Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah berikut ini:
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ نَظَرُ الرَّجُل إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ الأَجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ. وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِأَدِلَّةٍ مِنْهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ، وَبِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ. ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي تَحْدِيدِ الْعَوْرَةِ الَّتِي يَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهَا عَلَى أَقْوَالٍ
Artinya, “Ulama bersepakat bahwa kaum pria haram memandang aurat perempuan muda bukan mahram. Mereka mendasarkan pandangannya dengan sejumlah dalil, salah satunya firman Allah, ‘Katakanlah kepada orang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan padandangan mereka,’’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Allah menakdirkan sebagian dari zina untuk anak Adam di mana ia akan melakukan itu, bukan mustahil. Zina mata adalah melihat.’ Tetapi ulama berbeda pendapat perihal batasan aurat yang haram untuk dilihat pada sejumlah pendapat,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz 40, halaman 341).
Tetapi dimana batasan aurat perempuan, pandangan ulama terbelah menjadi 4 pendapat:
1. Seseorang bolah memandang wajah dan telapak tangan perempuan yang bukan mahram jika tanpa syahwat.
Selaun keduanya haram di lihat tanpa uzur syari. Pandangan ini dipegang oleh mazhab Hanafi dan Maliki:
وإن كانت المرأة أجنبية: حرم النظر إليها عند الحنفية إلا وجهها وكفَّيها، لقوله تعالى: ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها [النور:31/24]. قال علي وابن عباس: ما ظهر منها الكحل والخاتم أي موضعهما وهو الوجه والكف، والمراد من الزينة في الآية موضعها، ولأن في إبداء الوجه والكف ضرورة لحاجتها إلى المعاملة مع الرجال أخذاً وعطاء.
Artinya, “Jika perempuan itu adalah orang lain (bukan mahram), maka seseorang tidak boleh memandangnya–menurut Madzhab Hanafi–kecuali wajah dan telapak tangannya berdasarkan firman Allah ‘Mereka tidak menampakkan perhiasannya kecuali apa yang tampak padanya,’ (Surat An-Nur ayat 31).
Sayyidina Ali RA dan Ibnu Abbas RA mengatakan bahwa yang tampak padanya adalah celak mata dan cincin, yaitu tempat keduanya, wajah dan telapak tangan. Yang dimaksud perhiasan pada ayat ini adalah anggota badan perempuan tempat perhiasan. Pasalnya, penampakan wajah dan telapak tangan bersifat darurat (tidak bisa dihindari) yang menjadi keperluan perempuan dalam bertransaksi dengan pihak pria baik memberi maupun menerima,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz 3, halaman 561).
2. Seorang laki-laki haram memandang wajah dan telapak tangan perempuan yang bukan mahram tanpa uzur syar’i baik aman atau dari fitnah
Kedua anggota perempuan termasuk aurat perempuan sebagaimana anggota tubuh selain keduanya. Pendapat ini dipegang oleh madzhab syafi’i dan hambali.
Tetapi kalau ada uzur syari seperti saat meminang. Dibolehkan untuk memandangnya.
3. Seorang laki-laki haram memandang anggota tubuh perempuan yang bukan mahramnya selain wajah dan telapak tangan tanpa uzur dan tanpa hajat
Hanya saja seorang laki-laki makruh memandang keduanya merupakan sebaiknya memandang keduanya di tinggalkan sebagaimana fatwa ulama mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah dan ahli fatwa.
4. Seseorang laki-laki boleh memandang wajah telapak tangan dan kedua kaki perempuan bukan mahram dengan catatan tanpa syahwat seperti diriwayatkan Hasan bin ziyad dari abu hanifah
Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagaimana madzhab maliki. Berkaitan dengan keempat pendapat ini sebuah riwayat dari abu yusuf mengatakan bahwa dia lengan perempuan boleh terlihat ketika membasuh dan memasak.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa seorang laki-laki boleh memandang dia betis perempuan tanpa syahwat. Perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi antara lain karena perbedaan pandangan mereka perihal pengecualian yang terdapat pada surat An-nur ayat 31 disamping beberapa riwayat lainnya.
seorang ahli tafsir Madzhab Maliki berikut ini:
: لَمَّا كَانَ الْغَالِبُ مِنَ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ ظُهُورُهُمَا عَادَةً وَعِبَادَةً وَذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ وَالْحَجِّ ، فَيَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ الاِسْتِثْنَاءُ رَاجِعًا إِلَيْهِمَا. وَبِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا دَخَلَتْ عَلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَقَال: يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ. وَالْحَدِيثُ فِيهِ دَلاَلَةٌ عَلَى أَنَّ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ مِنَ الْمَرْأَةِ الأَجْنَبِيَّةِ لَيْسَا بِعَوْرَةٍ، وَأَنَّ لِلرَّجُل أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهِمَا
Artinya, “Al-Qurthubi mengatakan, wajah dan kedua telapak tangan secara umum tampak dalam keseharian dan dalam peribadatan, yaitu pada shalat dan haji sehingga pengecualian (terkait aurat) itu layak merujuk pada dua hal itu. Pandangan ini juga didasarkan pada riwayat dari Aisyah RA bahwa Asma binti Abu Bakar RA dengan pakaian halus menemui Rasulullah SAW dan beliau berpaling darinya, ‘Wahai Asma, ketika perempuan sudah memasuki usia haidh (baligh), tubuhnya tidak pantas terlihat kecuali ini dan itu,’ Rasul mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangannya. Hadits ini menjadi dalil bahwa kedua anggota badan itu bukan mahram itu bukan aurat perempuan. Laki-laki boleh melihat keduanya,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz 40, halaman 342).
Adapun perihal memandang dengan syahwat atau tanpa syahwat, kami tidak menemukan keterangan secara lugas selain keterangan Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
وإن كان لا يأمن الشهوة: لا ينظر إلى وجهها إلا لحاجة ضرورية. وبه يظهر أن حل النظر مقيد بعدم الشهوة، وإلا فحرام. والواجب المنع في زماننا من نظر الشابة. ويدل لحرمة النظر: حديث صحيح: «العينان تزنيان، وزناهما النظر، واليدان تزنيان، وزناهما البطش». وحد الشهوة: تحرك الآلة
Artinya, “Tetapi jika tidak aman dari fitnah, maka seseorang tidak boleh memandang wajah perempuan kecuali ada keperluan mendesak. Dari sini tampak bahwa kebolehan memandang lawan jenis bukan mahram itu terbatas pada ketiadaan syahwat. Kalau dengan syahwat, maka penglihatan itu haram. yang harus dihindari di era kita sekarang ini adalah memandang perempuan muda. Keharaman ini didasarkan pada hadits shahih, ‘Dua mata berzina. Zina keduanya adalah memandang. Dua tangan berzina. Zina keduanya adalah memegang.’ Batasan syahwat itu adalah menggerakkan alat (kelamin),” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz 3, halaman 561).
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat perihal melihat foto atau wajah lawan jenis yang bukan mahramnya. Namun demikian mayoritas ulama berpendapat bahwa wajah bukan bagian aurat.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…