Hak Anak di Luar Nikah dalam Islam
Hamil di luar nikah dan masalah hak anak di luar nikah dalam isam, Dalam hal ini ada beberapa kejadian yang masing masing berbeda hukumnya, berikut penjelasan selengkapnya untuk memahami apa saja Hak Anak di Luar Nikah dalam Islam.
1. Peristiwa Yang Pertama
Apabila seorang perempuan berzina dan tidak mengerti tentang balasan zina dalam islam kemudian hamil, maka seorang anak di luar nikah yang dilahirkannya adalah seorang anak di luar nikah zina dengan kesepakatan para ulama. Seorang anak di luar nikah tersebut dihakkan kepada ibunya dan tidak dihakkan kepada pria yang menzinai ibunya (bapak zinanya). Tegasnya, hubungan hak antara seorang anak di luar nikah dengan bapaknya terputus.
Demikian juga dengan hukum waris terputus dengan bapaknya sesuai dengan cara pembagian warisan dalam islam, dia hanya mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya. Demikian juga hak kewalian kalau seorang seorang anak di luar nikah perempuan terputus dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya adalah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadhi (penghulu). Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah kepada seorang anak di luar nikah yang lahir dari hasil zina.
Akan tetapi, hubungan sebagai mahram dan komunikasi untuk mencapai hikmah silaturahmi dalam islam tetap ada tidak terputus meskipun hubungan hak, waris, kewalian, nafkah terputus. Karena, biar bagaimanapun juga seorang anak di luar nikah itu adalah seorang anak di luar nikahnya, yang tercipta dari air maninya walaupun dari hasil zina. Oleh karena itu haram baginya menikahi seorang anak di luar nikah perempuannya dari hasil zina sama haramnya dengan seorang anak di luar nikah perempuannya yang lahir dari pernikahan yang shahih.
2. Peristiwa Yang Kedua
Apabila terjadi sumpah li’aan antara suami istri misalnya saat hukum cerai nikah siri. Sebagaimana telah dijelaskan (yakni tentang bagaimana seorang anak di luar nikah itu menjadi pria atau perempuan dan serupa dengan orang tuanya di dalam rahim,), maka seorang anak di luar nikah dihakkan kepada ibunya. Demikian juga tentang hukum waris dan nafkah serta hak kewalian.
3. Peristiwa Yang Ketiga
Apabila seorang istri berzina yakni ciri wanita yang sulit masuk surga. Apabila seorang istri berzina baik diketahui suaminya atau tidak kemudian dia hamil, maka seorang anak di luar nikah yang dilahirkannya itu dihakkan kepada suaminya, bukan kepada pria yang menzinai dan menghamilinya dengan kesepakatan para ulama berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Seorang anak di luar nikah itu haknya (pria) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas seorang anak di luar nikah tersebut). [Hadits shahih riwayat Bukhari (no. 6749) dan Muslim (4/171).
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ialah bahwa seorang anak di luar nikah itu milik suami yang sah meskipun lahir dari hasil zina istrinya dengan orang (pria) lain. Tetap seorang anak di luar nikah itu menjadi miliknya dan dihakkan kepadanya. Sedangkan bagi pria yang menzinai istrinya tidak mempunyai hak apapun terhadap seorang anak di luar nikah tersebut.
Peristiwa di atas di luar hukum li’aan dan perbedaannya ialah : kalau hukum li’aan suami menuduh istrinya berzina atau menafikan seorang anak di luar nikah yang dikandung istrinya di muka hakim sehingga dilaksanakan di luar nikahan sumpah li’aan. Dalam kasus li’aan ini, seorang anak di luar nikah dihakkan kepada istri baik tuduhan suami itu benar atau bohong. Sedangkan pada kasus di atas, tidak terjadi sumpah li’aan, meskipun suami mengetahui bahwa istrinya telah berzina dengan pria lain. Ini disebabkan suami tidak melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan di luar nikahan sumpah li’aan.[8]
4. Peristiwa Yang Keempat
Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah ia dinikahi oleh pria yang menghamilinya dan kepada siapa dihakkan seorang anak di luar nikahnya? Jawabnya : Boleh dia dinikahi oleh pria yang menzinainya dan menghamilinya dengan kesepakatan (ijma’) para ahli fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Bar yang dinukil oleh al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fat hul Baari (juz 9 hal. 157 di bagian kitab nikah bab: 24, hadits: 5105) [9].
Kisah Hak Anak di Luar Nikah di Masa Rasulullah
1. Pertama : Fatwa Abu Bakar Ash Shidiq
Ibnu Umar berkata : Ketika Abu Bakar Ash Shiddiq sedang berada di masjid tiba tiba datang seorang pria, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting).” Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian pria itu menerangkan urusannya kepada Umar, “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan seorang anak di luar nikah perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas seorang anak di luar nikah perempuan itu!”
Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan nikah agar dilaksanakan nikahan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (pria dan perempuan yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun. [Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhalla juz 9 hal. 476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubra (juz 8 hal. 223) dari jalan Ibnu Umar].[10]
2. Kedua: Fatwa Umar bin Khattab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para Shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan para Shahabat atau diketahui oleh mereka khususnya ‘Umar. Dan semua para Sahabat diam menyetujuinya dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah terjadi ijma’ di antara para Shahabat bahwa perempuan yang berzina kemudian hamil boleh bahkan harus dinikahkan dengan pria yang menzinainya dan menghamilinya. Oleh karena itu kita melihat para Shahabat berfatwa seperti di atas di antaranya Umar bin Khattab ketika beliau menjadi khalifah sebagaimana riwayat di bawah ini:
Abu Yazid al Makkiy berkata, “Bahwasanya ada seorang pria nikah dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang seorang anak di luar nikah gadis yang bukan (seorang anak di luar nikah kandung) dari pria (yang baru nikah dengannya) dan pria itu pun mempunyai seorang seorang anak di luar nikah pria yang bukan (seorang anak di luar nikah kandung) dari perempuan tersebut, (yakni masing masing membawa seorang seorang anak di luar nikah, yang pria membawa seorang anak di luar nikah pria dan yang perempuan membawa seorang anak di luar nikah gadis).
Lalu pemuda dan seorang anak di luar nikah gadis tersebut melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka tatkala Umar datang ke Makkah, diajukanlah peristiwa itu kapada beliau. Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan untuk mendera keduanya (dilaksanakan hukum had). Umar sangat ingin mengumpulkan diantara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi seorang anak di luar nikah muda itu tidak mau.” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih].
3. Ketiga : Fatwa Abdullah bin Mas’ud:
Dari Hammaam bin Harits bin Qais bin Amr An Nakha’i Al Kufiy : ”Seorang pria yang berzina dengan seorang perempuan kemudian pria itu hendak menikahi perempuan tersebut?’ Jawab Ibnu Mas’ud, “Tidak mengapa yang demikian itu.” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dengan sanad yang shahih atas syarat Muslim]
Dari ‘Alqamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang seorang pria kepada Ibnu Mas’ud. Lalu pria itu bertanya,”Seorang pria berzina dengan seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan, apakah boleh pria itu menikah dengan perempuan tersebut?” Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat ini:
Kemudian sesungguhnya Rabb mu kepada orang orang yang mengerjakan kejahatan dengan kebodohan, kemudian sesudah itu mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb mu sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang. [An Nahl:119]
Berkata Alqamah bin Qais, ”Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang ulang ayat tersebut berkali kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu Mas’ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau membolehkannya).” Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian Imam Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan lain yang semakna dengan riwayat di atas, akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas’ud membaca ayat : [14]
Dan Dia lah (Allah) yang menerima taubat dari hamba hamba Nya dan memaafkan dari kesalahan kesalahan (mereka) dan Dia mengetahui apa apa yang kamu kerjakan. [Asy Syuura : 25]. [15] Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan: Setelah Ibnu Mas’ud membaca ayat di atas beliau berkata,”Hendaklah dia menikahinya!”
4. Keempat : Fatwa Ibnu Umar
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang pria yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)”. [Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al Muhalla juz 9 hal. 475].
Demikian yang dapat penulis sampaikan, smeoga menjadi wawasan islami yang bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…