syarat Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/syarat Thu, 16 Jan 2020 07:53:15 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png syarat Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/syarat 32 32 Syarat Wanita Harus Mandi Wajib https://dalamislam.com/hukum-islam/wanita/syarat-wanita-harus-mandi-wajib Thu, 16 Jan 2020 07:53:14 +0000 https://dalamislam.com/?p=8175 Mandi wajib adalah aturan yang harus dilakukan oleh laki-laki maupun wanita pada kondisi tertentu. Dalam Islam, ada beberapa syarat yang menyebabkan wanita harus mandi wajib. Apa sajakah itu? Simak selengkapnya di bawah ini! Keluarnya Mani Disertai Syahwat Menurut Ulama Syafi’iyah, perbedaan mani dapat dilihat dari madzi dan wadi. Wadi ialah sesuatu yang keluar setelah buang […]

The post Syarat Wanita Harus Mandi Wajib appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Mandi wajib adalah aturan yang harus dilakukan oleh laki-laki maupun wanita pada kondisi tertentu. Dalam Islam, ada beberapa syarat yang menyebabkan wanita harus mandi wajib. Apa sajakah itu? Simak selengkapnya di bawah ini!

  • Keluarnya Mani Disertai Syahwat

Menurut Ulama Syafi’iyah, perbedaan mani dapat dilihat dari madzi dan wadi.

Wadi ialah sesuatu yang keluar setelah buang air kecil pada umumnya, berwarna putih, tebal seperti mani, tetapi tingkat kekeruhannya berbeda dari mani, serta tidak berbau khas.

Sedangkan madzi ialah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar pada saat bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’.

Keluarnya madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa disadari yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)

Mani memiliki ciri-ciri, yaitu:

  • baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering,
  • keluarnya memancar,
  • keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas)

Begitu halnya dengan wanita (an-nisa), hanya saja pada wanita tidak disyaratkan air mani tersebut keluar dengan memancar. Seperti yang diterangkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah (Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H).

Biasanya mani akan keluar kita laki-laki dan wanita sedang berjima’ atau bersetubuh. Setelahnya diwajibkan untuk mandi wajib sebagaimana dalil berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)

  • Bertemunya Dua Kemaluan Meski Tanpa Keluarnya Air Mani

Ketika dua orang bersetubuh, maka tidak selalu diikuti dengan keluarnya air mani. Terkadang, ada yang bersetubuh tanpa keluarnya air mani. Meski demikian, tetap diwajibkan untuk mandi wajib.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ

Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Walaupun tidak keluar mani.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)

  • Seusai Haid dan Nifas

Wanita yang normal tentu akan mengalami siklus menstruasi atau haid setiap bulannya. Namun, ada pula yang tidak teratur siklus haidnya tidak datang setiap bulan. Beberapa adab wanita saat haid dalam Islam yaitu tidak boleh melaksanakan shalat baik fardhu maupun sunnah, berpuasa, menyentuh atau membaca Al Qur’an, duduk dan berdiam diri di masjid.

Sedangkan nifas ialah darah yang keluar setelah wanita melahirkan. Adapun larangan saat nifas menurut Islam sama halnya seperti yang dilarang ketika haid.

Seusai darah haid atau nifas berhenti keluar, maka diwajibkan untuk mandi wajib. Sebagaimana yang diterangkan dalam dalil berikut ini.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).

  • Saat Wanita Kafir Masuk Islam

Ketika wanita non muslim berhijrah masuk Islam atau menjadi mualaf, maka diwajibkan baginya untuk mandi wajib.

Dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketahuilah cara mandi wajib menurut Islam yang baik dan benar. Agar mampu membersihkan diri dengan tuntas dan bisa kembali lagi beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Itulah beberapa syarat wanita harus mandi wajib dalam Islam. Semoga mampu memberikan bacaan yang bermanfaat bagi Anda semua sekaligus motivasi agar senantiasa istiqomah dalam Islam. Aamiin.

The post Syarat Wanita Harus Mandi Wajib appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Syarat Kambing untuk Aqiqah Menurut Islam https://dalamislam.com/info-islami/syarat-kambing-untuk-aqiqah-menurut-islam Sun, 23 Jun 2019 22:07:40 +0000 https://dalamislam.com/?p=7398 Hadirnya seorang buah hati tentu menjadi hadiah terindah bagi setiap orang tua. Biasanya umat islam menyelenggarakan aqiqah sebagai tanda syukur atas kelahiran bayi mereka. Aqiqah dilakukan dengan cara menyembelih binatang ternak lalu dibagikan kepada kerabat dan tetangga. Nah, satu hal yang sering menjadi pertanyaan, sebenarnya bagaimana sih aqiqah menurut islam? Apakah umat muslim wajib melaksanakan […]

The post Syarat Kambing untuk Aqiqah Menurut Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hadirnya seorang buah hati tentu menjadi hadiah terindah bagi setiap orang tua. Biasanya umat islam menyelenggarakan aqiqah sebagai tanda syukur atas kelahiran bayi mereka. Aqiqah dilakukan dengan cara menyembelih binatang ternak lalu dibagikan kepada kerabat dan tetangga. Nah, satu hal yang sering menjadi pertanyaan, sebenarnya bagaimana sih aqiqah menurut islam? Apakah umat muslim wajib melaksanakan aqiqah atau tidak? Lalu bagaimana jika seorang anak sudah baligh namun belum pernah di-aqiqah, apakah ia berdosa? Berikut ini ulasan lengkap perihal seluk-beluk aqiqah menurut islam.

Baca juga:

Definisi Aqiqah

Secara bahasa, aqiqah berarti memotong (bahasa arab: al qat’u). Namun ada juga mengartikan sebagai “nama rambut bayi yang baru dilahirkan”. Sedangkan menurut istilah, aqiqah merupakan proses pemotongan hewan sembelihan pada hari ke tujuh setelah bayi dilahirkan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT.

Ulama lain berpendapat bahwa aqiqah adalah salah satu bentuk penebus terhadap bayi yang dilahirkan, agar si bayi bisa terlepas dari kekangan jin. Hewan yang digunakan untuk aqiqah biasanya hewan ternak seperti kambing. Aqiqah dapat dilakukan di hari ke-7, ke-14, atau ke-21 setelah kelahiran si bayi. Untuk anak laki-laki diharuskan memotong dua ekor kambing, sedangkan anak perempuan satu ekor kambing.

Baca juga:

Hukum Aqiqah Menurut Pandangan Islam

Aqiqah merupakan ajaran nabi rasulullah SAW. Dalam islam, hukum aqiqah dibedakan menjadi 2 macam yakni sunnah dan wajib. Hal tersebut didasarkan atas dalil-dalil serta tafsir dari para ulama.

  • Sunnah

Pendapat pertama dari mayoritas ulama (seperti imam Malik, imam Syafii, imam Ahmad) tentang hukum aqiqah adalah sunnah (mustahab). Pendapat ini sifatnya paling kuat dibandingkan pendapat-pendapat lain. Jadi, ulama menjelaskan bahwa aqiqah itu hukumnya sunnah muakkad, yaitu sunnah yang harus diutamakan. Dalam artian, apabila seseorang mampu (mempunyai harta yang cukup) maka dianjurkan mengaqiqah anaknya saat masih bayi. Sedangkan untuk orang yang tidak mampu maka aqiqah boleh ditinggalkan.

Informasi terkait sunnah rasulullah saw:

Keutamaan solat sunnah rawatib

Amalan sunnah di malam jumat

Fungsi As-sunnah terhadap alquran

Hikmah puasa sunnah

Sunnah sebelum tidur

  • Wajib

“Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi nama.” (HR Ahmad)

Dengan berpatokan pada hadist diatas, beberapa ulama (seperti Imam Laits dan Hasan Al-Bashri) berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah wajib untuk dilakukan. Mereka menafsirkan dalil diatas bahwa seorang anak tidak bisa memberikan syafaat kepada orang tuanya sebelum mereka diaqiqah, maka itu hukumnya menjadi wajib. Namun demikian pendapat ini dianggap sangat lemah dan ditolak oleh sebagian besar ulama.

Dalil-Dalil Dasar Aqiqah

Terdapat beberapa dalil yang menjelaskan tentang sunnahnya melakukan aqiqah bagi seorang bayi yang baru dilahirkan. Diantaranya yaitu:

  • Dari Samurah bin Jundab dia berkata , Rasulullah bersabda. : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” (Hadits shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad , Ad Darimi)
  • Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, Rasulullah bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
  • Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” (Hadist Riwayat Ahmad , Thabrani dan al-Baihaqi)
  • Dari Aisyah dia berkata, Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” (Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

  • Dari ‘Amr bin Syu’aib, Rasulullah bersabda. : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Nasa’I, Ahmad)
  • Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husein dengan satu kambing dan satu kambing kibas.” (HR Abu Dawud)

Baca juga:

Tata Cara Pelaksanan Aqiqah

Pelaksaan aqiqah tidak hanya sekedar memotong hewan sembelihan. Namun terdapat syarat dan ketentuan tertentu yang harus diikuti berdasarkan dalil-dalil agama. Nah, berikut ini tata cara pelaksaan aqiqah sesuai syariat yang harus diperhatikan!

A. Waktu pelaksanaan

  • Di hari ke-7 setelah kelahiran

Waktu aqiqah yang paling diutamakan adalah pada hari ke-7 setelah kelahiran si bayi. Acara aqiqah juga dibarengi dengan pemberian nama bayi dan pencukuran rambut. Pendapat ini didasari oleh hadist:

“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur habis1 rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad)

Menurut ulama golongan Malikiyah, apabila orang tua tidak mengaqiqah anaknya hingga melebihi hari ke-7, maka tanggung jawabnya untuk mengaqiqah menjadi gugur. Singkat kata, aqiqah hanya boleh dilakukan di hari ke-7.

  • Hari ke-7, ke-14 dan ke-21 setelah kelahiran

Golongan ulama Hambali memiliki pendapat berbeda dari Malikiyah. Mereka berpendapat bahwa aqiqah tidak harus dilakukan di hari ke-7. Apabila orang tua belum bisa melakukan aqiqah di hari-7, maka boleh mengundurnya hingga hari ke-14 atau ke-21. Pendapat ini didasari oleh dalil:

Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh satunya.” (HR Baihaqi dan Thabrani).

  • Sebelum anak baligh

Menurut ulama Syafi’iyah, aqiqah boleh dikerjakan kapan saja. Baik di hari ke-7, ke-14, ke-21 ataupun hari-hari sesudahnya. Asalkan anak tersebut belum baligh. Apabila usia anak telah mencapai baligh, maka tanggung jawab aqiqah oleh orang tua menjadi gugur.

Baca juga:

B. Jenis dan Syarat Hewan yang disembelih

Untuk jenis hewan yang akan digunakan untuk aqiqah ialah hewan ternak, yaitu domba atau kambing. Tidak ada tuntunan yang mengatakan jenis kelaminnya. Sedangkan syarat-syarat pemilihan hewannya, kurang lebih sama dengan pemilihan hewan untuk kurban. Yakni:

  • Hewan harus sehat jasmaninya, tidak boleh cacat
  • Boleh betina ataupun jantan
  • Bukan hewan curian
  • Apabila Kambing, usianya harus minimal 1 tahun (memasuki tahun ke-2)
  • Apabila Domba, usianya harus minimal 6 bulan (memasuki tahun ke-7)

C. Jumlah hewan yang disembelih

Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Nasa’I, Ahmad)

Dari hadist diatas telah jelas disebutkan bahwa aqiqah untuk anak laki-laki diharuskan 2 ekor kambing. Sedangkan anak perempuan cukup 1 ekor kambing.

D. Sunnah lain saat Aqiqah

Dalam kitab Fathul Qarib, Al-Ghazi menjelaskan bahwa terdapat sunnah-sunnah yang sebaiknya dilakukan saat aqiqah, yaitu:

  • Memberikan nama pada anak di hari ke-7, tepatnya saat aqiqah. Alangkah indahnya jika kita memberi nama untuk buah hati kita dengan nama-nama yang islami
  • Mencukur rambut si bayi
  • Bersedakah sesuai dengan berat timbangan rambut yang dipotong

Baca juga:

E. Hidangan aqiqah dibagikan kepada kerabat dan tetangga

Hewan yang disembelih saat aqiqah hendaknya diolah atau dimasak terlebih dahulu menjadi hidangan siap santap. Setelah itu, makanan tersebut boleh dibagikan-bagikan kepada orang lain. Yang lebih utama adalah kerabat dan tetangga. (baca makanan halal menurut islam dan makanan haram menurut islam)

Hikmah Menjalankan Aqiqah

Terdapat beberapa hikmah atau keutamaan dari proses pelaksanaan aqiqah, diantaranya yaitu:

  • Mewujudkan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia lahirnya seorang anak sebagai penerus dalam keluarganya (baca: Manfaat ucapan Alhamdulillah)
  • Meneladani dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW
  • Sebagai momen untuk berbagi kepada sesama dan mempererat tali persaudaraan
  • Sebagai bentuk rasa gembira dan membagikan kebahagiaan tersebut kepada orang lain

baca juga:

Demikianlah penjelasan mengenai syarat kambing untuk aqiqah, penjabaran tentang syarat-syarat aqiqah serta hikmah dari aqiqah. Semoga bermanfaat dan dapat membantu. Sampai jumpa di artikel berikutnya.

The post Syarat Kambing untuk Aqiqah Menurut Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Aqiqah untuk Anak yang Meninggal https://dalamislam.com/info-islami/hukum-aqiqah-untuk-anak-yang-meninggal Sun, 23 Jun 2019 17:20:58 +0000 https://dalamislam.com/?p=7399 Para wanita mungkin masih bertanya tanya tentang apakah hukum dan keutamaan aqiqah bagi janin yang keguguran. Dalam ulasan kali ini, kami akan membahas secara tuntas tentang aqiqah apabila janin dalam kandungan meninggal saat usia kandungan masih sangat muda dengan ukuran yang sangat kecil namun detak jantung sudah mulai bisa dirasakan dan apa yang harus dilakukan […]

The post Hukum Aqiqah untuk Anak yang Meninggal appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Para wanita mungkin masih bertanya tanya tentang apakah hukum dan keutamaan aqiqah bagi janin yang keguguran. Dalam ulasan kali ini, kami akan membahas secara tuntas tentang aqiqah apabila janin dalam kandungan meninggal saat usia kandungan masih sangat muda dengan ukuran yang sangat kecil namun detak jantung sudah mulai bisa dirasakan dan apa yang harus dilakukan saat janin keguguran.

1. Gugur Sebelum Ditiupkan Ruh

Apabila janin yang keguguran belum memasuki usia 4 bulan, maka tidak perlu diberi nama dan juga tidak perlu diadakan aqiqah sebab ketentuan aqiqah dan juga memberi nama hanya dilakukan untuk keguguran yang sudah memasuki usia 5 bulan dimana sudah ditiupkan ruh pada janin sebab sudah dihukumi manusia yang menjadi al Afrath atau anak yang akan menolong orang tuanya. Itulah sebabnya ia diberi aqiqah dan juga nama, dimandikan serta dishalati.

Syaikh Hisaamuddin ‘Afaanah dalam Fatawa Yas’alunak menukil jika adanya ijma pada masalah ini dari Imam Nawawi serta Imam Ibnu Qudamah. Al-‘Abdariy berkata jika janin yang keguguran belum genap 4 bulan maka tidak disholati tanpa ada perbedaan pendapat yakni ijma.

Menurut Imam Ibnu Qudamah dalam al Mughi berkata jika janin yang belum genap 4 bulan keguguran, maka tidak perlu dimandikan dan tidak disholati akan tetapi dibungkus dan dikubur.

2. Gugur Sesudah Ditiupkan Ruh

Sedangkan untuk hukum aqiqah dalam Islam mengenai bayi keguguran saat usia janin belum genap 4 bulan atau baru masuk 3 bulan, maka tidak dihukumi al Afrath. Namun, jika wujud janin sudah menyerupai manusia seperti terdapat kepala, kaki, tangan dan bagian lainnya, maka sang ibu berlaku hukum nifas, tidak boleh shalat dan juga puasa, sedangkan untuk janin akan dianggap sebagai anak kecil dan bisa dikuburkan dimana saja tanpa perlu dimandikan serta tidak perlu memanjatkan doa menguburkan jenazah, dishalati sebab tidak dihukumi manusia.

Janin yang meninggal sesudah memasuki 4 bulan bisa terjadi dalam dua kondisi yakni gugur dalam keadaan sudah menjadi mayat yang artinya meninggal saat masih dalam kandungan dan yang kedua adalah gugur namun sempat ada tanda kehidupan dan kemudian wafat. Dalam hal ini, para ulama menjelaskan beberapa hukum yang berhubungan yaitu.

3. Janin Gugur Sudah Wafat Lebih Dulu

Ulama berbeda pendapat mengenai janin yang wafat dalam kondisi gugur. Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menukilkan jika janin tersebut tidak perlu disholati.

Beliau berkata apabila janin tidak memiliki tanda kehidupan maka tidak perlu disholati menurut Hanafiyyah Malikiyah, Auzal dan Hasan al Bashri jika  Nabi sholallahu alaihi wa salam bersabda, “jika janin yang gugur menangis, maka disholati dan mendapatkan warisan”.

4. Janin Gugur Sempat Hidup

Ibnul Mundzir berkata jika para ulama sepakat jika bayi yang diketahui hidup dan istihlaal maka disholati. Namun, sholat ini sunnah berdasarkan hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘anha yang sudah lewat. Imam Ibnu Hazm pada al Muhalla berkata, “Kami menganjurkan sholat atas anak yang dilahirkan hidup, kemudian wafat istihlaal ataupun tidak istihlaal. Dan sholat ini bukan wajib, selama si anak belum baligh.”

Akan tetapi jika janin yang gugur meninggal sebelum dikhitan, maka janin tersebut juga jangan dikhitan. Syaikh DR. Abdullah Faqih berkata, “Kami senang untuk menjelaskan kepada penanya tentang janin yang belum dikhitan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang anak kecil yang meninggal dunia dan belum sempat dikhitan, apakah ia dikhitan? Beliau menjawab, ‘janganlah seorang itu dikhitan setelah meninggal dunia’.

Jika keguguran yang terjadi sesudah hari ke 80 dan tidak diketahui apa janin sudah berbentuk manusia atau belum, maka terdapat 2 kemungkinan dalam hal ini.

Hukum Nifas: Apabila keguguran sesudah hari ke-90 maka hukumnya adalah hukum nifas dan tidak boleh sholat, puasa dan tidak boleh bercampur dengan suami sampai darah berhenti atau mengeluarkan cairan berwarna keruh atau kekuningan atau sesudah hari ke-40 dari mulai pendarahan. Apabila sudah sampai hari ke-40 maka wanita boleh mandi, boleh sholat, boleh puasa dan bercampur dengan suami.

Jika belum sampai hari ke 90 kehamilan dan tidak diketahui aoa janin sudah berbentuk manusia, maka wanita harus mengenakan ppembalut untuk mencegah darah mengenai pakaian, diperbolehkan sholat, puasa dan bercampur dengan suami. Darah tersebut juga tidak akan membatalkan wudhu dan tidak wajib mengulang wudhunya saat hendak sholat kecuali terjadi pembatal wudhu lain seperti buang air.

Namun jika wanita menyakiti janin sehingga menyebabkan keguguran seperti aborsi dalam pandangan Islam, maka wanita itu harus membayar kafarah mugholadhoh serta wajib membayar diyat yakni senilai dengan membayar seorang budak. Manfaat membaca Al Quran bagi ibu hamil dan juga memanjatkan doa ibu hamil untuk anak dalam kandungan sebenarnya bisa dilakukan supaya bayi dalam kandungan bisa selamat dan dilahirkan dengan baik.

Hadist mengenai aqiqah

Banyak hadits yang meriwayatkan tentang aqiqah, sehingga aqiqah menjadi sunnah Nabi Muhammad yang mana jika melakukannya akan mendapat pahala, jika tidak melakukannya tidak apa-apa. hadits-hadits itu adalah sebagai berikut:

Dari Sulaiman ibn Amir Adh Dhaby radluyallahu Anhu berkata: Rasulullah saw bersabda: “anak yang baru lahir hendaknya diaqiqahi, alirkanlah darah (sembelihlah kambing) dan hilangkanlah kotoran serta penyakit yang menyertai anak tersebut (cukurlah rambutnya).” (H. R. Bukhori dalam shahihnya secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad) dan Thahawi menilai hadits itu sebagai hadits maushul. Hadits itu juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Turmudzi)

Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundab rodliyallahu anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda: “setiap anak yang dilahirkan itu tergadai dengan aqiqahnya, yaitu seekor kambing yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, lalu si anak diberi nama dan rambut kepalanya dicukur.” (h. R. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah)

Untuk menjelaskan hadits diatas, mengutip dari penjelasan al Allamah Ibnu Qayyim dalam kitabnya, Zad Al Ma’ad: Imam Ahmad berkata, “maknanya adalah bahwa anak yang baru lahir itu tertahan (terhalangi) untuk memberi syafaat kepada orang tua. Sedangkan kata tergadai menurut bahasa berarti tertahan, sebagaimana firman Allah swt:

tiap-tiap diri tertahan (harus mempertanggungjawabkan) apa yang telah diperbuatnya.” (Q.S. Al Muddatsir: 38)

Jumlah aqiqah yang dibutuhkan untuk anak laki-laki dan perempuan

Secara Dzahir hadits tersebut berarti bahwa anak yang baru lahir itu tertahan dalam dirinya sendiri, terhalang dalam kebaikan yang diinginkannya, maksudnya sebagai pembersih dosa atau kesalahan orangtuanya ketika berhubungan intim tidak membaca basmalah sehingga diganggu setan, namun jika orang tuanya membaca basmalah tidak akan membahayakan anaknya. (baca : keutamaan membaca basmallah)

Hadits ini menegaskan bahwa Aqiqah penting untuk dilakukan.

Diriwayatkan bahwa Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “untuk anak laki-laki sembelihlah dua ekor kambing, untuk anak perempuan satu ekor saja.” (H. R. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hiban)

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa Aisyah rodliyallahu Anha berkata: “Rosulullah memerintahkan kami mengaqiqahkan anak perempuan dengan seekor kambing dan anak laki-laki dengan dua ekor kambing.” (H. R. Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hiban)

Ummu Kurz al Ka’biyah r.a. berkata: “aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Aqiqah, kemudian beliau menjawab. ‘untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing yang sama ukurannya (umurnya) dan untuk anak perempuan satu kambing saja. Tidak jadi masalah, apakah kambing itu jantan maupun betina.” (H. R. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Abu Daud)

Demikian beberapa hadits tentang aqiqah. Menurut hadits-hadits diatas, dapat ditarik kesimpulah bahwa aqiqah adalah penting untuk dilakukan. Untuk anak laki-laki, aqiqah adalah dua ekor kambing sedangkan anak perempuan aqiqah dengan satu ekor kambing. Karena aqiqah ini sunnah, lebih baik melakukannnya bagi orang yang mampu (bukan termasuk fakir miskin). Jika tidak mampu untuk melakukan aqiqah tidak apa-apa. Adapun hasil aqiqah sebagai acara sosial adalah harus dengan membagikannya kepada masyarakat dalam  keadaan matang atau telah diolah dan dimasak.

Dari beberapa hadits diatas pula dapat ditarik kesimpulan atas keutamaan aqiqah yaitu:

  • Mendapat pahala karena melaksanakan sunnah Rosul – Melaksanakan sunnah Rasul sama aja membuktikan kalau diri kita mencintai Nabi Muhammad dan mencintai Islam. Mengapa demikian? Karena semua sumber dasar Islam ada pada Al Quran dan As Sunnah yang mana aqiqah adalah salah satu isi yang ada didalam sunnah itu.
  • Menghilangkan kotoran dan penyakit – Aqiqah juga disertai dengan mencukur rambut bayi dengan niat menghilangkan kotoran dan penyakit.
  • Meningkatkan ibadah kepada Allah – Pada acara aqiqah biasanya disertai dengan pembacaan al quran 30 juz, atau pembacaan yasin dan tahlil, doa-doa dan lain sebagainya. Hal ini membuat pelaksana aqiqah menjadi meningkat rasa cinta iobadahnya dengan berbuat demikian.

  • Mendoakan sang bayi – Pada aqiqah biasanya disertai doa-doa untuk mendoakan bayi sehingga dapat menjadi keuntungan untuk bayi yang tiada terhintung jumlahnya.
  • Meningkatkan rasa cinta sosial sesama muslim – Dengan membagi aqiqah pada sesama muslim dapat meningkatkan rasa solidaritas sesama muslim sehingga menumbuhkan cinta terhadap sesama muslim pula.

Sampai jumpa di artikel berikutnya.

The post Hukum Aqiqah untuk Anak yang Meninggal appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Qurban Patungan dalam Islam https://dalamislam.com/info-islami/hukum-qurban-patungan-dalam-islam Sun, 23 Jun 2019 17:17:55 +0000 https://dalamislam.com/?p=7400 Hukum Qurban secara Patungan dalam Islam Idul Adha tahun 2018 ni sudah terlewati ya sobat, tentunya sobat sudah melakukan shalat Id dan mungkin sudah menimati lezatnya makan daging Qurban atau membagikan daging qurban. Memang Qurban memberi kebahagiaan bagi banyak orang dan menjadi jalan sedekah yang utama, tentunya bagi orang yang mampu dan tidak diwajibkan bagi […]

The post Hukum Qurban Patungan dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Qurban secara Patungan dalam Islam

Idul Adha tahun 2018 ni sudah terlewati ya sobat, tentunya sobat sudah melakukan shalat Id dan mungkin sudah menimati lezatnya makan daging Qurban atau membagikan daging qurban. Memang Qurban memberi kebahagiaan bagi banyak orang dan menjadi jalan sedekah yang utama, tentunya bagi orang yang mampu dan tidak diwajibkan bagi orang yang tidak mampu.

Satu yang sering dilihat sekarang ini adalah banyaknya orang yang qurban secara kolektif ya sobat, sebab harga daging memang mahal bagi sebagian orang. Nah, patungan tersebut ada yang dilakukan dengan keluarga, teman, dsb sehingga memberi manfaat dan kebersamaan. Namun sobat, apakah boleh hal itu dilakukan?

Dimana sesuai hukum awalnya saja qurban itu wajib bagi yang mampu, dan yang belum mampu apa harus melakukan iuran demi agar mampu? Untuk memahaminya lebih mendalam, yuk langsung saja simak ulasan berikut ya sobat, Hukum Patungan Qurban dalam Islam. Untuk memahaminya, sobat simak beragam hadist berikut ini dulu ya,

Qurban Amalan Terbaik

Keutamaan ibadah Qurban adalah ibadah terbaik yang paling dicintai oleh Allah ta’ala, sebagaimana hadits Rasulullah beliau bersabda :  Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban).” (HR. Tirmidzi). Jelas bahwa qurban adalah amalan terbaik yang bisa dlilakukan di hari Idul Adha ya sobat.

Syarat Patungan Qurban Menurut Ulama

1. Hanya Boleh untuk Unta dan Sapi

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan, mayoritas ulama memperbolehkan hukum qurban dalam islam dengan patungan kurban . Syaratnya, hewan yang dikurbankan adalah sapi dan jumlah maksimal orang yang patungan ialah tujuh orang. Berdasarkan persyaratan ini, patungan untuk kurban kambing tidak diperbolehkan dan lebih dari tujuh orang untuk kurban sapi juga tidak dibolehkan. Ibnu Qudamah menuliskan: “Kurban satu ekor unta ataupun sapi atas nama tujuh orang diperbolehkan oleh mayoritas ulama.”

2. Jumlah Orang yang Patungan Maksimal 7

Sebagaimana dikutip Ibnu Qudamah, menurut Ahmad bin Hanbal, hanya Ibnu umar yang tidak membolehkannya. Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Kebanyakan ulama yang aku ketahui membolehkan patungan kurban kecuali Ibnu Umar.” Pendapat Ibnu Qudamah di atas tidak jauh berbeda dengan An-Nawawi.

Dalam pandangannya, patungan kurban sapi atau unta sebanyak tujuh orang dibolehkan, baik yang patungan itu bagian dari keluarganya maupun orang lain. An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan: “Dibolehkan patungan sebanyak tujuh orang untuk kurban unta atau sapi, baik keseluruhannya bagian dari keluarga maupun orang lain.”

Kisah Patungan Qurban di Masa Rasulullah

1. Rasulullah Melakukan Patungan Qurban

Kebolehan patungan kurban ini memiliki dasar hukum islam kuat dalam hadits Nabi SAW. Sebagaimana yang tercatat dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, Ibnu Abbas mengisahkan: “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah SAW, kebetulan di tengah perjalanan hari raya Idul Adha (yaumun nahr) datang.

Akhirnya, kami patungan membeli sapi sebanyak tujuh orang untuk dikurbankan,” (HR Al-Hakim). Jabir bin ‘Abdullah juga pernah mengisahkan:“Kami pernah ikut haji tamattu’ (mendahulukan ‘umrah daripada haji) bersama Rasulullah SAW, lalu kami menyembelih sapi dari hasil patungan sebanyak tujuh orang.” (HR Muslim).

2. Berqurban Patungan bersama Keluarga

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan kambing bertanduk, berdiri dengan kaki belang hitam, duduk di atas perut belang hitam, melihat dengan mata belang hitam.

Kemudian beliau menyuruh Aisyah untuk mengambilkan pisau dan mengasahnya. Setelah kambingnya beliau baringkan, beliau membaca:  “Bismillah, Ya Allah, terimalah qurban dari Muhammad dan keluarga Muhammad, serta dari umat Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam – .” (HR. Muslim no. 1967)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau mengikuti shalat idul adha bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di lapangan. Setelah selesai berkhutbah, beliau turun dari mimbar dan mendatangi kambing qurban beliau.

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengucapkan: Bismillah, wallahu akbar, ini qurban dariku dan dari umatku yang tidak berqurban. (HR. Ahmad 14837, Abu Daud 2810 dan dishahihkan Al-Albani).

Pada pernyataan di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan keluarga beliau dan umat beliau dalam pahala qurban yang beliau sembelih. Padahal saat itu, beliau hanya menyembelih kambing. Sehingga seluruh umat beliau yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala dari qurban beliau. (simak Ahkam Al-Idain fi As-Sunnah Al-Muthahharah, Ali bin Hasan Al-Halabi, hlm. 79).

3. Qurban Bersama Teman Terdekat

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan haji. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami urunan untuk berqurban onta atau sapi. Setiap tujuh orang diantara kami, berqurban seekor sapi atau onta. (HR. Muslim no. 1318).

dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata; “Kami bersekutu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam haji dan umrah, yakni tujuh orang berkurban seekor Badanah (unta  yang  disiapkan untuk kurban saat haji) atau seekor Sapi.” Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada Jabir, “Bolehkah bersekutu dalam Jazur (unta yang sudah siap disembelih)

sebagaimana bolehnya bersekutu dalam Badanah (unta  yang  disiapkan untuk kurban saat haji) atau sapi?” Jabir menjawab, “Jazur itu sudah termasuk Badanah.” Jabir juga turut serta dalam peristiwa Hudaibiyah. Ia berkata, “Di hari itu, kami menyembelih tujuh puluh ekor Badanah. Setiap tujuh orang dari kami bersekutu untuk kurban seekor Badanah.” (H.R.Muslim)

Qurban Patungan Tetap Mendapat Pahala

dari Hudzaifah berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menserikatkan  tujuh orang diantara kaum muslimin untuk satu ekor sapi saat beliau haji. (H.R.Ahmad) dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami pernah menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tahun perjanjian Hudaibiyah, untuk kurban seekor unta atau seekor sapi, kami bersekutu tujuh orang.” (H.R.Muslim)

dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami naik haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kami menyembelih seekor unta untuk  tujuh orang yang bersekutu, dan seekor sapi juga hasil dari tujuh orang yang bersekutu.” (H.R.Muslim) dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Satu ekor sapi untuk tujuh orang, dan satu ekor unta untuk tujuh orang.” (H.R.Abu Dawud).

Nah sobat, jelas ya sobat hukunya bahwa patungan qurban itu boleh dilakukan tentunya seusa syarat yang telah dijelaskan dalam dalil yang telah disebutkan, yakni dengan kesimpulan sebagai berikut.

  • Dilakukan hanya untuk sapi atau unta, sedangkan untuk kambing harus dilakukan sendiri dalam qurban tersebut.
  • Patungan dilakukan secara adil dengan porsi rata atau sesuai kemapuan dan diniatkan untuk amal ibadah dan niat ke depannya berusaha lebih baik lagi agar kelak bisa melakukan patungan secara pribadi.
  • Nilai amal ibadah dari patungan hewan qurban yang dilakukan tetap mendapat pahala namun seberapa besar pahala tersebut hanya dinilai oleh Allah berdasarkan kemampuannya dan keikhlasannya.
  • Jika orang yang memiliki kemampuan untuk qurban secara pribadi namun melakukan patungan maka hal tersebut tak boleh dilakukan sebab jauh lebih baik jika rang tersebut membelinya secara pribadi karena memiliki rezeki yang cukup dari Allah.
  • Tidak boleh memanfaatkan untuk membiasakan, artinya jika telah memiliki kemampuan maka wajib untuk berqurban sendiri.

Nah sobat, sekarang jelas ya, memang qurban itu jauh lebih baik untuk dilakukan sendiri, namun jika memang memiliki kemampuan sesuai hal tersebut dan memiliki niat baik untuk sedekah di jalan Allah, maka tak ada salahnya melakukan hal tersebut, memang jauh lebih baik untuk melakukannya atau mengamalkan rezeki di jalan Allah ya sobat, dibandingkan untuk mengguanakan sesuatu yang tidak bermanfaat.

Nah sobat, tentu sobat juga harus adil dalam melakukannya, misalnya punya hutang, maka baiknya meluanadsi hutang dahulu baru qurban, jika punya istri dan keluarga yang jauh lebih membutuhkan maka juga harus mementingkan yang terdekat dulu, jangan sampai orang lain dibahagiakan tapi keluarga sendiri seperti istri dan anak anak ditelantarkan ya sobat.

Sebab hal itu justru menjadi jalan dosa, percuma saja melakukan kebaikan yang sunnah jika kewajiban yang harus dan wajib serta menjadi prioritas utama tidak dilakukan, tentu harusnya malu ya sobat, jika bisa melakukan sunnah tapi yang wajib tidak dilakukan, bisa berbuat baik pada yang jauh, tapi yang dekat terabaikan.

Oke sobat, sekian yang dapat disampaikan penulis, semoga bermanfaat dan menjadi wawasan berkualitas untuk sobat. Terima kasih. Salam dan semoga bahagia dunia akherat.

The post Hukum Qurban Patungan dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
4 Syarat Boleh Tidak Puasa Ramadhan Bagi Laki – Laki Beserta Dalilnya https://dalamislam.com/puasa/syarat-boleh-tidak-puasa-ramadhan-bagi-laki-laki Sun, 27 May 2018 07:39:54 +0000 https://dalamislam.com/?p=3559 Ramadahan merupakan bulan yang penuh berkah sekaligus menjadi bulan mulia yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat muslim di dunia. Pada bulan ini kita diberi kesempatan untuk bisa mendapatkan pahala yang betlimpah dari segala amal baik yang dilakukan seperti pahala sahur di bulan ramadhan . Hal tersebut dilakulan dengan cara melakukan ibadah puasa selama satu bulan penuh […]

The post 4 Syarat Boleh Tidak Puasa Ramadhan Bagi Laki – Laki Beserta Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ramadahan merupakan bulan yang penuh berkah sekaligus menjadi bulan mulia yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat muslim di dunia. Pada bulan ini kita diberi kesempatan untuk bisa mendapatkan pahala yang betlimpah dari segala amal baik yang dilakukan seperti pahala sahur di bulan ramadhan . Hal tersebut dilakulan dengan cara melakukan ibadah puasa selama satu bulan penuh sekaligus melaksanakan ibadah sunnah lainnya seperti do’a menyambut ramadhan .  Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dibalas sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala berfirman, ‘Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, sebab orang yang berpuasa itu telah meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku’. Dan bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu Rabb-Nya. Dan sungguh, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari aroma kasturi.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu].

Puasa merupakan ibadah yang mewajibkan kita untuk menahan lapar dan haus sejak dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Puasa memiliki esensi dimana kita diajak untuk merasakan lapar dan haus yang selama ini dirasakan oleh mereka yang tidak mampu makan sebanyak tiga kali dalam sehari. Tentu saja ibadah ini membutuhkan kekuatan fisik seseorang sebagaimana amalan dzikir di bulan ramadhan   .

Bagi kaum laki-laki yang memiliki fisik lebih kuat pasti akan bisa melaksanakan puasa dengan mudah. Meskipun begitu ada beberapa kelompok yang menganggap hal ini berat dilakukan. Hal tersebut dapat berasal dari beberapa faktor yang akan dibahas lebih dalam dalam artikel ini dimana terdapat hal yang memperbolehkan laki-laki tidak berpuasa.

Syarat Boleh Tidak Puasa Ramadhan Bagi Laki – Laki

Beberapa hal berikut ini dapat menjadi keringanan terutama bagi kaum pria untuk tidak melaksanakan ibadah puasa. Hal tersebut akan dirangkum dalam  4  syarat boleh tidak puasa ramadhan bagi laki-laki berikut ini :

1. Dalam Kondisi Sakit

Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Syarat yang pertama adalah dalam kondisi sakit. Dalam kondisi ini pastinya badan tidak memiliki kemampuan untuk dapat menaham lapar dan haus secara optimal. Dikhawatirkan jika hal tersebut dipaksakan malah akan berdampak buruk bagi kesehatan. Islam sendiri memandang sakit dalam 3 kondisi yakni :

  • Sakitnya Ringan

Sakit ringan yang dimaksud disini adalah meliputi sakit perut atau perut keroncongan, pusing, pilek yang dalam hal ini masuk kategori dalam sakit ringan. Maka tentunya untuk kondisi diatas bagi mereka tetap dikenakan kewajiban berpuasa. Sebab, sakit yang diderita masih tergolong ringan dan masih bisa menahan lapar dan haus sebagaimana orang berpuasa.

  • Kondisi Sakit yang Bertambah Parah jika Menjalankan Puasa

Dalam kondisi ini dikhawatirkan jika tetap melanjutkan puasa maka sakit yang diderita akan menjadi lebih parah. Bahkan juga resiko untuk lebih cepat sembuh menjadi berkurang. Karenanya bagimereka yang dalam kondisi tersebut diberi keringanan untuk tidak menjalankan puasa ramadhan. Apabila mereka masih merasa kuat dan inginmelaksanakan puasa maka hukumnya adalah makruh.

  • Sakit Berat

Dalam kondisi ini dikhawatirkan puasa yang dijalani malah akan dapat mebahayakan keselamatan diri. Sehingga menyusahkan atau bahkan berdampak kematian. Dalam kondisi tersebut maka baginya puasa ramadhan hukumnya diharamkan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut ini :

وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

2. Sedang Melakukan Perjalanan (Safar)

Musyafir atau mereka yang sedang dalam perjalanan dan boleh mengqashar sholatnya diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Dalam kondisi perjalanan terutama perjalanan jauh, saat ini mayoritas kaum laki-laki bertugas sebagai sopir apabila menggunakan kendaraan pribadi. Tentunya resiko kehilangan konsentrasi dalam keadaan lapar akan lebih besar. Oleh sebab itu, mereka yang sedang dalam perjalanan diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah puasa ramdahan.

Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.

Rasulullah SAW sendiri menganjurkan bahwa bagi mereka yang sedang bersafar atau dalam perjalanan hendaknya tidak berpuasa. Sebab dikhwatirkan malah akan menyusahkan selama diperjalanan. Namun, jika memang merasa mampu maka meskipun dalam kondisi bersafar dan tetap melaksanakan puasa sesungguhnya hal tersebut diperbolehkan sebagaimana pahala salat dhuha di bulan ramadhan  . Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.

3. Sudah Dalam Kondisi Tua Renta

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya seperti pahala mengaji di bulan ramadhan dan pahala bersedekah di bulan ramadhan  . Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184).

Hal yang sama juga berlaku kepada orang yang sakit namun tak kunjung sembuh. Maka kondiai mereka diaamakan dengan orang tua yang renta dimana baginya diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Serta baginya diwajibkan untuk membayarkan fidyah untuk diberikan kepada fakir miskin.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.”

4. Dalam Kondisi Keletihan dan Kehausan Berlebihan 

Bagi mereka yang mengalami kelelahan atau kehausan yang berlebihan, maka Allah memberi keringanan untuk dapat membatalkan puasanya. Dalam kondisi ini dikhawatirkan jika tetap melaksanakan ibadah puasa maka akan bisa menyebabkan keselamtannya menjadi terancam. Sesungguhnya Allah SWT tidak membebani di luar batas kemampuan umatnya, sebagaimana dala firman Allah SWT berikut :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”

itulah 4  syarat boleh tidak puasa ramadhan bagi laki-laki beserta dalilnya. Tentu dibalik keringanan tersebut masih terdapat kewajiban lain seperti mengganti puasa di hari lain atau membayar fidyah seperti pada cara menganti puasa ramadhan bagi laki-laki . Karenanya semoga artikel ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi anda. Sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam menjalankan ibadah puasa. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

The post 4 Syarat Boleh Tidak Puasa Ramadhan Bagi Laki – Laki Beserta Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
6 Syarat Model dan Warna Hijab Syar’i yang Wajib Diketahui https://dalamislam.com/info-islami/syarat-model-dan-warna-hijab-syari Wed, 28 Mar 2018 04:08:44 +0000 https://hijabyuk.com/?p=1594 Ada yang mengatakan juga bahwa setiap jilbab adalah hijab, tetapi dalam esensinya perbedaan hijab, jilbab, dan kerudung akan lebih tampak pada penggunaannya. Seperti yang pernah dijelaskan, hijab berasal dari kata hajaban yang mengandung arti menutupi. Dengan kata lain Al-Hijab adalah sebuah benda yang menutupi sesuatu. Jika dikaitkan dengan menutup aurat, perbedaan hijab dan jilbab akan lebih […]

The post 6 Syarat Model dan Warna Hijab Syar’i yang Wajib Diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ada yang mengatakan juga bahwa setiap jilbab adalah hijab, tetapi dalam esensinya perbedaan hijab, jilbab, dan kerudung akan lebih tampak pada penggunaannya. Seperti yang pernah dijelaskan, hijab berasal dari kata hajaban yang mengandung arti menutupi. Dengan kata lain Al-Hijab adalah sebuah benda yang menutupi sesuatu.

Jika dikaitkan dengan menutup aurat, perbedaan hijab dan jilbab akan lebih dirasakan.  Hijab memiliki makna lebih tepat yang merujuk pada tata cara berpakaian yang pantas atau menutup (hijab) tubuh sesuai dengan tuntunan agama.  Sedangkan jilbab dan kerudung lebih mengacu kepada penutup kepala sebagai pelengkap hijab.

Berikut ini adalah beberapa pedoman atau syarat model dan warna hijab syar’i yang kita kenakan.

  1. Menutup seluruh badan kecuali yang boleh diperlihatkan

 “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…” (QS. An Nuur: 31)

Berdasarkan hadist tentang berhijab yang benar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat model dan warna hijab syar’i yang pertama adalah menutup badan.  Bagian yang boleh diperlihatkan hanyalah yang disyari’atkan, yaitu muka dan telapak tangan.

  1. Tidak Menggunakan Model dan Warna yang Mencolok dan Berlebihan

Hijab digunakan bukan sebagai perhiasan. Hijab dikenakan sesuai dengan perintah berhijab dalam Al Qur’an. Perintah yang menjadikannya wajib bagi setiap muslimah yang sudah baligh. Tentunya ada manfaat dibalik eprtah tersebut.

Karenanya hindarilah model maupun warna hijab yang terlalu mencolok atau motif yang menarik perhatian. Sebaiknya perhatikan adat atau pun kebiasaan pada suatu masyarakat tertentu. Ada suatu masyarakat yang menilai berlebihan dan bahkan melarang  untuk memakai warna dan model tertentu, sementara pada masyarakat yang lain hal ini masih sah-sah saja boleh untuk dikenakan.  Sebaiknya kita mengenal juga macam-macam nama hijab dalam tiap wilayah.

Pilihlah model dan  warna hijab yang sesuai dengan warna kulit, maupun usia kita. Perhatikan juga untuk acara atau kegiatan apakah pakaian yang akan kita kenakan tersebut. Sehingga warna dan model pakaian yang kita kenakan tersebut tidak terkesan norak dan berlebihan, yang justru akan merusak citra hijab syar’i yang kita kenakan dan tidak tercapai dampak positif menggunakan hijab.

  1. Pilih Kain yang Tebal dan Tidak Tipis

Hendaklah bahan untuk hijab itu dari kain yang tebal dan tidak tipis. Karena bahan yang tipis itu cenderung transparan dan mudah membentuk lekuk tubuh. Bisa pula disesuaikan dengan daerah dimana kita tinggal, misalkan untuk wilayah yang cenderung berhawa dingin, bisa dipilih bahan yang cukup tebal dan hangat, namun tetap nyaman dan praktis untuk dipakai. Untuk wilayah yang cenderung panas, bisa dipilih bahan yang tidak terlalu tebal, tapi juga tidak tipis namun adem. Yang paling penting adalah bahwa bahan tersebut nyaman dan praktis untuk digunakan sehingga tidak menghalangi dan mengganggu aktifitas dan kegiatan sehari-hari kita. [AdSense-B]

Ada beberapa pilihan jenis bahan hijab yang dikenal adem, nyaman dan tidak tipis, seperti bahan katun, diamond, satin, bubble pop, sifon, ceruti, dan lain sebagainya.

  1. Harus longgar atau Tidak Ketat

Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian yang sesuai dengan ciri-ciri hijab syar’i itu haruslah yang longgar atau tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita muslimah.

  1. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum

Dalam berhijab, khususnya ketika hendak keluar rumah, seorang muslimah hendaknya tidak memakai wewangian yang menyengat, hingga tercium wanginya dan menarik perhatian dari lawan jenis.   Sekedar untuk menghilangkan bau badan ataupun bau keringat  dibolehkan selama tidak berlebihan.

  1. Bukan Pakaian untuk Mencari Popularitas

Hendaknya tidak berpakaian dengan tujuan untuk mencari popularitas di tengah-tengah orang banyak. Artinya orang yang dengan sengaja atau punya keinginan untuk meraih popularitas dan mencari perhatian. Baik dari harga pakaian tersebut yang sangat mahal, maupun seseorang yang sengaja ingin menampakkan perhiasan atau pun kemewahan duniawi yang dimilikinya untuk sebuah kebanggaan. [AdSense-C]

Namun bukan berarti seorang muslim itu dilarang memakai pakaian yang mahal, bagus, maupun mewah. Akan tetapi semuanya kembali kepada tujuan memakainya. Tujuan berpakaian pada dasarnya adalah untuk menutup aurat dan dalam rangka untuk beribadah. Karena pada dasarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri  suka jika hambanya menampakkan kenikmatan yang telah Allah berikan padanya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 “Sesungguhnya Allah menyukai jika melihat bekas kenikmatan yang diberikan oleh-Nya ada pada seorang hamba.” (HR. Tirmidzi)

Demikianlah beberapa penjelasan syarat model dan warna hijab syar’i. Semoga menjadi panduan bagi muslimah yang ingin berhijab sesuai syar’iat.  Jadi jangan pernah ragu untuk menjadikan hijab syar’i sebagai pakaian sehari-hari kita ya! Karena sekarang ini telah banyak sekali model maupun bahan hijab syar’i yang beredar dipasaran dengan model, warna dan harga yang bisa disesuaikan dengan selera dan kemampuan kantong kita.

The post 6 Syarat Model dan Warna Hijab Syar’i yang Wajib Diketahui appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menikah Tanpa Izin dengan Orangtua Dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/menikah-tanpa-izin-dengan-orangtua-dalam-islam Wed, 02 Aug 2017 04:59:06 +0000 http://dalamislam.com/?p=1824 Menikah adalah salah hal yang dianjurkan oleh Rasulullah Salallahu A’laihi Wassalam bagi para pemuda dan pemudi yang memang sudah siap secara lahirnya dan batinnya. Berlangsungnya sebuah pernikahan harus memenuhi setiap syarat, rukun dan kewajiban dari kedua mempelai. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya wali pernikahan. Hal ini seringkali terhambat dengan tidak adanya izin […]

The post Menikah Tanpa Izin dengan Orangtua Dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menikah adalah salah hal yang dianjurkan oleh Rasulullah Salallahu A’laihi Wassalam bagi para pemuda dan pemudi yang memang sudah siap secara lahirnya dan batinnya. Berlangsungnya sebuah pernikahan harus memenuhi setiap syarat, rukun dan kewajiban dari kedua mempelai. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya wali pernikahan. Hal ini seringkali terhambat dengan tidak adanya izin dari orangtua mempelai yang berhak menjadi walinya.

Baca:

Bahayanya, salah satu fenomena yang menjadi bentuk kenekatan para pemuda dan pemudi yang ingin menikah tetapi tidak mendapatkan izin orangtua adalah kawin lari. Mereka mengangkat sembarang orang sebagai walinya, menikah kemudian pergi jauh dari orang tua atau bahkan menikah tanpa wali dan tidak mendapatkan izin dari wali yang sah dari kedua mempelai. Lebih parahnya, mungkin saja terjadi kawin lari yang diwujudkan dengan kedua mempelai tinggal bersama dalam satu atap tanpa adanya status pernikahan. Naudzubillahimindzaliik. Pernikahan-pernikahan seperti ini-lah yang merupakan contoh-contoh dari pernikahan yang salah dan bermasalah.

baca juga:

Dalil Menikah dalam Islam

Pada hakikatnya, mempelai wanita wajib memiliki wali yang sah yakni laki-laki yang berasal dari keluarga ayahnya untuk melangsungkan sebuah pernikahan, entah itu ayahnya sendiri, kakeknya, saudara laki-lakinya seayah dan seibu, saudara laki-lakinya seayah, anak saudara laki-lakinya, atau bahkan anaknya, cucunya, atau pamannya. Kerabat laki-laki di atas kakek dari pihak ayah pun boleh menjadi wali. Utamanya yang paling berhak menjadi wali sang mempelai perempuan adalah ayahnya sendiri, tidak boleh diwakilkan jika sang ayah masih mampu dan sanggup.

Namun, jika ayahnya berhalangan atau mewakilkan kepada kerabat laki-laki yang lain, maka hal itu diperbolehkan. Seorang wali pun harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam islam, yakni : Beragama islam, seorang laki-laki, berakal yakni dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, sudah baligh, dan merupakan manusia yang merdeka, dalam artian bukan seorang hamba sahaya. Pernikahan yang mengambil seseorang yang tidak sah menjadi wali sebagai walis ama saja dengan pernikahan tanpa seorang wali.

baca juga:

Berikut dalil mengenai keharusan seorang wanita menikah dengan seizin walinya :

  • Hadits Pertama

Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66.)

  • Hadits Kedua :

Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. shahih)

  • Hadits Ketiga

Hadits ini menjelaskan bahwa tidak boleh seorang wanita menjadi wali dari seorang mempelai wanita dalam sebuah pernikahan:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227.)

baca juga:

Kesimpulan dari tiga hadits diatas adalah, pernikahan tanpa izin dari wali sah atau dalam kondisi tanpa izin dari orangtua merupakan pernikahan yang tidak sah sehingga hubungan yang terbentuk termasuk ke dalam zina. Hal itu dikarenakan wali adalah salah satu syarat sah-nya sebuah pernikahan, sehingga sebaiknya sebuah pernikahan mendapatkan izin dari kedua orangtua mempelai. Izin seorang wali atau izin dari orangtua dalam sebuah pernikahan juga berkaitan dengan hadits yang menjelaskan bahwa ridho Allah bergantung kepada ridho orangtua.

Dari Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (Hasan. at-Tirmidzi : 1899).

Semua orang pasti ingin pernikahan yang lancar dan kehidupan setelah pernikahan yang bahagia, salah satu faktornya adalah ridho dari orangtua. Kita memang tidak bisa mengatakan bahwa pernikahan yang tidak diridhoi akan hancur, tetapi kehidupan tanpa ridho Allah sudah pasti tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Dibalik semua itu, seorang wali juga tidak boleh melarang orang yang diwalikannya untuk menikah apabila kedua mempelai sudah memilii kecocokan dan siap secara lahir dan batin. Oleh karena itu, komunikasi yang baik sangat diperlukan antara wali dan yang diwalikan, agar tercipta kepercayaan satu sama lain untuk menikahkan dan dinikahkan.

Dalam surat Al Baqarah ayat 232, Allah Berfirman:

“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

baca juga:

Kesimpulannya, lebih baik jangan langsungkan pernikahan tanpa izin orangtua. Bicarakan baik-baik tujuan dan alasan kita untuk memilih menikahi seseorang kepada orangtua dan teruslah berdoa kepada Allah agar Ia melembutkan hati mereka. Percayalah, Allah-lah satu-satunya yang Maha Membolak-balikan Hati Manusia.  Sebuah hal yang mudah untuk Allah melembutkan hati setiap hamba-Nya. Sebagaimana yang tersurat di dalam hadits berikut :

Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad 3/257)

Demikian penjelasan singkat terkait bagaimana pandangan islam tentang menikah tanpa restu orangtua, semoga bermanfaat.

The post Menikah Tanpa Izin dengan Orangtua Dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
10 Keutamaan Haji – Hukum, Syarat dan Rukunnya https://dalamislam.com/landasan-agama/tauhid/keutamaan-haji Fri, 27 Nov 2015 10:10:40 +0000 http://dalamislam.com/?p=406 بُنِىَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ اَنْ لآ اِلَهَ اِلاَّ اﷲُ٬ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اﷲِ٬ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ ٠ وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ ٬ وصَوْمِ رَمَضَانَ ٬ وَحِجِّ الْبَيْتِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً Artinya “Islam dibina atas lima perkara: 1) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah, 2) mendirikan shalat, 3) menunaikan zakat, 4) […]

The post 10 Keutamaan Haji – Hukum, Syarat dan Rukunnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
بُنِىَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ اَنْ لآ اِلَهَ اِلاَّ اﷲُ٬ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اﷲِ٬ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ ٠ وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ ٬ وصَوْمِ رَمَضَانَ ٬ وَحِجِّ الْبَيْتِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً

Artinya

“Islam dibina atas lima perkara: 1) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah, 2) mendirikan shalat, 3) menunaikan zakat, 4) puasa di bulan Ramadhan, dan 5) melakukan haji ke Baitullah, bagi orang yang mampu melakukan perjalanan kesana.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Di atas merupakan sabda Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam tentang adanya rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat muslim. Dan pada tema kali ini, kita akan membahas tentang Haji.

Haji merupakan rukun Islam yang kelima, dimana hal ini merupakan syariat terakhir yang diberikan Allah SWT agar dilaksanakan oleh umat-Nya. Secara bahasa haji dapat didefinisikan sebagai suatu perjalanan ke Baitullah dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT terutama bagi yang mampu melaksanakannya baik secara fisik maupun mental.

Dimana di dalam pelaksanaan ibadah tersebut terdapat ketentuan-ketentuan seperti adanya penentuan konsep serta tata cara pelaksanaan haji demi keseragaman seluruh umat muslim di dunia dalam rangka mengabdikan diri mereka kepada Allah SWT.  Dengan adanya ibadah haji diharapkan dapat menumbuhkan perasaan serta keyakinan manusia atas keagungan Allah SWT serta timbulnya perasaan persaudaraan di antara umat islam.

Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan ibadah haji adalah dengan mengundang seluruh umat muslim di seluruh dunia untuk berkumpul di suatu tempat yang dinamakan Baitullah (Ka’bah) pada pada waktu tertentu, karena ibadah ini hanya dapat dilaksanakan pada waktu, tempat, dan cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

 

Keutamaan Pelaksanaan Ibadah haji

Haji merukana suatu bentuk peribadahan yang sangat mulia, dimana terdapat berbagai macam keutamaan dalam pelaksaan ibadah tersebut, diantaranya :

  1. Ibadah Haji merupakan salah satu bentuk amalan yang paling afdhol

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata :

سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya

Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari)

  1. Allah telah menjanjikan balasan syurga bagi mereka yang melaksanakannya

Bagi mereka yang mampu melaksanakan ibadah haji tanpa bercampur dengan dosa seperti syirik serta kemaksiatan, maka Allah SWT telah menjanjikan syurga bagi mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam berikut :

وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Artinya “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Ibadah haji termasuk dalam perbuatan jihad di jalan Allah

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata :

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya

Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari)

  1. Dengan melaksanakan ibadah haji akan dapat menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan, dan ia kembali suci layaknya bayi yang baru dilahirkan ibunya.

Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda :

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Artinya

Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari)

  1. Haji merupakan ibadah yang dapat menghapuskan kefakiran atau kemiskinan

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Artinya

Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An Nasai, Tirmidzi, dan Ahmad)

  1. Mereka yang melaksanakan ibadah haji merupakan tamu Allah SWT

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

Artinya

Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah)

Keutamaannya lainnya :

  • Allah akan memberikan rezeki 700kali dari biaya haji
  • Seseorang yang berhaji selalu mendapatkan perlindungan dari Allah
  • Berhaji dapat menghapus dosa
  • Jihad bagi laki-laki tua, dan lemah bagi wanita

Macam – Macam dari Ibadah Haji

Dalam pelaksanaannya, Haji dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Haji Tamattu’

Yaitu ibadah haji yang dilaksanakan dengan cara mendahulukan umrah baru setelah itu melaksanakan haji. Bagi mereka yang melaksanakan haji tamattu’ diwajibkan untuk membayar dam (denda) berupa menyembelih satu ekor kambing bagi yang mampu. Dan bagi yang tidak mampu, denda tersebut bisa dibayar dengan melakukan puasa sebanyak 3 hari di waktu menjalan ibadah haji yaitu tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijjah, lalu dilanjutkan dengan puasa selama tujuh hari setelah mereka kembali.

2. Haji Ifrad

Yaitu ibadah haji yang dilaksanakan dengan cara mendahulukan berhaji lalu kemudian dilanjutkan dengan pergi ke tempat yang halal untuk berihron dan berniat untuk melaksanakan umroh. Dan bagi mereka yang melaksanakan Haji Ifrad tidak diwajibkan untuk membayar denda yaitu dengan menyembelih satu ekor kambing.

3. Haji Qiran

Yaitu melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersama-sama, dengan kata lain menyatukan ibadah haji dan umrah, yaitu dengan cara menyatukan niat untuk  haji dan umrah sekaligus. Bagi mereka yang melaksanakan haji jenis ini diwajibkan untuk membayar dam (denda) yang berupa menyembelih satu ekor kambing, kecuali bagi penduduk Mekkah.

Bagimana ketentuan pembayaran denda saat melakukan ibadah haji?

Allah SWT berfirman :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَٰلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang) oleh musuh atau karena sakit, maka sembelihlah korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji di dalam bulan haji, wajiblah ia menyembelih korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Demikian itu kewajiban membayar fidyah bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah), dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaannya.(QS. Al- Baqarah ayat 196)

Syarat – Syarat Melakukan Ibadah Haji

Untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah haji, seorang jama’ah haji harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya :

  1. Beragama Islam

Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban bagi umat muslim, terutama bagi mereka yang mampu. Ibadah ini dikatakan tidak syah apabila dilaksanakan oleh orang-orang yang kafir. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT berikut :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ

Artinya

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya.” (QS. At-Taubah: 54)

  1. Berakal sehat

Syarat haji yang lainnya adalah berakal sehat atau tidak gila, artinya bagi orang-orang yang memiliki akal dan jiwa yang tidak atau kurang waras tidak diwajibakan untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini sebagaimana Sabda Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ؛ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Artinya

Pena Diangkat (kewajiban digugurkan) dari tiga (golongan); Orang yang tidur sampai bangun, anak kecil hingga bermimpi (baligh), dan orang gila hingga berakal (sembuh).” (HR. Abu Daud)

  1. Baligh

Ketika seorang muslim telah memasuki masa akhil Baligh maka ia telah diwajibkan untuk melaksanakan  ibadah haji. Ini artinya bahwa anak-anak tidaklah diwajibakn untuk melaksanakan  haji, akan tetapi jika ada wali yang sudi untuk menghajikannya, maka hajinya dianggap sah dan pahala diberikan Allah SWT kepada anak tersebut dan juga kepada walinya.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Muslim, Rosulullah sholallahu Alaihi wassalam pernah bersabda:

Seorang perempuan saat berhaji bersama Rosulullah Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam mengangkat anak kecilnya ke hadapan Nabi seraya berkata : Apakah ia mendapatkan (pahala) haji? Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam menjawab : Ya, dan kamu pun mendapatkan pahala.”

  1. Merdeka

Ini berarti bahwa seorang budak tidak diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Ini sesuai dengan Sabda Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam yang artinya

Barang siapa (seorang budak) melaksanakan haji kemudian ia dimerdekakan, maka ia berkewajiban untuk melaksanakan haji lagi.” (HR. Al- albani, Ibnu Khuzaimah, Al- Hakim, Al- Baihaqi, dan Al- Irwa’)

  1. Mampu

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 97 telah menjelaskan bahwasannya Haji merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim yang mampu. Mampu memiliki beberapa artian, seperti :

Mampu Secara Fisik

  • Mampu dalam hal fisik, artinya seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji harus sehat jasmani maupun rohaninya serta mampu menanggung beban letih hingga ke Baitullah. Seseorang yang telah berusia renta dan lemah apabila ia telah beniat untuk melaksanakan ibadah haji, maka hajinya bisa diwakilkan kepada orang lain.

   Seorang wanita pernah bertanya kepada Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam :

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ

Artinya

Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang diwajibkan kepada para hamba-Nya telah berlaku  bagi ayahku sementara dia dalam kondisi tua renta, tidak mampu berada di kendaraan. Apakah (boleh) saya menghajikan untuknya?” Beliau menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari)

Mampu Secara Finansial

 

  • Seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji juga harus mampu dalam hal finansial,baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga yang ditinggalkan selama berhaji. Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda

“Cukuplah seseorang dianggap berdosa dengan menelantarkan orang-orang yang berada dalam tanggungannya.” (HR. Abu Dawud dan Al- Irwa’)

Faktor Keamanan

 

  • Ibadah haji juga harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan seperti faktor keamanan serta keadaan yang terjadi di negara asal jama’ah maupun keadaan di tanah suci.

Al-Lajnah Ad- Daimah pernah berkata:

Mampu terkait dengan haji adalah berbadan sehat dan mempunyai biaya kendaraan yang dapat menghantarkan ke Baitullah Al-Haram baik melalui pesawat, mobil, hewan atau menyewa sesuai dengan kondisinya. Juga memiliki bekal yang cukup untuk pulang dan pergi. Dan biaya tersebut diluar  dari biasa nafkah orang-orang yang seharus dia nafkahi sampai kembali dari hajinya.”

  1. Syarat yang keenam ditujukan bagi para wanita yang hendak menunaikan ibadah haji, yaitu mereka harus ditemani oleh mahramnya.

Seorang wanita tidak diperbolehkan safar haji wajib maupun sunnah haji kecuali bersama mahramnya, dalam hal ini adalah suaminya. Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalan bersabda

Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersamanya ada mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Lajnah Ad-Daimah pernah berkata “Bagi seorang wanita, harus didampingi suami atau mahramnya untuk safar haji atau umrah.”

Rukun Haji

  1. Ihram

Ihram merupakan niat untuk memenuhi, memasuki, atau melakukan ibadah haji dan umroh serta menghindari hal-hal yang dilarang selama ihram. Saat berihram, para jama’ah haji dianjurkan untuk menegnakan pakaian ihrom. Adapun hal-hal yang dilarang / tidak diperbolehkan selama berihrom adalah :

  • Mengenakan pakaian yang dijahit (bagi kaum pria). Mengapa? Karena dalam syariat islam pakaian ihram bagi pria adalah berupa 2 lembaran kain, dimana satu lembar digunakan sebagai sarung, dan satu lembar lainnya digunakan sebagai selendang yang digeraikan di bahu.
  • Menutup kepala bagi jama’ah haji laki-laki dan menutup muka serta kedua telapak tangan bagi jama’ah haji wanita.
  • Memakai wewangian
  • Memakai minyak rambut
  • Mencukur atau mencabut rambut
  • Memotong atau memendekkan kuku
  • Berburu binatang
  • Jima’ (bersetubuh)
  • Melakukan akad nikah
  • Memotong tanaman di tanah suci.

Hal-hal tersebut tidak akan membatalkan haji, kecuali perbuatan jima’, karena perbuatan tersebut dapat membatalkan haji. Dan bagi mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut diwajibkan untuk membayar denda (dam).

  1. Wukuf

Wukuf adalah berhenti di padang Arafah  mulai dari saat tergelincirnya matahari di hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) hingga waktu menyingsingnya fajar di hari berikutnya, yaitu pada hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah). Adapun kegiatan yang dilakukan saat itu adalah berdiam diri, berdzikir, serta berdo’a kepada Allah SWT. Dengan dilaksanakan wukuflah yang membedakan antara ibadah haji dan umroh, karena dalam ibadah umroh tidak dirukunkan untuk melakukan wukuf.

  1. Thawaf

Thawaf merupakan kegiatan mengelilingi Ka’bah setelah pelaksanaan wukuf, dimana dalam pelaksanaannya para jama’ah haji disunnahkan untuk mengelilingi Ka’bah dengan berjalan kaki, mencium Hajar Aswad, membaca dzikir dan do’a, serta melakukan sholat sunnah 2 raka’at di belakang makam Nabi Ibrahim Alaihissalam setelah pelaksanaan thawaf selesai.

[tab title=”Macam – Macam Pelaksanaan Thawaf

Terdapat beberapa macam pelaksanaan thawaf, yaitu :

  • Thawaf Qudum, yaitu thawaf yang dilakukan pada saat para jama’ah mulai masuk Mekkah setelah pelaksanaan ihrom
  • Thawaf Rukun, yaitu Thwaf yang dilakukan setelah pelaksanaan wukuf di padang Arafah
  • Thawaf Sunnah, yaitu Thawaf yang dikerjakan kapanpun oleh para jama’ah haji setiap datang ke Masjid Haram
  • Thawaf Wada’, yaitu Thawaf yang dilakukan ketika hendak pulang meninggalkan Mekkah.

[/tab]
[tab title=”Syarat Thawaf

Dalam pelaksanaan thawaf ini, ada beberapa persyaratan bagi para jama’ah haji, yaitu :

  • Suci dari hadast
  • Suci dari Najis pada tubuh, pakaian, dan tempat
  • Menutup Aurat
  • Pelaksanaannya adalah di Ka’bah dan kedudukan Ka’bah adalah di sebelah kiri para jama’ah yang thawaf
  • Pelaksanaan Thawaf dimulai dari Hajar aswad
  • Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali

[/tab]

4. Sa’i

Setelah thawaf ifadah dilakukan, rujkun haji yang harus dikerjakan oleh para jama’ah haji selanjutnya adalah sa’i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara safa dan marwah sebanyak tujuh kali.

5. Tahallul

Tahallul adalah bercukur atau menggunting rambut bagi para jama’ah haji paling sedikit tiga helai rambut setelah sa’i selesai dikerjakan oleh para jama’ah.

6. Tertib

Tertib yaitu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang menjadi rukun haji yaitu dengan mendahulukan hal-hal yang harus didahulukan, atau dengan kata lain melaksakana rukun-rukun haji sesuai dengan urutan yang telah ditentukan.

Wajib Haji

[tab title=”Hal-hal yang Wajib

Wajib haji merupakan kegiatan-kegiatan yang harus dilaksaknakan ketika sedang berhaji, adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah :

  1. Melakukan Ihram yang dimulai dari miqat sesuai dengan letak tempat tinggal para jama’ah haji.
  2. Bermalam di Muzdalifah
  3. Melemparkan jumroh aqobah di hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah) dengan kerikil sebanyak 7 butir serta disunnahkan untuk membaca takbir pada setiap lemparan
  4. Melempar jumrah tiga (Ula, Wustha, dan Aqobah) pada hari tasyriq
  5. Menginap di Mina pada malam hari Tasyriq
  6. Melakukan thawaf Wada’ sebagai perpisahan bagi setiap jama’ah haji yang dilaksanakan ketika hendak pulang ke tanah air masing-masing

[/tab]
[tab title=”Hal-hal yang Sunnah

 

Sedangkan hal-hal yang disunnahkan selama berhaji antara lain adalah :

  1. Mandi ketika hendak ihrom, masuk ke Mekkah, serta wukuf
  2. Melakukan sholat dua raka’at ketika hendak berihrom
  3. Mengucapkan Talbiah sepanjang ibadah haji, yaitu :

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

LABAIK ALLAHUMMA LABAAIK, LABAAIK LAA SYARIKA LAKA LABAAIK INAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULKA LA SYARIKALAH.”

Artinya

Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”

  1. Mencium Hajar Aswad atau melambaikan tangan
  2. Melakukan sholat dua raka’at di belakang makam Nabi Ibrahim Alaihissalam yang dilaksakan setelah thawaf
  3. Berada di Arafah hingga terbenam matahari pada malam ke-10 bulan Dzulhijjah
  4. Berada di Muzdalifah hingga subuh pada hari ke 10 di bulan Dzulhijjah
  5. Melakukan Thawaf Qudum, dan lain sebagainya.

[/tab]

Hikmah Ibadah Haji

  1. Mendidik jiwa untuk ikhlas, sabar, serta mau berkurban
  2. Menumbuhkan disiplin pribadi serta taat pada peraturan
  3. Sebagai pengembangan sosialisai nilai-nilai yang mengandung unsur pendidikan dalam hidup, rasa persaudaraan, serta persatuan diantara umat muslim di seluruh dunia
  4. Menanamkan sifat hemat serta menumbuhkan etos kerja yang tinggi.

Hukum Pelaksanaan Ibadah Haji

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasannya hukum pelaksanaan ibadah haji adalah fardhu ain bagi mereka yang mampu, baik secara fisik maupun mentalnya. Arti kata mampu di sini dapat dimaknai dengan seseorang yang mempunyai harta (materi), waktu, berbadan sehat, serta aman.

Allah SWT telah berfirman :

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً ٠ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اﷲَ غَنِىٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ

Artinya

“Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan) semesta alam.” (QS. Ali Imron ayat 97)

Mampu dalam melaksanakan ibadah haji juga dapat diartikan yang lain, seperti pelaksanaan ibadah haji tersebut mampu dilaksanakan sendiri ataukah seseorang yang mampu dalam bidang harta akan tetapi secara fisik ia tidak mampu untuk melaksanakannnya, sehingga pelaksanan ibadah hajinya diwakilkan kepada seseorang, misalnya saja bagi orang yang sedang sakit atau bagi mereka yang sudah berusia lanjut.

Artikel Terkait

Artikel Lainnya

The post 10 Keutamaan Haji – Hukum, Syarat dan Rukunnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>