Hukum Islam

Hukum Wanita Meninggal Saat Hamil Menurut Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Kehamilan dalam islam merupakan salah satu momen paling membahagiakan terutama bagi seorang wanita. Seba pada fase ini seorang wanita dikatakan telah sempurna sebagai wanita. Karena dapat mengkaruniakan keturunan kepada keluarganya. Maka tidak heran jika kemudian banyak wanita yang berusahan untuk dapat hamil dengan menggunakan berbagai metode kesehatan.

Bahwa Salamah, wanita yang merawat Ibrahim – putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah bertanya,

“Ya Rasulullah, anda sering memberi kabar gembira dengan amal kepada para lelaki, tapi anda tidak memberi kabar gembira kepada para wanita?”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi motivasi kepadanya,

Tidakkah para wanita senang, ketika dia hamil dari suaminya, dan dia ridha, maka dia mendapat pahala seperti orang yang puasa dan tahajud ketika sedang jihad fi sabilillah. Ketika sedang kontraksi, maka ada janji yang sangat menyejukkan mata yang belum pernah diketahui penduduk langit dan bumi. Setelah dia melahirkan, lalu menyusui bayinya, maka setiap isapan ASI akan menghasilkan pahala. Jika dia bergadangan di malam hari maka dia akan mendapat pahala seperti membebaskan 70 budak fi sabilillh”

Hadist diatas memperlihatkan betapa seorang wanita yang hamil memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak hamil. Meskipun harus mempertaruhkan nyawa namun bagi seorang wanita kehamilan adalah cara menyempurnakan kodrat sebagai seorang istri. Namun adakalanya seorang wanita yang hamil kemudian mendapatkan musibah, seperti kecelakaan atau juga hal lain yang menyebabkan nyawanya tidak tertolong. bagaimanakan islam memandang hal ini? apakah sama dengan hukum wanita meninggal saat melahirkan , berikut akan diuraikan mengenai Hukum Wanita Meninggal Saat Hamil menurut islam.

  1. Abu Muhammad ibn Hazm r.a

Abu Muhammad ibn Hazm r.a berkata, sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya al-Muhalla (5/166):

Dan jika seorang perempuan yang sedang mengandung meninggal dunia, sementara bayi yang dikandungnya masih dalam keadaan hidup, bergerak dan usia kandungan itu telah melebihi enam bulan, maka bayi tersebut harus dikeluarkan dengan membedah perut wanita yang meninggal tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t: “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”. (Q.S. al-Mâ’idah: 32)

2. Syaikh Ahmad Syâkir r.a 

Syaikh Ahmad Syâkir r.a mengatakan –ketika beliau mengomentari isi kitab al-Muhalla-:

Diwajibkan mengeluarkan anak yang masih hidup dari dalam perut ibunya yang telah meninggal dunia. Adapun cara yang harus dilakukan untuk mengeluarkannya, maka hal ini adalah urusan para spesialis kandungan, seperti dokter kandungan atau para bidan.

3. Ibnu Qudâmah r.a 

Dalam kitabnya al-Mughni (2/551), Ibnu Qudâmah r.a mengatakan:

Syarah masalah : (Apabila seorang wanita meninggal dunia, sementara didalam perutnya terdapat bayi yang masih hidup dan bergerak, maka tidak dibenarkan membedah perutnya, akan tetapi hal tersebut diserahkan kepada bidan untuk mengeluarkan bayi tersebut)

Ibnu Qudâmah r.a berkata: maksud perkataan Imam al-Kharqî r.a “diserahkan kepada bidan untuk mengeluarkannya” adalah: dengan cara memasukan tangan bidan melalui vagina lalu mengeluarkan bayi tersebut dari lobang tempat –bisanya- keluar bayi.

4. Mazhab Hambali

Dan pendapat yang berlaku menurut mazhab Hambali bahwa tidak dibolehkan membelah perut wanita yang telah meninggal dunia untuk mengeluarkan bayi yang dikandungkanya, baik wanita tersebut seorang muslimah maupun dzimmiyah (orang yang bukan beragama muslim dan tinggal diwilayah kekuasaan kaum muslimin), namun yang harus mengeluarkannya adalah bidan jika ia yakin –dengan tanda bergerak- bahwa bayi tersebut masih dalam keadaan hidup.

Dan apabila –disana- tidak ditemukan satu orang wanitapun, maka pengeluaran tersebut –dengan cara memasukan tangan melalui vagina- tidak boleh dilakukan oleh laki-laki, dengan terpaksa wanita yang meninggal itu dibiarkan –dengan kandungannya- sampai timbul keyakinan bahwa bayi yang ada dalam kandungan ibunya telah mati. Setelah itu baru wanita tersebut dikuburkan. Pendapat seperti ini sangat dekat dengan pendapat yang diberlakukan pada Mazhab Malik dan Ishâk.

5. Mazhab Syafi’i

Sedangkan menurut mazhab Syâf’î, maka perut wanita tersebut harus dibedah jika besar kemungkinan bahwa janin yang ada dalam perut masih dalam keadaan hidup. Sebab hal tersebut termasuk merusak sebagian dari anggota tubuh wanita yang telah meninggal untuk menyelamatkan orang yang masih hidup. Maka –berdasarkan alasan ini- dibolehkan membedah perut ibunya. Hal ini sama hukumnya, jika sebagian tubuh bayi tersebut telah keluar, namun tidak mungkin mengeluarkannya secara utuh kecuali dengan melakukan pembedahan. Disamping itu apabila perut orang yang telah meninggal dunia boleh dibedah untuk mengeluarkan harta –misalnya uang atau mutiara- yang ia telan, maka apalagi membedahnya disebabkan untuk mengeluarkan manusia yang masih hidup.

Alasan yang mendasari pendapat kami adalah: pada kebiasaannya anak yang terdapat dalam perut wanita yang telah meninggal dunia, ikut meninggal dunia bersama ibunya. Lagi pula tidak dapat diyakinkan bahwa anak tersebut masih dalam keadaan hidup. Oleh sebab itu tidak dibolehkan menginjak kehormatan yang pasti hanya demi sesuatu yang masih diragukan. Dan sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: “mematahkan tulang orang mati, sama hukumnya dengan mematahkan tulang orang yang masih hidup” (H.R. Abu Daud).

Disamping itu pembedahan tersebut mengandung makna mencincang orang yang telah mati dan hal ini dilarang oleh Rasulullah s.a.w. Ini berbeda dengan masalah yang telah dijadikan sebagai sumber qiyas(maksudnya adalah perkataan: Hal ini sama hukumnya, jika sebagian tubuh bayi tersebut telah keluar, namun tidak mungkin mengeluarkannya secara utuh kecuali dengan melakukan pembedahan). Sebab pada masalah ini kematian bayi tersebut lebih besar kemungkinannya daripada hidupnya.

Dengan demikian, apabila sebagian tubuh bayi telah keluar, namun kelahiran tersebut tidak dapat dilaksanakan secara utuh kecuali dengan melakukan pembedahan, maka dibolehkan membedah vagina dan mengeluarkan bayi tersangkut. Hal ini berdasarkan alasan yang telah kami sebutkan diatas.

Kemudian apabila bayi tersebut meninggal dalam kondisi seperti itu (sebagian tubuhnya telah berada diluar) dan memungkinkan untuk mengeluarkannya, maka bayi tersebut harus dikeluarkan secara utuh lalu dimandikan secara tersendiri. Adapun apabila bayi yang tersangkut tersebut tidak mungkin dikeluarkan secara utuh, maka ia tetap dibiarkan sebagaimana adanya, lalu ibunya beserta bagian tubuh bayi yang keluar dimandikan. Sedangkan sisa tubuhnya yang masih berada didalam rahim ibunya, dianggap termasuk anggota dalam tubuh yang tidak perlu ditayammumi lagi. Sebab semuanya telah dianggap anggota tubuh bagian dalam. Adapun selebihnya maka hukumnya seperti biasa (semula).

Pendapat ini telah disebutkan oleh Ibnu ‘Aqîl r.a, dan beliau berkata: masalah ini bermula dari peristiwa yang terjadi dan aku ditanyakan orang tentang hukumnya, maka akupun berfatwa sebagaimana yang disebutkan diatas.

6. Imam as-Syairâzî r.a 

Imam as-Syairâzî r.a berkata ( al-Muhazzab 5/301 beserta kitab al-Majmû’):

Dan jika seorang wanita telah meninggal dunia, sementara dalam perutnya terdapat janin yang masih hidup, maka perutnya harus dibedah, sebab hal tersebut termasuk mempertahankan nyawa seseorang dengan merusak sebagian anggota tubuh orang yang telah meninggal, ini sama halnya dengan orang yang terpaksa –kelaparan- memakan sebagian anggota tubuh orang mati.

itulah tadi Hukum Wanita Meninggal Saat Hamil menurut islam. tentunya dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi anda sebagaimana bagian dari tujuan penciptaan manusia , hakikat penciptaan manusia , konsep manusia dalam islam, proses penciptaan manusia , keutaman doa seorang ibu . amalan ibu hamil dalam islam dan doa ibu hamil untuk anak dalam kandungan. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

Recent Posts

Sejarah Masuknya Islam Ke Aceh

Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Myanmar

Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Andalusia

Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Afrika

sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara

Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Pulau Jawa

Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…

6 months ago