ibadah haji Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/ibadah-haji Sat, 26 Oct 2019 05:58:21 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png ibadah haji Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/ibadah-haji 32 32 Hal-hal Yang Diharamkan Saat Haji dan Dalilnya https://dalamislam.com/info-islami/hal-hal-yang-diharamkan-saat-haji Sat, 26 Oct 2019 05:58:19 +0000 https://dalamislam.com/?p=8146 Haji (al-hajj) adalah rukun Islam yang ke-lima. Seperti ibadah yang lainnya, ibadah haji juga memiliki ketentuan yang harus dijalankan oleh pelakunya. Kewajiban tersebut disebut dengan rukun haji. Selain itu, calon jamaah haji juga harus mengetahui hal apa saja yang diharamkan saat haji. Seperti yang diterangkan berikut ini. Memakai Pakaian yang Berjahit, Memakai Sepatu yang Menutup […]

The post Hal-hal Yang Diharamkan Saat Haji dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Haji (al-hajj) adalah rukun Islam yang ke-lima. Seperti ibadah yang lainnya, ibadah haji juga memiliki ketentuan yang harus dijalankan oleh pelakunya. Kewajiban tersebut disebut dengan rukun haji.

Selain itu, calon jamaah haji juga harus mengetahui hal apa saja yang diharamkan saat haji. Seperti yang diterangkan berikut ini.

  • Memakai Pakaian yang Berjahit, Memakai Sepatu yang Menutup Kaki dan Penutup Kepala

Larangan dalam berhaji tersebut berlaku bagi laki-laki, dikuatkan oleh dalil di bawah ini.

Orang yang berihram tidak boleh memakai baju, ikat kepala, topi, celana, kain yang dicelup dengan sesuatu yang harum, dan sepatu, melainkan jika tidak mempunyai terompah, maka ia boleh memakai sepatu, hendaklah sepatunya itu dipotong sampai di bawah mata kaki” (H.R Bukhari-Muslim)

Selain itu, perhatikan juga larangan berpakaian dalam Islam ketika sedang berhaji.

  • Memakai Cadar Atau Penutup Wajah dan Sarung Tangan

Bagi kaum wanita (an-nisa) dilarang mengenakan cadar atau penutup wajah dan sarung tangan. Sebaiknya pahami juga apa saja yang menjadi syarat bercadar dalam Islam.

Dari Ibnu Umar r.a Nabi Saw. telah bersabda ‘Tidak boleh seorang perempuan yang ihram memakai tutup muka (cadar) dan tidak boleh pula memakai sarung tangan’ ” (H.R Bukhari-Ahmad)

  • Memotong Kuku dan Rambut Atau Bulu Badan

Allah Ta’ala berfirman,

”..Dan janganlah kamu mencukur rambutmu sebelum binatang hadyu sampai di lokasi penyembelihannya..” ( Al Baqarah ; 196 )

Larangan memotong kuku bagi orang yang sedang berihram ini juga disepakati oleh para ulama (al Ijma oleh Ibnul Mundzir hal 57).

Namun, bila ingin menghilangkan rambut karena udzur yang syar’i tentu diperbolehkan dengan syarat yang bersangkutan harus membayar fidyah. Sebab dalam hal ini hukum membayar fidyah dalam Islam ialah wajib. Sebagaimana firma Allah Ta’ala berikut ini,

“Jika diantara kamu ada yang sakit atau gangguan di kepalanya ( lalu ia bercukur) maka wajiblah ia atasnya membayar fidyah yaitu berpuasa atau berhadaqah atau berkurban.. (QS. Al baqarah : 196).

  • Membunuh Atau Memburu Binatang Darat

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan diharamkan atasmu menangkap binatang buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram”. (QS. Al Maidah : 95).

Jika ada yang melanggar, maka jamaah diwajibkan membayar denda dengan membeli makanan seharga binatang yang diburu dan menyedekahkannya kepada fakir miskin atau memberi makanan kepada fakir miskin sebanyak 5/6 liter (1 mud) untuk satu harinya.

  • Menikah Atau Menikahkan

Orang yang tengah beribadah umroh maupun haji dilarang untuk menikah ataupun menikahkan orang lain, sebagaimana hadist Utsman dari Usman ra bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,

“Orang yang berihram tidak boleh menikahi, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh melamar.” (Sahih: Mukhtashar Muslim no. 814)

  • Berjima’ Atau Berhubungan Intim

Haram hukumnya melakukan jima’ atau berhubungan intim (bersetubuh) bagi jamaah haji atau umroh. Sekalipun itu merupakan pasangan suami istri. Bagi yang melanggar, maka dikenai sanksi berupa menyembelih seekor unta atau bisa dengan seekor sapi atau 7 ekor kambing bagi yang tidak mampu.

Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantah di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah (2) : 197)

Adapun larangan lainnya antara lain:

  • Memakai wangi-wangian pada tubuh atau pakaian
  • Memakai minyak rambut
  • Memotong atau mengambil tumbuhan di Tanah Haram
  • Bercumbu mesra

Itulah beberapa hal yang diharamkan saat menjalankan ibadah haji. Semoga bermanfaat untuk pembaca sekalian, sekaligus mendorong semangat untuk meraih berkah atau keutamaan haji di kemudian hari. Aamiin.

The post Hal-hal Yang Diharamkan Saat Haji dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Al-Hajj (Haji) https://dalamislam.com/landasan-agama/al-quran/al-hajj Thu, 17 Oct 2019 07:52:02 +0000 https://dalamislam.com/?p=7873 يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ yā ayyuhan-nāsuttaqụ rabbakum, inna zalzalatas-sā’ati syai`un ‘aẓīm 1. Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar. يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ […]

The post Al-Hajj (Haji) appeared first on DalamIslam.com.

]]>
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ

yā ayyuhan-nāsuttaqụ rabbakum, inna zalzalatas-sā’ati syai`un ‘aẓīm

1. Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar.

يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ

yauma taraunahā taż-halu kullu murḍi’atin ‘ammā arḍa’at wa taḍa’u kullu żāti ḥamlin ḥamlahā wa taran-nāsa sukārā wa mā hum bisukārā wa lākinna ‘ażāballāhi syadīd

2. (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطٰنٍ مَّرِيْدٍۙ

wa minan-nāsi may yujādilu fillāhi bigairi ‘ilmiw wa yattabi’u kulla syaiṭānim marīd

3. Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu dan hanya mengikuti para setan yang sangat jahat.

كُتِبَ عَلَيْهِ اَنَّهٗ مَنْ تَوَلَّاهُ فَاَنَّهٗ يُضِلُّهٗ وَيَهْدِيْهِ اِلٰى عَذَابِ السَّعِيْرِ

kutiba ‘alaihi annahụ man tawallāhu fa annahụ yuḍilluhụ wa yahdīhi ilā ‘ażābis-sa’īr

4. (Tentang setan), telah ditetapkan bahwa siapa yang berkawan dengan dia, maka dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَاِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَّغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْۗ وَنُقِرُّ فِى الْاَرْحَامِ مَا نَشَاۤءُ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوْٓا اَشُدَّكُمْۚ وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّتَوَفّٰى وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرَدُّ اِلٰٓى اَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْۢ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْـًٔاۗ وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ

yā ayyuhan-nāsu ing kuntum fī raibim minal-ba’ṡi fa innā khalaqnākum min turābin ṡumma min nuṭfatin ṡumma min ‘alaqatin ṡumma mim muḍgatim mukhallaqatiw wa gairi mukhallaqatil linubayyina lakum, wa nuqirru fil-ar-ḥāmi mā nasyā`u ilā ajalim musamman ṡumma nukhrijukum ṭiflan ṡumma litablugū asyuddakum, wa mingkum may yutawaffā wa mingkum may yuraddu ilā arżalil-‘umuri likai lā ya’lama mim ba’di ‘ilmin syai`ā, wa taral-arḍa hāmidatan fa iżā anzalnā ‘alaihal-mā`ahtazzat wa rabat wa ambatat ming kulli zaujim bahīj

5. Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah.

ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ وَاَنَّهٗ يُحْيِ الْمَوْتٰى وَاَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ۙ

żālika bi`annallāha huwal-ḥaqqu wa annahụ yuḥyil-mautā wa annahụ ‘alā kulli syai`ing qadīr

6. Yang demikian itu karena sungguh, Allah, Dialah yang hak dan sungguh, Dialah yang menghidupkan segala yang telah mati, dan sungguh, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

وَّاَنَّ السَّاعَةَ اٰتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيْهَاۙ وَاَنَّ اللّٰهَ يَبْعَثُ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ

wa annas-sā’ata ātiyatul lā raiba fīhā wa annallāha yab’aṡu man fil-qubụr

7. Dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya; dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ ۙ

wa minan-nāsi may yujādilu fillāhi bigairi ‘ilmiw wa lā hudaw wa lā kitābim munīr

8. Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi penerangan.

ثَانِيَ عِطْفِهٖ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ لَهٗ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ وَّنُذِيْقُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ

ṡāniya ‘iṭfihī liyuḍilla ‘an sabīlillāh, lahụ fid-dun-yā khizyuw wa nużīquhụ yaumal-qiyāmati ‘ażābal-ḥarīq

9. Sambil memalingkan lambungnya (dengan congkak) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Dia mendapat kehinaan di dunia, dan pada hari Kiamat Kami berikan kepadanya rasa azab neraka yang membakar.

ذٰلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدٰكَ وَاَنَّ اللّٰهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ

żālika bimā qaddamat yadāka wa annallāha laisa biẓallāmil lil-‘abīd

10. (Akan dikatakan kepadanya), “Itu karena perbuatan yang dilakukan dahulu oleh kedua tanganmu, dan Allah sekali-kali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍۚ فَاِنْ اَصَابَهٗ خَيْرُ ِۨاطْمَـَٔنَّ بِهٖۚ وَاِنْ اَصَابَتْهُ فِتْنَةُ ِۨانْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖۗ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ

wa minan-nāsi may ya’budullāha ‘alā ḥarf, fa in aṣābahụ khairuniṭma`anna bih, wa in aṣābat-hu fitnatuningqalaba ‘alā waj-hih, khasirad-dun-yā wal-ākhirah, żālika huwal-khusrānul-mubīn

11. Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.

يَدْعُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَضُرُّهٗ وَمَا لَا يَنْفَعُهٗۗ ذٰلِكَ هُوَ الضَّلٰلُ الْبَعِيْدُ ۚ

yad’ụ min dụnillāhi mā lā yaḍurruhụ wa mā lā yanfa’uh, żālika huwaḍ-ḍalālul-ba’īd

12. Dia menyeru kepada selain Allah sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana dan tidak (pula) memberi manfaat kepadanya. Itulah kesesatan yang jauh.

يَدْعُوْا لَمَنْ ضَرُّهٗٓ اَقْرَبُ مِنْ نَّفْعِهٖۗ لَبِئْسَ الْمَوْلٰى وَلَبِئْسَ الْعَشِيْرُ

yad’ụ laman ḍarruhū aqrabu min naf’ih, labi`sal-maulā wa labi`sal-‘asyīr

13. Dia menyeru kepada sesuatu yang (sebenarnya) bencananya lebih dekat daripada manfaatnya. Sungguh, itu seburuk-buruk penolong dan sejahat-jahat kawan.

اِنَّ اللّٰهَ يُدْخِلُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۗ اِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ

innallāha yudkhilullażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti jannātin tajrī min taḥtihal-an-hār, innallāha yaf’alu mā yurīd

14. (Sungguh,) Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Sungguh, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

مَنْ كَانَ يَظُنُّ اَنْ لَّنْ يَّنْصُرَهُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ فَلْيَمْدُدْ بِسَبَبٍ اِلَى السَّمَاۤءِ ثُمَّ لْيَقْطَعْ فَلْيَنْظُرْ هَلْ يُذْهِبَنَّ كَيْدُهٗ مَا يَغِيْظُ

mang kāna yaẓunnu al lay yanṣurahullāhu fid-dun-yā wal-ākhirati falyamdud bisababin ilas-samā`i ṡummalyaqṭa’ falyanẓur hal yuż-hibanna kaiduhụ mā yagīẓ

15. Barangsiapa menyangka bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muhammad) di dunia dan di akhirat, maka hendaklah dia merentangkan tali ke langit-langit, ) lalu menggantung (diri), kemudian pikirkanlah apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya.

وَكَذٰلِكَ اَنْزَلْنٰهُ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يُّرِيْدُ

wa każālika anzalnāhu āyātim bayyinātiw wa annallāha yahdī may yurīd

16. Dan demikianlah Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) yang merupakan ayat-ayat yang nyata; sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِـِٕيْنَ وَالنَّصٰرٰى وَالْمَجُوْسَ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا ۖاِنَّ اللّٰهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

innallażīna āmanụ wallażīna hādụ waṣ-ṣābi`īna wan-naṣārā wal-majụsa wallażīna asyrakū innallāha yafṣilu bainahum yaumal-qiyāmah, innallāha ‘alā kulli syai`in syahīd

17. Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَسْجُدُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَاۤبُّ وَكَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِۗ وَكَثِيْرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُۗ وَمَنْ يُّهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ مُّكْرِمٍۗ اِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ ۩ۗ

a lam tara annallāha yasjudu lahụ man fis-samāwāti wa man fil-arḍi wasy-syamsu wal-qamaru wan-nujụmu wal-jibālu wasy-syajaru wad-dawābbu wa kaṡīrum minan-nās, wa kaṡīrun ḥaqqa ‘alaihil-‘ażāb, wa may yuhinillāhu fa mā lahụ mim mukrim, innallāha yaf’alu mā yasyā`

18. Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak di antara manusia? Tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Barangsiapa dihinakan Allah, tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.

۞ هٰذَانِ خَصْمٰنِ اخْتَصَمُوْا فِيْ رَبِّهِمْ فَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِّنْ نَّارٍۗ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوْسِهِمُ الْحَمِيْمُ ۚ

hāżāni khaṣmānikhtaṣamụ fī rabbihim fallażīna kafarụ quṭṭi’at lahum ṡiyābum min nār, yuṣabbu min fauqi ru`ụsihimul-ḥamīm

19. Inilah dua golongan (golongan mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka bagi orang kafir akan dibuatkan pakaian-pakaian dari api (neraka) untuk mereka. Ke atas kepala mereka akan disiramkan air yang mendidih.

يُصْهَرُ بِهٖ مَا فِيْ بُطُوْنِهِمْ وَالْجُلُوْدُ ۗ

yuṣ-haru bihī mā fī buṭụnihim wal-julụd

20. Dengan (air mendidih) itu akan dihancurluluhkan apa yang ada dalam perut dan kulit mereka.

وَلَهُمْ مَّقَامِعُ مِنْ حَدِيْدٍ

wa lahum maqāmi’u min ḥadīd

21. Dan (azab) untuk mereka cambuk-cambuk dari besi.

كُلَّمَآ اَرَادُوْٓا اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ اُعِيْدُوْا فِيْهَا وَذُوْقُوْا عَذَابَ الْحَرِيْقِ

kullamā arādū ay yakhrujụ min-hā min gammin u’īdụ fīhā wa żụqụ ‘ażābal-ḥarīq

22. Setiap kali mereka hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan), “Rasakanlah azab yang membakar ini!”

اِنَّ اللّٰهَ يُدْخِلُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ يُحَلَّوْنَ فِيْهَا مِنْ اَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَّلُؤْلُؤًاۗ وَلِبَاسُهُمْ فِيْهَا حَرِيْرٌ

innallāha yudkhilullażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti jannātin tajrī min taḥtihal-an-hāru yuḥallauna fīhā min asāwira min żahabiw wa lu`lu`ā, wa libāsuhum fīhā ḥarīr

23. Sungguh, Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di sana mereka diberi perhiasan gelang-gelang emas dan mutiara, dan pakaian mereka dari sutera.

وَهُدُوْٓا اِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِۚ وَهُدُوْٓا اِلٰى صِرَاطِ الْحَمِيْدِ

wa hudū ilaṭ-ṭayyibi minal-qaụl, wa hudū ilā ṣirāṭil-ḥamīd

24. Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلْنٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاۤءً ۨالْعَاكِفُ فِيْهِ وَالْبَادِۗ وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ

innallażīna kafarụ wa yaṣuddụna ‘an sabīlillāhi wal-masjidil-ḥarāmillażī ja’alnāhu lin-nāsi sawā`anil-‘ākifu fīhi wal-bād, wa may yurid fīhi bi`il-ḥādim biẓulmin nużiq-hu min ‘ażābin alīm

25. Sungguh, orang-orang kafir dan yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan dari Masjidilharam yang telah Kami jadikan terbuka untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.

وَاِذْ بَوَّأْنَا لِاِبْرٰهِيْمَ مَكَانَ الْبَيْتِ اَنْ لَّا تُشْرِكْ بِيْ شَيْـًٔا وَّطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْقَاۤىِٕمِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

wa iż bawwa`nā li`ibrāhīma makānal-baiti al lā tusyrik bī syai`aw wa ṭahhir baitiya liṭ-ṭā`ifīna wal-qā`imīna war-rukka’is-sujụd

26. Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang rukuk dan sujud.

وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ ۙ

wa ażżin fin-nāsi bil-ḥajji ya`tụka rijālaw wa ‘alā kulli ḍāmiriy ya`tīna ming kulli fajjin ‘amīq

27. Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.

لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ

liyasy-hadụ manāfi’a lahum wa yażkurusmallāhi fī ayyāmim ma’lụmātin ‘alā mā razaqahum mim bahīmatil-an’ām, fa kulụ min-hā wa aṭ’imul-bā`isal-faqīr

28. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mere-ka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.

ثُمَّ لْيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

ṡummalyaqḍụ tafaṡahum walyụfụ nużụrahum walyaṭṭawwafụ bil-baitil-‘atīq

29. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan tawaf sekeliling rumah tua (Baitullah).

ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ حُرُمٰتِ اللّٰهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۗ وَاُحِلَّتْ لَكُمُ الْاَنْعَامُ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْاَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِ ۙ

żālika wa may yu’aẓẓim ḥurumātillāhi fa huwa khairul lahụ ‘inda rabbih, wa uḥillat lakumul-an’āmu illā mā yutlā ‘alaikum fajtanibur-rijsa minal-auṡāni wajtanibụ qaulaz-zụr

30. Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.

حُنَفَاۤءَ لِلّٰهِ غَيْرَ مُشْرِكِيْنَ بِهٖۗ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَكَاَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاۤءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ اَوْ تَهْوِيْ بِهِ الرِّيْحُ فِيْ مَكَانٍ سَحِيْقٍ

hunafā`a lillāhi gaira musyrikīna bih, wa may yusyrik billāhi fa ka`annamā kharra minas-samā`i fa takhṭafuhuṭ-ṭairu au tahwī bihir-rīḥu fī makānin saḥīq

31. (Beribadahlah) dengan ikhlas kepada Allah, tanpa mempersekutukan-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka seakan-akan dia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.

ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ

żālika wa may yu’aẓẓim sya’ā`irallāhi fa innahā min taqwal-qulụb

32. Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.

لَكُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَآ اِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

lakum fīhā manāfi’u ilā ajalim musamman ṡumma mahilluhā ilal-baitil-‘atīq

33. Bagi kamu padanya (hewan hadyu) ada beberapa manfaat, sampai waktu yang ditentukan, kemudian tempat penyembelihannya adalah di sekitar Baitul Atiq (Baitullah).

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ فَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَلَهٗٓ اَسْلِمُوْاۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ ۙ

wa likulli ummatin ja’alnā mansakal liyażkurusmallāhi ‘alā mā razaqahum mim bahīmatil-an’ām, fa ilāhukum ilāhuw wāḥidun fa lahū aslimụ, wa basysyiril-mukhbitīn

34. Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),

الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَالصَّابِرِيْنَ عَلٰى مَآ اَصَابَهُمْ وَالْمُقِيْمِى الصَّلٰوةِۙ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

allażīna iżā żukirallāhu wajilat qulụbuhum waṣ-ṣābirīna ‘alā mā aṣābahum wal-muqīmiṣ-ṣalāti wa mimmā razaqnāhum yunfiqụn

35. (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, dan orang yang melaksanakan salat dan orang yang menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka.

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

wal-budna ja’alnāhā lakum min sya’ā`irillāhi lakum fīhā khairun fażkurusmallāhi ‘alaihā ṣawāff, fa iżā wajabat junụbuhā fa kulụ min-hā wa aṭ’imul-qāni’a wal-mu’tarr, każālika sakhkharnāhā lakum la’allakum tasykurụn

36. Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

lay yanālallāha luḥụmuhā wa lā dimā`uhā wa lākiy yanāluhut-taqwā mingkum, każālika sakhkharahā lakum litukabbirullāha ‘alā mā hadākum, wa basysyiril-muḥsinīn

37. Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

۞ اِنَّ اللّٰهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُوْرٍ

innallāha yudāfi’u ‘anillażīna āmanū, innallāha lā yuḥibbu kulla khawwāning kafụr

38. Sesungguhnya Allah membela orang yang beriman. Sungguh, Allah tidak menyukai setiap orang yang berkhianat dan kufur nikmat.

اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ

użina lillażīna yuqātalụna bi`annahum ẓulimụ, wa innallāha ‘alā naṣrihim laqadīr

39. Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sung-guh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu,

ۨالَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ

allażīna ukhrijụ min diyārihim bigairi ḥaqqin illā ay yaqụlụ rabbunallāh, walau lā daf’ullāhin-nāsa ba’ḍahum biba’ḍil lahuddimat ṣawāmi’u wa biya’uw wa ṣalawātuw wa masājidu yużkaru fīhasmullāhi kaṡīrā, wa layanṣurannallāhu may yanṣuruh, innallāha laqawiyyun ‘azīz

40. (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.

اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَلِلّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ

allażīna im makkannāhum fil-arḍi aqāmuṣ-ṣalāta wa ātawuz-zakāta wa amarụ bil-ma’rụfi wa nahau ‘anil-mungkar, wa lillāhi ‘āqibatul-umụr

41. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.

وَاِنْ يُّكَذِّبُوْكَ فَقَدْ كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوْحٍ وَّعَادٌ وَّثَمُوْدُ ۙ

wa iy yukażżibụka fa qad każżabat qablahum qaumu nụḥiw wa ‘āduw wa ṡamụd

42. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) mendustakan engkau (Muhammad), begitu pulalah kaum-kaum yang sebelum mereka, kaum Nuh, ‘Ad, dan Samud (juga telah mendustakan rasul-rasul-Nya),

وَقَوْمُ اِبْرٰهِيْمَ وَقَوْمُ لُوْطٍ ۙ

wa qaumu ibrāhīma wa qaumu lụṭ

43. dan (demikian juga) kaum Ibrahim dan kaum Lut,

وَّاَصْحٰبُ مَدْيَنَۚ وَكُذِّبَ مُوْسٰى فَاَمْلَيْتُ لِلْكٰفِرِيْنَ ثُمَّ اَخَذْتُهُمْۚ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيْرِ

wa aṣ-ḥābu madyan, wa kużżiba mụsā fa amlaitu lil-kāfirīna ṡumma akhażtuhum, fa kaifa kāna nakīr

44. dan penduduk Madyan. Dan Musa (juga) telah didustakan, namun Aku beri tenggang waktu kepada orang-orang kafir, kemudian Aku siksa mereka, maka betapa hebatnya siksaan-Ku.

فَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ اَهْلَكْنٰهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۖ وَبِئْرٍ مُّعَطَّلَةٍ وَّقَصْرٍ مَّشِيْدٍ

fa ka`ayyim ming qaryatin ahlaknāhā wa hiya ẓālimatun fa hiya khāwiyatun ‘alā ‘urụsyihā wa bi`rim mu’aṭṭalatiw wa qaṣrim masyīd

45. Maka betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena (penduduk)nya dalam keadaan zalim, sehingga runtuh bangunan-bangunannya dan (betapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi (ti-dak ada penghuninya).

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

a fa lam yasīrụ fil-arḍi fa takụna lahum qulụbuy ya’qilụna bihā au āżānuy yasma’ụna bihā, fa innahā lā ta’mal-abṣāru wa lākin ta’mal-qulụbullatī fiṣ-ṣudụr

46. Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.

وَيَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُّخْلِفَ اللّٰهُ وَعْدَهٗۗ وَاِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَاَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّوْنَ

wa yasta’jilụnaka bil-‘ażābi wa lay yukhlifallāhu wa’dah, wa inna yauman ‘inda rabbika ka`alfi sanatim mimmā ta’uddụn

47. Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu disegerakan, padahal Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.

وَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ اَمْلَيْتُ لَهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ ثُمَّ اَخَذْتُهَاۚ وَاِلَيَّ الْمَصِيْرُ

wa ka`ayyim ming qaryatin amlaitu lahā wa hiya ẓālimatun ṡumma akhażtuhā, wa ilayyal-maṣīr

48. Dan berapa banyak negeri yang Aku tangguhkan (penghancuran)nya, karena penduduknya berbuat zalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya kepada-Kulah tempat kembali (segala sesuatu).

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّمَآ اَنَا۠ لَكُمْ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ ۚ

qul yā ayyuhan-nāsu innamā ana lakum nażīrum mubīn

49. Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku (diutus) kepadamu sebagai pemberi peringatan yang nyata.”

فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ

fallażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti lahum magfiratuw wa rizqung karīm

50. Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia.

وَالَّذِيْنَ سَعَوْا فِيْٓ اٰيٰتِنَا مُعٰجِزِيْنَ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ

wallażīna sa’au fī āyātinā mu’ājizīna ulā`ika aṣ-ḥābul-jaḥīm

51. Tetapi orang-orang yang berusaha menentang ayat-ayat Kami dengan maksud melemahkan (kemauan untuk beriman), mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka Jahim.

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ وَّلَا نَبِيٍّ اِلَّآ اِذَا تَمَنّٰىٓ اَلْقَى الشَّيْطٰنُ فِيْٓ اُمْنِيَّتِهٖۚ فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ۙ

wa mā arsalnā ming qablika mir rasụliw wa lā nabiyyin illā iżā tamannā alqasy-syaiṭānu fī umniyyatih, fa yansakhullāhu mā yulqisy-syaiṭānu ṡumma yuḥkimullāhu āyātih, wallāhu ‘alīmun ḥakīm

52. Dan Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), mela-inkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu, dan Allah akan menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana,

لِّيَجْعَلَ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ وَّالْقَاسِيَةِ قُلُوْبُهُمْۗ وَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَفِيْ شِقَاقٍۢ بَعِيْدٍ ۙ

liyaj’ala mā yulqisy-syaiṭānu fitnatal lillażīna fī qulụbihim maraḍuw wal-qāsiyati qulụbuhum, wa innaẓ-ẓālimīna lafī syiqāqim ba’īd

53. Dia (Allah) ingin menjadikan godaan yang ditimbulkan setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit dan orang yang berhati keras. Dan orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permu-suhan yang jauh,

وَّلِيَعْلَمَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوْا بِهٖ فَتُخْبِتَ لَهٗ قُلُوْبُهُمْۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَهَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

wa liya’lamallażīna ụtul-‘ilma annahul-ḥaqqu mir rabbika fa yu`minụ bihī fa tukhbita lahụ qulụbuhum, wa innallāha lahādillażīna āmanū ilā ṣirāṭim mustaqīm

54. dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa (Al-Qur’an) itu benar dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk kepadanya. Dan sungguh, Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.

وَلَا يَزَالُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْهُ حَتّٰى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً اَوْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَقِيْمٍ

wa lā yazālullażīna kafarụ fī miryatim min-hu ḥattā ta`tiyahumus-sā’atu bagtatan au ya`tiyahum ‘ażābu yaumin ‘aqīm

55. Dan orang-orang kafir itu senantiasa ragu mengenai hal itu (Al-Qur’an), hingga saat (kematiannya) datang kepada mereka dengan tiba-tiba, atau azab hari Kiamat yang datang kepada mereka.

اَلْمُلْكُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَهُمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ

al-mulku yauma`iżil lillāh, yaḥkumu bainahum, fallażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti fī jannātin-na’īm

56. Kekuasaan pada hari itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan di an-tara mereka. Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan berada dalam surga-surga yang penuh kenikmatan.

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَكَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا فَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

wallażīna kafarụ wa każżabụ bi`āyātinā fa ulā`ika lahum ‘ażābum muhīn

57. Dan orang-orang kafir dan yang men-dustakan ayat-ayat Kami, maka mere-ka akan merasakan azab yang meng-hinakan.

وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ثُمَّ قُتِلُوْٓا اَوْ مَاتُوْا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللّٰهُ رِزْقًا حَسَنًاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

wallażīna hājarụ fī sabīlillāhi ṡumma qutilū au mātụ layarzuqannahumullāhu rizqan ḥasanā, wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn

58. Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka terbunuh atau mati, sungguh, Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi rezeki yang terbaik.

لَيُدْخِلَنَّهُمْ مُّدْخَلًا يَّرْضَوْنَهٗۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَعَلِيْمٌ حَلِيْمٌ

layudkhilannahum mudkhalay yarḍaunah, wa innallāha la’alīmun ḥalīm

59. Sungguh, Dia (Allah) pasti akan memasukkan mereka ke tempat masuk (surga) yang mereka sukai. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

۞ ذٰلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوْقِبَ بِهٖ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ

żālika wa man ‘āqaba bimiṡli mā ‘ụqiba bihī ṡumma bugiya ‘alaihi layanṣurannahullāh, innallāha la’afuwwun gafụr

60. Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan (kezaliman) penganiayaan yang pernah dia derita kemudian dia dizalimi (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.

ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ يُوْلِجُ الَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَيُوْلِجُ النَّهَارَ فِى الَّيْلِ وَاَنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ

żālika bi`annallāha yụlijul-laila fin-nahāri wa yụlijun-nahāra fil-laili wa annallāha samī’um baṣīr

61. Demikianlah karena Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ وَاَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖ هُوَ الْبَاطِلُ وَاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ

żālika bi`annallāha huwal-ḥaqqu wa anna mā yad’ụna min dụnihī huwal-bāṭilu wa annallāha huwal-‘aliyyul-kabīr

62. Demikianlah (kebesaran Allah) karena Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak. Dan apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil, dan sungguh Allah, Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar.

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۖ فَتُصْبِحُ الْاَرْضُ مُخْضَرَّةًۗ اِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ۚ

a lam tara annallāha anzala minas-samā`i mā`an fa tuṣbiḥul-arḍu mukhḍarrah, innallāha laṭīfun khabīr

63. Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air (hujan) dari langit, sehingga bumi menjadi hijau? Sungguh, Allah Mahahalus, Maha Mengetahui.

لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

lahụ mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, wa innallāha lahuwal-ganiyyul-ḥamīd

64. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah benar-benar Mahakaya, Maha Terpuji.

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِاَمْرِهٖۗ وَيُمْسِكُ السَّمَاۤءَ اَنْ تَقَعَ عَلَى الْاَرْضِ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

a lam tara annallāha sakhkhara lakum mā fil-arḍi wal-fulka tajrī fil-baḥri bi`amrih, wa yumsikus-samā`a an taqa’a ‘alal-arḍi illā bi`iżnih, innallāha bin-nāsi lara`ụfur raḥīm

65. Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan bagimu (manusia) apa yang ada di bumi dan kapal yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit agar tidak jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.

وَهُوَ الَّذِيْٓ اَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْۗ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَكَفُوْرٌ

wa huwallażī aḥyākum ṡumma yumītukum ṡumma yuḥyīkum, innal-insāna lakafụr

66. Dan Dialah yang menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu kembali (pada hari kebangkitan). Sungguh, manusia itu sangat kufur nikmat.

لِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوْهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِى الْاَمْرِ وَادْعُ اِلٰى رَبِّكَۗ اِنَّكَ لَعَلٰى هُدًى مُّسْتَقِيْمٍ

likulli ummatin ja’alnā mansakan hum nāsikụhu fa lā yunāzi’unnaka fil-amri wad’u ilā rabbik, innaka la’alā hudam mustaqīm

67. Bagi setiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang (harus) mereka amalkan, maka tidak sepantasnya mereka berbantahan dengan engkau dalam urusan (syariat) ini dan serulah (mereka) kepada Tuhanmu. Sungguh, engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus.

وَاِنْ جَادَلُوْكَ فَقُلِ اللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

wa in jādalụka fa qulillāhu a’lamu bimā ta’malụn

68. Dan jika mereka membantah engkau, maka katakanlah, “Allah lebih tahu tentang apa yang kamu kerjakan.”

اَللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ فِيْمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

allāhu yaḥkumu bainakum yaumal-qiyāmati fīmā kuntum fīhi takhtalifụn

69. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari Kiamat tentang apa yang dahulu kamu memperselisihkannya.

اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۗ اِنَّ ذٰلِكَ فِيْ كِتٰبٍۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

a lam ta’lam annallāha ya’lamu mā fis-samā`i wal-arḍ, inna żālika fī kitāb, inna żālika ‘alallāhi yasīr

70. Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah.

وَيَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهٖ عِلْمٌ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ نَّصِيْرٍ

wa ya’budụna min dụnillāhi mā lam yunazzil bihī sulṭānaw wa mā laisa lahum bihī ‘ilm, wa mā liẓ-ẓālimīna min naṣīr

71. Dan mereka menyembah selain Allah, tanpa dasar yang jelas tentang itu, dan mereka tidak mempunyai pengetahuan (pula) tentang itu. Bagi orang-orang yang zalim tidak ada seorang penolong pun.

وَاِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُنَا بَيِّنٰتٍ تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا الْمُنْكَرَۗ يَكَادُوْنَ يَسْطُوْنَ بِالَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ عَلَيْهِمْ اٰيٰتِنَاۗ قُلْ اَفَاُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِّنْ ذٰلِكُمْۗ اَلنَّارُۗ وَعَدَهَا اللّٰهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

wa iżā tutlā ‘alaihim āyātunā bayyinātin ta’rifu fī wujụhillażīna kafarul-mungkar, yakādụna yasṭụna billażīna yatlụna ‘alaihim āyātinā, qul a fa unabbi`ukum bisyarrim min żālikum, an-nār, wa’adahallāhullażīna kafarụ, wa bi`sal-maṣīr

72. Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya engkau akan melihat (tanda-tanda) keingkaran pada wajah orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka. Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku kabarkan kepada-mu (mengenai sesuatu) yang lebih buruk dari itu, (yaitu) neraka?” Allah telah mengancamkannya (neraka) kepada orang-orang kafir. Dan (neraka itu) seburuk-buruk tempat kembali.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَنْ يَّخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِ اجْتَمَعُوْا لَهٗ ۗوَاِنْ يَّسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْـًٔا لَّا يَسْتَنْقِذُوْهُ مِنْهُۗ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ

yā ayyuhan-nāsu ḍuriba maṡalun fastami’ụ lah, innallażīna tad’ụna min dụnillāhi lay yakhluqụ żubābaw wa lawijtama’ụ lah, wa iy yaslub-humuż-żubābu syai`al lā yastangqiżụhu min-h, ḍa’ufaṭ-ṭālibu wal-maṭlụb

73. Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.

مَا قَدَرُوا اللّٰهَ حَقَّ قَدْرِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ

mā qadarullāha ḥaqqa qadrih, innallāha laqawiyyun ‘azīz

74. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.

اَللّٰهُ يَصْطَفِيْ مِنَ الْمَلٰۤىِٕكَةِ رُسُلًا وَّمِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ ۚ

allāhu yaṣṭafī minal-malā`ikati rusulaw wa minan-nās, innallāha samī’um baṣīr

75. Allah memilih para utusan(-Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۗ وَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُ

ya’lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa ilallāhi turja’ul-umụr

76. Dia (Allah) mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ۩

yā ayyuhallażīna āmanurka’ụ wasjudụ wa’budụ rabbakum waf’alul-khaira la’allakum tufliḥụn

77. Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.

وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ەۙ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هٰذَا لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِۖ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاعْتَصِمُوْا بِاللّٰهِ ۗهُوَ مَوْلٰىكُمْۚ فَنِعْمَ الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ ۔

wa jāhidụ fillāhi ḥaqqa jihādih, huwajtabākum wa mā ja’ala ‘alaikum fid-dīni min ḥaraj, millata abīkum ibrāhīm, huwa sammākumul-muslimīna ming qablu wa fī hāżā liyakụnar-rasụlu syahīdan ‘alaikum wa takụnụ syuhadā`a ‘alan-nāsi fa aqīmuṣ-ṣalāta wa ātuz-zakāta wa’taṣimụ billāh, huwa maulākum, fa ni’mal-maulā wa ni’man-naṣīr

78. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat; tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.

The post Al-Hajj (Haji) appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Mewakilkan Haji Orang Lain https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-mewakilkan-haji-orang-lain Mon, 22 Apr 2019 18:26:20 +0000 https://dalamislam.com/?p=6480 Ibadah haji danamalan haji saat idul adhamemerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibdah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliyah). Allah swt. tidak membebani hambanya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajiban haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikannya. (al-Fiqh ala madzahibil arb’ah).<> Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya […]

The post Hukum Mewakilkan Haji Orang Lain appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ibadah haji danamalan haji saat idul adhamemerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibdah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliyah). Allah swt. tidak membebani hambanya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajiban haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikannya. (al-Fiqh ala madzahibil arb’ah).<>

Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya untuk mencapai jenis surga dalam islam, ibadah haji hanya bisa dilangsungkan di tanah suci. Thawaf harus mengeitari Ka’bah. Sa’i dari bukit Shofa dan Marwah. Wukuf dilaksanakan di padang Arafah. Ibadah haji memerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibdah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliyah).

Allah Swt Tidak Membebani Hambanya Kecuali Sebatas Kemampuannya.

Oleh sebab itu kewajiban haji sebagai rukun Islam kelima agar mendapat pahala yang paling besar dalam islam, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikannya. (al-Fiqh ala madzahibil arb’ah). Pada prinsipnya sebagai ibadah badaniyah, haji harus dilakukan sendiri. dalam kondisi normal, di mana yang bersangkutan mampu mengerjakan sendiri, haji tidak boleh diwakilkan kepada individu lain. Tetapi dalam kondisi sakit yang kronis dan tidak mungkin diharapka kesmebuhannya, sebagai ibadah maliyyah, menurut pendapat mayoritas ulama, haji boleh diwakilkan kepada individu lain.

Individu yang meninggal dunia dalam keadaan belum pernah menunaikan ibadah haji ini, padahal yang bersangkutan sudah mampu dan ingin mendapat pahala umrah di bulan ramadhan. Diceritakan di dalam hadis shahih individu perempuan dari Khats’am berkata kepada Rasulullah saw:

يارسول الله إن فريضة الله على عباده فى الحج ادركت أبى شيخا كبيرا  لا يثبت على الراحلة افأحج عنه؟ قال نعم (متفق عليه)

Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya? Beliau menjawab “ya”. (Muttafaq alaih)

Oleh sebab itu para fuqaha mengklasifikasikan istita’ah (kemampuan haji) menjadi dua sebagai jalan jenis pahala yang tidak disadari, istitha’ah binafsih dan istitha’ah bi ghairih. Istitha’ah binafsih artinya,sanggup mengerjakan haji sendiri. Istitha’ah bi ghairih, ketika individu karena alasan sakit atau termakan usia tidak mampu berangkat sendiri, tetapi memiliki uang untuk menyewa individu lain melakukan haji atas namanya. (al-Fiqh al-Islami).

Individu dianggap telah istitha’ah bi gahirih, apabila mempunyai uang dalam jumlah yang cukup untuk membayar individu lain mengerjakan haji menurut ukuran lumrah yang berlaku di masyarakat (ujrah misl).

Transaksi Antara Individu yang Mewakilkan Haji dan wakil atau badal termasuk akad ijarah. Sehingga tidak ada batasan yang baku mengenai uapah yang harus diberikan. Yang terpenting terdapat kata sepakat antara keduanya, atau dalam bahasa fiqihnya disebut an’taradhin. Mungkin juga si wakil tidak meminta bayaran sepeserpun, semata-mata ingin membantu individu. Hal ini sangat mungkin terjadi, bila mana antara keduanya terjalin hubungan kekerabatan misalnya.

Individu yang sah ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah individu yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh, dan berakal), dan mampu melakukannya. Tidak dibenarkan mewakilkan kepada individu yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri. Hendaknya dicarikan individu yang dapat dipercaya (al-mautsuq bih), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Wakil melakukan ihram atas nama individu yang mewakilkan. Ihram dari miqat individu yang diwakili (al-fiqh al-Islami juz III). (ulil) sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. 2010. Dialog Problematika Umat.

Ada individu wanita yang ingin mewakilkan pelaksanaan ibadah hajinya kepada individu dengan alasan:

  • Individu yang mewakilinya itu berilmu,
  • Wanita itu percaya kepada individu yang akan mewakilinya itu bahwa dia akan melaksanakan ibadah haji dengan sempurna
  • Wanita itu merasa pemahamannya tentang ibadah haji sangat sedikit disamping juga dia khawatir kedatang masa haid saat melaksanakan ibadah haji
  • Wanita itu ingin fokus mendidik dan memelihara anak-anaknya dirumah.

Bolehkah wanita ini mewakilkan pelaksanaan ibadah hajinya kepada individu lain dengan berbagai alasan di atas?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab: Penyerahan mandat dari individu kepada individu lain untuk mewakilinya dalam pelaksanaan ibadah haji itu tidak lepas dari dua keadaan:

  • Pertama : Kejadian itu terjadi pada haji yang wajib
  • Kedua : Kejadian itu terjadi pada haji yang sunnah atau nâfilah.

Apabila itu terjadi pada haji yang wajib atau fardhu, maka individu tidak boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada individu lain untuk menghajikannya. Kecuali jika dia benar-benar tidak bisa berangkat atau tidak bisa sampai ke Mekah (misalnya-red) karena menderita penyakit yang terus menerus yang tidak ada harapan akan sembuh, atau karena usianya yang sudah renta. Jika masih ada harapan akan sembuh dari penyakit yang menderanya itu, maka pelaksanaan ibadah hajinya ditunda sampai Allâh Azza wa Jalla memberikan kesembuhan kepadanya lalu ia melaksanakan sendiri ibadah hajinya.

Adapun, jika tidak ada yang menghalanginya dari pelaksanaan ibadah haji dan dia mampu untuk melakukannya sendiri, maka dia tidak boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada individu lain. Karena dia sendiri dituntut untuk melaksanakannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا 

Dan mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia terhadap Allâh, yaitu (bagi) individu yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah [Ali Imran/3:97]

Dan Pada Dasarnya, Ibadah-Ibadah Itu Dikerjakan Sendiri (oleh individu yang terkena beban-red) agar sempurna penghambaan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla dan juga ketundukannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan sebagaimana sudah dimaklumi bersama bahwa individu yang mewakilkan pelaksanaan suatu ibadah kepada individu lain, maka dia tidak akan merasakan makna yang agung ini, yang karenanya semua ibadah itu disyari’atkan.

Sedangkan jika individu yang hendak mewakilkan itu adalah individu yang sudah melaksanakan ibadah haji yang wajib atasnya lalu dia ingin meminta individu lain untuk mewakilinya dalam melaksanaan ibadah haji yang nâfilah (sunnah), maka dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang membolehkannya, sementara sebagian yang lain tidak membolehkannya. Dalam pandangan saya, pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa itu terlarang atau tidak boleh.

Artinya, tidak boleh bagi individu untuk meminta individu lain mewakilinya dalam melaksanakan ibadah haji atau umrah dalam haji yang sunnah baginya. Karena hukum asalnya adalah ibadah-ibadah itu dikerjakan sendiri (oleh individu yang terkena beban-red), sebagaimana individu tidak boleh meminta individu lain mewakilinya dalam melaksanakan ibadah puasa, padahal seandainya individu itu mati dan memiliki tanggungan ibadah puasa, maka walinya wajib berpuasa untuknya (atau wajib mewakili individu yang sudah meninggal tersebut-red), begitu pula terkait ibadah haji.

Ibadah Haji Adalah Ibadah yang Dikerjakan Oleh Kaum Muslimin dengan Anggota Badan Mereka, bukan ibadah mâliyah (harta) yang bertujuan memberikan manfaat kepada individu lain dengan harta itu. Jika haji ini adalah ibadah badaniyah yang harus dikerjakan oleh individu dengan raganya sendiri, maka pelaksanaannya oleh individu lain untuk individu lain itu tidak sah, kecuali dalam kondisi-kondisi yang dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.

Dan tidak ada disebutkan dalam hadits-hadits tentang adanya individu yang mewakili individu lain dalam melaksanakan ibadah haji, sehingga kita tidak memiliki alasan untuk membolehkannya. Ini adalah satu riwayat dari imam Ahmad rahimahullah.

Maksud saya, tidak sah perbuatan individu yang meminta individu lain mewakilinya dalam penunaian ibadah haji dan umrah yang sunnah, baik individu yang meminta itu dalam keadaan mampu melakukan perjalanan ataupun tidak mampu. Dengan memilih pendapat ini, diharapkan bisa menjadi motivasi bagi kaum Muslimin yang memiliki kekayaan dan kemampuan agar melaksanakan sendiri ibadah hajinya.

Karena terkadang sebagian individu yang kaya, meskipun tahun-tahun terus berlalu, mereka tidak tergerak untuk berangkat sendiri ke Mekah. Mereka beralasan telah ada yang mewakilinya dalam pelaksanaan ibadah haji setiap tahun. Sehingga akibatnya, mereka kehilangan atau tidak merasakan makna yang karenanya ibadah haji diwajibkan, karena pelaksanaan ibadah hajinya diwakilkan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]

Mewakilkan Pelaksanaan Haji Tidak Lepas Dari Dua Hal: Pertama, mewakilkan haji fardhu; Kedua, mewakilkan haji sunnah.

Jika hajinya adalah haji fardhu, maka individu tidak boleh mewakilkan pelaksanaan haji dan umrahnya kepada individu lain, kecuali pada kondisi di saat individu itu tidak mungkin datang sendiri ke Ka’bah karena sakit yang berkesinambungan yang tidak mungkin sembuh, atau karena tua, dan sebagainya. Jika sakitnya bisa disembuhkan, dia harus menunggu sampai dirinya sembuh dan melaksanakan haji sendiri.

Individu yang tidak mempunyai halangan untuk berhaji, bahkan mampu melaksanakan haji sendiri, maka tidak halal baginya mewakilkan pelaksanaan hajinya kepada individu lain, karena dialah individu yang dituntut secara pribadi, seperti yang difirmankan Allah,

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) individu yang sanggu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Qs. Ali Imran: 97).

Tujuan ibadah dimaksudkan agar manusia melaksanakannya sendiri supaya ibadahnya kepada Allah sempurna. Kita ketahui bahwa (jika) individu yang mewakilkan ibadahnya kepada individu lain, maka dia tidak akan mendapatkan makna terbesar yang karenanya ibadah itu disyariatkan.

Adapun jika individu yang mewakilkan itu telah melaksanakan kewajiban haji, lalu dia ingin mewakilkan kepada individu lain agar melaksanakan haji atau umrah lagi untuknya, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi, di antara mereka ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya.

Pendapat yang paling dekat -menurut saya- adalah bahwa hal tersebut dilarang, karena individu tidak diperkenankan mewakilkan pelaksanaan haji atau umrahnya kepada individu lain jika haji atau umrah itu sunnah, karena asal dalam ibadah adalah melaksanakannya sendiri. Seperti halnya tidak diperbolehkan individu mewakilkan puasanya kepada individu lain –baru boleh setelah dia meninggal yang diwakili oleh walinya–, begitu juga dalam ibadah haji.

Haji adalah ibadah yang harus dikerjakan manusia dengan badannya sendiri, bukan ibadah harta benda, yang tujuannya agar bermanfaat bagi individu lain. Jika haji itu ibadah badaniyah yang harus dilaksanakan individu dengan badannnya sendiri, maka tidak sah hukumnya menggantikannya kepada individu lain, kecuali jika dijelaskan oleh sunnah (yaitu, syariat Islam). Tidak ada dalam sunnah yang meriwayatkan tentang adanya individu yang mewakili individu lain dalam haji sunnah.

Salah satu dari dua riwayat Imam Ahmad menjelaskan bahwa manusia tidak boleh mewakilkan sunnah haji atau sunnah umrah kepada individu lain, baik dia mampu maupun tidak mampu. Jika kami berpendapat demikian, berarti ada anjuran kepada individu-individu kaya yang mampu, agar mereka mengerjakan sendiri ibadah haji mereka, karena sebagian manusia ada yang menghabiskan waktunya bertahun-tahun tanpa pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dengan alasan bahwa dia telah mewakilkannya kepada individu lain setiap tahun, sehingga dia kehilangan makna pensyariatan haji itu, karena dia mewakilkannya kepada individu lain.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Darul Falah, 2007.

Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Hukum Mewakilkan Haji Orang Lain appeared first on DalamIslam.com.

]]>
3 Ciri-Ciri Haji yang Mabrur Menurut Rasulullah SAW https://dalamislam.com/akhlaq/ciri-ciri-haji-yang-mabrur Wed, 03 Apr 2019 21:56:01 +0000 https://dalamislam.com/?p=6236 Beribadah ke tanah suci merupakan tujuan paling mulia yang dimiliki oleh setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia. Bukan hanya sebagai pemerkuat keimanan, namun Haji juga merupakan rukun islam terakhir yang wajib dilaksanakan apabila kita mampu. Itulah kenapa saat kita memenuhi panggilan Allah, maka besar kemungkinan Allah akan semakin menjadikan kita orang yang taat. Dalam […]

The post 3 Ciri-Ciri Haji yang Mabrur Menurut Rasulullah SAW appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Beribadah ke tanah suci merupakan tujuan paling mulia yang dimiliki oleh setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia. Bukan hanya sebagai pemerkuat keimanan, namun Haji juga merupakan rukun islam terakhir yang wajib dilaksanakan apabila kita mampu. Itulah kenapa saat kita memenuhi panggilan Allah, maka besar kemungkinan Allah akan semakin menjadikan kita orang yang taat. Dalam Hadist dijelaskan,

Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri(HR. Ibnu Majah no 2893)

Itulah sebabnya orang yang sudah melaksanakan Haji memiliki tempat yang lebih tinggi dimata Allah, bahkan di sebagian umat muslim yang lain. Lantas apakah setiap umat muslim yang sudah menunaikan ibadah Haji maka mereka bisa dikategorikan sebagai orang yang memiliki keimanan tinggi?

Tentu saja kita tidak bisa menyimpulkan semudah itu karena ada ciri-ciri haji yang mabrur. Karena seperti halnya Solat, mereka yang kusyu’ dan niat sepenuhnya karena Allah, maka mereka lah yang diterima. Hanya berangkat ke tanah suci saja tentu tidak bisa langsung diberi label orang beriman tinggi, Jika ibadah mereka tidak diniati Ikhlas karena Allah ta’ala.

Rasulullah memberikan beberapa ciri-ciri haji yang mabrur kepada umat muslim yang berhaji. Apa itu Haji Mabrur? Dalam Hadist telah disebutkan,

Imam Ahmad dan Musnadnya meriwayatkan.

قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ

 “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu Haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.’”

Al-Hakim bertutur bahwa hadits ini sahih sanadnya meskipun tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Lantas, apa sebenarnya maksud dari Rasulullah dalam Hadist diatas? Apakah hanya dengan menghabiskan harta untuk berhaji tidak otomatis membuat kita menjadi ahli jannah? Untuk menjawab itu, kita harus menilik hadist Rasulullah yang lain. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW memberikan penjelasan terkait pahala atau balasan bagi jamaah haji yang mendapatkan predikat mabrur.

Baca juga :

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga,” (HR Bukhari).

Tentu saja dalam setiap ibadah harus disusul oleh  follow up yang baik pula. Kita beri contoh saat seorang pemuda muslim melewati satu bulan berpuasa ramadhan namun setelah idul fitri berakhir, maka dia tidak merasakan efek apa apa. Jelas saja pemuda tersebut sangat merugi.

Sama halnya dengan ibadah Haji. Apabila setelah melakukan serangkaian ibadah di tanah suci namun seorang muslim tidak berubah sifatnya menjadi lebih baik, maka ibadah nya pun tidak akan pernah lengkap. Jika diibaratkan perkuliahan, Haji adalah sarjana, dan Mabrur merupakan cumlaude.

Maka dari itu, kita harus memahami poin-poin berikut untuk lebih jelas dalam memahami kriteria Haji maburur. Berdasarkan pada Hadist diatas, ciri Haji seorang muslim mabrur dikategorikan menjadi tiga.

1. Thayyibul Kalam

Thayyibul kalam adalah santun dalam bertutur kata. Seorang muslim yang pernah melihat kemegahan tanah suci dan bersyiar kalimat talbiyah di seiring ibadahnya tentu saja harus menjaga setiap perkataannya.

Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).

Tidak semua muslim di dunia bisa bersyiar kalimat talbiyah secara langsung di tanah suci. Dan karena seorang yang melaksanakan Haji merupakan orang-orang yang memenuhi panggilan Allah, jelas saja kita tidak bisa mengingkari apa yang kita lafazkan dalam ibadah kita dengan cara berucap sesuatu yang buruk.

2. Ifsya’us salam

Ifya’us salam adalah menyebar kedamaian. Yangmana seorang yang telah melaksakanakan Haji awalnya harus bersifat sebagai seorang yang menyebar kebaikan diantara orang lain. Dia sebagai contoh yang harus ditiru dan sebagai panutan kepada umat muslim yang lain.

Tidak boleh hukumnya seorang yang telah melaksanakan Haji kemudian dia menyebarkan fitnah maupun kebencian barang setitik. Karena pada dasarnya, dia seharusnya malu kepada Allah dan kepada orang lain.

3. Ith‘amut tha‘am

Ith’amut tha’am artinya adalah memiliki kepedulian sosial. Bahkan Rasulullah secara spesifik menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah mengenyangkan orang lapar. Tentu saja kita menjurus ke nilai-nilai dalam bersedekah kepada yang membutuhkan.

Baca juga :

Syarat Haji adalah wajib bagi yang mampu. Tentu saja karena seorang muslim mampu secara harta, maka ia mampu melaksakanakan Haji. Itulah kenapa saat seorang mampu secara harta (dan telah berhaji), sudah sepantasnya orang tersebuh mensejahterakaan orang lain atas hartanya dengan diniati sodaqoh. Allah berfirman dalam QS, An-Nisa’ ayat 114 :

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali (bisik-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mendamaikan di antara manusia. Dan siapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari keridhoan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang amat besar.”

Mengetahui bahwasanya, semisal kita telah melaksanaan ibadah Haji, sudah sepantasnya kita bisa bersikap lebih dermawan dan saling berbagi. Semakin banyak kita berbagi, maka itu akan semakin melengkapi ibadah Haji kita.

Dari kajian diatas, dapat kita pahami bahwa ibadah Haji merupakan tujuan paling mulia yang dimiliki umat muslim dalam hidupnya. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak tinggal di tanah suci. Sehingga perlu perjuangan untuk melaksanakannya.

Namun kita juga harus membuka pikiran bahwasanya ibadah Haji bukan merupakan tujuan keimanan yang terakhir untuk umat muslim. Namun lebih ke jembatan diri agar menjadi suri tauladan dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Demikianlah 3 ciri-ciri haji yang mabrur menurut Rasulullah SAW. Perlu digaris bawahi pula bahwa predikat mabrur adalah hak prerogratif milik Allah SWT, dan Allah berhak memberika predikat tersebut kepada setiap hamba yang dikehendakinya. Atas dasar tersebutlah kita harus mawas diri dalam segala perbuatan, baik itu sebelum kita berhaji maupun sesudah kita berhaji. Tidak ada yang tau tentang penilaian Allah dan tidak ada yang tau pula siapa-siapa saja yang ibadahnya diterima maupun ditolak. Wallahu a’lam bisshowab.

Hamsa,

The post 3 Ciri-Ciri Haji yang Mabrur Menurut Rasulullah SAW appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Berhutang untuk Naik Haji https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-berhutang-untuk-naik-haji Fri, 29 Jun 2018 05:16:37 +0000 https://dalamislam.com/?p=3724 Menjalankan ibadah haji merupakan ibadah yang termasuk dalam rukun Islam yang ada dalam keinginan setiap umat muslim dunia. Setiap kaum muslimin akan berdo`a kepada Allah SWT agar bisa ikut beribadah haji ke kota suci Mekah yang tentunya membutuhkan biaya perjalanan yang sangat besar bagi umat muslim yang berada jauh dari Mekah. Oleh karena itu dalam […]

The post Hukum Berhutang untuk Naik Haji appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menjalankan ibadah haji merupakan ibadah yang termasuk dalam rukun Islam yang ada dalam keinginan setiap umat muslim dunia.

Setiap kaum muslimin akan berdo`a kepada Allah SWT agar bisa ikut beribadah haji ke kota suci Mekah yang tentunya membutuhkan biaya perjalanan yang sangat besar bagi umat muslim yang berada jauh dari Mekah. Oleh karena itu dalam rukun Islam naik haji hanya ditujukan bagi umat Islam yang mampu dan merdeka secara finansial dan termasuk kepada syarat wajib haji. Dan Allah SWT telah berfirman dan hadis:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97).

Dan para ulama sudah sepakat dan sependapat bahwa hukum berhutang untuk naik haji adalah tidak boleh. Hal ini juga telah dijelaskan dalam hadis berikut :

Seorang sahabatnya Abdullah bin Abi Aufa: “Aku bertanya kepada Nabi saw berkenaan seorang lelaki yang belum menunaikan haji, apakah ia boleh meminjam uang untuk haji? Nabi saw menjawab: “Tidak” (Musnad Al-Syafi’I: 1/109; Al-Umm: 2/116).

“Barangsiapa yang tidak mendapatkan kemudahan dan kelebihan harta yang menjadikannya dapat menunaikan ibadah haji tanpa melakukan pinjaman, maka ketika itu dia dianggap tidak layak untuk pergi haji (Lihat Al-Umm 2/116).

“Dan hendaklah (perbekalan ini) adalah harta berlebih dari yang dia perlukan untuk menafkahi keluarganya yang wajib disediakannya semasa kepergiannya sampai kepulangannya. Hal itu dikarenakan nafkah keluarga berkaitan dengan hak manusia dimana mereka lebih membutuhkan dan hak mereka lebih diutamakan…Selain itu, hendaklah perbekalannya dari harta berlebih sehingga dia mampu melunasi hutangnya (Lihat Al-Mughni karya Ibn Qudamah: 4/317).

“…Saya tidak sependapat jika dia berhutang untuk berhaji, karena haji dalam keadaan ini tidak diwajibkan atasnya, oleh sebab ini semestinya dia menerima keringanan Allah dan keluasan rahmat-Nya, dan tidak membebani dirinya dengan hutang yang dia tidak tahu apakah dia bisa membayarnya atau tidak? Mungkin dia meninggal dan belum membayarnya akhirnya masih tersisa hitang tersebut dalam tanggungannya”(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 21/93).

Dari hadis dan fatwa tersebut juga telah menjelaskan dengan jelas bahwa hukum berhutang untuk naik haji itu tidak dibolehkan karena Allah SWT sendiri juga telah berfirman bahwa naik haji hanya bagi yang memiliki kemampuan secara ekonomi dan benar-benar merdeka dalam hal itu.

Dan Allah SWT tidak pernah memberatkan dan mengharuskan bagi hambanya yang lemah secara finansial untuk wajib berhaji.

Namun Imam Syafi’i berkata dalam hal ini :

“Tetapi jika ia mempunyai harta yang banyak, ia boleh menjual sebagiannya atau berhutang (karena yakin dapat membayar hutang yang dipinjamnya)” (Al-Umm: 2/116).

Dan disini ada penekanan bahwa boleh berhutang untuk berhaji asal memiliki harta yang berlimpah untuk membayar hutang tersebut dengan harta yang dimiliki. Wallahu `alam.

Dan sebaik-baiknya berhaji memang dari harta yang bersih dan halal dan tidak berhutang dan sebaiknya menjual properti yang ada untuk berhaji dari pada harus berhutang. Ketahui juga keutamaan ibadah haji dan juga hukum ibadah umrah dengan berhutang.

The post Hukum Berhutang untuk Naik Haji appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Naik Haji dengan Uang Haram https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-naik-haji-dengan-uang-haram Wed, 27 Jun 2018 09:47:56 +0000 https://dalamislam.com/?p=3687 Melaksanakan ibadah haji ke tanah suci itu menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam yang mampu secara fisik dan finansial. Dengan beribadah haji maka kita sudah memenuhi rukun Islam yang ke lima. Dan tak heran setiap tahunnya kota suci Mekkah selalu dipenuhi oleh seluruh umat Islam dunia yang ingin menunaikan ibadah haji. Berikut Sabda rasulullah : […]

The post Hukum Naik Haji dengan Uang Haram appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Melaksanakan ibadah haji ke tanah suci itu menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam yang mampu secara fisik dan finansial. Dengan beribadah haji maka kita sudah memenuhi rukun Islam yang ke lima. Dan tak heran setiap tahunnya kota suci Mekkah selalu dipenuhi oleh seluruh umat Islam dunia yang ingin menunaikan ibadah haji. Berikut Sabda rasulullah :

“Islam dibina atas lima perkara: 1) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah, 2) mendirikan shalat, 3) menunaikan zakat, 4) puasa di bulan Ramadhan, dan 5) melakukan haji ke Baitullah, bagi orang yang mampu melakukan perjalanan kesana.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk mendaftar diri sebagai calon jamaah haji tentunya kita juga harus memperhatikan syarat wajib haji agar nantinya ibadah kita sempurna. Banyak keutamaan ibadah haji yang di dapatkan bagi umat muslim yang menjalankan. Seperti yang telah dijelaskan dalam firman Allah berikut :

“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” (QS. Al-Imran : 96)

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Al-Imran : 97)

Dari kutipan ayat di atas sangatlah jelas bahwa melakukan ibadah haji merupakan suatu kewajiban bagi kita umat Islam yang telah memenuhi syarat berhaji dan telah merdeka secara materi. Namun bagaimana hukum naik haji dengan uang haram?

Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum naik haji dengan uang haram adalah tidak sah dan hajinya ditolak oleh Allah SWT sehingga ibadah haji yang ia lakukan menjadi sia-sia. Dan hal ini telah diijelaskan dalam hadis qudsi yang berbunyi :

“Jika seseorang melakukan haji dengan harta yang tidak halal, lalu dia membaca talbiyah ‘labbaika wa la sa’daika’, maka Allah menjawab: Tidak ada ‘labbaika wa la sa’daika’, hajinya ditolak” (HR Ibnu Adi I/130 dan Dailami I/161, diperkuat dengan riwayat al-Bazzar)

“Apabila seseorang melakukan ibadah haji dengan harta yang halal dan telah menaiki kendaraannya, maka ada seruan dari langit ‘Labbaika wa Sa’daika. Bekalmu halal, kendaraanmu halal dan hajimu mabrur’. Dan jika ia berhaji dengan harta yang haram dan menaiki kendaraan, maka ada seruan malaikat dari langit: ‘Tidak ada talbiyah bagimu. Bekalmu haram, hartamu haram dan hajimu tidak mabrur’” (HR Thabrani dalam al-Ausath No 5228).

Dari kedua hadis di atas sudah sangat jelas bahwa Allah akan menolak ibadah haji seseorang yang memenuhi biaya-biaya berhaji menggunakan uang yang tidak halal. Demikianlah penjelasan mengenai hukum naik haji dengan uang haram.

Oleh karena itu jika kita berniat untuk berhaji hendaklah mencari rezeki dengan cara yang halal. Tidak hanya untuk beribadah saja, dalam kehidupan sehari-haripun kita tidak boleh memakan uang haram. Bahkan hukum ditraktir dengan uang haram saja tidak boleh, apalagi jika uang haram tersebut digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.

The post Hukum Naik Haji dengan Uang Haram appeared first on DalamIslam.com.

]]>
7 Amalan Haji pada saat Idul Adha https://dalamislam.com/akhlaq/amalan-shaleh/amalan-haji-pada-saat-idul-adha Wed, 27 Jun 2018 08:26:14 +0000 https://dalamislam.com/?p=3694 Dalam melaksanakan ibadah haji di tanah suci, para jamaah haji yang telah memenuhi syarat wajib haji akan melakukan banyak sekali amalan-amalan yang harus dilakukan selama beribadah disana. Dan saat hari raya haji tiba pada tanggal 10 dzulhijjah maka ada beberapa amalan yang harus dilakukan jamaah pada hari tersebut. Berikut amalan haji pada saat Idul Adha […]

The post 7 Amalan Haji pada saat Idul Adha appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam melaksanakan ibadah haji di tanah suci, para jamaah haji yang telah memenuhi syarat wajib haji akan melakukan banyak sekali amalan-amalan yang harus dilakukan selama beribadah disana. Dan saat hari raya haji tiba pada tanggal 10 dzulhijjah maka ada beberapa amalan yang harus dilakukan jamaah pada hari tersebut. Berikut amalan haji pada saat Idul Adha yang bisa dilakukan jamaah hari pada hari raya kurban tersebut :

  1. Ihram

Ihram artinya niat, jadi jamaah haji harus melaksanakan niat untuk manasik haji sebelum memulai ibadah haji.

  1. Bertalbiyah/ bertakbir

Ketika berangkat ke mina pada tanggal 10 dzulhijjah jamaah haji bertakbir selama perjalanan hingga selesai melakukan jumroh ‘Aqobah.

  1. Melemparkan jumrah

Melempar jumrah ini merupakan amalan wajib haji karena rasulullah dan para sahabatnya juga melakukan hal ini saat berhaji. Jika tidak ikut melempar jumrah maka diharuskan untuk menyembelih satu ekor kambing yang dinamakan dengan fidyah dam atau harus menggantinya dengan berpuasa selama 10 hari yang dilakukan saat berhaji dan ketika sudah pulang dari berhaji dengan pembagian waktu 3 hari ketika masih di tanah suci dan 7 hari setelah pulang dari haji.

  1. Menyembelih hadyu

Amalan haji pada saat Idul Adha berikutnya adalah para haji diharuskan untuk menyembelih hewan sembelihan ketika berada di tanah haram bagi para jamaah haji yang manasik tamattu’ dan qiron. Selain bisa menyembelih sendiri para haji juga bisa mewakilkannya. Sebagai umat Islam kita juga harus mengetahui hikmah qurban idul adha.

  1. Mencukur rambut

Seperti hal yang telah dilakukan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah menyembelih hewan untuk tanah haram maka beliau mencukur rambutnya. Para jamaah bisa mencukur rambut dengan cara menghabiskannya atau hanya memendekkannya saja. Mencukur habis rambut lebih diutamakan dalam Amalan Haji pada saat Idul Adha. Namun bagi jamaah wanita cukup hanya dengan memendekkan rambut saja.

  1. Tawaf ifadah

Melakukan tawaf ifadah di masjidil haram termasuk kepada rukun haji yang disebut juga dengan tawaf rukun. Tawaf ini dilakukan setelah jamaah haji tahallul awwal, yakni telah bisa melakukan larangan-larangan ihram seperti melepas pakaian ihram, memakai wewangian dan berbagai larangan lainnya selain yang berhubungan dengan wanita. Allah telah berfirman :

“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu” (al-hajj: 29).

  1. Sa’i di Masjidil haram

Amalan ibadah sa`i adalah berjalan bolak balik selama 7 kali dari bukit safa ke marwa yang dilakukan dengan niat sa`i haji.

Untuk melakukan amalan haji pada saat Idul Adha ini sangat di anjurkan untuk melakukannya secara berurutan namun juga tidak masalah jika melakukannya secara acak, karena juga telah dijelaskan dalam hadis berikut ini :

“Jika salah satu dari amalan haji pada hari kesepuluh di atas dimajukan dari yang lain, maka tidaklah masalah. Jika seseorang menyembelih dulu sebelum melempar jumrah, atau mencukur sebelum menyembelih, atau melakukan thowaf ifadhoh sebelum melempar jumrah dan mencukur, maka tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan demikian dan beliau menjawab tidaklah mengapa. Namun yang disunnahkan adalah mengikuti sebagaimana yang beliau lakukan yaitu: melempar jumrah, lalu menyembelih, lalu mencukur, kemudian melakukan thowaf (ifadhoh).” (Shifat Hajjatin Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal. 196).

Demikianlah 7 amalan haji pada saat Idul Adha yang dilakukan untuk para jamaah haji dan ketahui juga keutamaan ibadah haji bagi umat Islam serta amalan di hari raya idul adha.

The post 7 Amalan Haji pada saat Idul Adha appeared first on DalamIslam.com.

]]>
8 Keutamaan Ibadah Haji dan Keistimewaannya https://dalamislam.com/landasan-agama/al-quran/keutamaan-ibadah-haji Tue, 11 Jul 2017 07:24:15 +0000 http://dalamislam.com/?p=1734 Keutamaan ibadah haji merupakan hal yang penting bagi setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia. Ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima namun hanya wajib dijalankan bagi mereka-mereka yang mempunyai rezeki cukup dan sudah mampu  baik lahir maupun batin. Baca juga : cara menghindari syirik hikmah qurban idul adha keutamaan shalat idul fitri cara mengatasi […]

The post 8 Keutamaan Ibadah Haji dan Keistimewaannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Keutamaan ibadah haji merupakan hal yang penting bagi setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia. Ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima namun hanya wajib dijalankan bagi mereka-mereka yang mempunyai rezeki cukup dan sudah mampu  baik lahir maupun batin.

Baca juga :

Keutamaan Haji dalam Islam

Dalam Al-Qur’an keutamaan ibadah haji sudah dijelaskan yakni sebagai berikut :

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib ber-fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban.  Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Baqarah : 196)

Lalu terdapat pula di Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 197 yang menjelaskan bahwa:

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafas), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS. Al-Baqarah : 197)

baca juga:

Nah berikut ini akan saya jelaskan lebih detail mengenai keutamaan menjalankan ibadah haji :

1. Orang yang Menjalankan Ibadah Haji Akan Menjadi Tamu Allah

Walaupun kita sudah banyak melakukan dosa yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, ketika kita melaksanakan ibadah haji, Allah tetap menganggap kita sebagai tamu. Jika kita memanjatkan do’a-do’a, maka Allah akan mengabulkannya dan akan mengganti biaya keberangkatan haji kita dengan yang lebih dari cukup.

“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” (QS. Al-Imran : 96)

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Al-Imran : 97)

Dari sumber lain juga menjelaskan mengenai hal ini yakni dari perkataan Ibnu Umar yang diambil dari riwayat HR. Ibnu Majah menjelaskan bahwa sebagai berikut :

Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893)

2. Orang Yang Melaksanakan Ibadah Haji Sama Halnya Mendapatkan Pahala Seperti Jihad

Jihad di jalan Allah yang paling dinanti adalah haji mabrur. Ibadah haji merupakan jihad terbaik menurut Allah. Jadi laksanakanlah ibadah haji jika kita sudah merasa mampu baik dari segi lahir maupun batin kita. Perkataan dari Aisyah menurut riwayat HR. Bukhori menjelaskan sebagai berikut :

Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)

baca juga:

3. Orang Yang Melaksanakan Ibadah Haji Tidak Akan Menjadi Miskin

Kebanyakan orang berfikir bahwa haji membutuhkan biaya yang lumayan besar sehingga membutuhkan persiapan yang matang dari jauh-jauh hari sebelumnya. Namun dibalik semua itu Allah menjanjikan akan mengganti semuanya dengan berlipat-lipat dan tak terhitung jumlahnya. Keutamaan berhaji juga dijelaskan di Al-Qur’an surat 27 sampai 28 :

“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj : 27)

“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj : 28)

baca juga:

4. Orang Yang Melaksanakan Ibadah Haji Bisa Dikatakan Melakukan Amalan Yang Afdol

Melaksanakan ibadah haji dibaliknya terdapat kebaikan-kebaikan yang luar biasa. Orang yang melaksanakan ibadah haji merupakan suatu hal yang termasuk dalam kategori melakukan amalan yang afdol. Hal ini bisa terjadi karena untuk menjalankan ibadah haji diperlukan niat yang sudah mantap di dalam hati, tekad yang kuat serta biaya yang tidak sedikit sehingga ibadah haji ialah salah satu amalan sholeh yang diistimewakan oleh Allah. Perkataan Abu Hurairah dijelaskan yang mengutip dari riwayat HR. Bukhori, dengan penjelasan sebagai berikut :

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)

Baca juga :

5. Balasan Dari Melaksanakan Ibadah Haji Adalah Surga Jika Tidak Dicampur Dengan Perbuatan Dosa Atau pun Syirik

Perbuatan dosa atau pun syirik sangat dibenci oleh Allah. Ketika kita sudah memantapkan hati kita untuk berniat melaksanakan ibadah haji, maka sebaiknya tinggalkan perbuatan yang menimbulkan dosa baik itu dilakukan secara sengaja atau pun tidak sengaja agar kita mendapat tempat di surga Allah kelak. Bisa anda lihat dan simak pernyataan jelas dari riwayat HR. Bukhari dan HR. Muslim Abu Hurairah menjelaskan sebagai berikut :

“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

An Nawawi rahimahullah menambahkan untuk lebih jelasnya, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” (Syarh Shahih Muslim, 9/119)

6. Melaksanakan Ibadah Haji Allah Telah Menjanjikan Akan Menghapuskan Dosa-Dosa

Janji Allah bagi siapa saja orang muslim yang berniat dan bertekad untuk melaksanakan ibadah haji dengan ikhlas karena mengharap ridho-Nya, maka Allah akan menghapuskan dosa-dosa yang telah berlalu. Perkataan Abu Hurairah berdasarkan riwayat HR. Bukhari menjelaskan bahwa sebagai berikut :

“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).

Nah, sehingga untuk ke depannya alangkah baiknya kita lebih menjaga sikap, perilaku dan perkataan di kehidupan sehari hari.

7. Melaksanakan Ibadah Haji Akan Menghilangkan Kefakiran (Kemiskinan)

Keutamaan ibadah haji kali ini bisa diibaratkan seperti halnya menghilangkan karat pada besi dan logam, ibadah haji bisa menggugurkan kefakiran atau kemiskinan, sehingga orang muslim yang sudah melaksanakan rukun islam yang ke lima ini, dijanjikan oleh Allah akan mendapat rezeki dan kehidupan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Perkataan dari Abdullah Bin Mas’ud sesuai dengan riwayat dari HR. An Nasai, HR. Ahmad, HR. Tirmidzi dijelaskan sebagai berikut :

Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387)

Baca juga:

8. Melaksanakan Ibadah Haji Bisa Membuat Do’a – Do’a Yang Dipanjatkan Terkabul

Dengan melaksanakan ibadah haji, Allah menjajikan akan mengabulkan do’a yang telah dipanjatkan oleh umatnya. Jadi pada waktu pelaksanaan ibadah haji selama sebulan penuh tersebut perbanyaklah memanjatkan do’a di setiap kesempatan. Do’a menjadi mustajab karena adanya niat dan juga tujuan terhadap ibadah hajinya tersebut.

Baca juga :

Dari penjelasan mengenai keutamaan ibadah haji di atas ternyata sangat luar biasa pahala dan kebaikan yang telah dijanjikan oleh Allah. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung dan bisa melaksanakan rukun islam yang ke lima ini tentunya dengan niat yang sudah mantap dalam hati, tekad yang kuat serta mendapatkan rezeki yang halalan toyyiban, Amin.

The post 8 Keutamaan Ibadah Haji dan Keistimewaannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
6 Syarat Wajib Haji dalam Islam https://dalamislam.com/dasar-islam/syarat-wajib-haji Wed, 27 Jul 2016 05:21:33 +0000 http://dalamislam.com/?p=741 Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada setiap muslim di dunia yang memenuhi persyaratan. Sama seperti ibadah shalat wajib (baca juga keutamaan shalat tahajud), puasa ramadhan (baca puasa sunnah dan keutamaan puasa senin kamis) dan zakat  (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat), ibadah haji memiliki ketentuan dan syarat yang […]

The post 6 Syarat Wajib Haji dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada setiap muslim di dunia yang memenuhi persyaratan. Sama seperti ibadah shalat wajib (baca juga keutamaan shalat tahajud), puasa ramadhan (baca puasa sunnah dan keutamaan puasa senin kamis) dan zakat  (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat), ibadah haji memiliki ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi. Haji itu sendiri memiliki pengertian ditinjau dari dua segi yakni segi bahasa atau terminologi dan segi istilah.

Pengertian haji

Dari segi bahasa, kata haji artinya menuju sedangkan menurut istilah ibadah haji dapat diartikan sebagai perjalanan menuju baitullah ditanah haram Makkah untuk melakukan ibadah. Para ulama menjelaskan bahwa haji berarti mengunjungi ka’bah di Makkah untuk melaksanakan ibadah kepada Allah dengan rukun-rukun tertentu serta memenuhi syarat dan dikerjakan pada waktu tertentu pada bulan dzulhijjah atau biasanya yang lebih dikenal dengan musim haji.

Dapat disimpulkan bahwa haji adalah ibadah yang termasuk dalam rukun islam yang kelima yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan apabila mereka telah memenuhi syarat dan ketentuan haji itu yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Berikut ini adalah beberapa dalil yang memuat perintah haji :

“Dari umroh ke umroh itu adalah penghapus dosa diantara dua umroh itu, dan haji yang mabrur itu tidak lain ganjarannya melaikan surga”. (HR Al Bukhari).

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّـنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِناً وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Al Imran : 97)

Rasulullah saw bersabda tentang kewajiban haji :

Dari ibnu Umar ra. telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw. Dan berkatalah ia: “ ya Rasulullah apakah yang mewajibkan haji? “Rasulullah menjawab: Ada bekal dan kendaraan” (H.R Turmadzi).

Syarat Wajib Haji

Adapun syarat wajib haji antara lain adalah :

1. Islam

Ibadah haji diwajibkan kepada setiap muslim dan hal ini berarti jika orang kafir dan musyrik melakukan ibadah haji maka ibadah haji yang mereka lakukan tidak akan diterima. Demikian pula jika mereka ingin memasuki masjidil haram maka tidaklah diperbolehkan. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT L

“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini”. (QS at-Taubah: 28).

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengabarkan: “Bahwa Abu Bakar ash-Shidiq pernah di utus pada suatu urusan yang membawa pesan dari Rasulallah SAW sebelum haji wada’ untuk menyeru manusia yang ada disitu, isi pesannya yaitu:

“Jangan engkau ijinkan orang musyrik untuk berhaji setelah tahun ini, dan jangan (kalian) melakukan thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang”. (HR Bukhari)

2. Berakal Sehat

Seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji haruslah berakal sehat. Oleh sebab itu, orang gila tidak memiliki kewajiban berhaji meskipun ia adalah muslim dan jika seandainya dia melakukan, maka ibadah haji dan umrahnya tidaklah sah, disebabkan karena hilang akal dari dirinya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Catatan pena diangkat terhadap tiga golongan. Orang yang tertidur sampai dirinya terbangun, anak kecil hingga dirinya dewasa,5dan orang gila sampai dirinya sadar”. (HR Abu Dawud)

3. Dewasa atau Baligh

Ibadah haji tidak diwajibkan bagi anak kecil hingga dirinya dewasa, berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, jika seandainya seorang anak kecil melakukan ibadah haji maka hajinya sah, akan tetapi, belum mencukupi kewajiban hajinya dalam Islam (baca cara mendidik anak dalam islam)

Berdasarkan Rasulullah SAW bahwa ada seorang wanita yang mengangkat anaknya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sembari bertanya: “Apakah anak ini mendapatkan ibadah haji? Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ia, dan untukmu pahala”. (HR Muslim)

Selain itu, Imam Tirmidzi juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa jika anak kecil melakukan ibadah haji sebelum dirinya dewasa dan berakal maka wajib bagi dirinya untuk melakukan ibadah haji kembali jika dirinya telah dewasa, disebabkan haji yang pertama dilakukan belum memenuhi syarat wajib haji dalam islam.

4. Merdeka

Tidaklah wajib ibadah haji bagi seorang budak. Sehingga jika ia dia berhaji maka hajinya sah. Namun, hajinya belum memenuhi haji dalam Islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam berikut ini :

“Dan budak mana saja yang berhaji kemudian dirinya dibebaskan maka wajib bagi dirinya untuk melakukan ibadah haji kembali”. (HR Ibnu Khuzaimah)

Hadits tersebut menjelaskan tentang budak yang berhaji saat masih dimiliki oleh tuannya kemudian dirinya dibebaskan maka wajib bagi dirinya untuk mengerjakan ibadah haji kembali bila mempunyai sarana untuk melakukan perjalanan ke Makkah. Dan tidak cukup haji yang pertama dahulu dilakukan manakala masih dalam keadaan menjadi budak.

5. Mampu

Ibadah haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu untuk melakukan perjalanan ke Baitul Haram berdasarkan al-Qur’an dan hadits. Dan yang dimaksud dengan mampu disini ialah mencakup mampu dari sisi fisik dan juga materinya. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS al-Imran: 97).

Mampu disini juga berarti memiliki kecukupan bekal untuk pergi serta pulang dari ibadah haji dan juga cukup nafkh yang ditinggalkan dan apabila berhutang maka seluruh hutangnya sudah terbayar. Syarat lainnya yakni seseorang tersebut memiliki atau mampu berkendara dari tempatnya menuju kota Mekkah.

Berdasarkan penjelasan diatas maka umat muslim yang tidak sanggup untuk menunaikan ibadah haji disebabkan karena usianya sudah sangat tua, atau sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, atau badannya mampu, namun tidak mempunyai harta yang cukup untuk berhaji maka mereka tidaklah wajib menunaikan ibadah haji.

Meskipun demikian seseorang yang tidak mampu fisiknya namun memiliki harta cukup untuk berhaji maka ia harus mewakilkan haji tersebut pada orang lain supaya ia melakukan haji untuk dirinya terutama mereka yang masih memiliki hubungan nasab. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW dari Abu Razin al-Uqaili radhiyallahu ‘anhu,bahwasanya beliau pernah datang kepada Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam sambil bertanya: “Ya Rasulallah, sesungguhnya bapakku sudah sangat tua, dan dirinya sudah tidak mampu untuk melakukan haji tidak pula umrah serta berangkat ke Makkah? Maka Nabi menjawab:

Berhajilah kamu untuk ayahmu serta berumrahlah untuknya”. (HR at-Tirmidzi)

6. Adanya Mahram bagi wanita

Syarat lainnya yang juga ditetapkan khusus untuk wanita adalah adanya muhrim (baca pengertian mahram dan wanita yang haram dinikahi) yang menemaninya ketika berhaji. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW berikut ini :

“Tidak boleh bagi seorang wanita bepergian kecuali bila ditemani oleh mahramnya, dan janganlah seorang lelaki masuk kepadanya melainkan bersama mahramnya”. Maka ada seorang yang bertanya: “Ya Rasulalah, sesungguhnya aku ingin pergi bersama pasukan ini dan itu, sedang istriku ingin berhaji? Maka beliau mengatakan: “Keluarlah, pergi bersama istrimu”. (HR Bukhari)

Demikian syarat wajib yang perlu diperhatikan dalam menunaikan ibadah haji, tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut maka tidaklah sah ibadah haji seseorang (baca juga keutamaan bulan dzulhijjah)

The post 6 Syarat Wajib Haji dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
10 Keutamaan Haji – Hukum, Syarat dan Rukunnya https://dalamislam.com/landasan-agama/tauhid/keutamaan-haji Fri, 27 Nov 2015 10:10:40 +0000 http://dalamislam.com/?p=406 بُنِىَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ اَنْ لآ اِلَهَ اِلاَّ اﷲُ٬ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اﷲِ٬ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ ٠ وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ ٬ وصَوْمِ رَمَضَانَ ٬ وَحِجِّ الْبَيْتِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً Artinya “Islam dibina atas lima perkara: 1) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah, 2) mendirikan shalat, 3) menunaikan zakat, 4) […]

The post 10 Keutamaan Haji – Hukum, Syarat dan Rukunnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
بُنِىَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ اَنْ لآ اِلَهَ اِلاَّ اﷲُ٬ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اﷲِ٬ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ ٠ وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ ٬ وصَوْمِ رَمَضَانَ ٬ وَحِجِّ الْبَيْتِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً

Artinya

“Islam dibina atas lima perkara: 1) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah, 2) mendirikan shalat, 3) menunaikan zakat, 4) puasa di bulan Ramadhan, dan 5) melakukan haji ke Baitullah, bagi orang yang mampu melakukan perjalanan kesana.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Di atas merupakan sabda Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam tentang adanya rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat muslim. Dan pada tema kali ini, kita akan membahas tentang Haji.

Haji merupakan rukun Islam yang kelima, dimana hal ini merupakan syariat terakhir yang diberikan Allah SWT agar dilaksanakan oleh umat-Nya. Secara bahasa haji dapat didefinisikan sebagai suatu perjalanan ke Baitullah dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT terutama bagi yang mampu melaksanakannya baik secara fisik maupun mental.

Dimana di dalam pelaksanaan ibadah tersebut terdapat ketentuan-ketentuan seperti adanya penentuan konsep serta tata cara pelaksanaan haji demi keseragaman seluruh umat muslim di dunia dalam rangka mengabdikan diri mereka kepada Allah SWT.  Dengan adanya ibadah haji diharapkan dapat menumbuhkan perasaan serta keyakinan manusia atas keagungan Allah SWT serta timbulnya perasaan persaudaraan di antara umat islam.

Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan ibadah haji adalah dengan mengundang seluruh umat muslim di seluruh dunia untuk berkumpul di suatu tempat yang dinamakan Baitullah (Ka’bah) pada pada waktu tertentu, karena ibadah ini hanya dapat dilaksanakan pada waktu, tempat, dan cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

 

Keutamaan Pelaksanaan Ibadah haji

Haji merukana suatu bentuk peribadahan yang sangat mulia, dimana terdapat berbagai macam keutamaan dalam pelaksaan ibadah tersebut, diantaranya :

  1. Ibadah Haji merupakan salah satu bentuk amalan yang paling afdhol

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata :

سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya

Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari)

  1. Allah telah menjanjikan balasan syurga bagi mereka yang melaksanakannya

Bagi mereka yang mampu melaksanakan ibadah haji tanpa bercampur dengan dosa seperti syirik serta kemaksiatan, maka Allah SWT telah menjanjikan syurga bagi mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam berikut :

وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Artinya “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Ibadah haji termasuk dalam perbuatan jihad di jalan Allah

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata :

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya

Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari)

  1. Dengan melaksanakan ibadah haji akan dapat menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan, dan ia kembali suci layaknya bayi yang baru dilahirkan ibunya.

Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Artinya

Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari)

  1. Haji merupakan ibadah yang dapat menghapuskan kefakiran atau kemiskinan

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Artinya

Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An Nasai, Tirmidzi, dan Ahmad)

  1. Mereka yang melaksanakan ibadah haji merupakan tamu Allah SWT

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

Artinya

Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah)

Keutamaannya lainnya :

  • Allah akan memberikan rezeki 700kali dari biaya haji
  • Seseorang yang berhaji selalu mendapatkan perlindungan dari Allah
  • Berhaji dapat menghapus dosa
  • Jihad bagi laki-laki tua, dan lemah bagi wanita

Macam – Macam dari Ibadah Haji

Dalam pelaksanaannya, Haji dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Haji Tamattu’

Yaitu ibadah haji yang dilaksanakan dengan cara mendahulukan umrah baru setelah itu melaksanakan haji. Bagi mereka yang melaksanakan haji tamattu’ diwajibkan untuk membayar dam (denda) berupa menyembelih satu ekor kambing bagi yang mampu. Dan bagi yang tidak mampu, denda tersebut bisa dibayar dengan melakukan puasa sebanyak 3 hari di waktu menjalan ibadah haji yaitu tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijjah, lalu dilanjutkan dengan puasa selama tujuh hari setelah mereka kembali.

2. Haji Ifrad

Yaitu ibadah haji yang dilaksanakan dengan cara mendahulukan berhaji lalu kemudian dilanjutkan dengan pergi ke tempat yang halal untuk berihron dan berniat untuk melaksanakan umroh. Dan bagi mereka yang melaksanakan Haji Ifrad tidak diwajibkan untuk membayar denda yaitu dengan menyembelih satu ekor kambing.

3. Haji Qiran

Yaitu melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersama-sama, dengan kata lain menyatukan ibadah haji dan umrah, yaitu dengan cara menyatukan niat untuk  haji dan umrah sekaligus. Bagi mereka yang melaksanakan haji jenis ini diwajibkan untuk membayar dam (denda) yang berupa menyembelih satu ekor kambing, kecuali bagi penduduk Mekkah.

Bagimana ketentuan pembayaran denda saat melakukan ibadah haji?

Allah SWT berfirman :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَٰلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang) oleh musuh atau karena sakit, maka sembelihlah korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji di dalam bulan haji, wajiblah ia menyembelih korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu kewajiban membayar fidyah bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah), dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaannya.(QS. Al- Baqarah ayat 196)

Syarat – Syarat Melakukan Ibadah Haji

Untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah haji, seorang jama’ah haji harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya :

  1. Beragama Islam

Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban bagi umat muslim, terutama bagi mereka yang mampu. Ibadah ini dikatakan tidak syah apabila dilaksanakan oleh orang-orang yang kafir. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT berikut :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ

Artinya

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya.” (QS. At-Taubah: 54)

  1. Berakal sehat

Syarat haji yang lainnya adalah berakal sehat atau tidak gila, artinya bagi orang-orang yang memiliki akal dan jiwa yang tidak atau kurang waras tidak diwajibakan untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini sebagaimana Sabda Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ؛ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Artinya

Pena Diangkat (kewajiban digugurkan) dari tiga (golongan); Orang yang tidur sampai bangun, anak kecil hingga bermimpi (baligh), dan orang gila hingga berakal (sembuh).” (HR. Abu Daud)

  1. Baligh

Ketika seorang muslim telah memasuki masa akhil Baligh maka ia telah diwajibkan untuk melaksanakan  ibadah haji. Ini artinya bahwa anak-anak tidaklah diwajibakn untuk melaksanakan  haji, akan tetapi jika ada wali yang sudi untuk menghajikannya, maka hajinya dianggap sah dan pahala diberikan Allah SWT kepada anak tersebut dan juga kepada walinya.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Muslim, Rosulullah sholallahu Alaihi wassalam pernah bersabda:

Seorang perempuan saat berhaji bersama Rosulullah Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam mengangkat anak kecilnya ke hadapan Nabi seraya berkata : Apakah ia mendapatkan (pahala) haji? Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam menjawab : Ya, dan kamu pun mendapatkan pahala.”

  1. Merdeka

Ini berarti bahwa seorang budak tidak diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Ini sesuai dengan Sabda Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam yang artinya

Barang siapa (seorang budak) melaksanakan haji kemudian ia dimerdekakan, maka ia berkewajiban untuk melaksanakan haji lagi.” (HR. Al- albani, Ibnu Khuzaimah, Al- Hakim, Al- Baihaqi, dan Al- Irwa’)

  1. Mampu

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 97 telah menjelaskan bahwasannya Haji merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim yang mampu. Mampu memiliki beberapa artian, seperti :

Mampu Secara Fisik

  • Mampu dalam hal fisik, artinya seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji harus sehat jasmani maupun rohaninya serta mampu menanggung beban letih hingga ke Baitullah. Seseorang yang telah berusia renta dan lemah apabila ia telah beniat untuk melaksanakan ibadah haji, maka hajinya bisa diwakilkan kepada orang lain.

   Seorang wanita pernah bertanya kepada Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ

Artinya

Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang diwajibkan kepada para hamba-Nya telah berlaku  bagi ayahku sementara dia dalam kondisi tua renta, tidak mampu berada di kendaraan. Apakah (boleh) saya menghajikan untuknya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari)

Mampu Secara Finansial

 

  • Seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji juga harus mampu dalam hal finansial,baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga yang ditinggalkan selama berhaji. Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda

“Cukuplah seseorang dianggap berdosa dengan menelantarkan orang-orang yang berada dalam tanggungannya.” (HR. Abu Dawud dan Al- Irwa’)

Faktor Keamanan

 

  • Ibadah haji juga harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan seperti faktor keamanan serta keadaan yang terjadi di negara asal jama’ah maupun keadaan di tanah suci.

Al-Lajnah Ad- Daimah pernah berkata:

Mampu terkait dengan haji adalah berbadan sehat dan mempunyai biaya kendaraan yang dapat menghantarkan ke Baitullah Al-Haram baik melalui pesawat, mobil, hewan atau menyewa sesuai dengan kondisinya. Juga memiliki bekal yang cukup untuk pulang dan pergi. Dan biaya tersebut diluar  dari biasa nafkah orang-orang yang seharus dia nafkahi sampai kembali dari hajinya.”

  1. Syarat yang keenam ditujukan bagi para wanita yang hendak menunaikan ibadah haji, yaitu mereka harus ditemani oleh mahramnya.

Seorang wanita tidak diperbolehkan safar haji wajib maupun sunnah haji kecuali bersama mahramnya, dalam hal ini adalah suaminya. Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalan bersabda

Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersamanya ada mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Lajnah Ad-Daimah pernah berkata “Bagi seorang wanita, harus didampingi suami atau mahramnya untuk safar haji atau umrah.”

Rukun Haji

  1. Ihram

Ihram merupakan niat untuk memenuhi, memasuki, atau melakukan ibadah haji dan umroh serta menghindari hal-hal yang dilarang selama ihram. Saat berihram, para jama’ah haji dianjurkan untuk menegnakan pakaian ihrom. Adapun hal-hal yang dilarang / tidak diperbolehkan selama berihrom adalah :

  • Mengenakan pakaian yang dijahit (bagi kaum pria). Mengapa? Karena dalam syariat islam pakaian ihram bagi pria adalah berupa 2 lembaran kain, dimana satu lembar digunakan sebagai sarung, dan satu lembar lainnya digunakan sebagai selendang yang digeraikan di bahu.
  • Menutup kepala bagi jama’ah haji laki-laki dan menutup muka serta kedua telapak tangan bagi jama’ah haji wanita.
  • Memakai wewangian
  • Memakai minyak rambut
  • Mencukur atau mencabut rambut
  • Memotong atau memendekkan kuku
  • Berburu binatang
  • Jima’ (bersetubuh)
  • Melakukan akad nikah
  • Memotong tanaman di tanah suci.

Hal-hal tersebut tidak akan membatalkan haji, kecuali perbuatan jima’, karena perbuatan tersebut dapat membatalkan haji. Dan bagi mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut diwajibkan untuk membayar denda (dam).

  1. Wukuf

Wukuf adalah berhenti di padang Arafah  mulai dari saat tergelincirnya matahari di hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) hingga waktu menyingsingnya fajar di hari berikutnya, yaitu pada hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah). Adapun kegiatan yang dilakukan saat itu adalah berdiam diri, berdzikir, serta berdo’a kepada Allah SWT. Dengan dilaksanakan wukuflah yang membedakan antara ibadah haji dan umroh, karena dalam ibadah umroh tidak dirukunkan untuk melakukan wukuf.

  1. Thawaf

Thawaf merupakan kegiatan mengelilingi Ka’bah setelah pelaksanaan wukuf, dimana dalam pelaksanaannya para jama’ah haji disunnahkan untuk mengelilingi Ka’bah dengan berjalan kaki, mencium Hajar Aswad, membaca dzikir dan do’a, serta melakukan sholat sunnah 2 raka’at di belakang makam Nabi Ibrahim Alaihissalam setelah pelaksanaan thawaf selesai.

[tab title=”Macam – Macam Pelaksanaan Thawaf

Terdapat beberapa macam pelaksanaan thawaf, yaitu :

  • Thawaf Qudum, yaitu thawaf yang dilakukan pada saat para jama’ah mulai masuk Mekkah setelah pelaksanaan ihrom
  • Thawaf Rukun, yaitu Thwaf yang dilakukan setelah pelaksanaan wukuf di padang Arafah
  • Thawaf Sunnah, yaitu Thawaf yang dikerjakan kapanpun oleh para jama’ah haji setiap datang ke Masjid Haram
  • Thawaf Wada’, yaitu Thawaf yang dilakukan ketika hendak pulang meninggalkan Mekkah.

[/tab]
[tab title=”Syarat Thawaf

Dalam pelaksanaan thawaf ini, ada beberapa persyaratan bagi para jama’ah haji, yaitu :

  • Suci dari hadast
  • Suci dari Najis pada tubuh, pakaian, dan tempat
  • Menutup Aurat
  • Pelaksanaannya adalah di Ka’bah dan kedudukan Ka’bah adalah di sebelah kiri para jama’ah yang thawaf
  • Pelaksanaan Thawaf dimulai dari Hajar aswad
  • Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali

[/tab]

4. Sa’i

Setelah thawaf ifadah dilakukan, rujkun haji yang harus dikerjakan oleh para jama’ah haji selanjutnya adalah sa’i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara safa dan marwah sebanyak tujuh kali.

5. Tahallul

Tahallul adalah bercukur atau menggunting rambut bagi para jama’ah haji paling sedikit tiga helai rambut setelah sa’i selesai dikerjakan oleh para jama’ah.

6. Tertib

Tertib yaitu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang menjadi rukun haji yaitu dengan mendahulukan hal-hal yang harus didahulukan, atau dengan kata lain melaksakana rukun-rukun haji sesuai dengan urutan yang telah ditentukan.

Wajib Haji

[tab title=”Hal-hal yang Wajib

Wajib haji merupakan kegiatan-kegiatan yang harus dilaksaknakan ketika sedang berhaji, adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah :

  1. Melakukan Ihram yang dimulai dari miqat sesuai dengan letak tempat tinggal para jama’ah haji.
  2. Bermalam di Muzdalifah
  3. Melemparkan jumroh aqobah di hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah) dengan kerikil sebanyak 7 butir serta disunnahkan untuk membaca takbir pada setiap lemparan
  4. Melempar jumrah tiga (Ula, Wustha, dan Aqobah) pada hari tasyriq
  5. Menginap di Mina pada malam hari Tasyriq
  6. Melakukan thawaf Wada’ sebagai perpisahan bagi setiap jama’ah haji yang dilaksanakan ketika hendak pulang ke tanah air masing-masing

[/tab]
[tab title=”Hal-hal yang Sunnah

 

Sedangkan hal-hal yang disunnahkan selama berhaji antara lain adalah :

  1. Mandi ketika hendak ihrom, masuk ke Mekkah, serta wukuf
  2. Melakukan sholat dua raka’at ketika hendak berihrom
  3. Mengucapkan Talbiah sepanjang ibadah haji, yaitu :

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

LABAIK ALLAHUMMA LABAAIK, LABAAIK LAA SYARIKA LAKA LABAAIK INAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULKA LA SYARIKALAH.”

Artinya

Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”

  1. Mencium Hajar Aswad atau melambaikan tangan
  2. Melakukan sholat dua raka’at di belakang makam Nabi Ibrahim Alaihissalam yang dilaksakan setelah thawaf
  3. Berada di Arafah hingga terbenam matahari pada malam ke-10 bulan Dzulhijjah
  4. Berada di Muzdalifah hingga subuh pada hari ke 10 di bulan Dzulhijjah
  5. Melakukan Thawaf Qudum, dan lain sebagainya.

[/tab]

Hikmah Ibadah Haji

  1. Mendidik jiwa untuk ikhlas, sabar, serta mau berkurban
  2. Menumbuhkan disiplin pribadi serta taat pada peraturan
  3. Sebagai pengembangan sosialisai nilai-nilai yang mengandung unsur pendidikan dalam hidup, rasa persaudaraan, serta persatuan diantara umat muslim di seluruh dunia
  4. Menanamkan sifat hemat serta menumbuhkan etos kerja yang tinggi.

Hukum Pelaksanaan Ibadah Haji

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasannya hukum pelaksanaan ibadah haji adalah fardhu ain bagi mereka yang mampu, baik secara fisik maupun mentalnya. Arti kata mampu di sini dapat dimaknai dengan seseorang yang mempunyai harta (materi), waktu, berbadan sehat, serta aman.

Allah SWT telah berfirman :

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً ٠ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اﷲَ غَنِىٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ

Artinya

“Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan) semesta alam.” (QS. Ali Imron ayat 97)

Mampu dalam melaksanakan ibadah haji juga dapat diartikan yang lain, seperti pelaksanaan ibadah haji tersebut mampu dilaksanakan sendiri ataukah seseorang yang mampu dalam bidang harta akan tetapi secara fisik ia tidak mampu untuk melaksanakannnya, sehingga pelaksanan ibadah hajinya diwakilkan kepada seseorang, misalnya saja bagi orang yang sedang sakit atau bagi mereka yang sudah berusia lanjut.

Artikel Terkait

Artikel Lainnya

The post 10 Keutamaan Haji – Hukum, Syarat dan Rukunnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>