sejarah puasa Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/sejarah-puasa Sat, 14 Mar 2020 01:38:48 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png sejarah puasa Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/sejarah-puasa 32 32 Sejarah Puasa Syawal – Pelengkap Puasa Ramadhan https://dalamislam.com/puasa/sejarah-puasa-syawal Wed, 11 Mar 2020 23:37:01 +0000 https://dalamislam.com/?p=8328 Salah satu amalan utama bulan Syawal yang sangat dianjurkan adalah puasa Syawal yakni puasa sunnah yang dilakukan selama enam hari di bulan Syawal. Adapun keutamaan puasa di bulan Syawal di antaranya adalah memperoleh pahala seperti puasa selama setahun penuh.   Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa (di bulan) […]

The post Sejarah Puasa Syawal – Pelengkap Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Salah satu amalan utama bulan Syawal yang sangat dianjurkan adalah puasa Syawal yakni puasa sunnah yang dilakukan selama enam hari di bulan Syawal.

Adapun keutamaan puasa di bulan Syawal di antaranya adalah memperoleh pahala seperti puasa selama setahun penuh.  

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa berpuasa (di bulan) Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti puasa satu tahun penuh.”

HR. Muslim

Dalil lainnya, dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Puasa Ramadhan ganjarannya sebanding dengan puasa sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal, pahalanya sebanding dengan puasa dua bulan, dan karenanya bagaikan puasa selama setahun penuh.”

HR. Ahmad dan An-Nasa’i

Mengapa demikian? Allah berfirman dalam surat Al-An’aam ayat 160 sebagai berikut,

“Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannaya. Mereka sedikitpun tidak dirugikan (dizhalimi).”

QS. Al-An’aam : 160

Bagaimana sejarah puasa Syawal?

Dari beberapa sumber disimpulkan bahwa sejarah puasa Syawal dapat ditelusuri dari keutamaan atau faedah puasa Syawal.

Allah subhaanaa huu wa ta’aalaa telah menjadikan setiap amalan sunnah pada setiap amalan wajib seperti shalat sunnah rawatib pada shalat fardhu atau shalat wajib lima waktu.

Tidak hanya shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya pun demikian.

Untuk amalan wajib puasa yakni puasa Ramadhan, amalan sunnah yang berfungsi untuk melengkapi dan menyempurnakan puasa Ramadhan salah satunya adalah puasa Syawal yang dikerjakan selama enam hari.  

Mengapa setelah puasa Ramadhan disyari’atkan puasa Syawal selama enam hari?  Alasannya adalah sebagai berikut.

1. Melengkapi dan menyempurnakan puasa Ramadhan

Semaksimal apapun seseorang mengerjakan puasa Ramadhan tentu tidak luput dari kekurangan dan ketidaksempurnaan.

Di sinilah puasa Syawal berperan yakni untuk menutupi dan menyempurnakan kekurangan tersebut.

Pada hari Kiamat nanti, pahala amalan sunnah seperti puasa Syawal akan diambil untuk menutupi kekurangan amalan wajib yakni puasa Ramadhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Amal ibadah yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat adalah shalat. Allah Ta’ala berkata kepada malaikat-sedang Dia Maha Mengetahui tentangnya-, ‘Periksalah ibadah shalat hamba-hamba-Ku, apakah sempurna ataukah kurang. Jika sempurna maka pahalanya ditulis utuh sempurna. Jika kurang, maka Allah memerintahkan malaikat, ‘Periksalah apakah hamba-Ku itu mengerjakan shalat-shalat sunnah? Jika ia mengerjakannya mata tutupilah kekurangan shalat wajibnya dengan shalat sunnah itu.’ Begitu pulalah dengan amal-amal ibadah lainnya.”

HR. Abu Daud

2. Memperoleh pahala yang sebanding dengan puasa setahun penuh

Selain itu, dengan mengerjakan puasa Syawal, pahala yang diperoleh adalah sebanding dengan puasa setahun penuh. Hal ini disebabkan, macam-macam amalan shaleh yang dikerjakan juga menjadi semakin bertambah.

Namun perlu dipahami pula bahwa bukan berarti puasa dahr atau puasa setahun penuh itu dibolehkan mengingat hukum puasa dahr adalah haram.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“… tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud ‘alaihis salam yang merupakan separuh shaum dahr, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”

HR. Bukhari

Terkait dengan berlipatgandanya pahala puasa Syawal, sebuah hadits yang memperjelas hal ini adalah sebagai berikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiap-tiap kebajikan yang diamalkan/dikerjakan oleh anak cucu Adam dilipatgandakan dari sepuluh dan tujuh puluh sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali amalan puasa itu bagi-Ku dan Aku yang membalasnya sesuka-Ku tanpa hitungan kepadanya. Karena ia (pelaku puasa) menahan hawa nafsunya dan makanannya dan minumannya karena ke-Agungan-Ku (Allah). Dan puasa itu tameng (perisai). Dan bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan. Gembira waktu berbuka dan gembira waktu bertemu dengan Allah pada hari kiamat. Dan dalam riwayat lainnya, dilipatgandakan tujuh puluh dan tujuh ratus lipat hingga tanpa hitungan.”

HR. Muslim

3. Tanda bahwa puasa Ramadhan diterima Allah

Mengerjakan puasa Syawal setelah puasa Ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima ibadah puasa Ramadhan yang telah dilakukan.

Hal ini disebabkan, apabila Allah menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepada orang tersebut untuk melakukan amalan shaleh setelahnya.

4. Merupakan bentuk rasa syukur

Puasa Ramadhan merupakan sebab penghapusan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Siapa yang puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim)

HR. Bukhari Muslim

Karena itu, puasa Syawal yang dilakukan setelah puasa Ramadhan selama enam hari sejatinya merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah subhaana huu wa ta’aala karena dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.  

5. Tidak terputusnya amalan shaleh yang dikerjakan

Berbagai macam amalan shaleh yang dilakukan selama bulan Ramadhan akan terus berlanjut di bulan-bulan berikutnya hingga maut menjemput termasuk puasa Syawal.

Allah berfirman dalam surat Al Hijr ayat 99 sebagai berikut.

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).”

QS. Al-Hijr : 99

6. Dibersihkan dari segala dosa

Puasa Syawal sebagai salah satu amalan puasa di bulan Syawal jika dikerjakan dengan penuh keikhlasan dapat menghapus dosa-dosanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari puasa bulan Syawal, maka ia dianggap bersih dari dosanya (dibersihkan dari segala doanya) seperti anak yang baru lahir (dilahirkan) ibunya.”

HR. Muslim

The post Sejarah Puasa Syawal – Pelengkap Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Puasa Arafah https://dalamislam.com/puasa/sejarah-puasa-arafah Wed, 11 Mar 2020 20:45:27 +0000 https://dalamislam.com/?p=8327 Salah satu amalan sunnah di bulan Dzulhijjah adalah puasa Arafah atau puasa di hari Arafah atau hari kesembilan bulan Dzulhijjah.   Jika puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun sebagaimana disebutkan dalam sejarah puasa ‘Asyura, maka keutamaan puasa Arafah adalah menghapus dosa selama dua tahun bagi siapapun yang menjalankannya. Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu […]

The post Sejarah Puasa Arafah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Salah satu amalan sunnah di bulan Dzulhijjah adalah puasa Arafah atau puasa di hari Arafah atau hari kesembilan bulan Dzulhijjah.  

Jika puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun sebagaimana disebutkan dalam sejarah puasa ‘Asyura, maka keutamaan puasa Arafah adalah menghapus dosa selama dua tahun bagi siapapun yang menjalankannya.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa Arafah, beliau menjawab, “Puasa Arafah menghapus dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang…”

HR. Muslim

Puasa Arafah sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima.

Adapun bagi mereka yang berhaji tidaklah disunnahkan untuk berpuasa Arafah karena di hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berpuasa.

Bagaimanakah sejarah puasa Arafah?

Sejarah puasa Arafah tidak dapat dilepaskan dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih putranya Nabi Ismail ‘alahis salam melalui mimpi.

Nabi Ibrahim ‘alahis salam seringkali pergi ke Makkah untuk menengok putranya, Nabi Ismail ‘alaihis salam yang tengah diasingkan bersama ibunya Siti Hajar di tempat yang tandus.

Ketika Nabi Ismail ‘alaihis salam menginjak usia remaja, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bermimpi bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail ‘alaihis salam. 

Mimpi yang hadir di tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah tersebut membuat Nabi Ibrahim bingung karena beliau sangat memahami bahwa mimpi seorang nabi merupakan salah satu cara turunnya wahyu Allah.

Artinya, beliau memang harus melaksanakan perintah Allah tersebut.

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam terus memikirkan mimpi tersebut.

Sebagai seorang ayah tentu tidak ingin mengorbankan putranya yang telah dinantikan kelahirannya selama bertahun-tahun. Namun sebagai seorang Nabi, beliau harus melaksanakan perintah tersebut. 

Kegamangan yang menyelimuti hati Nabi Ibrahim ‘alaihis salam akhirnya mengantarkan beliau pada keyakinan untuk mengurbankan puteranya Nabi Ismail ‘alaihis salam.

Keyakinan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk mematuhi perintah Allah terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hari keyakinan inilah yang disebut dengan hari Arafah.

Beliau kemudian pergi ke Makkah untuk menemui dan menyampaikan perintah Allah tersebut kepada Nabi Ismail ‘alaihis salam.

Nabi Ismail ‘alaihis salam, sebagai seorang anak yang patuh dan berbakti kepada orang tuanya, meminta ayahnya untuk mematuhi perintah Allah tersebut.

Nabi Ismail ‘alaihis salam berkata,

“Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku Insya Allah sebagai seorang sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak bergerak-gerak hingga menyusahkan ayah. Kedua, agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku melihatnya. Ketiga, tajamkanlah parangmu dan percepatlah pelaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa pedihku. Keempat dan yang terakhir, sampaikanlah salamku kepada ibuku, berikanlah kepadanya pakaianku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya.”

Dikutip dari 25 Kisah Para Nabi

Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memeluk puteranya sambil berkata,

“Bahagianya aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua, yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah.”

Dikutip dari 25 Kisah Para Nabi

Waktu penyembelihan tiba yakni tepat tanggal 10 Dzulhijjah. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sendiri yang melakukan penyembelihan terhadap Nabi Ismail ‘alaihis salam.

Namun, proses penyembelihan ini berulang kali mengalami kegagalan. Hingga Nabi Ibrahim ‘alaihi salam pun merasa telah gagal dalam melaksanakan perintah Allah.

Kemudian, Allah berfirman dalam surat Ash-Shaaffaat ayat 104-106,

Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpimu itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesunggunya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”

QS. Ash-Shaaffaat : 104-106

Sebagai balasannya, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk menyembelih seekor kambing yang telah tersedia di sampingnya. Beliau pun menyembelih kambing tersebut.

Kisah ini diceritakan dalam Al Qur’an surat Ash-Shaafaat ayat 100-113. Untuk mengabadikan keyakinan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mensyari’atkan puasa sunnah pada hari Arafah.

Pelaksanaan Puasa Arafah

Pelaksanaan puasa Arafah atau puasa di hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah di setiap negara akan berbeda satu sama lain karena sangat tergantung pada hasil rukyah di masing-masing negara.

Dengan kata lain, puasa Arafah atau puasa di hari Arafah tidak ditentukan oleh waktu wukuf para jemaah haji di padang Arafah. Karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda.

Hal ini perlu dipahami mengingat masih ada yang melaksanakan puasa Arafah dengan mengacu pada waktu wukuf di padang Arafah.

Adapun untuk pelaksanaan wukuf saat ibadah haji dinilai sah jika berada di padang Arafah. Hal ini didasarkan atas hadits berikut.

 “Haji sah apabila melakukan wuquf di Arafah.” (HR. An-Nasai)

HR. An-Nasa’i

Oleh karena itu, mereka yang tengah berhaji dan melaksanakan wukuf di padang Arafah tidak disunnahkan mengerjakan puasa Arafah.

Kesimpulannya adalah puasa Arafah adalah puasa yang dikerjakan di hari Arafah dan bukan di waktu wukuf di padang Arafah.

The post Sejarah Puasa Arafah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Puasa ‘Asyura https://dalamislam.com/puasa/sejarah-puasa-asyura Tue, 10 Mar 2020 23:39:54 +0000 https://dalamislam.com/?p=8325 Salah satu di antara macam-macam puasa sunnah yang memiliki keutamaan berupa dihapuskannya dosa-dosa selama setahun adalah puasa ‘Asyura. Puasa ‘Asyura adalah salah satu puasa sunnah di bulan Muharram yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk […]

The post Sejarah Puasa ‘Asyura appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Salah satu di antara macam-macam puasa sunnah yang memiliki keutamaan berupa dihapuskannya dosa-dosa selama setahun adalah puasa ‘Asyura.

Puasa ‘Asyura adalah salah satu puasa sunnah di bulan Muharram yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada hari itu, mereka berkomentar, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat”. (HR. Muslim).

Adapun keutamaan puasa ‘Asyura adalah dapat menghapus dosa-dosa selama setahun. Hal ini diasarkan atas hadits berikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Puasa hari ‘Asyura, sunggguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu.” (HR.Muslim)

Dalil lainnya adalah sebagai berikut.

“Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, maka beliau bersabda, “Puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa-dosa kecil setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).

Bagaimakanah sejarah puasa ‘Asyura?

Sebelum Islam datang, puasa ‘Asyura telah dipraktekkan oleh orang-orang Jahiliyah, umat Nasrani, dan umat Yahudi.

Mereka berpuasa pada tanggal 10 Tishri atau 10 Muharram tepat di hari Raya Yom Kippur. Alasannya adalah karena pada hari itu Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka. 

Sebagai bentuk ungkapan rasa syukur, Nabi Musa ‘alaihis salam kemudian berpuasa pada hari itu. Sejak itulah, puasa ‘Asyura menjadi syari’at bagi umat Yahudi.

Al-Qurtuby dalam kitab Fatkhul Bari mengatakan, 

“Mungkin orang-orang Qurais dulu menyendarkan puasanya kepada syari’at nabi terdahulu seperti Nabi Ibrahim. Sedangkan puasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa jadi karena kecocokan kepada mereka sebagaimana dalam masalah haji, atau karena Allah mengizinkan beliau untuk berpuasa karena itu termasuk pekerjaan yang baik.”

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, beliau menemukan bahwa umat Yahudi di sana melaksanakan puasa ‘Asyura.

Beliau pun kemudian bertanya kepada mereka. Setelah memperoleh jawaban, beliau pun memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa ‘Asyura.

Cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditengarai merupakan upaya untuk meluluhkan hati orang-orang Yahudi atau karena hal lainnya.

Yang perlu dipahami adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura bukan karena mengikuti umat Yahudi dan kaum Qurais, melainkan Nabi Musa ‘alaihis salam.

Beliau melakukannya karena saat itu beliau kerap mencocokkan ahlul kitab dalam hal-hal yang tidal dilarang.

Dari ‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, maka beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa hari ‘Asyura. Beliau bertanya kepada mereka, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saya lebih layak dengan Nabi Musa dibandingkan kalian.” Maka beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Perintah berpuasa ‘Asyura bagi umat muslim

Setelah memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa ‘Asyura, beliau pun akhirnya memerintahkan umat Islam untuk berpuasa ‘Asyura pada tanggal 10 Muharram dan ini adalah puasa wajib.

Jika pada hari itu ada sebagian umatnya yang sudah makan maka mereka bisa berpuasa pada sisa hari itu. Jika pada hari itu sebagian umatnya belum makan maka hendaklah mereka berpuasa.

Untuk menghindari syari’at yang dilakukan umat Yahudi, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa juga pada tanggal 9 Muharram (Hari Tasu’a) dan 11 Muharram.

Dengan demikian, keutamaan puasa Tasu’a adalah untuk menyelisihi kitab-kitab terdahulu yang hanya mengkhususkan puasa pada tanggal 10 Muharram saja.

Sebagaimana halnya puasa tanggal 9 Muharram, puasa tanggal 11 Muharram juga dimaksudkan untuk menyelisihi kitab-kitab terdahulu.

Terkait puasa tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata,

“Yang afdhal adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu Abbas), “Apablia aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (tanggal 9, 10, dan 11) maka itu semua bai. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz)

Perintah agar umatnya berpuasa ‘Asyura disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di awal-awal tahun beliau tinggal di Madinah.

Satu setengah tahun setelah beliau tinggal di Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu mengenai diwajibkannya puasa Ramadhan. 

Dalam surat Al Baqarah ayat 183 Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS, Al-Baqarah : 183)

Setelah wahyu tentang diwajibkannya puasa Ramadhan bagi umat muslim, maka puasa ‘Asyura tidak lagi menjadi puasa wajib bagi umat muslim melainkan menjadi puasa sunnah.

Dengan demikian, puasa ‘Asyura menjadi salah satu amalan 10 Muharram yang dapat mendatangkan pahala bagi siapapun yang mengerjakannya.

The post Sejarah Puasa ‘Asyura appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Puasa Senin Kamis https://dalamislam.com/puasa/sejarah-puasa-senin-kamis Tue, 10 Mar 2020 21:36:51 +0000 https://dalamislam.com/?p=8324 Salah satu dari macam-macam puasa sunnah yang kerap dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah puasa Senin Kamis. Puasa Senin Kamis adalah salah satu puasa sunnah yang dilakukan pada hari Senin dan/atau Kamis dan merupakan puasa sunnah yang disepakati oleh para ulama. Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyatakan, “Puasa-puasa sunnah yang disepakati para ulama […]

The post Sejarah Puasa Senin Kamis appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Salah satu dari macam-macam puasa sunnah yang kerap dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah puasa Senin Kamis.

Puasa Senin Kamis adalah salah satu puasa sunnah yang dilakukan pada hari Senin dan/atau Kamis dan merupakan puasa sunnah yang disepakati oleh para ulama.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyatakan,

“Puasa-puasa sunnah yang disepakati para ulama antara lain puasa hari Senin dan Kamis setiap pekan berdasarkan perkataan Usamah bin Zaid, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa puasa pada hari Senin dan Kamis. Suatu ketika beliau ditanya tentang hal itu lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya amal-amal manusia dibeberkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis.” (Syaikh Wahbah Az Zuhalili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu)

Bagaimanakah sejarah puasa Senin Kamis?

Puasa Senin Kamis adalah puasa sunnah yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam sebuah riwayat, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari Senin dan Kamis.” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kerap melaksanakan puasa Senin Kamis secara rutin.

Karena dicontohkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. sudah selayaknya kaum muslimin melaksanakan puasa Senin Kamis secara rutin.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walapun itu sedikit.” (HR. Muslim)

Sejarah puasa Senin Kamis sendiri dapat diketahui dari beberapa alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa Senin Kamis atau keutamaan puasa Senin Kamis.

1. Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Alasan dirutinkannya puasa Senin Kamis salah satunya adalah karena hari Senin merupakan hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya dengan puasa Senin Kamis. Maka beliau menjawab, “Hari Senin adalah hari lahirku, hari aku mulai diutus atau hari mulai diturunkannya wahyu.” (HR. Muslim)

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal Tahun Gajah.

2. Wahyu pertama turun

Berdasarkan hadits di atas, wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menurut Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadhan di malam hari.

Adapun ayat yang pertama kali turun menurut pendapat para ulama adalah surat Al ‘Alaq ayat 1-5.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau menyebutkan,

“Awal turunnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimulai dengan ar ru’ya ash shadiqah (mimpi yang benar dalam tidur). Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira dan ber-tahannuts. Yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hira. Malaikat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa baca”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, “Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa baca”. Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!”. Beliau menjawab, “Aku tidak bisa baca”. Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi, (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)” (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Segala amal perbuatan diperiksa di hadapan Allah

Alasan lainnya adalah karena di hari-hari itulah segala amal perbuatan manusia, baik macam-macam amal shaleh maupun amal buruk diperiksa di hadapan Allah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu bersabda,

“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang di antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan.” (HR. Muslim)

Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i sebagai berikut.

Dari Usamah bin Zaid, ia berkata, aku bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau berpuasa sampai hampir saja tidak berbuka dan engkau berbuka sampai hampir saja tidak berpuasa kecuali pada dua hari. Jika keduanya masuk dalam puasamu dan jika tidak begitu, engkau berpuasa pada keduanya.” Beliau bertanya, “Apakah nama dua hari itu?” Aku menjawab, “Hari Senin dan Kamis.” Beliau bersabda, “Itulah dua hari yang diperlihatkan amal padanya kepada Rabb semesta alam. Maka aku ingin diperlihatkan amalku saat sedang berpuasa.” (HR. An Nasa’i, hasan)

4. Dibukanya pintu surga

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

“Pintu-pintu surga di buka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan, ‘Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap orang ini sampai keduanya berdamai.” (HR. Muslim)

The post Sejarah Puasa Senin Kamis appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Puasa Daud – Puasa yang Disukai Allah SWT https://dalamislam.com/sejarah-islam/sejarah-puasa-daud Mon, 09 Mar 2020 23:57:55 +0000 https://dalamislam.com/?p=8322 Yang dimaksud dengan puasa Daud adalah salah satu amalan Nabi Daud yang mendatangakan pahala yakni berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan bahwa puasa Daud merupakan salah satu dari macam-macam puasa sunnah yang disukai Allah. Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, […]

The post Sejarah Puasa Daud – Puasa yang Disukai Allah SWT appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Yang dimaksud dengan puasa Daud adalah salah satu amalan Nabi Daud yang mendatangakan pahala yakni berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan bahwa puasa Daud merupakan salah satu dari macam-macam puasa sunnah yang disukai Allah.

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Puasa yang lebih disukai Allah ialah puasa Daud, dan shalat yang paling disukai Allah ialah shalat Daud. Beliau tidur seperdua malam, bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya. Beliau berpuasa satu hari, lalu berbuka satu hari.” (HR. Bukhari Muslim)

Dari hadits di atas, puasa Daud yakni berpuasa satu hari dan berbuka satu hari sangat disukai oleh Allah SWT. Puasa seperti ini merupakan salah satu wujud keutamaan puasa Daud.

Bagaimanakah sejarah puasa Daud?

Nabi Daud ‘alaihis salam adalah seorang raja di Yerusalem. Suatu hari, Nabi Daud duduk di mihrabnya. Di tempat itulah beliau biasa shalat dan beribadah.

Ketika Nabi Daud memasuki kamarnya, beliau memerintahkan para pengawalnya untuk tidak mengizinkan siapapun pun masuk ke kamar untuk menemuinya.

Tiba-tiba, beliau dikejutkan dengan hadirnya dua orang laki-laki yang berdiri di hadapannya. Seingat Beliau,  para pengawalnya telah diperintahkan untuk tidak mengizinkan siapapun pun masuk ke kamar.

Nabi Daud pun merasa takut kepada mereka berdua. Kemudian, Beliau  bertanya kepada mereka, “Siapakah kalian berdua?”

Salah seorang laki-laki itu berkata, “Janganlah takut, wahai Tuanku. Aku dan laki-laki ini berselisih pendapat. Kami datang kepadamu agar kamu memutuskan dengan cara yang benar.”

Nabi Daud pun bertanya, “Apa masalahnya?”

Laki-laki yang pertama berkata, “Saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan kambing betina, sedangkan aku hanya mempunyai satu. Ia telah mengambilnya dariku.”

“”Berikanlah kepadaku!” lalu ia mengambilnya dariku,” lanjut laki-laki yang pertama.

Tanpa mendengar argumentasi dari pihak yang lain, Nabi Daud berkata,

“Sesungguhnya dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya, dari kebanyakan orang-orang yang berserakan itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba kedua orang laki-laki itu menghilang. Akhirnya, beliau pun menyadari bahwa kedua orang laki-laki itu sejatinya malaikat yang diutus Allah SWT untuk memberinya pelajaran.

Pelajaran yang dimaksud adalah sebagai pemimpin, hendaklah beliau tidak mengambil keputusan hukum di antara dua orang yang berselisih kecuali setelah mendengar semua perkataan dari kedua belah pihak.

Allah berfirman dalam surat Shaad ayat 26 sebagai berikut.

“Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS. Shaad : 26)

Nabi Daud pun kemudian tunduk, bersujud, dan ruku’ kepada Allah SWT dan meminta ampun kepada-Nya hingga akhir hayatnya.

Kisah ini diceritakan dalam surat Shaad ayat 21-25 sebagai berikut.

“Dan apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab? Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu dia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah takut! (Kami) berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran serta tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku  ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja, lalu dia berkata, “Serahkanlah (kambingmu) itu kepadaku! Dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan. Dia (Daud) berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” Dan Daud menduga bahwa Kami mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat. Lalu Kami mengampuni (kesalahannya) itu. Dan sungguh, dia mempunyai kedudukan yang benar-benar dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (QS. Shaad : 21-25)

Dalam Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan dijelaskan bahwa kesalahan yang telah dilakukan Nabi Daud tersebut tidak perlu disebutkan. Karena itu, kesalahan Nabi Daud tidak perlu dicari-cari.

Dari kisah di atas, Nabi Daud menyadari kekeliruannya dan beliau kembali menyembah Allah SWT dan bertasbih kepada-Nya hingga akhir hayatnya.

Nabi Daud pun berpuasa sehari dan berbuka sehari. Sehubungan dengan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sebaik-baik puasa adalah puasanya Daud. Beliau berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Beliau membaca Zabur dengan tujuh puluh suara; beliau melakukan shalat di tengah malam dan menangis di dalamnya, dan karena tangisannya segala sesuatu pun ikut menangis, dan suaranya dapat menyembuhkan orang yang gelisah dan orang yang menderita.”

Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan menjelaskan bahwa hikmah dari kisah tersebut antara lain kelembutan Allah pada Nabi Daud, tobat yang dilakukan Nabi Daud, dan kembalinya Nabi Daud ke jalan-Nya.

Hikmah lainnya adalah tingginya kedudukan Nabi Daud di sisi Allah dan keadaan Nabi Daud yang menjadi lebih baik setelah bertobat kepada Allah.

The post Sejarah Puasa Daud – Puasa yang Disukai Allah SWT appeared first on DalamIslam.com.

]]>