Kewajiban dari seorang suami pada dasarnya adalah menafkahi istri dan juga anak anaknya. Akan tetapi sekarang ini, ada masanya istri yang menjadi tulang punggung dan mencari nafkah yang dilakukan karena berbagai alasan berbeda beda. Sebenarnya, istri yang mencari nafkah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW yakni istri dari sahabat Rasulullah bernama Zainab ats Tsaqafiyyah yang merupakan perempuan tangguh dan memiliki bisnis sebagai pengrajin. Lalu, untuk sekarang ini, apakah hukum istri yang menafkahi suami menurut ajaran agama Islam?.
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri terhadap suami dalam Islam bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorangpun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR.Muslim)
Sebenarnya, kewajiban suami untuk mencari nafkah tidak akan pernah berubah dan Allah SWT juga berfirman pada surat an Nisaa ayat 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka.”
Pada ayat diatas dikatakan jika kewajiban dalam rumah tangga untuk urusan memberi nafkah adalah tugas dari seorang laki laki dan sudah sepantasnya untuk suami berusaha sekuat tenaga dalam mencari nafkah untuk istri. Meskipun jalan yang harus dilewati cukup sulit, bukan berarti jika suami tidak mau bekerja khususnya jika dilakukan dengan sengaja maka hal tersebut masuk dalam perbuatan dosa besar dalam Islam.
Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta dalam Islam yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS At-Talaq 7)
Status Penghasilan istri
Harta yang dihasilkan dari jerih payah istri adalah hak sepenuhnya bagi istri dan jika digunakan untuk menafkahi suami serta anak anak maka hal tersebut termasuk sedekah dan perbuatan yang mulia. “Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)
Dalam Fatwa Islam ditegaskan, ”Khusus masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam, nomor 126316)
Sedangkan untuk hukum wanita yang bekerja, Syekh Yusuf Qaradhawi mengatakan jika hukumnya adalah diperbolehkan dan bisa menjadi sunnah atau wajib apabila wanita tersebut memang membutuhkan seperti ketika ia menjadi janda dan tidak ada yang bisa menanggung kebutuhan ekonomi dirinya.
Dalam sebuah keluarga, terkadang kewajiban wanita setelah menikah juga diharuskan untuk membantu perekonomian suami yang masih belum mencukupi untuk menghidupi keluarga. “kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami termasuk orang tua yang lanjut umurnya.” [Surah al Qashash ayat 23]
Meskipun wanita yang bekerja dan menafkahi suami diperbolehkan, akan tetapi tetap ada beberapa syarat yang wajib untuk dipenuhi seperti tidak boleh melanggar sumber syariat Islam contohnya bekerja pada bar yang menjual minuman keras, melayani lelaki lajang atau pekerjaan yang mewajibkan dirinya untuk berkhalawat dengan pria.
Istri yang akan bekerja dan mencari nafkah juga harus mendapatkan ijin dari wali dan dalam hal ini adalah suami. Wali merupakan kerabat dari wanita yang berada dalam garis keturunan dan juga sisi sababiyah atau tali pernikahan yakni suami, sisi ulul arham yakni kerabat jauh seperti saudara laki laki seibu atau paman kandung pihak ibu dan juga sisi pemimpin yakni hakim pernikahan atau yang memiliki wewenang serupa dengan hakim.
Wanita juga harus berpakaian syar’i yakni menutup seluruh bagian tubuhnya kecuali bagian telapak tangan dan wajah, berpakaian tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak ketat serta tidak bewarna mencolok sekaligus tidak menggunakan wewangian.
Selain itu, wanita juga harus tetap taat pada adab saat keluar dari rumah yakni dengan menahan pandangan serta tidak menampilkan perhiasan. Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah tidak boleh sampai mengabaikan tugas utama seorang istri yakni merawat dan mengurus keluarganya sehingga jangan sampai kesibukan yang dilakukan sampai menyebabkan suami dan anak anak jadi tidak terurus.
Hukum istri menafkahi suami diperbolehkan namun bukan diwajibkan sehingga bisa dilakukan para istri untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membantu suami dalam segi ekonomi asalkan tidak sampai meninggalkan kewajiban wanita dalam Islam sebagai istri dan ibu. Semoga ulasan ini bisa bermanfaat.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…