Pengertian “tradisi halal bihalal” untuk menjalin pentingnya beradab dengan orang yang lebih tua tidak bisa diterjemahkan secara bahasa, karena pendefinisian tradisi halal bihalal lahir dari kultur masyarakat Indonesia. Jika diterjemahkan menurut lughowi nya, maka akan mengandung arti yang tidak tepat dengan tujuan dan maksud tradisi halal bihalal itu sendiri. Hal ini karena tidak ada gramer Arab (nahwu sharaf) dengan kaidah tradisi halal bihalal. Bahkan bangsa Arab pun bisa jadi membaca tradisi halal bihalal tidak akan mengerti maksudnya.
Lafadz “halal” berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia, yaitu lawan dari kata haram. Halal mempunyai arti boleh atau tidak dilarang, sedangkan kata “bi”adalah huruf jar yang biasa diartikan “dengan”. Secara lughowi tradisi halal bihalal diartikan “boleh dengan boleh”.
Tradisi halal bihalal untuk menerapkan ayat Al Qur’an tentang membahagiakan orang lain tidak bisa dimaknai secara bahasa melainkan dimaknai segi kulturalnya yaitu tradisi saling memaafkan atau dengan saling berkunjung ke rumah saudara (silaturahmi) guna memohon dan memberi maaf yang diteruskan dengan saling berjabat tangan.
Sejarah Tradisi Halal Bihalal di Indonesia
Usai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan dan mendapat pahala puasa ramadhan selama 30 hari, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal. Perayaan diwarnai dengan takbir, tasbih dan tahmid sepanjang hari. Berikutnya setelah melaksanakan shalat Id, jamaah saling bertegur sapa dan saling mendoakan. Rona ceria nampak pada wajah setiap individu. Suasana seperti ini umum kita temui pada moment Idul Fitri. Tapi, ada satu kebiasaan yang khas di Indonesiapada moment Idul Fitri ini, kebiasaan tradisi halal bihalal.
Sejarah yang paling populer mengenai sejarah kebiasaan tradisi halal bihalal sebagai bukti agama islam damai ini yaitu sebuah kebiasaan yang dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, yang ketika itu memimpin Surakarta mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balai istana untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idul Fitri. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan biaya. Sejak saat itu, kunjungan terhadapi individu yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi untuk meminta maaf pada perayaan Idul Fitri menjadi kebiasaan tersendiri.
Adapun sejarah istilah tradisi halal bihalal memiliki beragam versi. Tradisi halal bihalal agar mendapat hikmah silaturahmi sendiri merupakan istilah bahasa Indonesia yang menggunakan kata berbahasa Arab. Di negara Arab sendiri, baik kata maupun kebiasaannya, tidak ada sama sekali. Ini betul betul khas Indonesia. Karena keunikannya, sehingga individu dubes Belanda untuk Indonesia yang juga ahli sastra Arab, Nikolaos Van Dam, mengira bahwa tradisi halal bihalal adalah kata berbahasa Arab. Namun, setelah mencari referensi literatur Arab, ternyata dia tidak menemukan sama sekali kata maupun kebiasaan yang dimaksud.
Sebelum dibakukan menjadi kata dalam bahasa Indonesia, tradisi halal bihalal (ditulis sebagai satu kata tanpa spasi) sudah ditemukan dalam kamus bahasa Jawa Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud terbitan tahun 1938 yang persiapannya dimulai di Surakarta pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1925.
Tradisi halal bihalal dalam kamus tersebut terdapat pada entri huruf ‘A’ dengan kata ‘alal behalal’ dengan arti yang sama dengan arti ‘tradisi halal bihalal’ yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu acara maaf memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia.
Salah satu versi menyebutkan bahwa kata tradisi halal bihalal sudah ada sejak tahun 1935 – 1936. Diceritakan bahwa pada setiap hari Lebaran, ada penjual martabak berkebangsaan India yang berjualan di gerbang Taman Sriwedari, Surakarta. Ia dibantu oleh individu pribumi untuk mendorong gerobak dan mengurus api penggorengan.
Untuk menarik para pembeli, Si Pembantu tadi berteriak teriak, “Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!” Kemudian anak anak menirukan ucapannya dengan “halal behalal”. Sejak saat itu, istilah halal behalal menjadi populer di kalangan masyarakat di Surakarta.
Versi lain menyebutkan bahwa tradisi halal bihalal merupakan gabungan kata berbahasa Arab. Ada dua kata halal yang berarti ‘boleh’ atau ‘diizinkan’ digabungkan dengan kata penghubung bi yang berarti ‘dengan’. Sehingga berarti halal dengan halal, artinya saling menghapus segala hal yang dilarang, seperti dosa dan kesalahan terhadap individu lain. Meskipun ketiga kata ini berasal dari bahasa Arab, tidak dikenal penggabungan kata seperti itu dalam bahasa Arab.
Versi berikutnya menyebutkan bahwa kata tradisi halal bihalal berawal dari keterbatasan bangsa Indonesia dalam berbahasa Arab ketika menunaikan ibadah haji. Ketika terjadi tawar menawar harga barang, jamaah Indonesia hanya berkata “halal?”. Lalu ketika penjual berkata “halal”, maka transaksi disetujui bersama.
Apapun yang melatar belakangi munculnya kebiasaan dan istilah ini di bumi Indonesia, ini adalah nilai bangsa yang harus dilestarikan sebagai bukti bahwa agama tidak bertentangan dengan tradisi lokal, bahkan justru ikut membangun tumbuh kembangnya. Seperti juga yang diakui oleh Umar Kayam, individu tradisiwan Indonesia, yang menilai kebiasaan tradisi halal bihalal ini sebagai terobosan akulturasi tradisi Jawa dan Islam.
Kebiasaan tradisi halal bihalal setelah Idul Fitri hanya terjadi di Indonesia. Adapun maksud dan tujuan kebiasaan tersebut adalah sesuai hadits Nabi saw:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَيَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّــــئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang telah menganiaya kepada individu lain baik dengan cara menghilangkan kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada individu tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati). Apabila belum meminta halal sudah mati, dan individu yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal jelek individu yang dianiaya akan diberikan pada individu yang menganiaya”. (HR. Al Bukhori)
Rasululloh saw bersabda :
إِذَا الْتَقَيَا فَتَصَافَحَا تَحَاتَتْ ذُنُوْبُهُمَا
“Sesungguhnya apabila dua individu islam bertemu kemudian bersalaman maka gugurlah dosa dari keduanya.”
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidak ada dua individu muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah swt sebelum mereka berpisah.” (HR. Tirmidzi)
Tradisi silaturahmi atau saling berkunjung ke rumah saudara yang sudah menjadi kebiasaan dimasyarakat kita, hal itu merupakan perintah Alloh swt sebagaimana firmanNya:
وَالَّذِيْنَ يَصِلَوْنَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ
“Dan individu individu yang menghubungkan apa apa yang Allah swt perintahkan supaya dihubungkan (Yaitu mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan).” (QS. Ar Ra’du : 21)
Tentang keutamaan silaturahmi Rosul saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan (silaturahmi).” (HR. Bukhori)
لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga individu pemutus, yaitu pemutus tali persaudaraan.” (HR. Bukhori dan Muslim).
1. Moment
untuk minta maaf
Tanpa disadari, manusia tak luput dari kesalahan. Nah, tradisi halal bihalal di
Indonesia adalah moment yang tepat bagi Anda untuk meminta dan memberikan maaf.
Tradisi halal bihalal di Indonesia muncul sebagai ungkapan saling membersihkan
diri dari kesalahan dan kekhilafan untuk saling memaafkan.
2.
Mempererat persaudaraan
Yang tadinya tak kenal, jadi kenal berkat tradisi halal bihalal di Indonesia,
kumpul bareng keluarga di. Berkunjung ke rumah saudara yang jauh maupun dekat membuat
hubungan keluarga semakin erat. Bertamu ke rumah tetangga, makan-makan, hingga
mengobrol bersama juga dapat memberikan peluang untuk berteman dengan orang
baru.
3.
Menghapus penyakit hati
Karena sudah saling memaafkan, kebencian terhadap seseorang di masa lalu pun
terhapuskan. Yup, tradisi
halal bihalal di Indonesia merupakan moment untuk membersihkan hati dari
beragam penyakit hati, seperti dendam, sirik, iri, dan dengki yang merugikan
orang lain maupun diri sendiri.
4.
Membangun kepedulian terhadap sesama
Bulan Ramadan mengajarkan kita untuk peduli terhadap sesama, begitu pula moment
tradisi halal bihalal di Indonesia. Lewat tradisi halal bihalal di Indonesia,
rasa syukur dan keinginan untuk berbagi kebahagiaan terhadap sesama pun akan
semakin tinggi. Tradisi halal bihalal di Indonesia juga menjadi moment
untuk berbagi zakat kepada sanak saudara atau tetangga yang membutuhkan.
Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…