shalat Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/shalat Sat, 05 Nov 2022 06:32:53 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png shalat Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/shalat 32 32 Ketahui Tata Cara Shalat Tasbih dan Manfaatnya https://dalamislam.com/shalat/tata-cara-shalat-tasbih Wed, 02 Nov 2022 07:54:00 +0000 https://dalamislam.com/?p=11868 Salah satu shalat sunnah yang amalannya berlimpah adalah Shalat Tasbih. Shalat Tasbih ini merupakan shalat sunnah yang dianjurkan oleh para ulama, karena demikian di dalam shalat ini banyak bacaan tasbih. Shalat tasbih dikerjakan sebanyak 4 rakaat, di mana sepanjang shalat diwajibkan untuk mengucapkan tasbih sebanyak 300 kali. Ketahui sejarah tasbih dalam Islam. Shalat tasbih biasa dikerjakan […]

The post Ketahui Tata Cara Shalat Tasbih dan Manfaatnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Salah satu shalat sunnah yang amalannya berlimpah adalah Shalat Tasbih. Shalat Tasbih ini merupakan shalat sunnah yang dianjurkan oleh para ulama, karena demikian di dalam shalat ini banyak bacaan tasbih.

Shalat tasbih dikerjakan sebanyak 4 rakaat, di mana sepanjang shalat diwajibkan untuk mengucapkan tasbih sebanyak 300 kali. Ketahui sejarah tasbih dalam Islam.

Shalat tasbih biasa dikerjakan oleh umat muslim sebagai sarana untuk mendapatkan malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan. Umat muslim berlomba-lomba mendapatkan malam lailatul qadar yakni malam yang sangat mulia dengan melakukan shalat malam berjamaah di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Dan salah satu ibadah yang dilakukan adalah shalat tasbih.

Lalu bagaimana tata cara melakukan shalat tasbih? Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam kitabnya Al-Minhâjul Qawîm menuliskan:

   و صلاة التسبيح وهي أربع ركعات يقول في كل ركعة بعد الفاتحة والسورة: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر، زاد في الإحياء: ولا حول ولا قوة إلا بالله خمس عشرة مرة وفي كل من الركوع والاعتدال وكل من السجدتين والجلوس بينهما والجلوس بعد رفعه من السجدة الثانية في كل عشرة فذلك خمس وسبعون مرة في كل ركعة  

Artinya: “Dan (termasuk shalat sunnah) adalah shalat tasbih, yaitu shalat empat rakaat di mana dalam setiap rakaatnya setelah membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar—di dalam kitab Ihyâ ditambahi wa lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh—sebanyak 15 kali, dan pada tiap-tiap ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, dan duduk setelah sujud yang kedua masing-masing membaca (kalimat tersebut) sebanyak 10 kali. Maka itu semua berjumlah 75 kali dalam setiap satu rakaat.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hal. 203)

Tata Cara Sholat Tasbih

Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah tata cara shalat tasbih:

1. Jumlah Rakaat dan Tasbih

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa shalat tasbih dikerjakan sebanyak 4 rakaat dengan 300 bacaan tasbih. Shalat tasbih bisa dilakukan pada siang dan malam hari, dan beberapa ulama menyarankan kita untuk membedakan rakaat pengerjaannya sesuai dengan waktu pelaksanaan shalat.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menyatakan bahwa shalat tasbih bisa dilakukan dengan dua metode yakni metode pertama berjumlah 4 rakaat sekali di siang hari. Dan shalat tasbih pada malam hari terbagi atas 2 rakaat demi 2 rakaat. Kenali juga keutamaan mengerjakan sholat sunnah.

Tata cara shalat tasbih selanjutnya adalah memperhatikan jumlah tasbih. Di mana jumlah tasbih yang diucapkan adalah 300 dan dibagi menjadi 4 rakaat, sehingga 1 rakaatnya berjumlah 75 tasbih. 

Kemudian jumlah 75 itu pun dipecah untuk setiap gerakan shalat. Dalam satu gerakan shalat diucapkan tasbih sebanyak sepuluh sampai dengan lima belas kali.

2. Niat Shalat Tasbih

Tata cara shalat tasbih selanjutnya yang harus diperhatikan adalah lafalan niatnya. Berikut adalah niat shalat tasbih 4 rakaat dengan satu kali salam. 

Niat shalat tasbih 4 rakaat dengan 1 kali salam:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَسْبِيْحِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِلهِ تَعَالَى

Ushaolli sunnat tasbihi arba‘a rak‘atin lillahi ta‘ala

“Aku berniat shalat sunnah tasbih, empat rakaat karena Allah ta’ala

Niat shalat tasbih 4 rakaat dengan dua kali salam, berikut :

أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَسْبِيْحِ رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَالَى

Usholli sunnat tasbihi rak‘ataini lillahi ta’ala

“Aku berniat shalat sunnah tasbih dua rakaat karena Allah ta’ala

3. Langkah dan Rukun Shalat Tasbih

Setelah mengetahui bacaan niat shalat tasbih, kini kita pahami langkah dan rukun shalat tasbih.

Bacaan shalat tasbih pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan shalat fardu. Hal yang membedakannya adalah bacaan tasbih yang diucapkan setelah selesai melakukan shalat tasbih.

Bacaan tasbih yang berbunyi:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallohu Allohu akbar.

Adapun, urutan dalam mengerjakan shalat tasbih adalah sebagai berikut:

  • 15 kali membaca bacaan tasbih setelah mengucapkan surat pendek
  • Membaca tasbih sebanyak 10 kali setelah bacaan rukuk selesai
  • 10 kali membaca tasbih setelah selesai membaca iktidal
  • Membaca tasbih sebanyak 10 kali setelah bacaan sujud selesai
  • 10 kali membaca tasbih setelah selesai dengan bacaan iftirasy
  • Membaca tasbih sebanyak 10 kali setelah bacaan sujud selesai
  • 10 kali dengan membaca tasbih setelah bacaan atahiyat/sebelum salam

Ketentuan di atas wajib dilakukan dengan setiap rakaat dengan total 4 rakaat untuk menginjak 300 tasbih. Pahami juga tata cara sholat Abu Bakar Ash Shiddiq sesuai anjuran Rasulullah SAW.

Manfaat Shalat Tasbih

Ada banyak manfaat dari mengerjakan shalat tasbih yang bisa kita dapatkan. Pahami juga keutamaan empat rakaat shalat dhuha. Berikut adalah contohnya:

  • Menghapus dosa-dosa kecil dan besar yang pernah dilakukan seseorang
  • Mengikuti jejak ajaran Nabi Muhammad SAW
  • Terhindar dari berbagai penyakit
  • Sebagai senjata dalam menghadapi permasalahan besar
  • Memberikan kita tabungan di akhirat.

Demikianlah informasi tata cara shalat tasbih. Semoga informasi yang diberikan dapat bermanfaat.

The post Ketahui Tata Cara Shalat Tasbih dan Manfaatnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
5 Cara Mengatasi Anak yang Malas Shalat https://dalamislam.com/hukum-islam/anak/mengatasi-anak-yang-malas-shalat Sat, 13 Aug 2022 02:29:00 +0000 https://dalamislam.com/?p=11759 Memiliki anak yang rajin shalat tentu impian bagi semua orang tua beragama muslim. Di mana kelak sang anak memiliki akhlak yang baik dan dapat menjaga ibadahnya. Namun, sayangnya tidak mudah untuk mengajarkan anak shalat dan menjaga shalat lima waktunya. Mengajari anak shalat tentu butuh konsistensi dan ketegasan dari orang tua. Karena sebagai orang tua, hampir […]

The post 5 Cara Mengatasi Anak yang Malas Shalat appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Memiliki anak yang rajin shalat tentu impian bagi semua orang tua beragama muslim. Di mana kelak sang anak memiliki akhlak yang baik dan dapat menjaga ibadahnya. Namun, sayangnya tidak mudah untuk mengajarkan anak shalat dan menjaga shalat lima waktunya.

Mengajari anak shalat tentu butuh konsistensi dan ketegasan dari orang tua. Karena sebagai orang tua, hampir setiap waktu mengingatkan shalat, namun sebagian anak masih enggan melakukannya. Sebelum itu, dalam hadist berikut ini di riwayatkan :

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Perjanjian yang berada antara kami dengan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir”. (HR. Tirmidzi: 2621 dan Nasa’i: 463 dan Ibnu Majah: 1079.

Hendaknya anda ketahui juga bahwa menundanya (shalat) dari waktu yang telah ditentukan termasuk dosa besar, berdasarkan firman Allah ta’ala-: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (QS. Maryam: 59)

Ibnu Mas’ud berkata tentang “Al Ghoyy”: “Merupakan sebuah lembah di neraka jahanam yang sangat dalam, rasanya tidak enak”, dan firman Allah –ta’ala-: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Ma’un: 4-5)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Barang siapa yang telah mendengarkan adzan, namun ia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada keperluan”. (HR. Ibnu Majah: 793, Daaru Quthni, Hakim yang telah menshahihkannya, dan juga telah dishahihkan oleh Albani di dalam Shahih Ibnu Majah)

Nah, dalam artikel kali ini akan dibahas mengenai 5 cara mengatasi anak malas shalat. Yang semoga dapat membantu para orang tua dalam mengajak anak untuk selalu shalat tepat waktu dan Mengajarkan Ibadah dan Tauhid Sesuai Syari’at Islam pada Anak.

1. Menjadi Contoh Bagi Anak Dalam Menjalankan Shalat

Cara mengatasi anak malas shalat yang pertama adalah mulai dari orang tua terlebih dahulu. Dimana orang tua merupakan contoh bagi anak, agar mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Usia anak-anak merupakan usia dimana mereka lekat dalam mengamati dan meniru tingkah laku dari orang tuanya. Ketahui juga tips mendidik anak secara Islami.

Oleh karena itu, sebelumnya orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anak dengan menjaga shalatnya. Memberi contoh anaknya untuk segera shalat. Jangan sampai menyuruh anak shalat, namun orang tua belum menjalankan shalat dan malah asyik main handphone.

Ingat, bahwa apa yang orang tua lakukan juga akan dilakukan oleh anaknya. Jika adzan telah tiba, segera ajak anak berwudhu dan melaksanakan shalat bersama di sebelah mama atau papa.

2. Memberi Pemahaman Mengenai Pentingnya Shalat bagi Anak

Memberi pemahaman mengenai pentingnya shalat memang tidak semudah memberikan pemahaman kepada orang dewasa. Harus dengan cara yang lembut dan sabar. Di mana, mama juga dituntut untuk memberikan pengertian dan pengarahan kepada anak mengenai pentingnya shalat bagi umat muslim yang menjadi ibadah wajib dilakukan bagi umat muslim.

Berbicaralah dengan intens kepada anak, usahakan agar menjelaskannya saat anak sudah mulai malas mendirikan shalat. Saat memberikan pemahaman kepada anak, Mama juga bias sambil menceritakan kisah-kisah yang berkaitan dengan pentingnya shalat.

Terdapat pula sekarang serial animasi tentang islam, yang dapat menjadi edukasi bagi anak untuk mengerjakan shalat.

3. Mulai Mengajak Anak untuk Shalat secara Konsisten

Ketika seorang anak mulai bisa membedakan mana yang kanan dan kiri, itu berarti otak anak sudah cukup berkembang. Dan saat itu mulailah mengajak anak untuk shalat secara konsisten.

Karena pada dasarnya jika dimulai sedari dini untuk mengerjakan shalat secara konsisten, maka kedepannya anak akan terbiasa.

Jika kedepannya anak mulai malas mengerjakan shalat, maka orang tua bias mengajak shalat Bersama-sama, atau bagi anak laki-laki bias dimulai untuk berjamaah ke masjid. Ketahui juga mendidik anak dengan adab dan akhlak mulia.

4. Kontrol Anak dengan Cermat

Orangtua pasti bahagia jika anak disiplin dalam menjalankan shalatnya. Namun, terkadang mereka tidak menjalankan shalat 5 waktunya. Nah, ketika sudah seperti itu maka orang tua perlu control anak dengan cermat dengan mengawasi kegiatan shalatnya. Ketahui juga cara mengajarkan anak membaca Al-Quran

Melakukan pengawasan dengan cermat, bias dengan mengingatkan ketika adzan telah tiba. Apabila sang anak masih belum mengerjakan shalat, tegurlah dengan cara yang baik dan perlahan.

5. Memberi Semangat Kepada Anak

Ketika anak rajin shalat, tentu orang tua akan bahagia. Langkah selanjutnya yang perlu orang tua lakukan adalah memberikan motivasi dan menyemangati sang anak agar selalu rajin menjalankan shalatnya. Sebagai orangtua pahami juga cara mendidik anak ala Rasulullah.

Kemudian, berikanlah mereka sanjungan sebagai bentuk penghargaan bagi anak yang telah berusaha keras menjaga shalatnya. Karena ketika orang tua memuji, akan membuat sang anak makin bersemangat. Hal-hal kecil dalam mengapresiasi sang anak bisa mengajukan jempol, memberikan hadiah, mengajak anak bermain, dan lain-lain.

Setelah mengetahui cara mengatasi anak malas shalat diatas, jangan lupa untuk selalu mendoakan anak agar rajin shalat dan bagi anak yang masih susah untuk shalat, berdoa lah agar anak diberikan hidayah dari Allah SWT dan orang tua tetap harus berusaha untuk mengajak anak melaksanakan shalatnya. Demikianlah informasi berikut, semoga bermanfaat.

The post 5 Cara Mengatasi Anak yang Malas Shalat appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Berbicara Saat Khutbah Jumat https://dalamislam.com/shalat/hukum-berbicara-saat-khutbah-jumat Fri, 13 May 2022 02:46:10 +0000 https://dalamislam.com/?p=10192 Shalat Jumat hukumnya wajib bagi seorang muslim pria. Sebelum memulai shalat jumat, biasanya seorang khatib melaksanakan khutbah dahulu. Ternyata bicara saat khutbah Jumat, ada hukumnya. Apakah? Simak penjelasan di bawah ini. Khutbah berasal dari Arab yaitu dari kata khataba yang berarti ceramah atau pidato yang berisi masalah keagamaan. Sedangkan yang dimaksud dengan khutbah Jumat adalah […]

The post Hukum Berbicara Saat Khutbah Jumat appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Shalat Jumat hukumnya wajib bagi seorang muslim pria. Sebelum memulai shalat jumat, biasanya seorang khatib melaksanakan khutbah dahulu. Ternyata bicara saat khutbah Jumat, ada hukumnya. Apakah? Simak penjelasan di bawah ini.

Khutbah berasal dari Arab yaitu dari kata khataba yang berarti ceramah atau pidato yang berisi masalah keagamaan. Sedangkan yang dimaksud dengan khutbah Jumat adalah khutbah atau ceramah yang diucapkan atau yang dilakukan pada hari Jumat sebelum shalat Jumat dilakukan.

Khutbah Jumat memiliki kedudukan tersendiri dalam rangka ibadah shalat Jumat yaitu suatu ibadah wajib dan khutbah adalah ketentannya. Waktu khutbah biasanya relatif singkat dan dikerjakan dengan penuh khikmat, khusyuk dan penuh ketenangan.

Khutbah sendiri menyampaikan berupa ruku-rukun khutbah, hamdalah, shalawat Nabi, anjuran bertakwa, bacaan Al-Quran pada salah satu di antara dua khutbah sera doa untuk kaum muslim.

Sebagai seorang manusia, selayaknya kita tidak luput dari lupa dan mengabaikan pembicaraan khotib saat khutbah seperti berbicara entah disengaja ataupun tidak disengaja. Lantas apa hukumnya ya?

Ternyata berbicara saat khutbah Jumat dilarang dalam dan hal tersebut tercantum dalam riwayat hadis beberapa orang mukharrij di antaranya yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Anas bin Malik dan Ahmad bin Hanbal.

Saat khutbah berlangsung, para hadirin diperharuskan menyimak khatib. Hukum berbicara saat khutbah ada yang mengatakan makruh, hal ini tercantum dalam surah Al-Araf ayat 204.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya, “Apabila dibacakan Al-Quran (khutbah), maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” QS. Al-Araf : 204

Dala hadits riwayat muslim mengatakan bahwa meruginya pahala dan batalnya keutamaan Jumat dan Jumatnya menjadi Dzuhur.Maksudnya sah, namun tidak mendapatkan keutamaannya.

Larangan bicara saat khutbah bukan berarti bicara adalah haram, hanya saja menjadi makruh dan tidak sah. Ada beberapa hadits yang menunjukan bahwa bicara saat khutbah tidak haram, seperti hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang seorang Baduwi yang datang saat Rasul khutbah, Ia mengadu hartanya hilang, keluarganya lapar dan meminta Rasul untuk mendoakannya.

Rasul tidak mengingkari perbuatan Baduwi tersebut, bahkan Nabi mendoakannya.

Syekh Zakariyya dalam kitabnya Asna al-Mathalib menyebutkan yang artinya, “Makruh bagi hadirin jamaah Jumat berbicara saat khutbah, karea zhahir ayat di ata dan haditsnya Imam Muslim, jika kamu katakan kepada temanmu, diamlah, di hari Jumat saat khatib berkhutbah maka kamu telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna).”

Lalu, bagaimana jika ada keharusan untuk berbicara misalnya seperti hajat untuk mengingatkan rekannya jika khatib tidak membaca rukun khutbah? Apakah dilarang juga?

Hal tersebut berbeda, jika dalam keadaan terdesak diharuskan berbicara sebagaimana kasus di ata maka hukumnya boleh (tidak makrh), bahkan menjadi pahala jika mengingatkan khatib tidak membacakan rukun khutbah. Mengingatkan ada inatang berbahaya dan apapun yang terdesak.

Namun, tetap saja harus dihindari dari keadaan seperti itu, jika bisa cukup berisyarat jika mampu. Karena sebagai manusia kita diharuskan mendengar pekataan orang yang ada dihadapan kita guna sebagai rasa menghargai dan menghormati.

Selain itu, bicara diperbolehkan saat menyambung kata khatib, misalkan meneruskan nama lengkap Rasulullah SAW, membaca shalawat, mendoakan orang yang bersin dan mendoakan radhiallahuanhu saat nama sahabat disebut dan mengamini doanya khatib.

Khutbah tidak lepas dari syarat demi tercapainya suatu ibadah shalat Jumat, di antaranya :

  • Khatib harus suci baik hadas kecil maupun besar.
  • Pakaian Khatib harus suci dari najis.
  • Khatib harus menutup auratnya.
  • Khatib harus berdiri bila mampu.
  • Khutbah harus dilaksanakan pada waktu zuhur, sesudah matahari terbit.
  • Khatib harus duduk sebentar dengan thua’ninah (tenang) di antara dua khutbah.
  • Khatib harus menguatkan suaranya waktu berkhutbah sekira dapat didengar oleh hadirin minimal 40 orang.
  • Khatib harus melaksanakan khutbah dengan berturt-turut antara khutbah pertama dan khutbah kedua, dan antara dua khutbah dengan shalat Jumat.
  • Khatib harus menyampaikan rukun-rukun khutbah dengan bahasa Arab. Adapun yang selain rukun, khotib diperbolehkan menggunakan bahasa daerah.

Rukun-rukun Khutbah

  • Khatib harus membaca hamdalah, memuji kepada Allah SAW di dalam dua khutbah (khutbah pertama dan khutbah kedua).
  • Khatib harus membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, di dalam dua khutbah (khutbah pertama dan khutbah kedua).
  • Khatib harus berwasiat kepada hadirin agar bertakwa kepada Allah SWT di dalam dua khutbah.
  • Khatib harus membaca ayat Al-Quran pada salah satu dari dua khutbah.
  • Khatib harus membaca doa untuk seluruh kaum muslimin pada khutbah kedua.

Faktor-Faktor Yang Dapat Membatalkan Khutbah

Adapun faktor yang dapat membatalkan khutbah, di antaranya :

  • Meninggalkan salah satu dari rukun khutbah.
  • Meninggalkan salah satu dari syarat khutbah.
  • Dalam membaca kalimat-kalimat (rukun-rukun) khutbah dan melakukan dua khutbah tidak sambung menyambung antara satu dengan yang lainnya. Jika di anatara kalimat-kalimat khutbah ada yang terputus, walaupun sebab uzur, maka batal khutbah tersebut.

Demikianlah pembahasan mengenai hukum bicara saat khutbah dilengkapi dengan rukun khutbah dan faktor-faktor yang dapat membatalkan khutbah. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah.

The post Hukum Berbicara Saat Khutbah Jumat appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menutup Mata Ketika Shalat? Simak Penjelasan Berikut https://dalamislam.com/shalat/hukum-menutup-mata-ketika-shalat Fri, 13 May 2022 02:42:51 +0000 https://dalamislam.com/?p=10215 Sebagian orang memilih untuk menutup mata ketika shalat dengan alasan untuk meningkatkan kekhusukan. Pernahkah kalian mengalami peristiwa serupa secara tidak sengaja memejamkan mata saat shaat? Ternyata ada hukumnya memilih menutup mata ketika shalat. Apakah hukumnya? Simak penjelasan di bawah ini. Dalam ibadah shalat 5 waktu, sebagai orang muslim kita dituntut untuk khusyuk dalam beribadah. Yang […]

The post Hukum Menutup Mata Ketika Shalat? Simak Penjelasan Berikut appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sebagian orang memilih untuk menutup mata ketika shalat dengan alasan untuk meningkatkan kekhusukan. Pernahkah kalian mengalami peristiwa serupa secara tidak sengaja memejamkan mata saat shaat?

Ternyata ada hukumnya memilih menutup mata ketika shalat. Apakah hukumnya? Simak penjelasan di bawah ini.

Dalam ibadah shalat 5 waktu, sebagai orang muslim kita dituntut untuk khusyuk dalam beribadah. Yang fardhu maupun yang sunnah lainnya. Kekhusyukan ini ditandai dengan keianan seseorang, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Quran Al-Imran.

قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ. ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ

Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mukmin :1-2)

Beberapa orang memilih untuk menutup mata agar mendapat kekhusyukan dalam shalat. Ketika dilanda masalah atau pun ujian, beberapa orang memilih shalat dengan memejamkan mata. Banyak sekali di antara kita yang memilih menutup mata saat shalat. Mungkin salah satu dari pembaca ada yang pernah mengalaminya.

Menurut beberapa ustadz bahwa khusyuk adalah kaitan hati dengan sang pencipta, tidak ada kaitanya dengan menutup mata atau tidak. Dalam hadis dari sahabat Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian melakukan shalat maka janganlah memejaman kedua mata kalian.”

Hadis ini diriwayatkan oleh at-Thabrani (w. 360 H) dalam Mujam as-Shagir no. 24 dari jalur Mus’ab bin Said, dari Musa bin Ayun dari Laits bin Abi Salim.

Ada beberapa ulama yang menegaskan bahwa hukum memejamkan mata saat shalat hukunya makruh. Alasannya adalah bahwa memejamkan mata ketika shalat, bukan termasuk sunah Nabi Muhammad SAW. Ibnu Qoyim (w. 751 H) mengatakan, “Bukan termasuk sunah Rasulullah SAW memejamkan mata ketika shalat.” (ZAdul Ma’ad, 1/283).

Memejamkan mata ketika shalat pun termasuk kebiasaan shalat orang Yahudi. Dalam ar-Raudhul Murbi’ kitab fikih madhzab hambali menjelaskan bahwa shalat sambil memejamkan mata hukumnya adalah makruh dan perbuatan orang Yahudi.

Keterangan dalam Manar As-Sabil (1/66) bahwa memejamkan mata bisa menyebabkan orang tertidur dan hal tersebut hukumnya makruh.

Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, apabila kalian mengerjakan shalat, maka janganlah memejamkan kedua mata kalian. (HR. At-Thabrani).

Sebagia ulama pun menjelaskan bahwa, boleh dan sah saja memejamkan mata ketika shalat asal ada kebutuhan. Misalnya dengan memejamkan mata jadi fokus beribadah karena pemandangan di depannya sangat berisik. Jika bisa khusyuk saat membuka mata hal tersebut dirasa lebih bagus.

Jika shalat dihadapannya ada sebuah ornamen atau lukisan dan patung yang bisa menganggu konsentrasinya, menutup mata dalam shalat tidak dinyatakan makruh. Karena pada dasarnya adalah mengenai tujuan dari menutup mata kita saat beribadah.

Selama dilakukan untuk menghindari hal yang bertolak belakang dengan ajaran agama Islam maka dianggap sah-sah saja, namun jika diniatkan guna hal negatif atau yang mengurangi kekyusukan shalat maka dianggap makruh.

Boleh saja menutup mata saat shalat, asal pada situasi ketika ada yang tidak menutup aurat dalam saf shalat. Hal ini jarang terjadi, namun tidak menutup kemungkinan terjadi.

Pada situasi ini, jika pakaian yang menutup aurat tidak ditemukan atau sarana lain yang digunakan untuk menutup aurat juga tidak ada, diperbolehkan saat shalat menutup mata. Syekh Abu Bakar mengatakan bahwa wajib memejamkan mata kalau ada yang tida berbusana dalam saf shalat.

Jadi kesimpulan dari hukum memejamkan mata dibagi menjadi :

Wajib ketika ada yang mengganggu atau keluar dari ajaran syariat agama Islam, maka diwajibkan menutup mata saat shalat. Jika hal tersebut dirasa bisa meningkatkan konsenttrasi shalat dan menghindari gangguan pikiran maka diwajibkan untuk memejamkan mata saat shalat. Supaya lebih bisa khusyuk dala menjalankan ibadah shalat.

Contohnya seperti dalam keadaan terpaksa kita diharuskan shalat disebuah gereja karena sedang berada di luar negeri dan tidak ada satu pun masjid di sana. Maka dengan niat dan keyakinan penuh bahwa Tuhan kita hanya satu yakni Allah SWT, diwajibkan untuk menutup mata saat shalat.

Sunah ketika saat sedang shalat dihadapkan oleh kondisi yang merusak konsentrasi sehingga diharuskan menutup mata, berisik, dan banyak gangguan disekitar saat shalat.

Contohnya seperti saat terpaksa kita shalat dihadapan anak yang berisik dan membuat kita tertawa, untuk menghilangkan rasa mengganggu sesekali memejamkan mata disunnahkan dengan itikad kita memang ingin melaksanakan shalat dengan khusyuk.

Makruh ketika diniatkan yang bisa merusak konsentrasi ibadah kita dengan Allah SWT. Contohnya seperti memejamkan mata karena mengantuk, hal itu dirasa hanya bisa menjadi penyebab pemicu tidur. Yang mana merusak konsentrasi saat shalat malah lebih buruk bisa membatalkan shalat.

Sebaik apapun itu niatnya, disarankan untuk mengikuti ajaran dan syariat Rasulullah SAW agar menghindari kesia-siaan dalam melakukan sesuatu. Semua kegiatan yang kita lakukan pada dasarnya kembali lagi pada niat dan itikad baik. Jika diniatkan dengan baik maka Allah SWT pun akan tahu, pun sebaliknya.

Percuma shalat jika tidak mendapat keberkahan. Semoga kita semua selalu dalam cinta dan kasing sayang Allah SWT dalam dunia dan akhirat.

The post Hukum Menutup Mata Ketika Shalat? Simak Penjelasan Berikut appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Membatalkan Shalat Karena Ragu https://dalamislam.com/shalat/hukum-membatalkan-shalat-karena-ragu Thu, 12 May 2022 08:23:05 +0000 https://dalamislam.com/?p=10272 Ulama berpendapat mengenai kasus orang yang punya keinginan membatalkan shalat atau muncul keraguan untuk melanjutkan shalat, dalam apapun latar belakang penyebabnya. Pendapat pertama, shalatnya batal. ini adalah pendapat al-Qadhi Abu ya’la – ulama hambali – dan Imam as-Syafii. Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w.676 H) menyatakan : وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ قَطْعِ الصَّلَاةِ وَإِبْطَالِهَا لِعُذْرٍ “Hadis di […]

The post Hukum Membatalkan Shalat Karena Ragu appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ulama berpendapat mengenai kasus orang yang punya keinginan membatalkan shalat atau muncul keraguan untuk melanjutkan shalat, dalam apapun latar belakang penyebabnya. Pendapat pertama, shalatnya batal. ini adalah pendapat al-Qadhi Abu ya’la – ulama hambali – dan Imam as-Syafii.

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w.676 H) menyatakan :

وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ قَطْعِ الصَّلَاةِ وَإِبْطَالِهَا لِعُذْرٍ

“Hadis di atas menunjukkan akan bolehnya memutus dan membatalkan salat (wajib) karena adanya udzur (alasan syar’i).” [Syarah Shahih Muslim : 4/182].

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :

إذَا دَخَلَ فِي صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا حَرُمَ عَلَيْهِ قَطْعُهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ وَاسِعًا هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوصُ وَبِهِ قَطَعَ الْأَصْحَابُ

“Apabila sseorang telah masuk dalam salat fardhu di awal waktu, haram baginya untuk membatalkannya tanpa ada alasan walaupun waktunya luas. Ini merupakan pendapat madzhab (Syafi’i) dan telah dinyatakan secara jelas serta telah dipastikan oleh ashab (para ulama syafi’iyyah).” [Al-Majmu’ : 2/315].

Pendapat pertama:

Dalam al-Mughni dinyatakan:

وَقَالَ الْقَاضِي: يَحْتَمِلُ أَنْ تَبْطُلَ, وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ اسْتِدَامَةَ النِّيَّةِ شَرْطٌ مَعَ التَّرَدُّدِ لَا يَكُونُ مُسْتَدِيمًا لَهَا، فَأَشْبَهَ مَا لَوْ نَوَى قَطْعَهَا

Al-Qadhi mengatakan, ‘Bisa jadi batal’, dan ini pendapat Imam as-Syafi’i. Karena mempertahankan niat merupakan syarat sah. Sementara keraguan, berarti niatnya tidak bertahan. Sehingga mirip seperti orang yang shalat lalu berniat untuk membatalkannya. (al-Mughni, 1/545).

Pendapat kedua:

Shalatnya batal jika ada keinginan kuat untuk membatalkannya. Buka sebatas ragu.

Karena sebatas ragu tidak dapat membatalkan niat yang pasti. Berbeda dengan keinginan yang kuat.

Pendapat ketiga:

Shalat tidak batal ini merupakan pendapat Ibnu hamid al-warraq-ulama hambali-.

Ibnu Qudamah mengatakan:

فَأَمَّا إنْ تَرَدَّدَ فِي قَطْعِهَا، فَقَالَ ابْنُ حَامِدٍ: لَا تَبْطُلُ، لِأَنَّهُ دَخَلَ فِيهَا بِنِيَّةٍ مُتَيَقَّنَةٍ فَلَا تَزُولُ بِالشَّكِّ وَالتَّرَدُّدِ، كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ

Untuk kasus ragu ingin membatalkan shalat, menurut Ibnu Hamid, “Shalat tidak batal. karena keraguan ini masuk setelah niat yang yakin, sehingga keyakinan ini tidak hilang dengan keraguan, sebagaimana ibadah lainnya.” (al-Mughni, 1/545)

Dan insyaaAllah pendapat ketiga ini lebih kuat, didukung dengan banyak dalil diantaranya:

1. Keterangan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang bercerita pengalaman beliau,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا

، حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرٍ سُوءٍ، قُلْنَا: وَمَا هَمَمْتَ بِهِ؟ قَالَ: هَمَمْتُ أَنْ أَجْلِسَ وَأَدَعَهُ

Aku pernah shalat tahajud bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam. Beliau berdirinya sangat lama, sampai saya punya keinginan buruk. Kami bertanya: “Apa yang kamu inginkan?”. Jawab Ibnu Mas’ud, “Saya berkeinginan untuk duduk, dan meninggalkan beliau.” (HR. Ahmad 3646 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).Ketika itu, Ibnu Mas’ud punya keinginan untuk membatalkan shalat, tapi tidak jadi. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukumi shalat beiau batal.

2. Keterangan dari Anas bin Malik yang menceritakan peristiwa menjelang wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Nabi shallallahu Alaihi wa sallam sakit beliau tidak bisa keluar. Hingga ketika subuh hari senin beliau membuka gorden ke para sahabat ketika mereka sedang shalat.

Anas bercerita:

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ يُصَلِّى لَهُمْ فِى وَجَعِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الَّذِى تُوُفِّىَ فِيهِ ، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الاِثْنَيْنِ وَهُمْ صُفُوفٌ فِى الصَّلاَةِ ، فَكَشَفَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – سِتْرَ الْحُجْرَةِ يَنْظُرُ إِلَيْنَا ، وَهْوَ قَائِمٌ كَأَنَّ وَجْهَهُ وَرَقَةُ مُصْحَفٍ ، ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ ، فَهَمَمْنَا أَنْ نَفْتَتِنَ مِنَ الْفَرَحِ بِرُؤْيَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم –

Bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah mengimami ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit menjelang wafat beliau. Hingga pada hari Senin, para sahabat bersiap di shaf shalat, tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka korden, dan melihat kami. Beliau berdiri seolah wajah beliau lembaran mushaf. Beliau tersenyum lebar. Kami berkeinginan untuk membatalkan shalat kami karena bahagia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam… (HR. Bukhari 680).

Yang menjadi dalil dari hadis diatas adalah pernyataan anas. Bahwa para sahabat hendak membatalkan shalat ketika melihat wajah nabi shallallahu alaihi wasallam.

Namun mereka tetap melanjutkan shalatnya. Hadis diatas menunjukkan bahwa sebatas keinginan untuk membatalkan shalat tidak membatalkan shalatnya.

Pembatalan atau penghentian ibadah shalat saat ada bencana datang itu terjadi pada jaman sahabat. Hal itu diabadikan dalam sebuah riwayat, yakni:

فبينا أنا على جرف نهر إذا رجل يصلي وإذا لجام دابته بيده فجعلت الدابة تنازعه وجعل يتبعها

Artinya: “Ketika kami di tepi sungai, ada seseorang (sahabat Abu Barzah r.a) melakukan shalat. Tali kekang hewan yang dikendarainya berada dalam genggaman. Tetapi tiba-tiba hewan itu menyentaknya sehingga ia pun terpaksa mengikutinya”, (HR. Bukhari).

Misalnya Imam An-Nawawi yang mengatakan bahwa dalam situasi udzur, seseorang boleh membatalkan salat yang sedang dikerjakannya. Menurutnya, bahwa hal tersebut sesuai dengan pandangan Imam As-Syafi’i, sebagaimana ungkapannya dalam kitab Al-Majmuk, yakni:

إذا دخل في الصلاة المكتوبة في أول وقتها أو غيره حرم قطعها بغير عذر وهذا هو نص الشافعي في الام وقطع به جماهير الاصحاب

Artinya: “Jika sudah masuk ke dalam shalat wajib baik di awal waktu maupun tidak di awal waktu, maka seseorang diharamkan untuk menghentikan shalatnya tanpa udzur. Ini teks dari Imam As-Syafi’i. Pendapat ini juga dipegang oleh kebanyakan ulama”.

The post Hukum Membatalkan Shalat Karena Ragu appeared first on DalamIslam.com.

]]>
2 Balasan Bagi Orang yang Tidak Sholat yang Perlu dipahami https://dalamislam.com/shalat/balasan-bagi-orang-yang-tidak-sholat Wed, 11 May 2022 09:09:03 +0000 https://dalamislam.com/?p=10772 Shalat ialah identitas seorang muslim. Shalat sendiri merupakan salah satu rukun islam, yang juga sebuah konsep dalam berkomunikasi dengan Allah. Dalam shalat ada berbagai macam doa dan pujian kepada Allah yang dipadukan dengan gerak dan kekhusyukan. Hal itu menjadikannya sebuah kewajiban bagi tiap muslim untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari. Karena shalat pada awalnya terdiri […]

The post 2 Balasan Bagi Orang yang Tidak Sholat yang Perlu dipahami appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Shalat ialah identitas seorang muslim. Shalat sendiri merupakan salah satu rukun islam, yang juga sebuah konsep dalam berkomunikasi dengan Allah.

Dalam shalat ada berbagai macam doa dan pujian kepada Allah yang dipadukan dengan gerak dan kekhusyukan. Hal itu menjadikannya sebuah kewajiban bagi tiap muslim untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari.

Karena shalat pada awalnya terdiri dari banyak rakaat, namun setelah peristiwa Isra’ Mi’raj yang dilakukan oleh baginda Rasulullah, jumlah rakaat pun berubah.

Meninggalkan shalat sangatlah berbahaya. Sehingga Rasul menyampaikan bahayanya dalam berbagai hadist.

  • Hadits Pertama

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)

  • Hadits Kedua

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

  • Hadits Ketiga

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

  • Hadits Keempat

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ صَلاَةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّداً فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ

Barangsiapa meninggalkan shalat yang wajib dengan sengaja, maka janji Allah terlepas darinya. ” (HR. Ahmad no.22128. Dikatakan hasan lighoirihi oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 569)

  • Hadits Kelima

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

  • Hadits Keenam

Dalam dua kitab shohih, berbagai kitab sunan dan musnad, dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

”Islam dibangun atas lima perkara, yaitu : (1) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) naik haji ke Baitullah (bagi yang mampu, pen), (5) berpuasa di bulan Ramadhan.”  (Lafadz ini adalah lafadz Muslim no. 122)

Cara pendalilan dari hadits ini adalah :

  • Dikatakan dalam hadits ini bahwa islam adalah seperti kemah yang dibangun atas lima tiang. Apabila tiang kemah yang terbesar tersebut masih ada, maka tegaklah kemah Islam.
  • Dalam hadits ini juga disebutkan bahwa rukun-rukun Islam dijadikan sebagai tiang-tiang suatu kemah. Dua kalimat syahadat adalah tiang, shalat juga tiang, zakat juga tiang. Lalu bagaimana mungkin kemah Islam tetap berdiri jika salah satu dari tiang kemah sudah tidak ada, walaupun rukun yang lain masih ada?!

Jadi balasan bagi orang yang meninggalkan shalat adalah sebagai berikut.

1. Balasan di Dunia

Bagi yang dengan sengaja meninggalkan shalat atau tidak shalat akan hilang aura positif di wajahnya. Dan saat orang lain melihatnya akan terlihat tidak menyenangkan dan menjauh darinya.

Saat sakaratul maut akan merasakan kesulitan dan dipercaya nazaknya.

2. Balasan saat di Alam Kubur dan Akhirat

Saat di alam kubur akan merasa kesulitan saat menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Diselimuti kegelapan dan disempitkan kuburnya.

“Tuhanku menyuruhku agar memukulmu karena kau telah menyia-nyiakan sholat subuh dari subuh sampai dzuhur, dari dzuhur sampai asar, dari asar sampai magrib, dari magrib sampai isya, dan dari isya sampai subuh Kemudian ular itu si mayit, namun satu kali pukulannya, ia akan masuk kedalam tanah sedalam ukuran 70 hasta, lalu ular Syuja’al-Aqro’ memasukkan kukunya kebawah tanah untuk mengeluarkannya kembali, dan seterusnya tanpa henti sampai hari kiamat tiba, maka dari itu kita mohon perlindungan kepada Allah dari siksa kubur.” (Al Qurtubi (Qurratul ‘uyun).

Tidak hanya itu saja, saat penghisaban akan dipersulit dan disiksa api neraka.

Dalam Kitab Duratun Nasihin disebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat akan mendapatkan balasan langsung baik di dunia maupun di akhirat kelak. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang meninggalkan shalat berjama’ah yang mana ia dalam keadaan mampu untuk melaksanakannya.

The post 2 Balasan Bagi Orang yang Tidak Sholat yang Perlu dipahami appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Sholat Sebelum Waktunya, Sah atau Tidak? https://dalamislam.com/shalat/hukum-sholat-sebelum-waktunya Mon, 09 May 2022 08:36:36 +0000 https://dalamislam.com/?p=11164 Menurut bahasa Arab, “Shalat” (اَلصَّلَاةُ) berarti doa. Allah Ta’ala berfirman: وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ “Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka.” [QS. At-Taubah 9: Ayat 103] Yaitu berdoalah untuk mereka. Sedangkan menurut istilah, menurut para ahli fiqih, shalat adalah rangkaian ucapan dan perbuatan yang di awali […]

The post Hukum Sholat Sebelum Waktunya, Sah atau Tidak? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menurut bahasa Arab, “Shalat” (اَلصَّلَاةُ) berarti doa. Allah Ta’ala berfirman:

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ

“Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka.” [QS. At-Taubah 9: Ayat 103]

Yaitu berdoalah untuk mereka.

Sedangkan menurut istilah, menurut para ahli fiqih, shalat adalah rangkaian ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu. Pengertian ini mencakup seluruh gerakan shalat yang di awali dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan ucapan salam. Sujud tilawah tidak termasuk dalam pengertian ini karena ia adalah sujud satu kali ketika mendengar ayat tertentu dari Al-Quran yang mencakup rukun-rukun sujud tersebut tanpa adanya takbir atau salam. [Al-Fiqh ‘alal Madzaahih Al-Arba’ah (I/160)]

Adapun definisi yang lebih tepat, bahwa shalat ialah beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah yang di dalamnya terdapat ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan yang telah diketahui, di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam. Sebab jika kita katakan bahwa shalat itu hanya ucapan dan gerakan saja, maka ungkapan itu menjadi kosong (tidak bermakna), namun jika kita katakan: beribadah kepada Allah, maka kita tahu bahwa shalat tersebut menjadi ibadah. Maka ungkapan ini menjadi lebih baik. [Lihat Syarh Al-Ushuul min Ilmi Ushuul (hlm. 121) karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah]

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat itu bersuci, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam.” [HR. Ahmad dan Abu Dawud. Dishahihkan Syaikh Al-Albani]

Sebagaimana yang telah umum diketahui bahwa shalat merupakan ibadah wajib bagi semua umat islam. Yang tidak boleh ditinggalkan. Saking pentingnya shalat wajib banyak sekali atau sering kita temukan kalimat tentang shalat yang dituliskan dalam Al-Qur’an, hal tersebut sesuai dengan firman Allah yang berbunyi,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat adalah kewajiban bagi kaum mukminin yang telah ditetapkan waktunya. (QS. An-Nisa: 103).

Shalat juga merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan Rabbnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَاصَلَّى يُنَاجِيْ رَبَّهُ

“Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian menunaikan shalat, maka dia sedang bermunajat (berbisik) kepada Rabbnya.” [HR. Al-Bukhari]

Dalam Tafsir as-Sa’di dinyatakan,

أي: مفروضا في وقته، فدل ذلك على فرضيتها، وأن لها وقتا لا تصح إلا به

Maksud ayat, shalat itu diwajibkan untuk dikerjakan pada waktunya. Ini menunjukkan wajibnya shalat, dan bahwa shalat memiliki batas waktu, dimana shalat tidak sah, kecuali dikerjakan pada waktu itu. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 198).

Lalu bagaimana hukumnya ketika seseorang melakukan shalat sebelum waktunya secara sengaja ataupun tidak? Berikut penjelasan serta dalilnya.

Orang yang secara sengaja mengerjakan shalat sebelum waktunya, maka dia berdosa, karena termasuk maksiat kepada Allah, dalam bentuk mempermainkan syariat.

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

والصلاة لا تصح قبل الوقت بإجماع المسلمين، فإن صلى قبل الوقت فإن كان معتمداً فصلاته باطلة، ولا يسلم من الإثم

Kaum muslimin sepakat, shalat tidak sah jika dikerjakan sebelum waktunya. Orang yang shalat sebelum waktunya secara sengaja maka shalatnya batal, dan dia tidak selamat dari dosa.

Jika secara sengaja melakukan ibadah shalat padahal sudah mengetahui bahwa belum masuk waktu untuk shalat, hukumnya adalah shalatnya tidak sah. Dan akan berdosa bagi tiap pelaku nya.

Jika Tidak Sengaja, Bernilai Shalat Sunnah Mutlak

Dalam kasus ini ada penjelasannya tersendiri. Adapun jika dilakukan tanpa sengaja, tidak ada dosa, dan shalatnya dinilai sebagai shalat sunah, sehingga kewajibannya belum gugur. Karena itu, dia harus mengulangi shalatnya.

Hal ini didasarkan kepada perkataan dari Imam Ibnu Utsaimin yang menerangkan bahwa,

وإن كان غير متعمد لظنه أن الوقت قد دخل، فليس بآثم، وتعتبر صلاته نفلاً، ولكن عليه الإعادة، لأن من شروط الصلاة الوقت

Jika ada orang melakukan shalat sebelum waktunya tanpa sengaja, karena mengira sudah masuk waktu, maka dia tidak berdosa dan shalatnya terhitung sebagai amal sunah. Namun dia wajib mengulangi. Karena diantara syarat sah shalat adalah dilakukan setelah masuk waktu. (as-Syarh al-Mumthi’, 2/96).

Ragu Masuk Waktu, tapi Nekat Shalat

Dan bagaimana hukumnya ketika tetap nekat melaksanakan shalat ketika ragu sudah masuk waktunya shalat atau tidak? Orang yang ragu tentang waktu shalat, apakah sudah masuk ataukah belum, kemudian dia nekat melakukan shalat maka shalatnya batal.

Hal tersebut ditulis dalam Syarah Kholil al-Kharsyi – Fiqh Madzhab Maliki – yang menyatakan bahwa,

وإن شك في دخول الوقت لم يجز ولو وقعت فيه لما كان دخول الوقت شرطا في صحة الصلاة

Jika seseorang ragu tentang masuknya waktu shalat, maka tidak sah, meskipun selesai shalat, dia baru yakin telah masuk waktu. Karena masuknya waktu shalat, merupakan syarat sah shalat (Syarah Mukhtashar Kholil, al-Kharsyi, 3/53).

Berdasarkan keterangan di atas, jika anda yakin bahwa shalat yang anda kerjakan belum masuk waktu, atau anda ragu seusai shalat maka anda harus mengulang shalat maghrib yang anda kerjakan.

Sebaliknya, bila anda yakin telah masuk waktu shalat, dan adzan yang anda dengar ini telat maka shalat anda sah, dan tidak perlu diulangi.

Wallahu a’lam bissawwab.

Begitulah penjelasan tentang hukum shalat sebelum waktunya, semoga bermanfaat.

The post Hukum Sholat Sebelum Waktunya, Sah atau Tidak? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Bergerak 3 Kali Dalam Shalat, Begini Penjelasannya https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-bergerak-3-kali-dalam-shalat Fri, 04 Mar 2022 09:00:32 +0000 https://dalamislam.com/?p=10213 Sebagai manusia, tentu kita selalu melakukan gerakan. Bahkan saat tidur malam hari tanpa sadar kita tetap bergerak karena pasalnya kita adalah makhluk hidup. Namun, apa hukumnya dalam shalat jika kita melakukan pergerakan tiga kali? Simak penjelasannya di bawah. Hukum Gerakan Tubuh Lebih Dari 3 Kali Dalam Shalat Dalam shalat ada gerakan yang membatalkan dan tidak […]

The post Hukum Bergerak 3 Kali Dalam Shalat, Begini Penjelasannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sebagai manusia, tentu kita selalu melakukan gerakan. Bahkan saat tidur malam hari tanpa sadar kita tetap bergerak karena pasalnya kita adalah makhluk hidup. Namun, apa hukumnya dalam shalat jika kita melakukan pergerakan tiga kali? Simak penjelasannya di bawah.

Hukum Gerakan Tubuh Lebih Dari 3 Kali Dalam Shalat

Dalam shalat ada gerakan yang membatalkan dan tidak membatalkan shalat. Ada 14 gerakan yang dapat membatalkan shalat dan diantaranya adalah gerakan tiga kali berturut-turut yang dilakukan anggota tubuh seperti kepala, tangan, kaki dan sebagainya sebanyak tiga kali berturut-turut.

Ulama mengatakan bahwa bergerak 3 kali diluar gerakan shalat maka akan menyebabkan shalatnya batal. Hal lainnya juga menjelaskan jika 3 gerakan itu dilakukan secara terpisah atau dengan jeda cukup lama, maka tidak dianggap membatalkan shalat.

Hal ini terdapat dalam kitab Fath al-Muin yang berbunyi :

“Menggerakan tangan dan mengembalikannya secara beriringan dihitung satu hitungan, begitu juga mengangkat tangan dari dada dan meletakkan tangan di tempat menggaruk dihitung satu hitungan jika dilaksanakan secara langsung (ittishal), jika tidak langsung maka setiap jeda dihitung satu kali hitungan. Ketentuan ini berdasarkan penjelasan yang dijelaskan oleh guruku (Imam Ibnu Hajr).” (Syekh Zainudin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, halaman 251).

Berbeda dengan pergerakan kecil seperti gerakan bibir, lidah dan mata. Hal tersebut diperbolehkan namun dengan dalih, telapak tangan tidak ikut gerak, maka shalatnya sah-sah saja.

Hal Makruh Gerakan Dalam Shalat

Selain ada yang tidak diperbolehkan, ada pula hal makruh dalam shalat mengenai gerakan. Kenapa bisa makruh? Gerakan bisa membuat makruh dalam shalat jika dilakukan dengan sengaja dan dilakukan berulang kali sampai shalat selesai.

Hal tersebut disampaikan dalam kitab Fath al-Muin.

“Shalat tidak batal dengan gerakan yang ringan, meskipun dalam jumlah yang banyak dan dilakukan beriringan, hanya dihukumi makruh. Seperti menggerakan satu jari atau beberapa jari untuk menggaruk (kulit) atau bertasbih besertaan tetapnya (tidak bergeraknya) telapak tangan. Atau bergeraknya pelupuk mata, bibir, zakar dan lisan karena bagian tubuh tersebut mengikuti terhadap tempat menetapnya seperti jari-jari (mengikuti tangan).” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Muin, juz 1, Halaman 250).

Kisah Rasulullah SAW

Jadi hukum bergerak sebanyak 3 kali dalam shalat adalah batal dan dianggap tidak sah shalatnya. Gerakan yang dimaksud adalah gerakan mencolok seperti menggerakan kepala, tangan dan kaki diluar gerakan shalat.

Namun dalam kasus lain, Riwayat dari Abu Qotadah RA menceritakan bahwa Rasulullah SAW shalat sambil menggendong Umamah putri Zainab binti Rasulullah SAW. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Ummah dan apabila beliau bangkit, beliau menggendongnya. (HR. Bukhari 516, Muslim 543 dan yang lainnya.).

Lalu Rasul juga bergerak maju, hal ini disampaikan dalam hadis.

“Saya menyediakan air untuk Rasulullah SAW kemudian beliau berwudhu dan memakai sarung, kemudian aku berdiri (jadi makmum) di sebelah kiri beliau, kemudian beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Lalu datang orang lain dan dia berdiri di disebelah kiri beliau ternyata beliau malah maju dan melanjutkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1536).

Rasulullah SAW membuka pintu.

Hal ini dikutip dari Aisyah RA yang menceritakan bahwa, “Saya minta dibukakan pintu, sementara Rasulullah SAW sedang shalat sunah dan pintu ada di arah kiblat. Kemudian beliau berjalan serong kanan atau serong kiri, lalu membuka pintu dan kembali ke tempat shalatnya.” (HR. Nasai 1206, Abu Daud 922 dan dihasankan al-Albani).

Dari kisah diatas kita mengetahui bahwa Rasulullah SAW melakukan gerakan lebih dari 3 kali dan Rasul tidak sama sekali membatalkan shalatnya. Dan ini menunjukan bahwa gerakan lebih dari 3 kali diluar gerakan shalat tidak membatalkan shalat.

Kenapa bergerak 3 kali diluar gerakan shalat dikatakan batal dalam shalat?

Imam Ibnu Al-Utsaimin menjelaskan bahwa gerakan selain bagian dari shalat yang dilakukan ketika shalat tidak secara sah bisa membatalkan shalat. Gerakan tersebut bisa membatalkan shalat jika memenuhi syarat di bawah ini :

  1. Sering.
  2. Bukan bagian dari gerakan shalat.
  3. Tidak ada kebutuhan mendesak.
  4. Berturut-turut, artinya tidak terpisah.

Jika gerakan tersebut dilakukan secara terpisah-pisah maka tidak membatalkan shalat. Seperti contohnya bergerak tiga kali pada rakaat yang pertama, kemudian bergerak lagi tiga kali dirakaat kedua, kemudian bergerak lagi tiga kali dirakaat ketiga dan juga bergerak tiga kali dirakaat ke empat, maka seandainya rakaat-rakaat ini digabung tentunya banyak sekali gerakan yang dilakukan dan hal tersebut dapat membatalkan shalat.

Tetapi jika gerakan tersebut dipisah maka jadi sedikit pada rakaat masing-masing dan tidak membatalkan shalat. Selain itu, jika tidak terdesak untuk melakukan sesuatu sebaiknya kita tidak melakukan gerakan apapun selain gerakan shalat untuk kekhusukan shalat agar mendapatkan berkah dihadapan Allah SWT.

Karena shalat adalah ibadah sakral antara manusia dengan Allah SWT maka sebaiknya kita meminimalkan segala bentuk kesalahan ketika shalat. Semoga kita semua selalu menunaikan ibadah shalat dangan teratur dan sesuai dengan syariat dan ketentuan dalam Islam sebagai muslim yang taat pada perintah-Nya.

The post Hukum Bergerak 3 Kali Dalam Shalat, Begini Penjelasannya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Shalat Pakai Masker, Bolehkah? https://dalamislam.com/shalat/hukum-shalat-pakai-masker Mon, 27 Sep 2021 12:53:29 +0000 https://dalamislam.com/?p=10063 Viral di grup-grup percakapan whatsapp. Video seorang ustadz mengutip sebuah hadist tentang larangan menutup mulut saat shalat. Ia menyampaikan itu di dalam sebuah mobil saat tengah melakukan perjalanan. نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطَّي الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ [Naha Rasulullah SAW ay yughattha ar-rajulu faahu fish sholat]. “Sungguh Rasulullah SAW melarang seorang […]

The post Hukum Shalat Pakai Masker, Bolehkah? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Viral di grup-grup percakapan whatsapp. Video seorang ustadz mengutip sebuah hadist tentang larangan menutup mulut saat shalat.

Ia menyampaikan itu di dalam sebuah mobil saat tengah melakukan perjalanan.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطَّي الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

[Naha Rasulullah SAW ay yughattha ar-rajulu faahu fish sholat].

“Sungguh Rasulullah SAW melarang seorang laki-laki menutup mulutnya ketika sholat.” (HR Turmudzi)

Jadi kita menang harus mengikuti anjuran pemerintah. Tetapi pada saat shalat sebaiknya itu masker di turunkan ke bawah mulut. Sehingga mulut tidak tertutup. Setelah assalamu’alaikum pakai kembali silahkan. Berarti dua duanya jalan karena Rasulullah sangat melarang seorang laki-laki yang menutup mulutnya ketika shalat. Demikian yang dia sampaikan setelah si perekam video memintanya untuk membacakan Hadist masker.

Lalu sebenarnya apa hukumnya memakai masker ketika shalat?

Sebelum masuk ke dalam intinya pembahasan tentang hukumnya memakai masker di dalam shalat terlebih dahulu kita kupas literasi hadits tersebut.

1. Redaksi yang dia baca itu bukanlah redaksi hadits

Melainkan tema atau kesimpulan hadits. Saya tidak menjumpai resaksi seperti itu dalam kitab-kitab hadits.

Ini seperti halnya kita mengatakan:

“Rasulullah melarang minum sambil berdiri.” Kalimat ini bukanlah redaksi hadis, adapun haditsnya berbunyi: “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa, hendaknya ia memuntahkannya.” (HR. Muslim)

Atau seperti pernyataan:

Pemerintah melarang masyarakat mengonsumsi narkotika. Ini bukanlah bunyi peraturan.

Adapun redaksi peraturan berbunyi: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum milik, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman, di pidana dengan penjara paling singkat 4 tahun paling lama 13 tahun pidana. Denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.

UU 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 112 ayat 1 mengenai hadits memakai masker yang di kutip diatas redaksi aslinya sebagaimana terdokumentasi dalam al-kutub as-sittah kitab hadis yang 6 adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ. (رواه أبو داود)

[‘An Abi Hurairah RA annar rasula SAW naha ‘anis sadli fish sholati wa ay yughatthiyar rajulu faahu].

“Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang sadl (menjulurkan pakaian) di dalam sholat dan melarang seseorang menutupi mulutnya.” (HR Abu Dawud).

Hadits ini bisa di telusuri salah satunya dalam kitab sunan abi Dawud dengan nomor hadits 643. Periwayatan oleh Tirmidzi.

Sebagaimana dikatakan sang ustadz justru tidak menyebutkan larangan shalat menutup mulut. Redaksi hadist milik Tirmidzi hanya menyebutkan melarang sadl di dalam shalat.

Ini bisa di telusuri dalam kitab. Dalam kitab sunan Tirmidzi dengan nomor hadits 378.

2. Saya ingin mengajak budiman mengupas hadits yang disampaikan dalam video tersebut secara linguistik

Secara lugas sang ustadz membacanya dengan struktur fiil majhul. Perlu diketahui secara kaidah tata bahasa arab bacaan diatas keliru mengapa?

Karena susunan irab dan struktur Kalimatnya jadi berantakan. Menjadi naibuk fail yang bentuknya pasif.

Sehingga jika diterjemahkan artinya pun turut keliru. Sebagaimana dalam hadits diatas yaitu:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِى الصَّلَاةِ

[Naha Rasulullah SAW ay yughatthiya ar-rajulu faahu fish sholat].

“Rasululllah SAW melarang seorang laki-laki menutup mulutnya ketika shalat.”

Hal-hal detail seperti ini dalam bahasa Arab sangat penting untuk diperhatikan. Apalagi bagi para penceramah dai, ustadz, kia dan lain-lain.

Tak lain karena berkaitan dengan sejauh mana dia mampu memahami isi kitab atau literatur yang dia pelajari. Baik itu berupa hadits, ayat al-quran, maupun teks berbahasa aran lainnya.

Jika dia salah membaca artinya dia akan salahe memahami. Dan jika dia salah memahami artinya dia akan menciptakan kesesatan jamaah yang mendengarkan ceramahnya.

Sekarang mari kita menyentuh kandungan isi dari Hadis tersebut untuk memperoleh titik terang dari pertanyaan diatas:

Apa hukumnya memakai masker ketika shalat?

Dalam banyak literatur hadits ini diklasifikasikan para ulama sebagai hadits hasan. Yaitu Hadis yang levelnya satu tingkat di bawah Hadits sahih.

Bahkan menurut ibnu hajar hadits hasan sebenarnya sama dengan hadits sahih. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah dalam hal tingkatan dhabt perawinya.

Dhabt adalah kepatenan hafalan perawi, kejeliannya dan ketajaman pemahamannya. Jika perawi hadits sahih di persyaratan memiliki tingkat dhabt yang sempurna perawi hadits hasan tidak sepaten itu.

Adapun syarat-syarat lainnya selebihnya sama oleh karena itu menurut mayoritas ulama sebagaimana hadits sahih. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hadits masker diatas benar adanya dan bahwa Rasulullah memang melarang kita menutup mulut dengan suatu benda seperti masker.

Diantara alasannya adalah karena hal itu akan menghambat bacaan shalat kita menghalangi tersentuhnya hidung pada tempat sujud secara langsung sehingga mengurangi hidung pada mengurangi kesempurnaan sujud.

Tetapi larangan itu berlaku dalam kondisi normal dan tidak ada kebutuhan atau sebab yang mengharuskan kita menutup mulut. Apalagi alasan sekedar modus pamer atau gegayaan.

Adapun jika menutup mulut maka hal itu diperbolehkan. Kita bisa mengembalikan kesimpulan ini pada kaidah-kaidah ushul fiqih yang menjadi landasan penarikan kesimpulan hukumn.

Setidaknya ada dua khaidahw ushul fiqih yang membolehkan kita memakai masker ketika shalat. Yang pertama kaidah:

الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

Ada tidaknya suatu hukum itu tergantung ‘illat (sebab/alasannya).

Sebagaimana contoh hukum makan daging babi adalah haram. Tetapi kalau sedang berada di hutan dan tidak menjumpai makanan lain kecuali babi maka tidak haram babi itu kita makan mati.

Babi itu hukumnya menjadi halal. Disini illatnya adalah kita akan mati kalau tidak memakan babi itu.

Dalam kondisi ini hukum babi menjadi hilang. Berganti menjadi halal.

Memakai masker ketika shalat di musim pandemi seperti sekarang ini liatnya seperti kasus makan babi diatas. Yaitu untuk melindungi diri dari bahaya yang bisa menyebabkan kematian dalam virus ini.

Jika makan babi saja menjadi halal lantaran ada ilatnya apalagi hanya memakai masker yang hukum asalnya mubah. Hukum memakai masker bukan haram.

Tentu saja lebib diperbolehkan. Apalagi kita khawatir ketika sujud di lantai tempat sujud kita terdapat droplet orang lain yang menularkan wabah. Yang kedua kaidah:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Mencegah kerusakan (bahaya) itu lebih didahulukan daripada mengambil maslahat (manfaat).

Dalan hal uni memakai masker adalah mencegah bahaya. Yaitu akibat transmisi virus kedalam tubuh melalui mulut

Sedangkan tidak mengenakan masker adalah mengambil mashalat. Yaitu meraih pahala melaksanakan perintah hadits.

Dalam kasus ini islam justru mengajarkan agar kita mendahulukan mencegah terjadinya bahaya dibandingkan mengambil pahala.

Artinya memakai masker lebih utama dibandingkan melepaskan masker demi mendapatkan pahala. Dan yang terpenting shalat kita tetap sah suci dan bersih .

Alkisah dalam suatu peperangan amru bin ash mimpi basah. Dipagi harinya ia mengimami shalat subuh para sahabat lainnya tanpa mandi junub terlebih dahulu amruh hanya bertayamum.

Kejadian itu rupanya di ketahui salah seorang sahabat yang kemudian melaporkan kepada Rasulullah. Mendengar laporan tersebut Rasulullah pun melakukan kroscek kepada amruh dan bertanya mengapa ia tidak mandi junub?

Amru menjawab kalau aku mandi aku bisa mati menggil duhai baginda.

Dia pun kemudian mengutip surah an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kau membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.”

Kala itu hawanya memang sangat dingin karena jazirah arab sedang dilanda musim dingin. Mendengar alasan itu Rasulullah hanya melempar senyum kepada sahabat yang pernah di utusnya membebaskan mesir dan menjadi gubernur disana.

Rasulullah tidak mengatakan apapun pertanda beliau setuju terhadap yang dilakukan amru. Dalam konteks ini hukumnya wajib mandi junub menjadi hilang lantaran kondisi seperti ini diganti dengan wudhu saja atau tayamum.

The post Hukum Shalat Pakai Masker, Bolehkah? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Pahami Hukum Shalat Pakai Kateter Berikut ini https://dalamislam.com/shalat/hukum-shalat-pakai-kateter Mon, 27 Sep 2021 12:48:55 +0000 https://dalamislam.com/?p=10064 Dalam kehidupan sehari-hari kita akan menemui permasalahan fiqih yang erat kaitannya dengan kondisi medis tertentu. Seorang pasien yang menjalani pengobatan ataupun perawatan kerap kali menjadikan mereka memerlukan alat bantu tambahan baik untuk terapi maupun aktivitas sehari-hari. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : صل قائماً، فإن لم تستطع فقاعداً، فإن لم تستطع فعلى جنب […]

The post Pahami Hukum Shalat Pakai Kateter Berikut ini appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam kehidupan sehari-hari kita akan menemui permasalahan fiqih yang erat kaitannya dengan kondisi medis tertentu. Seorang pasien yang menjalani pengobatan ataupun perawatan kerap kali menjadikan mereka memerlukan alat bantu tambahan baik untuk terapi maupun aktivitas sehari-hari.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صل قائماً، فإن لم تستطع فقاعداً، فإن لم تستطع فعلى جنب

“Kerjakanlah shalat dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu juga maka dengan berbaringa.” (HR. Bukhari).

Semisal pasien membutuhkan kursi roda, selang makan, atau selang kencing yang disebut dengan kateter urine.

Bagaimana jika menggunakan katerer urine?

Kateter urin adalah perangkat medis untuk mengeluarkan urine langsung dari kandung kemih. Pemasang kateter urine bisa bersifat terapi, diagnostik atau bertujuan mengobservasi kondisi pasien.

Semisal pada penderita pembesaran prostat pada pria yang mengakibatkan terjadinya retensi urine sehingga kandung kemih penuh dan tidak lancar mengeluarkan urine. Pemasangan kateter bertujuan mengalirkan urine yang salurannya tersumbat oleh masa kelenjar prostat yang membesar.

Begitupun untuk tindakan observasi. Misalnya memantau keluaran urine ketika pemberian cairan infus pada pasien yang kekurangan cairan atau butuh pengawasan ketat.

Contohnya kasus pasian diare dengan dehidrasi, pasien yang demam berdarah, penderita gagal ginjal dan banyak lainnya. Disisi lain seorang muslim yang mukallaf memiliki kewajiban untuk melaksanakan shalat.

Sebagaimana firman Allah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).

Allah juga berfirman:

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

Kerap muncul pertanyaan: Bagaimana jika saya melaksanakan shalat dalam keadaan terpasang kateter urine? Bukan kah hal tersebut meniscayakan saya membawa najis kencinh yang terdapat dalam selang tersebut? Bagaimana status shalatnya?

Diskusi diatas kiranya perlu beranjak dari pengalaman masing-masing pasien yang menggunakan katerer urine tersebut. Persepsi yang perlu disamakam adalah penggunaan kateter urine sebagaimana tindakan medis yang invasif.

Senantiasa dilakukan dengan mempertimbangkan Indikasi dan kontraindikasi pasien yang dilakukan tindakan tersebut. Penggunaan kateter urine perlu di pertimbangkan sebagai suatu kondisi yang darurat dan beralasan.

Setelah membahas bolehnya jamak karena sakit, Ibnu Qudamah mengatakan:

وكذلك يجوز الجمع للمستحاضة ولمن به سلس البول ومن في معناهما لما روينا من الحديث

“Demikian pula dibolehkan bagi wanita mustahadhah, atau orang yang punya penyakit beser dan yang sejenis dengannya untuk melakukan jamak, berdasarkan hadis yang kami bawakan.”

Pengguna kateter urine setidaknya akan mengalami dua hal ini:

1. Ia tidak memiliki kendali berkemih

Ia tidak memiliki kendali berkemih karena selangnya langsung masuk ke kandung kemih sangat urine mengalir serta ia akan selalu membawa najis,baik di selang ataupun di kantung penampungan urinenya. Contoh kasus oranh yang senantiasa berhadast adalah masalah istihadlah dan salisih baul.

Ketidak mampuan pengguna kateter urine mengendalikan kencingnya seperti orang yang beser. Karena kehilangan kendali atas proses berkemihnya.

Konsekuensinya ia wajib bersuci setiap akan melakukan shalat. Ia harus membersihkan diri dari najis yang ada.

Hal ini merujuk pada keterangan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:  

فَإِذَا كَانَ عَلىَ بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَعَجَزَ عَنْ إِزَالَتِهَا وَجَبَ اَنْ يُصَلِّيَ بِحَالِهِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ  

Artinya: “…Jika di badannya terdapat najis yang tidak dapat dima’fu, dengan kondisi tersebut untuk lihurmat waqti…” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [Beirut: Dar Al Fikr], juz 3 hal. 136).  

Pengguna ibarah tentang penggunaan kateter urine saat shalat tentu beragam di kalangan ulama. Antara ulama mazhab juga berselisih pendapat tentang status najis dan menggantikan shalat pada orang yang sakit serta memiliki hambatan dalam memenuhi syarat dan rukun shalat.

Terlepas dari apakah shalat tersebut perlu diulanh atau tidak? Selama akal dan kesadaran seorang pasien masih memungkinkan untuk shalat memenuhi hendaklah ia tetap melaksanakan sejauh yang ia mampu.

Terkait ada sisa sedikit pada alat, pernyataan berikut dalam Hasyiyatul Jamal Syarh al-Minhaj bisa dirujuk:  

ويعفى عن قليل سلس البول في الثوب والعصابة بالنسبة لتلك الصلاة خاصة  

Artinya: “…Dan dimaafkan najis yang sedikit pada salisil baul di pakaian atau anggota tubuh, merujuk pada kondisi shalat yang demikian…” (Hasyiyatul Jamal ‘alal Minhaj, juz 1, hal 242).

2. Pasien bersuci sesuai kemampuan dan kondisi fisiknya

Perlu dicatat bahwa seorang pasien dengan kateter urine mengingat ia tidak dapat mengendalikan urine dari selang keluar ke dalam kantong penampungan. Maka ia seperti orang yang senantiasa menanggung hadats.

Ia perlu bersuci dari hadats setiap kali masuk waktu shalat fardhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فإن قويت على أن تؤخري الظهر وتعجلي العصر ثم تغتسلين حين تطهرين وتصلين الظهر والعصر جمعاً، ثم تؤخرين المغرب وتعجلين العشاء ثم تغتسلين وتجمعين بين الصلاتين فافعلي…

“Jika kamu sanggup, lakukan hal berikut: akhirkan shalat dzuhur dan segerakan shalat asar di awal waktu. Kamu mandi kemudian shalat dzuhur dan asar dijamak. Kemudian kamu akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya di awal waktu, kemudian kamu jamak dua shalat itu…dst.” (HR. Turmudzi dan yang lainya)

The post Pahami Hukum Shalat Pakai Kateter Berikut ini appeared first on DalamIslam.com.

]]>