fatimah bintu Abi Hubaisy berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah dan tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat ? beliau menjawab :

“ Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada rahim) yang terbuka, akan tetapi tinggalkan shalat seukuran engkau biasa mengalami haid kemudian mandilah (haid) dan shalatlah (HR. Al Bukhari).

2. Apabila dia tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas sebelum dia mengalami istihadhah. Apabila dia tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas sebelum dia mengalami istihadhah, karena istihadhah itu berlangsung terus menerus sejak awal keluar darah darinya.

Maka pada kondisi yang seperti ini dia beramal dengan perbedaan kondisi darah yang keluar tersebut. dimana haidnya diperhitungkan dengan kondisi darah yang berwarna kehitaman, atau kental atau baunya yang dengan itu berlaku padanya hukum – hukum haid. Adapun jika cirinya tidak seperti itu maka di hukumi darah istihadhah sehingga berlaku padanya hukum – hukum istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda nabi kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy :

“ jika darah itu haid, maka sesungguhnya darahnya kehitaman dan dikenali. Jika demikian kondisi darahnya maka tahanlah dirimu dari melakukan shalat. Sedangkan jika kondisi darahnya tidak demikian , maka berwudhulah dan shalatlah karena sesungguhnya itu hanyalah dari urat (rahim) yang terbuka (HR. Abu Dawud dam An Nasa’I dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)

pada sanad dan matannya hadist ini ada kelemahan, akan tetapi para ulama telah beralmal dengan hadist tersebut. dan yang demikian lebih utama daripada mengembalikan hukum wanita yang kondisinya seperti ini kepada adat / kebiasaan keumuman wanita.

3. Seorang yang tidak memiliki masa haid yang jelas juga dan tidak ada perbedaan kondisi perbedaan darah yang jelas pula.

Seperti seorang yang mengalami istihadhah terus menerus sejak pertama kali keluar darah, sedangkan sifat darahnya sama atau sifatnya kacau, sehingga tidak mungkin di hukumi sebagai darah haid. Kondisi ini di berlakukan padanya kondisi haid keumuman wanita.
Contoh dalam masalah ini : seorang melihat darah terus keluar pada hari kelima bulan tersebut. kemudian darah terus keluar tanpa ada perbedaan sifat darah yang jelas untuk bisa dihukumi sebagai darah haid, tidak dari sisi warnanya tidak pula yang lainya. Maka haid dihitung setiap bulan selama enam atau tujuh hari

Dalilnya adalah hadist Hamnah bintu Jahsyin dia berkata :

“wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku telah terhalang dengan sebab itu dari menuaikan shalat dan puasa”. Beliau berkata : “aku akan tunjukan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena di akan menutup aliran darahmu” dia berkata : darah tersebut terlalu deras. Kemudian di hadist tersebut Nabi bersabda : “sesungguhnya darah tersebut tendangan – tendangan syaitan, maka massa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” (HR.Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Di nukilkan bahwasannya Imam Ahmad menshahihkanya dan Al Bukhari menghasankannya)”

Kondisi yang mirip dengan Orang terkena Istihadhah.

Terkadang terjadi pada seorang wanita suatu sebab yang mengharuskan mengalir darah dari kemaluanya, seperti akibat oprasi rahim atau sebab lainya. Keadaan ini ada dua macam :

1. diketahui bahwa wanita tersebut tidak akan mengalami haid lagi sesudah oprasi. Misal : jika oprasi itu beruapa untuk pengangkatan rahim atau memutus salauran (vasektomi) sehingga tidak ada lagi darah yang mengalir dari rahim, Maka kondisi seperti itu tidak diberlakukan padanya hukum istihadhah. Yang diberlakukan padanya hukum orang yang melihat warna kuning atau keruh atau basah sesudah masuk massa suci.

Maka dia tidak boleh meninggalkan shalat, puasa, tidak pula terlarang menggaulinya, dan tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah tersebut. akan tetapi yang harus di lakukan ketika hendak shalat adalah mencuci darah dan menyumbat kemaluannya dengan kain atau semacamnya untuk mencegah keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Dia tidak berwudu kecuali sesudah masuk waktu shalat jika.

2. tidak bisa di pastikan dia tidak akan haid lagi sesudah operasi. Bahkan mungkin dia akan mengalami haid lagi. Maka kondisi ini, hukumnya hukum wanita yang mengalami istihadhah.Rasulullah bersabda kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy :

“ Darah tersebut sesungguhnya bukan haid. Jika telah tiba massa haidmu maka tinnggalkan shalat (HR. Al Bukhari)

Semoga bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Istihadhah Saat Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Membaca Al-Quran Digital Bagi Wanita Haid https://dalamislam.com/hukum-islam/wanita/hukum-membaca-al-quran-digital-bagi-wanita-haid Wed, 07 Mar 2018 08:05:29 +0000 https://dalamislam.com/?p=2888 Bagi seorang muslim, manfaat membaca Al-Quran atau kibat Allah merupakan sebuah keutamaan di samping ibadah-ibadah wajib yang mereka kerjakan. Meskipun hukumnya tidak wajib, namun banyak orang berlomba untuk bisa menyempatkan waktunya demi membaca dan mempelajari kitab Allah yang satu ini. Terutama saat bulan ramadhan tiba terutama mengenai keutamaan mengkhatamkan Al-Quran. Namun adakalanya seorang muslim tidak […]

The post Hukum Membaca Al-Quran Digital Bagi Wanita Haid appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bagi seorang muslim, manfaat membaca Al-Quran atau kibat Allah merupakan sebuah keutamaan di samping ibadah-ibadah wajib yang mereka kerjakan. Meskipun hukumnya tidak wajib, namun banyak orang berlomba untuk bisa menyempatkan waktunya demi membaca dan mempelajari kitab Allah yang satu ini.

Terutama saat bulan ramadhan tiba terutama mengenai keutamaan mengkhatamkan Al-Quran. Namun adakalanya seorang muslim tidak diperbolehkan membacanya khususnya bagi para wanita yang sedang dalam keadaan haid atau menstuasi.

Haid atau menstruasi adalah keadaan di mana darah keluar dari varji kemaluan seorang wanita dewasa. Hukum darah haid adalah najis besar dan untuk mensucikannya pun wanita harus melakukan mandi besar. Untuk itu, beberapa pendapat melarang seorang wanita yang sedang dalam keadaan yang tidak suci (sedang haid) tidak diperbolehkan menyantuh dan membaca Al-Qur’an.

Di satu sisi ada beberapa pendapat yang memperbolehkan membaca Al-Qur’an tanpa menyentuhnya meskipun wanita tersebut masih dalam keadaan berhadast. Tentunya dengan syarat yang telah ditetapkan islam. Namun, bagaimana jika membacanya melalui Al-Qur’an  digital yang ada di smartphone? Apakah tetap diperbolehkan?

Untuk menjawab pertanyaan yang sering terbesit di dalam benak pikiran para muslimah. Berikut uraian dan penjalasan mengenai hukum membaca Alquran saat haid.

Hukum Membaca Al-Qur’an Digital Dalam Keadaan Haid/Menstruasi

Dalam kondisi berhadast (haid/mestruasi) seorang muslimah (perempuan) tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah-ibadah yang telah ditentukan. Seperti sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah-ibadah lain yang apabila dikerjakan seseorang harus dalam keadaan suci terlebih dahulu. Ini juga berhubungan dengan hukum wanita haid masuk masjid, hukum wanita haid ziarah kubur, hukum memotong rambut saat haid dalam islam.

Hal tersebut dikarenakan darah yang keluar dari varji (kemaluan) seorang muslimah bersifat najis. Sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

Mereka bertanya kepadamu mengenai darah ahid. Katakanlah jika haid itu merupakan sebuah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari seorang wanita ketida dalam keadaan haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka dalam keadaan yang suci. Apabila mereka sudah dalam keadaan yang suci maka campurilah mereka di tempat yang telah di perintahkan oleh Allah SWT. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang telah mensucikan dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dalam beberapa dalil menyebutkan jika wanita yang sedang dalam keadaan berhadast atau sedang haid tidak diperbolehkan membaca Al-Qur’an. Selain membaca, mereka juga tidak diperbolehkan menyentuh ataupun melihat isi tulisan di dalamnya.

Hal ini sesuai dengan dalil Al-Qur’an yang menyebutkan: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah sebuah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihata (Lauhul Mahfuzd), tidak diperbolehkan menyentuhnya keciali bagi hamba-hamba yang dalam keadaan suci.” (QS. Al-Waqiah: 76 – 79).

Selain dalil Al-Qur’an, hadist lain yang menyebutkan tentang larangan membaca Al-Qur’an bagi wanita haid adalah dari salah satu sahabat Rasulullah SAW yaitu Amr Ibn Hazm Radiyallahu’anhu yang menyatakan: “Hanya orang-orang dalam keadaan sucilah yang diperkenakan untuk menyentuh Al-Qur’an.” (HR. Imam Malik).

Selain itu Imam Nawawi juga menegaskan dalam kitabnya Al-Majmu Syarh Al-Muhadzab: “Dalam mahzab kami (Syafi’iyyah) yang yang sedang dalam keadaan junub dan bagi para wanita yang haid maka diharamkan untuk membaca Al-Qur’an baik itu sedikit maupun banyak, atau bahkan hanya sebagian ayat saja.” Karena hal ini merupakan pendapat mayoritas besar ulama kita.

Ada pula sebuah hadist yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Ummar Radiallahu’anha menyatakan: “Janganlah (perempuan) yang dalam keadaan berhadast (haid) dan orang yang masih dalam keadaan junub membaca sedikit pun dari ayat-ayat Al-Qur’an.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Namun kedudukan hadist ini sangat lemah atau Dhaif.

Berdasarkan firman Allah SWT yang terkandung dalam surat Al-Waqiah yang berbunyi: “Al-Qur’an tidak diperbolehkan disentuh kecuali bagi mereka yang telah dalam kondisi bersuci.” (QS. Al-Waqiah: 78).

Selain itu hadist lain dari Muhammad bin Fadl, dari Bapaknya Thawus dan Jabir, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “ Tidak boleh bagi perempuan haid atau nifas (orang yang dalam keadaan junub) membaca ayat-ayat Al-Qur’an sedikit pun juga dari ayat yang terkandung di dalamnya.”

Namun hadist ini Maudhu’ (palsu) yang telah diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Abu Nua’im pada kitabnya Al-Hilyah. Sanad dari hadist ini adalah Maudhu’ atau palsu karena Muhammad bin Fadl yang dikatakan oleh para imam ahli sebagai pendusta sebagaimana yang telah diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Dari dalil di atas, membaca Al-Qur’an bagi wanita dalam keadaan haid adalah tidak diperbolehkan. Karena pada dasarnya, saat membaca Al-Qur’an seorang muslim atau muslimah secara langsung akan berhubungan dengan muskhaf dan hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali bagi mereka yang sudah dalam keadaan bersuci (wudhu).

Namun, apabila mereka tidak menyentuhnya secara langsung, maka hal tersebut masih diperbolehkan menurut beberapa pendapat ulama lain.

Pendapat Ulama

Dari beberapa dalil di atas, telah disebutkan apabila seorang muslim atau muslimah yang ingin atau sedang membaca Al-Qur’an. Maka diwajibkan untunya bersuci terlebih dahulu (wudhu). Namun, hal tersebut berlaku ketika mereka sedang dalam keadaan menyentuh atau memegang muskhaf secara langsung. Karena ada larangan untuk menyentuh mushkaf Allah bagi mereka yang dalam kondisi tidak suci.

Hal inilah yang menimbulkan beberapa pendapat yang justru memperbolahkan seorang muslimah (wanita) dalam keadaan haid untuk membaca Al-Qur’an tapi tidak menyentuhnya. Hal ini tentu berdasarkan atas dalil yang telah dijelaskan sebelumnya.

Misalnya saja, seorang wanita yang masih dalam keadaan haid tetap bisa membaca Al-Qur’an dengan meminta tolong kepada orang lain untuk memegangnya. Atau bisa dengan jalan lain yaitu melalui Al-Qur’an digital (bukan mushkaf).

Contoh lain yang bisa digunakan untuk memperjelas pendapat ulama mengenai hukum membaca Al-Qur’an digital bagi seorang wanita yang sedang haid adalah ketika seorang hafidzah atau wanita yang sedang menghafalkan Al-Qur’an.

Maka ketika ia tidak membacanya, maka para ulama menakutkan apa yang sudah dihafalkannya akan hilang. oleh sebab itu, ada beberapa ulama yang memperbolehkan seorang wanita membaca Al-Qur’an meskipun ia dalam kondisi sedang haid dan baca juga mengenai penjelasan tentang larangan saat haid.

Hal ini berdasarkan hadist Aisyah yang berbunyi: “ Aisyah berkata: Kami keluar untuk (menunaikan ibadah haji) bersama Rasulullah SAW (dan) kami pun tidak menyebutnya selain haji”. Ketika kami telah sampai di suatu tempat yang bernama Sarif Aku Haid. Lalu Rasulullah masuk dan menemuiku dalam kondisi sedang menangis. Lalu Beliau pun bertanya:

Apa yang membuatnya menangis wahai Aisyah?” Aku menjawab: “Aku ingin demi Allah jikalau sekiranya aku tidak haji tahun ini”. Beliau pun bersabda: “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah SWT  bagi anak-anak perempuan Adam, oleh sebab itu kerjakanlah apa yang dikerjakan  orang yang sedang dalam keadaan berhaji kecuali engkau tidak diperbolehkan untuk Thawaf di Ka’bah hingga engkau suci dari (haid).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, membaca Al-Qur’an saat haid juga diperbolehkan apabila niatnya adalah hanya untuk mengajarkan atau membenarkan bacaan yang salah. Bukan untuk mendapatkan pahala dari membaca Al-Qur’an itu sendiri. Maka hal yang seperti inilah juga diperbolehkan menurut sebagian dari ulama islam.

Namun yang perlu diketahui, membaca bacaan Al-Qur’an sebaiknya tetap dilakukan dalam atau keadaan yang suci. Hal tersebut selain memiliki keutamaan dari apa yang ia kerjakan. Tentu Allah SWT juga akan lebih menyukai mereka yang benar-benar mengikuti ajaran-Nya.

Membaca Al-Qur’an dengan langsung memegang atau menyentuh Al-Qur’an. Tentu pahala dan keutamaannya lebih tinggi dibandingkan tidak menggunakan mushkaf secara langsung.

Namun apabila karena alasan lain seperti memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang lain. Maka menggunakan atau membaca Al-Qur’an digital bagi wanita haid itu diperbolehkan. Karena mengajarkan sesuatu kepada sesama muslim merupakan pahala yang sangat mulia dihadapan Allah SWT. Seperti hanya keutamaan membaca alquran di bulan ramadhan.

Kasimpulan mengenai hukum membaca Al-Qur’an digital bagi wanita haid terdapat dua pendapat yakni

  1. Beberapa Ulama melarangnya karena pada dasarnya membaca Al-Qur’an hanya diperbolehkan untuk mereka (muslim dan muslimah) yang dalam keadaan suci (berwudhu). Dan hal ini merupakan pendapat sebagian besar ulama ahli.
  2. Sedangkan diperbolehkan membaca melalui perangkat digital dengan niat bukan untuk mendapatkan pahala dari bacaan yang telah mereka kerjakan. Namun hal tersebut diperbolehkan bagi mereka yang memiliki tugas atau tanggung jawab untuk membenarkan bacaan orang lain.

Dari dua pendapat mengenai hukum membaca Al-Qur’an  digital bagi wanita haid di atas. Sebenarnya kembali kepada kepercayaan masing-masing. Waalahu’alm bii showaf.

The post Hukum Membaca Al-Quran Digital Bagi Wanita Haid appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menunda Mandi Wajib Setelah Haid dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-menunda-mandi-wajib-setelah-haid Tue, 05 Sep 2017 04:13:52 +0000 http://dalamislam.com/?p=2016 Mandi wajib sering dilakukan pada keadaan tertentu yang memang sudah diharuskan seperti sesudah masa haid dan juga sesudah melakukan hubungan suami istri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, seringkali para wanita menunda untuk melakukan mandi wajib khususnya sesudah masa haid dengan alasan cuaca yang sedang tidak mendukung, malas, tidak enak badan, tidak sempat dan banyak alasan lainnya. […]

The post Hukum Menunda Mandi Wajib Setelah Haid dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Mandi wajib sering dilakukan pada keadaan tertentu yang memang sudah diharuskan seperti sesudah masa haid dan juga sesudah melakukan hubungan suami istri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, seringkali para wanita menunda untuk melakukan mandi wajib khususnya sesudah masa haid dengan alasan cuaca yang sedang tidak mendukung, malas, tidak enak badan, tidak sempat dan banyak alasan lainnya. Perlu diketahui jika terdapat hukum bagi seorang wanita yang tidak langsung atau menunda membersihkan hadats besar tersebut dan berikut ini akan kami jelaskan secara lengkap.

Al Imam Al Mudaddits Muqbil Hadi Al Wadi’i berkata,

“Bila darah haid telah berhenti dalam waktu tiga hari, kurang ataupun lebih, wajib bagi si wanita untuk mandi dan mengerjakan shalat bila telah masuk waktunya, serta diperkenankan bagi suaminya untuk mendatanginya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh karena itu kalian harus menjauhkan diri dari istri-istri kalian di waktu haidnya (tidak melakukan jima’ pada kemaluan) dan janganlah kalian mendekati (menggauli) mereka sampai mereka suci dengan mandi. Apabila mereka telah suci dengan mandi maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian (pada qubul). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan dirinya.” (Al-Baqarah: 222)

Artikel terkait:

Wanita tidak diperbolehkan untuk menunda mandi wajib sesudah darah berhenti pada masa haid. Bila ia tidak mendapatkan air untuk mandi suci atau ia tidak mampu menggunakan air, maka diperkenankan baginya bertayammum sampai ia mendapatkan air atau mampu menggunakan air, serta wajib baginya mengerjakan shalat dengan tayammum tersebut serta diperkenankan bagi suaminya untuk men-”datangi”-nya. Wallahu a’lam.(Ijabatus Sa’il ‘ala Ahammil Masa’il, hal. 703)

Hal yang dimaksud dengan “ia tidak mampu menggunakan air” adalah wanita yang sakit dan tidak dapat bersuci dengan menggunakan air, berwudhu dari hadats kecil atau mandi dari hadats besar sebab lemah dan dikhawatirkan akan bertambah sakit sekaligus menghambat proses penyembuhan maka diperbolehkan untuk bertayamum. Caranya adalah dengan menepuka kedua tangannya pada tanah dengan sekalitepukan dan mengusapnya pada wajah dengan memakai kedua telapak tangan serta mengusap kedua telapak tangan antara satu dengan yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman, ““Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Artikel terkait:

Tata Cara Mandi Wajib Sesudah Haid

Supaya ibadah bisa diterima Allah SWT, maka dalam tata pelasanaannya juga harus dilakukan sesuai dengan tuntunan yang sudah diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dimana Rasulullah menyebutkan tentang tata cara dari mandi haid dalam hadits yang sudah diriwayatkan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha jika Asma’ binti Syakal Radhiyallahu ‘Amha bertanya pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengenai mandi haid, maka beliau bersabda,

Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).”

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata jika seorang wanita bertanya pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengenai mandi dari haid dan beliau memberi perintah tata cara bersuci, beliau bersabda, ““Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya (potongan kain/kapas).” (HR. Muslim: 332)

An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628): “Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).” Beliau berkata (1/627): “Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam an-Nisaa’: 117 juz: 1).

Syaikh Mushthafa Al-‘Adawy berkata: “Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak. Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam An-Nisaa’ hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).

Oleh karena itu, wanita yang sudah bersih dari haid untuk mandi dengan membersihkan semua anggota badan minimal menyiramkan air ke seluruh badan sampai pangkal rambut dan yang lebih diutamakan adalah tata cara mandi yang sudah ada dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

  • Wanita mengambil air dan sabun lalu berwudhu dan membaguskan wudhunya.
  • Menyiram air ke kepala lalu menggosok dengan kuat sehingga air sampai ke bagian akar rambut. Pada urusan ini, tidak diwajibkan untuk menguraikan jalinan rambut kecuali dengan menguraikan rambut bisa membantu air sampai ke tempat tumbuhnya rambut yakni kulit kepala.
  • Menyiram air ke semua badan
  • Mengambil sepotong kain atau kapas lalu ditambahkan minyak kasturi dan mengusap bekas darah dengan kain tersebut.

Artikel terkait:

Tata Cara Mandi Junub Wanita

‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)

Seorang wanita memang tidak diwajibkan untuk mengurai rambut saat mandi wajib berdasarkan dari hadits berikut:

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)

Tanda Masa Haid Berakhir

Masa suci dari haid memiliki dua pertanda untuk wanita yakni keluarnya cairan bening dan juga berhenti darah haid dengan cara menempelkan kapas atau semacamnya di tempat keluar haid dan kapas tersebut bersih serta tidak ada darah, flek coklat atau kuning.

Sebagian wanita mengetahui masa sucinya dengan keluar cairan bening, akan tetapi untuk sebagian wanita lain tidak melihat hal ini namun dengan mengeringkan daerah kewanitaan maka sudah menjadi tanda masa suci dari haid.

Al Qasbah Baidha’ merupakan sesuatu yang berbentuk seperti benang putih yang keluar dari kemaluan wanita di akhir masa haid dan menjadi tanda kesucian.

Jika darah haid sudah berakhir dan tempat keluar haid sudah mengering dengan sempurna, maka sudah suci dari haid dan jangan dihiraukan jika keluar cairan kuning dan lainnya sesudahnya. Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kami dahulu tidak menghiraukan flek kecoklatan dan kekuningan yang keluar setelah masa suci”. (HR. Abu Daud: 307 dan dishahihkan oleh Syeikh Albani)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tanda berakhirnya haid dan keberadaan masa sucinya, bahwa keluarnya darah dan flek kekuningan dan kecoklatan akan terhenti, jika sudah terhenti maka seorang wanita dianggap sudah suci, meskipun setelahnya keluar cairan bening atau tidak”. (Al Majmu’: 2/562)

Ulama Lajnah Daimah [4/206] pernah ditanya, “Seorang wanita setelah berhentinya darah haidnya, dia melihat cairan yang warnanya agak kecoklatan, di titik yang terbatas dan jumlahnya tidak banyak, dia tidak melihat tanda masa sucinya, hal itu dialaminya selama dua sampai tiga hari, maka apa yang harus dia lakukan, apakah tetap shalat dan puasa ? atau dia harus menunggu kering atau keluarnya tanda suci ?” Mereka lalu menjawab, “Jika seorang wanita telah suci dari haidnya, lalu dia melihat lagi  -setelah masa suci ditandai dengan mengeringnya daerah kewanitaannya atau cairan bening- beberapa cairan; maka hal itu tidak dianggap sebagai haid, hukumnya sama dengan kencing, anda harus membersihkannya dan berwudhu, hal ini banyak dialami oleh para wanita, setelah bersuci darinya hendaknya bersegera mendirikan shalat dan berpuasa Ramadhan seperti yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘Anha, ia berkata, “Kami dahulu tidak menganggap flek kekuningan dan kecoklatan setelah bersuci mempunyai dampak apapun”. (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)

Artikel terkait:

Allah sesungguhnya sangat menyukai orang yang menyucikan dirinya dan apabila memang tidak sedang berada dalam sakit keras, maka sangat diharuskan untuk menjalankan mandi wajib sesudah haid dan jangan sampai melewati waktu shalat karena sekedar malas untuk menghilangkan hadats besar tersebut.

The post Hukum Menunda Mandi Wajib Setelah Haid dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>