puasa Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/puasa Fri, 13 May 2022 03:39:57 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png puasa Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/puasa 32 32 Hukum Menelan Dahak Saat Berpuasa yang Perlu diketahui https://dalamislam.com/puasa/hukum-menelan-dahak-saat-berpuasa Fri, 13 May 2022 03:39:56 +0000 https://dalamislam.com/?p=11334 Begitu banyaknya aktivitas manusia dalam keseharian ketika berpuasa tidak terlepas dari menelan ludah atau mengeluarkan dahak. Dahak secara bahasa arab ada banyak sub kata yakni : nukha’ah, nukhamah, mukhath, balgham, atau nughafah. Ibn Hajar mengatakan: “Tidak ada beda dalam makna, antara nukhamah dan mukhath. Karena itu, salah satu diantara keduanya sering digunakan untuk dalil bagi yang […]

The post Hukum Menelan Dahak Saat Berpuasa yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Begitu banyaknya aktivitas manusia dalam keseharian ketika berpuasa tidak terlepas dari menelan ludah atau mengeluarkan dahak. Dahak secara bahasa arab ada banyak sub kata yakni : nukha’ah, nukhamah, mukhath, balgham, atau nughafah. Ibn Hajar mengatakan: “Tidak ada beda dalam makna, antara nukhamah dan mukhath. Karena itu, salah satu diantara keduanya sering digunakan untuk dalil bagi yang lain.” (Fathul Bari, 1:510)

Jadi baik dahak ataupun ludah diberikan hukum yang sama. Ibn Hajar menuturkan bahwa : “Imam Bukhari berpendapat bahwa hukum dahak dan ludah adalah sama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak yang menempel di masjid, kemudian beliau bersabda: ‘Janganlah kalian meludahkan…’. Ini menunjukkan bahwa hukum kedua cairan tersebut adalah sama. Allahu a’lam” (Fathul Bari, 1:511)

Sebelum mengetahui tentang batal atau tidaknya puasa ketika menelan dahak, ada baiknya kita mengetahui tentang hukum dari dahak. Hukum dari dahak, jika kita simpulkan berdasar hadist di atas bahwa dahak, ludah atau sejenisnya ialah cairan yang suci atau tidak najis.

Hal ini berdasarkan riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik radliallahu’ anhu bahwa Rasulullah Kesimpulan yang nampak berdasarkan banyak dalil bahwa dahak, ludah dan segala jenisnya adalah cairan suci dan tidak najis. Disebutkan dalam riwayat Bukhari, dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak yang menempel di tembok masjid. Kemudian beliau kerik dengan tangannya, kemudian bersabda: “Ketika kalian sedang melaksanakan shalat, sesungguhnya dia sedang bermunajat dengan Rabnya (Allah). Karena itu janganlah dia meludah ke arah kiblat, namun meludahlah ke arah kirinya atau ke arah bawah sandalnya. Kemudian dia ambil ujung pakaiannya dan dia ludahkan di pakaiannya.”

Dari hadist ini menjadi sebuah landasan dalil bahwa orang yang melakukan ibadah shalat diperbolehkan untuk meludah di tengah kegiatan shalat. Dan aktivitas tersebut tidak membuat shalatnya batal.

Dari dalil tersebut yang menyebutkan ludah adalah hal yang suci, dapat ditarik kesimpulan bahwa dahak juga suci.

Kandungan hadis ini menjadi dalil bahwa orang yang shalat dibolehkan untuk meludah di tengah-tengah shalat. Dan aktivitas ini tidak membatalkan shalatnya. Dalam hadis ini juga terdapat dalil bahwa ludah, demikian pula dahak adalah cairan suci. Tidak sebagaimana pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang menjijikkan maka hukumnya haram. Allahu a’lam. (Aunul Ma’bud, 2: 98 – 99)

Syaikh Sholeh al-Fauzan pernah ditanya: Apa hukum ludah yang keluar dari seseorang ketika tidur? Apakah cairan ini keluar dari mulut ataukah dari lambung?

Beliau menjawab:

Air liur yang keluar dari seseorang ketika sedang tidur bukanlah cairan najis. Karena hukum asal: segala sesuatu yang keluar dari tubuh manusia adalah suci, kecuali ada dalil yang menjelaskan bahwa itu najis. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah). Karena itu, air liur, keringat, air mata, dan cairan yang keluar dari hidung, semua ini adalah benda suci. Karena inilah hukum asal. Sedangkan air kencing, kotoran, dan semua yang keluar dari dua lubang, depan dan belakang adalah najis. Air liur yang keluar dari seseorang ketika tidur, termasuk benda-benda yang suci. Demikian pula dahak dan semacamnya. Oleh karena itu, tidak wajib bagi seseorang untuk mencucinya dan mencuci bagian pakaian dan karpet yang terkena liur atau dahak. (al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, Volume 5 no. 8).

Lalu apakah hukum menelan dahak saat berpuasa? Tentang hal ini Ulama berselisih paham. Diantaranya ada satu pembahasan khusu di Al-Mughni, Ibn Qudamah mengatakan :

Sub-bab: jika ada orang puasa yang menelan dahak, dalam hal ini ada dua pendapat dari Imam Ahmad: pertama, puasanya batal. Hambal pernah mengatakan: Saya mendengar Imam Ahmad mengatakan: Jika ada orang mengeluarkan dahak, kemudian dia telan lagi maka puasanya batal. Karena dahak berasal kepala (pangkal hidung). Sementara ludah berasal dari mulut. Jika ada orang yang mengeluarkan dahak dari perutnya (pangkal tenggorokannya) kemudian menelannya kembali maka puasanya batal. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i. Karena orang tersebut masih memungkinkan untuk menghindarinya, sebagaimana ketika ada darah yang keluar atau karena dahak ini tidak keluar dari mulut, sehingga mirip dengan muntah.

Kedua, pendapat kedua Imam Ahmad, menelan dahak tidaklah membatalkan puasa. Beliau mengatakan dalam riwayat dari al-Marudzi: “Kamu tidak wajib qadha, ketika menelan dahak pada saat berpuasa, karena itu satu hal yang biasa berada di mulut, bukan yang masuk dari luar, sebagaimana ludah.” (al-Mughni, 3:36)

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin ketika ditanya tentang hukum menelan dahak bagi orang yang puasa, beliau menjelaskan:

Menelan dahak, jika belum sampai ke mulut maka tidak membatalkan puasa. Ulama madzhab hambali sepakat dalam hal ini. Namun jika sudah sampai ke mulut, kemudian dia telan, dalam hal ini ada dua pendapat ulama. Ada yang mengatakan: Itu membatalkan puasa, karena disamakan dengan makan dan minum. Ada juga yang mengatakan: Tidak membatalkan puasa, karena disamakan dengan ludah. Karena ludah tidak membatalkan puasa. Bahkan andaikan ada orang yang mengumpulkan ludahnya kemudian dia telan maka puasanya tidak batal.

Mengenai perselisihan pendapat tersebut, ada baiknya sebagai seorang muslim yang patuh, sikap yang tepat adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Jika meragukan suatu hal, termasuk perihal dahak ini dapat membatalkan puasa atau tidak, menurut hukum asalnya adalah tidak membatalkan ibadah.

Akan tetapi, yang lebih penting, hendaknya seseorang tidak menelan dahak dan tidak berusaha mengeluarkannya dari mulutnya ketika berada di tenggorokan. Namun jika sudah sampai mulut, hendaknya dia membuangnya.

Baik ketika sedang puasa atau tidak lagi puasa. Adapun, keterangan ini bisa membatalkan puasa, maka keterangan ini butuh dalil. Sehingga bisa menjadi pegangan seseorang di hadapan Allah bahwa ini termasuk pembatal puasa. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, Volume 17, no. 723)

Sayyid Sabiq ketika membahas tentang hal-hal yang dibolehkan ketika puasa, beliau mengatakan: “Demikian pula, dibolehkan untuk menelan benda-benda yang tidak mungkin bisa dihindari. Seperti menelan ludah, debu-debu jalanan, taburan tepung, atau dedak…” (Fiqh Sunnah, 1:342)

Seperti yang sudah kita ketahui, keluarnya dahak, ludah atau semacamnya, merupakan suatu hal yang biasa bagi manusia. Karena hal tersebut berkaitan dengan metabolisme tubuh. Dan hal tersebut kita yakin dapat terjadi kepada siapapun termasuk para sahabat pada masa Nabi shallahu’alaihi wa sallam.

Jika menelan ludah atau dahak bisa membatalkan puasa, tentu akan ada riwayat, baik hadist maupun perkataan sahabat yang akan menjelaskannya. Karena Allah tidak lupa ketika menurunkan syariatnya, sehingga tidak ada satupun yang ketinggalan untuk dijelaskan. Lebih-lebih, ketika hal itu berkaitan dengan masalah ibadah. Demikian, kesimpulan yang lebih kuat dalam masalah ini. Allahu a’lam

The post Hukum Menelan Dahak Saat Berpuasa yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hal-hal yang Menyebabkan Puasa Kafarat Beserta Penjelasannya https://dalamislam.com/puasa/hal-hal-yang-menyebabkan-puasa-kafarat Fri, 13 May 2022 03:22:36 +0000 https://dalamislam.com/?p=11296 Sebelum mengetahui tentang hal-hal yang menyebabkan puasa kafarat, patutnya kita mengetahui tentang arti dari kata Kafarat atau Kifarat. Secara bahasa makna dari kata tersebut adalah tertutup atau terselubung. Sedangkan menurut istilah berarti suatu tebusan atau denda yang wajib dibayar oleh seseorang ketika melakukan sebuah kesalahan yang sudah dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Pelaksanaan kifarat […]

The post Hal-hal yang Menyebabkan Puasa Kafarat Beserta Penjelasannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sebelum mengetahui tentang hal-hal yang menyebabkan puasa kafarat, patutnya kita mengetahui tentang arti dari kata Kafarat atau Kifarat. Secara bahasa makna dari kata tersebut adalah tertutup atau terselubung. Sedangkan menurut istilah berarti suatu tebusan atau denda yang wajib dibayar oleh seseorang ketika melakukan sebuah kesalahan yang sudah dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Pelaksanaan kifarat diperuntukkan sebagai penghapus dosa atau khilaf perbuatan tersebut, selain bertobat dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan untuk jumlahnya berbeda-beda tergantung seberapa besar perbuatan khilaf atau dosa yang dilakukan.

Ada yang harus melakukan puasa, memerdekan seorang budak, atau memberi makan orang miskin. Dan dari tiap-tiap denda tersebut ada dalil dan tata pelaksanaannya.

Hukum dari puasa kafarat adalah wajib, atau fardhu a’in. Dan jika manusia yang melakukan dosa dan diharuskan melakukan kafarat, dan hingga meninggal dunia tidak melaksanakan denda atau kafarat tersebut maka dosa yang dilakukan tidak akan diampuni.

Karena tujuan dalam melakukan kafarat adalah untuk penebusan dosa besar yang dilakukan, dan jika dilanggar akan menjadi salah satu penyebab masuk ke dalam api neraka.

Dan berikut ini adalah penyebab puasa kafarat.

1. Membunuh seorang muslim tanpa sengaja

Selain harus di-qishosh atau membayar diyat, orang yang melakukan pembunuhan juga harus membayar kifarat yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya. Bila ia tidak mampu, ia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Ulama Syafi’iyah menambahkan, jika orang yang melakukan pembunuhan itu sudah tua atau sangat lemah sehingga ia tidak kuat berpuasa, maka ia dapat menggantikannya dengan memberi makanan untuk 60 orang miskin masing-masing 1 mud.

Dalilnya ada dalam Alquran Surat An Nisa: 92

“…dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2. Bersumpah, lalu dengan sengaja melanggar sumpahnya

Termasuk di dalamnya, melakukan sumpah palsu. Misalnya seseorang bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan masuk lagi ke rumah Fulan.” Kemudian ia memasukinya, maka wajiblah ia menjalankan kifarat. Atau seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengambil barangmu,” padahal dia mengambilnya. Pelaku sumpah palsu ini harus membayar kifarat.

Bentuk kifaratnya, berdasar firman Allah dalam Alquran Surat Al-Ma’idah ayat 89, adalah memberi makanan kepada sepuluh orang miskin masing-masing 1 mud, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak, atau berpuasa selama tiga hari. Kifarat ini bersifat pilihan. Artinya, boleh dipilih sesuai dengan kemampuan.

3. Tidak Mampu Memenuhi Nazar

Pada dasarnya ketika mengucapkan nadzar hukumnya adalah makruh, bahkan bagi sebagian ulama nadzar dipandang sebagai hal yang haram. Akan tetapi jika nadzar sudah terucap harus dilaksanakan. Allah menyebutkan diantara penghuni syurga adalah orang yang melaksanakan nadzarnya.

Nadzar sendiri merupakan sebuah jani atau hutang yang wajib dipenuhi. Dan bahkan, jika orang tersebut meninggal tanpa bisa melakukan nadzarnya, maka nadzarnya wajib disempurnakan oleh walinya atau pewarisnya. Hal ini berdasar hadist Ibnu Abbas RA yang berbunyi :

“Sesungguhnya ada seorang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan kewajiban puasa nazar yang belum sempat ia tunaikan, apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menjawab, ‘Apakah pendapatmu, kalau seandainya ibumu mempunyai utang, dan kamu membayarnya. Apakah hutangnya terbayarkan?’ Perempuan tadi menjawab, ‘Ya’. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berpuasalah untuk ibumu’. ( HR. Muslim )

Memang ada saat dimana nadzar tidak dapat terlaksana dikarenakan udzur atau halangan. Misalnya jika seseorang tersebut berjanji jika sembuh dari sakit, ia akan melaksanakan umrah. Dan jika ia telah sembuh dari sakitnya, maka diwajibkan baginya untuk melakukan umrah. Namun jika ia tidak dapat melakukan hal tersebut dikarenakan kendala dana, maka ia wajib membayar kifarat.

Sahabat Uqbah bin Amir meriwayatkan hadis dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

“Tebusan melanggar nazar sama dengan tebusan melanggar sumpah.” (HR. Muslim)

4. Men-zhihar istrinya

Men-zhihar adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami dengan menyerupakan punggung istrinya dengan punggung ibunya sendiri. Kafaratnya adalah dengan memerdekan budak, jika tidak menemukannya, maka ia harus berpuasa 2 bulan berturut-turut. Dan jika ia masih tidak mampu, ia harus memberi makan 60 fakir miskin masing-masing sebanyak 1 mud.

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”

Yang harus diperhatikan, sebelum kifaratnya ditunaikan, maka haram bagi suami yang melakukan zhihar berhubungan badan dengan istrinya sampak zhiharnya ditutupi.

5. Berjima’ di siang hari di Bulan Ramadan

Jima’ atau melakukan hubungan suami istri di waktu siang pada bulan Ramadhan dengan sengaja harus membatalkan puasa dan wajib membayar kafarat. Selain diwajibkan membayar kafarat ia juga diwajibkan meng-qada puasa yang batal di hari tersebut. Bentuk kafaratnya adalah kifarah ‘udhma (kifarat besar), yaitu ia harus memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, tak boleh yang lain.

Sahaya itu juga harus bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Jika tidak mampu, ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud.

Sanksi kifarat ini hanya dikhususkan kepada si suami yang merusak puasanya dengan jima’, sedangkan bagi istrinya, ia hanya wajib meng-qada puasa yang dibatalkan.

Dan itulah tadi penyebab puasa kafarat dan pengertian dari kafarat itu sendiri. Wallahu a’lam bis sawab.

The post Hal-hal yang Menyebabkan Puasa Kafarat Beserta Penjelasannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa, Bolehkah? https://dalamislam.com/puasa/hukum-mencicipi-makanan-saat-puasa-adalah Fri, 13 May 2022 03:19:47 +0000 https://dalamislam.com/?p=11341 Bagi seorang Ibu rumah tangga, memasak adalah kegiatan yang wajib dilaksanakan. Namun jika bulan Ramadhan datang, aktivitas tersebut menjadi hal yang punya banyak pertimbangan sebelum melakukannya. Dikarenakan keraguan ketika memasak dan mencicipi makanan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Para Ibu biasa menyiapkan makanan di kala sahur dan berbuka. Rasa kekhawatiran tersebut merupakan suatu hal […]

The post Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa, Bolehkah? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bagi seorang Ibu rumah tangga, memasak adalah kegiatan yang wajib dilaksanakan. Namun jika bulan Ramadhan datang, aktivitas tersebut menjadi hal yang punya banyak pertimbangan sebelum melakukannya. Dikarenakan keraguan ketika memasak dan mencicipi makanan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak.

Para Ibu biasa menyiapkan makanan di kala sahur dan berbuka. Rasa kekhawatiran tersebut merupakan suatu hal yang wajar. Karena jika membatalkan puasa akan terasa sangat tidak menyenangkan terutama ketika berada di tengah-tengah melaksanakan puasa wajib.

Agar tidak ragu atau was-was, berikut akan kami jelaskan hukum dari mencicipi masakan atau makanan kala puasa.

Beberapa kalangan ulama 4 mazhab dalam memandang permasalahan mencicipi makanan saat puasa (tanpa menelan) mereka menghukuminya makruh bagi yang tidak berkepentingan. Adapun yang berkepentingan tidak mengapa melakukannya, seperti halnya seseorang yang sedang memasak atau yang hendak membeli satu jenis makanan/minuman tertentu.

Sayyid Sabiq juga menyebutkan kedua hal tersebut dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah ketika menjelaskan perkara-perkara yang dibolehkan saat puasa.

Sebab dimakruhkannya hal ini bagi yang tidak berkepentingan ialah adanya potensi tertelan ke kerongkongan tanpa disadari; bisa jadi pula justru timbul nafsu makan yang kuat sehingga ia mencicipinya untuk merasakan kelezatannya, dan mengisapnya dengan kuat hingga tertelan.

Karena alasan tersebut juga, Rasulullah memakruhkan orang berpuasa untuk berlebihan menghirup air ke hidung (istinsyaq) ketika berwudhu.

Dalil hadis yang menyinggung permasalahan ini yaitu hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah berikut,

Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi madu, mentega, dan semisalnya, lalu memuntahkannya.”

Hadis tersebut bersumber dari sahabat Ibnu Abbas dan menurut al-Albani dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, berkualitas hasan.

Menurut para Ulama, mencicipi makanan saat berpuasa hukumnya boleh. Baik itu dilakukan karena ada kebutuhan, seperti untuk memastikan rasa makanan, maupun tidak ada kebutuhan. Hanya saja, jika mencicipi makanan dilakukan tanpa ada kebutuhan tertentu, meskipun boleh dan tidak membatalkan puasa, hukumnya adalah makruh.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Syarqawai dalam kitab Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfah Al-Thullab berikut: 

وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي

Artinya : Di antara perkara yang dimakruhkan saat berpuasa adalah mencicipi makanan karena dikhawatirkan makanan tersebut sampai ke tenggerokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankan makanan itu ke tenggorokan lantaran begitu dominannya syahwat.

Kemakruhan itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mengecap makanan itu. Adapun para juru masak, baik laki-laki maupun perempuan dan orang yang memiliki anak kecil yang berkepentingan mengobatinya, maka mencicipi makanan bagi keduanya tidak dimakruhkan. Mengecap masakan tidaklah makruh. Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Zayyadi.

Dalam kitab Al-Sunan Al-Kubra, Imam Al-Baihaqi menyebutkan sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa beliau membolehkan seseorang mencicipi makanan selama makanan tersebut tidak sampai pada tenggorokannya. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut: 

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ

Ibnu Abbas berkata: Tidak masalah bagi seseorang untuk  mencicipi makanan, baik makanan berupa cuka atau makanna lainnya, selama tidak masuk tenggorokannya, dalam keadaan dia berpuasa. Dengan demikian,, meskipun mencicipi makanan hukumnya boleh, namun hal itu sebaiknya ditinggalkan jika memang tidak ada kebutuhan. Namun jika ada kebutuhan, maka boleh mencicipi makanan dan hendaknya segera diludahkan agar tidak tertelan sampai tenggorokan. 

Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitab karangannya, Hasiyah asy-Syarqawi (1/881) menjelaskan:

  وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي   

Artinya, “Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankannya lantaran begitu dominannya syahwat. Posisi makruhnya itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Berbeda lagi bunyi hukum untuk tukang masak baik pria maupun wanita. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian Az-Zayadi menerangkan.”

Mencicipi makanan mirip dengan orang berkumur-kumur ketika sedang berpuasa di mana tidak batal puasanya. Para fukaha menyepakati bahwa berkumur-kumur di bulan puasa tidak membatalkannya. Hal ini didasarkan kepada hadis Umar ‘Ibn alKhattab riwayat Abū Dāwūd dan Aḥmad yang dikutip baru saja di atas. Begitu pula mencicipi makanan, juga tidak membatalkan puasa karena tidak memasukkan makanan ke dalam perut. Yang penting jangan sampai tertelan.

Namun jika sampai tidak sengaja tertelan maka harus segera berkumur. Jika rasa atau baunya masih tersisa, itu tidak mempengaruhi puasa, asalkan tidak dengan sengaja menelannya. Ibnu Sireen berkata: Tidak apa-apa menggunakan siwak basah, yaitu saat berpuasa. Dikatakan: Ia memiliki rasa. Dia berkata: Dan air memiliki rasa, tetapi Anda berkumur dengan itu.

Dengan demikian, mencicipi makanan hukumnya makruh bagi mereka yang tidak memiliki kepentingan. Tidak makruh bagi tukang masak yang memiliki kepentingan untuk disuguhkan sebagai jamuan berbuka puasa, atau orang yang memasakkan anak kecilnya yang sedang sakit. Wallahu a’lam

The post Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa, Bolehkah? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Membatalkan Puasa Qadha yang Perlu diketahui https://dalamislam.com/puasa/hukum-membatalkan-puasa-qadha Thu, 12 May 2022 08:24:55 +0000 https://dalamislam.com/?p=10270 Bulan puasa ramadhan yang berjalan satu bulan lamanya terkadang ada yang masih memiliki tanggungan untuk mengqadha puasanya seperti wanita yang sedang haid, ibu hamil, ibu menyusui. Lalu bagaimana hukum membatalkan puasa qadha? Qadha adalah mengerjakan ibadah yang memiliki batasan waktu diluar waktunya. Untuk kasus orang sakit yang tidak kuat untuk berpuasa. Sesudah bulan ramadhan dia […]

The post Hukum Membatalkan Puasa Qadha yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bulan puasa ramadhan yang berjalan satu bulan lamanya terkadang ada yang masih memiliki tanggungan untuk mengqadha puasanya seperti wanita yang sedang haid, ibu hamil, ibu menyusui. Lalu bagaimana hukum membatalkan puasa qadha?

Qadha adalah mengerjakan ibadah yang memiliki batasan waktu diluar waktunya. Untuk kasus orang sakit yang tidak kuat untuk berpuasa. Sesudah bulan ramadhan dia mengganti puasanya tadi, itulah yang dinamakan puasa qadha.

Mengenai puasa ganti atau Qadha ini tertuang dalam surat Al Baqarah ayat 184 yang berbunyi,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.

Karena orang mukmin wajib menggantikan puasanya dibulan ramadhan. Namun pelaksanaannya juga tidak bisa sembarangan.

Membatalkan niat mengganti hutang puasa ramadhan tidak diperbolehkan ketika sudah terbitnya fajar. Tetapi jika waktu untuk membayar hutang puasa ramadhan tergolong lapang, maka tidak mengapa mengakhiri hutang tersebut.

Puasa wajib baik ramadhan maupun diluar ramadhan. Seperti puasa nazar atau puasa qadha.

Ibnu Qudamah mengatakan:

ومن دخل في واجب، كقضاء رمضان، أو نذر معين أو مطلق، أو صيام كفارة؛ لم يجز له الخروج منه؛ لأن المتعين وجب عليه الدخول فيه، وغير المتعين تعين بدخوله فيه، فصار بمنزلة الفرض المتعين، وليس في هذا خلاف بحمد الله

Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha ramadhan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, tidak boleh membatalkannya. Karena sesuatu yang statusnya wajib ain, harus dilakukan. Sementara yang bukan wajib ain, menjadi wajib ain jika telah dilakukan. Sehingga statusnya sama dengan wajib ain. Dan dalam hal ini tidak ada perselisihan, alhamdulillah.. (Al-Mughni, 3/160 – 161)

Orang yang membatalkan puasa qadha tanpa alasan yang benar wajib bertaubat kepada Allah SWT. Dan dia harus menggantikan puasa yang telah ia batalkan.

الواجب عليك إكمال الصيام ، ولا يجوز الإفطار إذا كان الصوم فريضة كقضاء رمضان وصوم النذر ، وعليك التوبة مما فعلت ، ومن تاب تاب الله عليه

Anda wajib menyempurnakan puasa, dan tidak boleh berbuka, jika puasa yang anda kerjakan adalah puasa wajib, seperti qadha ramadhan atau puasa nazar. Kemudian wajib bagi anda untuk bertaubat terhadap apa yang telah anda perbuat. Siapa yang bertaubat, Allah akan menerima taubatnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 15/355)

Mengqadha puasa memang sangat sulit. Karena puasa qadha harus berpuasa disaat orang lain atau sekitar kita tidak berpuasa.

Bahkan asyik makan dan minum hal yang akan menimbulkan godaan bagi kita yang berpuasa.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh imam Abu Yahya Zakariya Al Anshari di dalam kitab Fathul Wahhab:

“Dan diharamkan membatalkan ibadah fardu ‘ain.”

Karena puasa qadha ramadhan termasuk ibadah fardu ain yakni ibadah yang wajib dikerjakan setiap individu umat muslim. Maka bagi umat muslim harus benar-benar pintar memilih waktu untuk melaksanakan puasa qadha.

Ibnu Qudamah mengatakan:

“Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha ramadhan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, tidak boleh membatalkannya. Karena sesuatu yang statusnya wajib ain, harus dilakukan. Sementara yang bukan wajib ‘ain, menjadi wajib ‘ain jika telah dilakukan. Sehingga statusnya sama dengan wajib ‘ain. Dan dalam hal ini tidak ada perselisihan, Alhamdulillah..” (Al-Mughni, 3/160 – 161)

Hal ini berbeda dengan puasa sunnah. Puasa sunnah boleh dibatalkan tetapi berhukum makruh memutuskan puasa sunnah tanpa adanya udzur. Hal ini sebagaimana dijelaskan pula oleh imam Abu Yahya Zakaria Al anshari berikut ini:

“Dan (dimakruhkan) memutus ibadah sunnah dengan tanpa adanya uzur, dan tidak wajib mengqadanya.”

Adapun dasar dimakruhkannya adalah firman Allah SWT:

“Dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian.”

Namun jika memutuskan puasa sunnah disebabkan adanya udzur seperti membantu tamu menyantap makanan atau sedang bertamu kerumah orang maka tidak makruh untuk memutuskan puasa sunnah.

Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:

“Orang yang berpuasa sunnah itu memimpin dirinya sendiri, jika ia menghendaki maka ia berpuasa, dan jika ia menghendaki maka ia berbuka.” (HR. Alhakim)

Itulah hukum membatalkan puasa qadha. Maka dari itu sebaiknya kita benar-benar menamamkan diri untuk bersiap puasa qadha agar tidak batal.

Dan kala ditengah jalan selain haram dan berdosa membatalkan puasa qadha. Kita juga jadi kurang istiqomah kepada Allah SWT.

Qadha dapat dilakukan usai ramadhan sampai belum ramadhan tahun berikutnya. Kecuali pada hari yang dilarang untuk berpuasa seperti dibawah ini:

  1. Idul fitri 1 syawal
  2. Idul adha 10 zulhijah
  3. Hari tasyrik 11,12,13 bulan zulhijah
  4. Hari jumat yang dilakukan sendirian. Kecuali telah melakukan puasa pada hari sebelumnya dan sesudahnya.
  5. Hari syak 30 syakban. Atau disebut hari yang meragukan karena telah memasuki bulan Ramadhan. Boleh dilakukan pada hari ini jika bertepatan dengan puasa yang dilakukan seperti puasa senin-kamis.

The post Hukum Membatalkan Puasa Qadha yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Membatalkan Puasa Sunnah yang Perlu dipahami https://dalamislam.com/puasa/hukum-membatalkan-puasa-sunnah Thu, 12 May 2022 08:06:07 +0000 https://dalamislam.com/?p=10271 Ketika sedang melaksanakan puasa sunnah dibulan-bulan istimewa ataupun pada hari senin-kamis seringkali bersamaan dengan waktu yang kurang tepat dan bentrok dengan uzur. Atau halangan seperti kedatangan bulan atau kedatangan tamu untuk menemani makan bersama. sebagaimana riwayat dari Rasulullah SAW berikut ini: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ Artinya, […]

The post Hukum Membatalkan Puasa Sunnah yang Perlu dipahami appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ketika sedang melaksanakan puasa sunnah dibulan-bulan istimewa ataupun pada hari senin-kamis seringkali bersamaan dengan waktu yang kurang tepat dan bentrok dengan uzur. Atau halangan seperti kedatangan bulan atau kedatangan tamu untuk menemani makan bersama.

sebagaimana riwayat dari Rasulullah SAW berikut ini:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya, “Siapa saja yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka itu seperti puasa setahun penuh,” (HR Muslim).

Hal ini menyebabkan membatalkan puasa ditengah jalan.laku bagaimana hukum membatalkan puasa sunnah?

Hurairah Radhiyalalhu anhu secara marfu’:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَأَنْ صَامَهُ

“…Barangsiapa membatalkan puasa satu hari dari bulan Ramadhan tanpa alasan dan juga bukan karena sakit, maka dia tidak dapat menggantinya dengan puasa dahr (terus-menerus) meskipun dia melakukannya….”

Perihal membatalkan puasa karena uzur para ulama berbeda pendapat masalah hal ini.

Dijelaskan dalam keterangan Ibnu Rusyd berikut ini:

وأما حكم الإفطار في التطوع فإنهم أجمعوا على أنه ليس على من دخل في صيام تطوع فقطعه لعذر قضاء. واختلفوا إذا قطعه لغير عذر عامدا فأوجب مالك وأبو حنيفة عليه القضاء. وقال الشافعي وجماعة: ليس عليه قضاء

Artinya, “Adapun hukum membatalkan puasa sunah, ulama bersepakat bahwa tidak ada kewajiban kada bagi mereka yang membatalkan puasa sunahnya karena uzur tertentu. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal mereka yang membatalkan puasa sunah dengan sengaja (tanpa uzur tertentu). Imam Malik dan Abu Hanifah mewajibkan kada puasa sunah tersebut. Tetapi Imam As-Syafi’i dan sekelompok ulama lainya mengatakan bahwa ia tidak wajib menada puasa sunah yang dibatalkannya,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 287).

Ketika batalnya puasa sunnah karena uzur atau halangan maka orang tersebut diwajibkan untuk mengqadha puasa sunnah yang telah dibatalkan. Namun ulama berpendapat jika puasa sunnah tersebut dibatalkan karena disengaja tidak diwajibkan untuk mengqadha puasa tersebut.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

Imam syafii tetapi juga menganjurkan untuk mengqadha puasa bagi mereka yang membatalkan puasa sunnah ditengah jalan. Dan juga menguhukumi makruh membatalkan puasa karena disengaja jika tidak ada uzur tertentu.

Hal ini disebutkan dalam Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:

ومن شرع في صوم تطوع لم يلزمه إتمامه ويستحب له الإتمام فلو خرج منه فلا قضاء لكن يستحب وهل يكره أن يخرج منه نظر إن خرج لعذر لم يكره وإلا كره

Artinya, “Orang yang sedang berpuasa sunah tidak wajib merapungkannya (hingga maghrib). Tetapi ia dianjurkan untuk merampungkannya. Jika ia membatalkan puasa sunah di tengah jalan, tidak ada kewajiban kada padanya, tetapi dianjurkan mengadanya. Apakah membatalkan puasa sunah itu makruh? Masalah ini patut dipertimbangkan. Jika ia membatalkannya karena uzur, maka tidak makruh. Tetapi jika tidak karena uzur tertentu, maka pembatalan puasa sunah makruh,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 174).

Membatalkan puasa karena menghormatu dan menjamu tamu yang sedang berkunjung kerumah, maka dihukumi sebagai uzur atau sedang halangan. Dijelaskan dalam Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:

ومن العذر أن يعز على من يضيفه امتناعه من الأكل ويكره صوم يوم الجمعة وحده تطوعا وكذا إفراد يوم السبت وكذا إفراد يوم الأحد والله أعلم

Artinya, “Salah satu uzur syar’i adalah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang mencegahnya untuk makan. Makruh juga puasa sunah hari Jumat semata. Sama makruhnya dengan puasa sunah hari Sabtu semata atau hari Ahad saja. Wallahu a‘lam,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 174).

Perbedaan pandangan di kalangan ulama perihal ini terjadi karena perbedaan kedua kelompok dalam menganalogikan puasa sunah tersebut. Ulama yang mewajibkan qadha seperti Imam Malik dan Abu Hanifah menganalogikan puasa sunah ini dengan ibadah haji.

Perbedaan pandangan di kalangan ulama perihal ini terjadi karena perbedaan kedua kelompok dalam menganalogikan puasa sunnah tersebut. Jalan yang mewajibkan qadha seperti imam Malik dan abu hanifah menganalogikan puasa sunah ini dengan ibadah hajih.

Sedangkan imam AS-syafii menganalogikan puasa sunah itu dengan ibadah shalat mboh konsekuensi pembatalan kedua ibadah ini. Yaitu haji dan shalat memang berbeda.

Perbedaan konsekuensi keduanya itu kemudian diturunkan pada pembatalan puasa sunnah.

Mereka juga berdalil dengan riwayat dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu bahwa ia berkata:

مَن أطاقَ الحجَّ، فلم يحُجَّ فسواءٌ عليه مات يهوديًّا أو نصرانيًّا

“Barangsiapa yang mampu berhaji namun tidak berangkat haji, maka sama saja ia mati apakah sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nashrani” (HR. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 1/387, dishahihkan Hafizh Al Hakami dalam Ma’arijul Qabul, 639/2).

The post Hukum Membatalkan Puasa Sunnah yang Perlu dipahami appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hati-hati, Begini Hukum Upload Makanan Saat Berpuasa https://dalamislam.com/puasa/hukum-upload-makanan-saat-berpuasa Wed, 11 May 2022 08:54:59 +0000 https://dalamislam.com/?p=10768 Puasa atau saum ( صوم ) bagi umat islam jika dimaknai secara harfiah adalah menahan diri dari makan,minum dan segala hal atau perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Waktunya mulai dari terbit fajar atau terdengar adzan subuh sampai terdengar adzan maghrib. Jadi sebagai muslim kita patut mematuhi yang sudah diatur oleh Allah SWT agar senantiasa mendapatkan […]

The post Hati-hati, Begini Hukum Upload Makanan Saat Berpuasa appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Puasa atau saum ( صوم ) bagi umat islam jika dimaknai secara harfiah adalah menahan diri dari makan,minum dan segala hal atau perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Waktunya mulai dari terbit fajar atau terdengar adzan subuh sampai terdengar adzan maghrib.

Jadi sebagai muslim kita patut mematuhi yang sudah diatur oleh Allah SWT agar senantiasa mendapatkan barokah dariNya, karena sebenarnya Allah memberikan perintah demi kebaikan kaum muslimin itu sendiri.

Namun walau kita sudah berniat melakukan ibadah puasa, godaan pasti akan datang dari mana saja, apalagi di zaman media sosial yang saat ini tengah gencar-gencarnya berada di tengah kita. Godaan tersebut bisa datang dari salah satu media sosial.

Media sosial bisa menjadi lahan maksiat yang merusak dan tidak disadari efek negatif yang ditimbulkan. Sudah banyak efek negatif yang dikarenakan penggunaan media sosial yang tidak tahu tempat. Menyebabkan berbagai macam chaos yang merusak, dan perusakan tersebut bahkan sampai tidak disadari oleh penggunanya.

Penggunaan media sosial yang tidak tepat salah satunya adalah sebagai ajang pamer, yang pasti bertujuan untuk memamerkan hal-hal yang bersifat duniawi dan terkadang tidak bermanfaat. Diluar hal tersebut berikut adalah sejumlah efek negatif penggunaan media sosial :

  1. Gangguan kesehatan fisik- Dengan menatap layar gawai terlalu lama terlebih dalam jangka waktu panjang, dapat mengganggu kesehatan seperti miopi. Selain itu, kalian juga berpotensi mengalami mata kering, mual dan pusing.
    Hal lain yang juga mungkin terjadi adalah memicu rasa sakit atau pegal pada leher karena terlalu lama menunduk.
  2. Menimbulkan gangguan mental- Kini, seseorang kerap kali menggunakan media sosial untuk mengekspos kehidupan pribadi demi terciptanya citra tertentu di mata orang lain.
    Oleh karena itu, kalian akan sering melihat konten-konten yang mengundang kekaguman, ketertarikan, bahkan keinginan untuk dapat melakukan atau memiliki hal yang sama dengan orang tersebut. Tanpa disadari, kalian akan membandingkan diri dengan orang lain, merasa iri, sehingga gelisah, cemas, mudah emosi bahkan frustasi.
  3. Terpapar konten negatif- Di jagat internet, ada jutaan informasi dengan berbagai bentuk konten yang dapat diakses dengan mudahnya. Media sosial yang menjadi platform berbagi konten dari para pengguna sangat berpotensi memunculkan konten-konten negatif dengan unsur SARA.
    Konten tersebut tidak baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat terutama anak-anak serta remaja.
  4. Terpapar hoaks- Karena banyaknya informasi yang tersebar di sosial media terkadang membuat masyarakat sulit membedakan antara informasi yang valid atau sekadar berita bohong (hoaks).
    Karena itu, kalian wajib mengecek validitas sebuah informasi terlebih dulu dari sumber terpercaya dan tidak langsung percaya pada informasi sepintas yang tidak jelas di media sosial.
  5. Mengganggu relas- Menggunakan media sosial secara terus menerus, membuat kalian menjadi lebih fokus pada dunia maya dibanding dunia nyata.
    Hal ini menyebabkan relasi di dunia nyata menjadi renggang, baik dengan teman, orang tua maupun masyarakat. Bukan tidak mungkin, hal tersebut membuat kalian menjadi pribadi yang lebih tertutup dan sulit bersosialisasi.

Lalu apa hubungannya dengan hukum mengupload makanan saat berpuasa? berikut penjelasannya.

Dari media sosial itulah kita dapat dengan mudah menemukan banyak gambar makanan yang tentu saja dapat menggoda kita kalau berpuasa. Apalagi jika godaan tersebut datang saat di tengah hari yang panas, yang semakin menambah rasa ingin membatalkan puasa.

Sebuah keputusan yang tidak tepat sasaran, dan tepat waktu. Sungguh merupakan suatu hal-hal yang merugi.

Saat godaan tersebut datang ingatlah salah satu ayat dari Al-Quran tepatnya surah Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Lalu bagaimana hukum memposting atau upload gambar makanan ketika berpuasa? Berikut penjelasannya.

Seorang alim ulama asal negeri Jiran yaitu Ustadz Azhar Idrus, berpendapat bahwa hukum dari mengupload atau memposting gambar makanan di media sosial sebenarnya tidak masalah. Namun hal tersebut harus ada batasannya atau dilakukan secara tidak berlebihan.

Tergantung dari niat sang peng-upload, jika diniatkan untuk mengolok-olok makan hukumnya tidak boleh, namun jika hanya untuk memberikan informasi semata makan hukumnya tidak mengapa.

Hal tersebut juga didasarkan pada Alquran Surat At-Taubah ayat 65 disebutkan, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja’. Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’

Selain itu Rasullullah pernah bersabda “Adalah sunah hukumnya ketika kita memasak atau membeli makanan dan baunya sampai tercium ke luar rumah”.

Jadi intinya, jangan sampai hal yang dimaksudkan bercanda membawa kemudharatan bagi kaum muslimin lainnya dan mengarah kepada ejekan atau olokan atas ajaran Allah maupun para rasul-Nya.

Pada dasarnya, mengunggah foto makanan di medsos tidaklah dilarang, begitu juga sebaliknya, jika bertujuan mengejek. 

Maka dari itu alangkah lebih baiknya untuk berhati-hati dalam meng-upload atau memposting gambar makanan di saat bulan puasa, karena dikhawatirkan jika mempengaruhi orang untuk membatalkan puasa. Dan hal tersebut akan membawa amal jariyah bagi sangat pe-mosting gambar makanan.

The post Hati-hati, Begini Hukum Upload Makanan Saat Berpuasa appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Alasan Wanita Haid Tidak Boleh Berpuasa yang Perlu diketahui https://dalamislam.com/puasa/alasan-wanita-haid-tidak-boleh-berpuasa Mon, 09 May 2022 09:29:37 +0000 https://dalamislam.com/?p=10766 Pada bulan puasa yang penuh rahmah ini banyak sekali dari kita yang menunaikan ibadah puasa, kendati demikian banyak dari kaum perempuan ada suatu hal yang istimewa, yaitu saat haid tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Sekilas jika kita lihat memang seperti keringanan atau rukshah bagi kaum wanita, namun jika dipahami arti kata rukshah sebenarnya berarti berada diantara […]

The post Alasan Wanita Haid Tidak Boleh Berpuasa yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Pada bulan puasa yang penuh rahmah ini banyak sekali dari kita yang menunaikan ibadah puasa, kendati demikian banyak dari kaum perempuan ada suatu hal yang istimewa, yaitu saat haid tidak diperbolehkan untuk berpuasa.

Sekilas jika kita lihat memang seperti keringanan atau rukshah bagi kaum wanita, namun jika dipahami arti kata rukshah sebenarnya berarti berada diantara 2 pilihan yang dari kedua pilihan tersebut boleh dilakukan.

Padahal tidak berpuasanya wanita haid bukanlah sebuah pilihan, karena justru mereka wajib tidak berpuasa.

Disini dapat digaris bawahi bahwa baik wanita haid ataupun wanita nifas yang tidak berpuasa bukan karena harus memilih, sebagaimana seorang musafir yang boleh berpuasa atau tidak kala bepergian jauh, namun karena Islam memang melarang mereka untuk berpuasa.

Sebagaimana kutipan dari para ulama mazhab terkait wanita haid dan nifas :

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);

لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها

Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa

(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962)

Al-Imam Abu al-Ma‘ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf al-Juwaini (w.478H);

الأمة أجمعت على أن الواجب هو الصيام الصحيح، ثم اتفقوا على أنه لا يصح من الحائض الصيام، كيف وقد أجمعوا على أنها لو أمسكت عن المفطرات ناوية صومها عصت الله

Umat (ulama) telah berijma‘ bahwa yang wajib dilakukan itu adalah puasa yang sah dilakukan. Kemudian mereka sepakat tidak sah puasa wanita haid. Karena bagaimana bisa sah, sedangkan telah ada ijma‘ wanita haid dianggap bermaksiat kepada Allah apabila mereka menahan diri dari yang membatalkan sembari tetap berniat berpuasa

(Al-Juwaini, al-Talkhîsh Fî Ushûl al-Fiqh, vol.1, hal.422-433)

Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H);

ومنها الطهارة عن الحيض والنفاس فإنها شرط صحة الأداء بإجماع الصحابة رضي الله عنهم

Dan di antara sebab wanita sudah dapat berpuasa adalah suci dari haid dan nifas karena merupakan syarat sah menunaikan puasa berdasarkan ijma‘ para sahabat radhiyallâhu ‘anhum

(Al-Kasani, Badâi’ al-Shanâi’ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.83)

Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H);

الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا، وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا

Wanita haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘

(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم

Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haid dan nifas karena mereka harus tidak berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa maka puasanya belum sah

(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn ‘Ali Ibn Abdil Kafi al-Subuki (w.771H);

وامتناع الصوم شرعا على الحائض بالإجماع فيحرم عليها ولا يصح

Larangan berpuasa menurut agama bagi wanita haid adalah berdasarkan ijma‘, sehingga mereka haram berpuasa dan memang tidak sah

(Al-Subuki, al-Ibhâj Fî Syarh Minhâj al-Wushûl Ilâ ‘Ilm al-Ushûl, vol.1, hal.79)

Wallâhu A‘lam.

Selain karena agama yang memang melarang, dalam ilmu medis ternyata juga turut memberikan sejumlah fakta kesehatan di balik ketentuan ini.

Memaksakan diri untuk berpuasa dikala haid atau nifas justru memunculkan sejumlah gejala dan membuat tubuh semakin tidak nyaman.

Dan berikut ini adalah sejumlah alasan wanita haid tidak boleh berpuasa dalam kacamata medis.

  • Banyak Darah Keluar

Darah haid biasanya cukup banyak, berasal dari peluruhan dinding rahim yang sebelumnya menebal. Pendarahan yang cenderung deras saat hari pertama haid dan berangsur menurun pada hari berikutnya hingga selesai. Banyak keluarnya darah ini membuat wanita yang sedang haid rentan mengalami lemas dan lesu.

  • Nyeri Perut

Gejala khas saat haid adalah nyeri atau kram perut. Rasa sakit ini berasal dari peluruhan dinding rahim. Sebagian wanita hanya mengalami nyeri perut beberapa jam awal saat haid, tapi sebagian lain mungkin merasakannya sepanjang hari. Pada kasus yang parah, nyeri haid tidak tertahankan menurunkan kesadaran (pingsan). Rasa nyeri yang tak tertahankan dan berulang sebaiknya dibicarakan dengan dokter.

  • Migrain

Selain merasakan gejala nyeri pada perutnya, wanita haid atau nifas juga rentan terkena migrain. Ketika migrain menyerang, tentu saja wanita yang mengalami haid ataupun nifas akan tidak nyaman dalam menunaikan ibadah puasa.

  • Sensitif Terhadap Rasa Nyeri

Saat haid atau nifas wanita mengalami penurunan hormon estrogen. Kondisi ini membuatnya lebih sensitif terhadap rasa sakit, sehingga ia mudah lelah, nyeri punggung, dan gangguan kesehatan lain. Acap kali, bagi wanita yang tidak kuat merasakan gejala nyeri ini, mereka mengonsumsi obat pereda nyeri.

The post Alasan Wanita Haid Tidak Boleh Berpuasa yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Mencuci Muka Ketika Berpuasa yang Perlu diketahui https://dalamislam.com/puasa/hukum-mencuci-muka-ketika-berpuasa Mon, 09 May 2022 09:13:08 +0000 https://dalamislam.com/?p=11208 Siapa yang tidak mengenal kata puasa? Puasa sebuah kata yang dilakukan sekali setahun baik secara penanggalan Islam ataupun Masehi. Puasa yang secara harfiah menahan rasa lapar serta segala hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Puasa masuk ke dalam rukun Islam urutan ketiga yang mana diwajibkan untuk umat Islam melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Sesuai […]

The post Hukum Mencuci Muka Ketika Berpuasa yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Siapa yang tidak mengenal kata puasa? Puasa sebuah kata yang dilakukan sekali setahun baik secara penanggalan Islam ataupun Masehi. Puasa yang secara harfiah menahan rasa lapar serta segala hal yang berkaitan dengan hal tersebut.

Puasa masuk ke dalam rukun Islam urutan ketiga yang mana diwajibkan untuk umat Islam melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Sesuai dengan namanya, puasa Ramadhan dilakukan saat sudah mulai memasuki tanggal 1 Ramadhan menurut kalender Hijriyah. Yang pelaksanaanya dilakukan selama 29-30 hari lamanya.

Puasa sendiri merupakan terjemahan dari istilah aslinya yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu kata Shaum. Kata tersebut secara Bahasa memiliki arti mencegah atau menahan. Agar lebih paham mengenai bab puas, ada baiknya kita mengetahui hal-hal yang dapat membatalkan atau membuat puasa kita tidak sah dan hal-hal yang menyebabkan pahala puasa berkurang.

Ada 5 hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu :

  1. Makan dan Minum secara sengaja.
  2. Melakukan hubungan suami istri secara sengaja
  3. Muntah secara sengaja
  4. Datang bulan atau Haid
  5. Keluar air mani dengan sengaja.
  6. Mengobati dengan cara memasukkan obat dari Qubul atau Dubur.

Dalam sebuah hadist qudsi, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia [seorang hamba] telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Meskipun pahala puasa agung dan tidak ternilai, Nabi Muhammad SAW mewanti-wanti umatnya agar menjauhi maksiat dan perbuatan dosa yang berpotensi menodai ibadah ini. Sebab, selain menahan lapar dan haus, sebenarnya puasa juga menahan diri dari hawa nafsu dan perilaku munkar.

Peringatan tentang pentingnya orang yang berpuasa menjauhi kemaksiatan dan perbuatan dosa, telah disampaikan Rasulullah SAW dalam hadis berikut: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga,” (H.R. Thabrani).

Hadis di atas menegaskan bahwa Islam mencela orang yang puasa, tapi tetap melakukan maksiat dan dosa. Kendati puasa tidak batal dan kewajiban gugur, pahala untuk ibadah ini tergerus habis.

Dan Hal-Hal yang membuat pahala puasa berkurang adalah :

1. Berlebih-lebihan ketika berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung

Hal pertama yang termasuk makruh puasa adalah berlebih-lebihan ketika berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung saat melakukan wudhu.

Berlebih-lebihan dalam amalan ini sebenarnya disunatkan bagi orang yang berwudhu. Namun hukumnya menjadi makruh ketika sedang puasa.

Hal ini termasuk makruh puasa karena dikhawatirkan air masuk ke dalam kerongkongan. Sehingga bisa membatalkan puasanya.

Hukum makruh ketika berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung berlebihan saat puasa ini didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabrah:

” Bersungguh-sungguhlah dalam berkumur dan dalam menghirup air ke hidung, kecuali jika engkau sedang berpuasa.”

Jika ada air kumur yang masuk ke dalam perutnya secara sengaja, maka menurut ijtima ulama puasanya batal, dan dia harus mengqadha atau mengganti puasanya.

2. Memandang istri atau wanita berlama-lama

Memandang istri atau wanita berlama-lama, jika hal tersebut dapat membangkitkan nafsu syahwat, maka itu termasuk hal yang makruh saat puasa. Perilaku tersebut bisa menyebabkan puasanya rusak.

3. Melakukan bekam saat puasa

Hal yang makruh saat puasa Ramadhan selanjutnya adalah melakukan bekam yang bisa membuat tubuh menjadi lemah. Namun, jika tidak memberikan dampak yang bisa membuat tubuh lemas, maka boleh melakukan bekam saat puasa.

4. Menggunjing (Ghibah)

Menggunjing atau ghibah, yang bahasa kerennya menggosip, merupakan perbuatan yang makruh saat puasa Ramadhan. Perbuatan ini terkadang secara tidak sadar sering dilakukan oleh semua kalangan.

Ghibah ini bahkan perbuatan yang dilarang. Mereka yang suka menggosip bahkan diibaratkan seperti orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri.

5. Tidur secara berlebihan saat puasa

Di dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah ibadah. Maksud dari hadis tersebut adalah tidur di waktu puasa lebih baik daripada melakukan hal yang terlarang atau hal dapat membatalkan puasa.

Namun bukan berarti tidur seharian tanpa melakukan aktivitas yang lain, seperti sholat, bekerja, atau sekolah. Karena sesungguhnya semua hal yang berlebihan itu dibenci Allah SWT. Begitu juga dengan tidur berlebihan saat puasa Ramadhan.

6. Mandi dengan menyelam

Hal yang makruh saat puasa berikutnya adalah mandi dengan menyelam. Mengapa begitu? Karena bukan tidak mungkin ketika mandi dengan menyelam, ada air yang masuk walaupun sedikit ke dalam tubuh, baik melalui mulut atau lubang-lubang tubuh yang lain.

7. Mengumpulkan ludah dan menelannya saat puasa

Kebiasaan seseorang untuk mengumpulkan ludah lalu ditelan ternyata masuk dalam kategori makruh puasa dan perbuatan yang jorok. Begitu juga dengan perbuatan menelan dahak. Walaupun ludah dan dahak berasal dari dalam tubuh, namun sesuatu yang masuk ke dalam kerongkongan dan kemudian ditelan termasuk makruh puasa Ramadhan.

8. Mencicipi Makanan

Menurut sebagian ulama, mencicipi makanan, jika tidak tertelan, maka tidak termasuk hal yang makruh saat puasa. Namun jika mencicipi masakan berkali–kali dan ada yang masuk ke dalam perut walaupun hanya sebagian kecil, maka hal ini dapat membatalkan puasa orang tersebut.

Jadi hukum mencuci muka saat berpuasa tidaklah mengapa asal tidak sembari memasukkan air ke mulut dan meminumnya. Jika hanya untuk menyegarkan muka sehabis terkena panas matahari tidak membatalkan puasa.

The post Hukum Mencuci Muka Ketika Berpuasa yang Perlu diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Puasa saat Bulan Rajab https://dalamislam.com/puasa/hukum-puasa-saat-bulan-rajab Tue, 16 Feb 2021 00:42:45 +0000 https://dalamislam.com/?p=9327 Bulan Rajab ialah salah satu bulan haram (mulia) dalam agama Islam. Sehingga banyak anjuran-anjuran dan motivasi beribadah dari para generasi salaf dalam karya-karya mereka dan para pendakwah dalam mengisi ceramah-ceramahnya, baik secara kajian rutin maupun online di sosial media. Diantara amalannya adalah anjuran untuk melakukan puasa di bulan Rajab. Sebelumnya, terdapat Hadis-hadis yang membicarakan tentang […]

The post Hukum Puasa saat Bulan Rajab appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bulan Rajab ialah salah satu bulan haram (mulia) dalam agama Islam. Sehingga banyak anjuran-anjuran dan motivasi beribadah dari para generasi salaf dalam karya-karya mereka dan para pendakwah dalam mengisi ceramah-ceramahnya, baik secara kajian rutin maupun online di sosial media. Diantara amalannya adalah anjuran untuk melakukan puasa di bulan Rajab.

Sebelumnya, terdapat Hadis-hadis yang membicarakan tentang keutamaan puasa di bulan Rajab. Mulai dari segi namanya sampai dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah ﷻ bagi orang yang berpuasa di bulan tersebut dengan jumlah bilangan puasa tertentu selama bulan Rajab.

Namun, status hadis-hadis tersebut tidak lepas dari penilaian dan kritikan para Ulama Ahli Hadis. Banyak diantaranya yang dihukumi sebagai Hadis maudhu’ (palsu) dan tidak sedikit juga yang termasuk dalam kategori Hadis yang dhoif (lemah).

Di tulisan ini, kita tidak akan membahas mengenai hadis-hadis tersebut dan hukum mengamalkannya dalam melaksanakan ibadah untuk mendapatkan keutamaannya. Akan tetapi, kita lebih fokus mengenai hukum berpuasa di bulan-bulan haram (mulia) dalam pandangan 4 mazhab.

Dalam Kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juz 28, halaman 95 diterangkan secara rinci mengenai hukum berpuasa di bulan-bulan haram (mulia).

:صَوْمُ الأَْشْهُرِ الْحُرُمِ
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ – إِلَى اسْتِحْبَابِ صَوْمِ الأَْشْهُرِ الْحُرُمِ.

َصَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ بِأَنَّ أَفْضَل الأَْشْهُرِ الْحُرُمِ: الْمُحَرَّمُ ثُمَّ رَجَبٌ، ثُمَّ بَاقِيهَا: ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ. وَالأَْصْل فِي ذَلِكَ قَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَل الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلاَةُ فِي جَوْفِ اللَّيْل، وَأَفْضَل الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ.

وَمَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ: أَنَّهُ مِنَ الْمُسْتَحَبِّ أَنْ يَصُومَ الْخَمِيسَ وَالْجُمُعَةَ وَالسَّبْتَ مِنْ كُل شَهْرٍ مِنْ الأَْشْهُرِ الْحُرُمِ.

Mayoritas Ulama fikih: Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’yyah berpendapat bahwa ada anjuran berpuasa di bulan-bulan haram (mulia) [Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab].

Malikiyah (Para pengikut Mazhab Maliki) dan Syafi’iyyah (Para pengikut Mazhab Syafi’i) menjelaskan bahwa yang paling utama dari bulan-bulan haram (mulia) adalah bulan Muharram kemudian bulan Rajab kemudian sisanya, yaitu bulan Dzulqa’dah dan bulan Dzulhijjah.

Landasannya adalah perkataan Nabi ﷺ : “Salat yang paling utama setelah salat fardhu adalah salat di tengah malam. Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yakni bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Jadi, Syafi’iyyah dan Malikiyyah sepakat atas anjuran berpuasa di bulan-bulan haram (mulia) dan memutlakkan anjuran tersebut (tidak memberi aturan-aturan tertentu dan batasan jumlah bilangan puasa).

Adapun Hanafiyyah (Para pengikut Mazhab Hanafi) berpendapat bahwa disunnahkan untuk berpuasa di hari Kamis, Jumat dan Sabtu di setiap bulan-bulan haram (mulia). Selain dari 3 hari tersebut, tidak disunnahkan berpuasa di bulan-bulan tersebut.

Dalam Hanabilah (Para pengikut Mazhab Hambali) terdapat perbedaan yang cukup jelas dari pendapat mazhab sebelumnya.

Lebih rincinya sebagai berikut:

وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يُسَنُّ صَوْمُ شَهْرِ الْمُحَرَّمِ فَقَطْ مِنَ الأَْشْهُرِ الْحُرُمِ.
وَذَكَرَ بَعْضُهُمُ اسْتِحْبَابَ صَوْمِ الأَْشْهُرِ الْحُرُمِ، لَكِنَّ الأَْكْثَرَ لَمْ يَذْكُرُوا اسْتِحْبَابَهُ، بَل نَصُّوا عَلَى كَرَاهَةِ إِفْرَادِ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ، لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا -: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ رَجَبٍ. وَلأَِنَّ فِيهِ إِحْيَاءً لِشِعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ بِتَعْظِيمِهِ. وَتَزُولُ الْكَرَاهَةُ بِفِطْرِهِ فِيهِ وَلَوْ يَوْمًا، أَوْ بِصَوْمِهِ شَهْرًا آخَرَ مِنَ السَّنَةِ وَإِنْ لَمْ يَلِ رَجَبًا.

Hanabilah (Para pengikut Mazhab Hambali) menganjurkan untuk berpuasa di bulan Muharram saja dari bulan-bulan haram (mulia).

Sebagian dari kalangan mereka menganjurkan untuk berpuasa di bulan-bulan haram (mulia). Akan tetapi, kebanyakan ‘ulama mereka tidak menganjurkan berpuasa di bulan-bulan tersebut bahkan mereka memakruhkan menyendirikan (mengkhususkan) bulan Rajab dengan berpuasa sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi ﷺ melarang berpuasa di bulan Rajab. Karena dianggap menghidupkan syiar-syiarnya kaum Jahiliyah yang mengagungkan bulan tersebut.

Namun, kemakruhan berpuasa di bulan Rajab menjadi hilang jika melakukan fithr (tidak berpuasa) meskipun hanya sehari atau dengan berpuasa sebulan penuh di bulan lain dalam tahun tersebut walaupun tidak berurutan dengan bulan Rajab supaya tidak termasuk pengkhususan terhadap bulan Rajab dengan berpuasa.

Dari keterangan di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa berpuasa di bulan Rojab hukumnya sunnah (dianjurkan) menurut 3 Mazhab (Syafi’i, Maliki dan Hanafi) dan sebagian Ulama dari Mazhab Hambali.

Mereka hanya berbeda dalam jumlah bilangan puasa yang dianjurkan. Dengan kata lain, sangat bagus dan tidak dipermasalahkan bagi kaum muslimin untuk memperbanyak berpuasa di bulan Rajab dan bulan-bulan haram (mulia) lainnya.

Semoga di bulan mulia ini kita juga dapat memperbanyak melakukan amal-amal ibadah termasuk puasa yang menjadi sebab mulianya derajat kita dalam pandangan Allah ﷻ.

Wallahua’lam bisshowab.

The post Hukum Puasa saat Bulan Rajab appeared first on DalamIslam.com.

]]>
4 Keutamaan Puasa Sunnah Ayyamul Bidh Beserta Niatnya https://dalamislam.com/puasa/keutamaan-puasa-sunnah-ayyamul-bidh Tue, 02 Feb 2021 03:36:19 +0000 https://dalamislam.com/?p=8886 Dalam islam, ibadah puasa masuk kepada salah satu rukun Islam. Akan tetapi, ibadah yang dimaksud pada rukun Islam tersebut adalah puasa wajib, yakni puasa di Bulan Ramadhan. Sedangkan yang akan dibahas pada artikel ini adalah salah satu puasa Sunnah, yaitu puasa Sunnah Ayyamul Bidh. Ibadah puasa terbagi menjadi dua jenis, diantaranya puasa wajib, dan puasa […]

The post 4 Keutamaan Puasa Sunnah Ayyamul Bidh Beserta Niatnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam islam, ibadah puasa masuk kepada salah satu rukun Islam. Akan tetapi, ibadah yang dimaksud pada rukun Islam tersebut adalah puasa wajib, yakni puasa di Bulan Ramadhan. Sedangkan yang akan dibahas pada artikel ini adalah salah satu puasa Sunnah, yaitu puasa Sunnah Ayyamul Bidh.

Ibadah puasa terbagi menjadi dua jenis, diantaranya puasa wajib, dan puasa Sunnah. Sudah disebutkan sebelumnya, bahwa puasa wajib adalah puasa Ramadhan. Sedangkan contoh puasa Sunnah cukup banyak. Diantaranya ada puasa Senin-Kamis, puasa di bulan Muharram, puasa di bulan Syawal, puasa di bulan Dzulhijjah, puasa Daud, dan puasa Ayyamul Bidh.

Dari berbagai puasa Sunnah yang kita ketahui, puasa Ayyamul Bidh ini juga salah satu puasa yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam kepada kita sebagai ummatnya.

Pelaksanaan puasa Ayyamul Bidh menurut para pendapat ulama dilakukan pada pertengahan di bulan Hijriyah, yakni pada tanggal 13, 14, 15 (di setiap bulan Hijriyah). Mengenai dasar hukum puasa Ayyamul Bidh, termasuk dalam ibadah Sunnah. Hal ini diambil dan hadist Nabi Muhammad SAW.

Ibnu Milan Al Qaisiy dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada Ayyamul Bidh yaitu 13,14,15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Abu Daud no. 2449 dan Anak Nasai no. 2434 Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada beberapa Keutamaan puasa Ayyamul Bidh, diantaranya:

1. Bagaikan Puasa Satu Tahun Penuh

Keutamaan puasa Ayyamul Bidh bagaikan puasa satu tahun penuh. Bila kita menjaga di setiap bulannya, maka akan memperoleh pahala puasa selama satu tahun penuh.

“Sungguh cukup bagimu berpuasa selama tiga hari dalam satu bulan, sebab kamu akan menerima sepuluh kali lipat pada setiap kebaikan yang kau lakukan. Karena itu, maka puasa Ayyamul Bidh sama dengan puasa setahun penuh”. (HR. Bukhari dan Muslim)

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari no. 1979).

2. Menjalankan Wasiat Rasulullah SAW

Menunaikan puasa Ayyamul Bidh menunjukkan sebagai bentuk umat Nabi Muhammad SAW. Karena sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau menyampaikan tiga nasehat:

Dari Abu Hurairah r.a berkata: “Kekasihku (Rasulullah) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: (1) mengerjakan puasa selama tiga hari setiap bulannya (2) mengerjakan shalat Dhuha (3) mengerjakan shalat witir sebelum tidur” (HR. Bukhari).

3. Berkah Mengikuti Ajaran Nabi SAW

Keutamaan puasa Ayyamul Bidh ini ialah berusaha mengikuti ajaran Nabi SAW. Sebagai bentuk cinta kita, alangkah baiknya kita mengikuti ajaran baik yang ditunaikan oleh Rasul, sehingga kita mendapat keberkahan atas puasa tersebut.

4. Pintu Surga Ar Rayyan Bagi yang Rajin Puasa

Menurut hadits yang disampaikan bahwa hamba yang rajin menjaga kebiasaan puasa, jika kelak nanti memasuki pintu surga akan masuk pada pintu yang bernama Ar Rayyan, yang diperuntukkan khusus bagi seorang muslim yang kerap puasa selama hidupnya.

“Sesungguhnya di surga ada suatu pintu yang disebut “Ar Rayyan”. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “mana orang yang berpuasa”, lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya”. (HR Bukhari no. 1896 dan Muslim no 1152).

Niat Puasa Ayyamul Bidh

Setelah beberapa keutamaan puasa Ayyamul Bidh, maka disini akan kita tulis bagaimana niat puasa Ayyamul Bidh. Niat puasa dilakukan bisa saat malam hari sebelum tidur, ataupun juga bisa pada saat sahur.

Niat puasa Ayyamul Bidh sebagai berikut:

نٙوٙيْتُ صٙوْمٙ غٙدٍ أٙيّٙامٙ الْبِيْضِ سُنّٙةً لِلّٰهِ تٙعٙلٙى

Artinya: “Saya niat berpuasa besok pada Ayyamul Bidh Sunnah karena Allah Ta’ala”.

Dari penjelasan tentang puasa Ayyamul Bidh di atas, semoga semangat kita dalam menjalani ibadah puasa Sunnah bertambah dan mendapatkan keberkahan atas puasa yang kita tunaikan.

The post 4 Keutamaan Puasa Sunnah Ayyamul Bidh Beserta Niatnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>