Pernikahan

Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Kita seringkali menemukan orang-orang yang merahasiakan acara pernikahannya misalnya nikah siri. Karena beberapa hal yang tidak mungkin disampaikan kepada halayak ramai, maka ada beberapa pasangan yang lebih memilih merahasiakan acara pernikahannya. Namun, bagaimanakah Islam memandang merahasiakan acara pernikahan itu sendiri? Bolehkah kita merahasiakan acara pernikahan? berikut penjelasannya.

Kita perlu membedakan antara mengumumkan acara pernikahan dengan walimah yang dilakukan dengan menjalankan sunnah sebelum akad nikah. Inti dari walimah adalah acara makan-makan untuk merayakan kebahagiaan setelah akad nikah. Sementara pengumuman bentuknya pemberitahuan kepada masyarakat akan adanya acara pernikahan. Dalam hadis dari Zubair bin Awam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umumkanlah nikah.” (HR. Ahmad 16130, Ibnu Hibban 4066 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Nah, yuk baca ulasan lengkap tentang Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam.

Pertama, batasan mengumumkan acara pernikahan adalah menghadirkan saksi dalam acara pernikahan sesuai syarat pernikahan dalam islam. Artinya, selama dalam acara pernikahan telah dihadirkan 2 saksi, maka sudah dianggap mengumumkan acara pernikahan. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Setelah Ibnu Hibban membawakan hadis pengumuman nikah di atas, beliau mengatakan tentang hukum nikah di masjid, Guruku – radhiyallahu ‘anhu – mengatakan, makna hadis, umumkan acara pernikahan dengan menghadirkan 2 saksi yang adil. (Shahih Ibnu Hibban, keterangan hadis no. 4066)

Ini berdasarkan hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha yang memiliki keutamaan aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak ada nikah kecuali melalui wali dan ada dua saksi yang adil. (HR. ad-Daruquthni 9291 dan dishahihkan al-Albani). Hanya saja, para ulama menekankan agar acara pernikahan tetap diramaikan. Tidak sebatas ada saksi, tapi infonya juga disebarkan ke masyarakat. Meskipun jika dirahasiakan.

Ibnu Qudamah mengatakan, Jika ada orang melakukan akad nikah, ada wali dan dua saksi, lalu mereka merahasiakannya atau sepakat untuk merahasiakannya, maka hukumnya makruh, meskipun nikahnya sah. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ibnul Mundzir. Diantara sahabat yang membenci nikah siri adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, Urwah, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, as-Sya’bi, dan Nafi. (al-Mughi, 7/428)

Kedua, bentuk pengumuman acara pernikahan adalah dengan menyebarkan informasi kepada masyarakat tentang adanya acara pernikahan (at-Tasyhir). Tidak cukup dengan kehadiran 2 saksi.

Ini merupakan pendapat Malikiyah, Ahmad dalam salah satu riwayat, Abu Bakr Abdul Aziz dan yang lainnya. Setelah Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat di atas, beliau mengatakan,

Sementara Abu Bakr Abdul Aziz, mengatakan, nikahnya batal. Ada riwayat dari Imam Ahmad, beliau ditanya, “Jika orang menikah, apakah cukup dengan wali dan dua saksi?” jawab beliau, “Belum cukup, sampai diumumkan.” Dan ini pendapat Imam Malik. (al-Mughi, 7/428).

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan, Jika semua yang terlibat dalam akad nikah sepakat untuk merahasiakan nikah, maka statusnya batal menurut sebagian ulama, seperti Malikiyah dan yang sepemahaman dengan mereka. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 127689).

Nikah diam-diam secara sirri

Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu acara pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Namun, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan  terjadinya acara pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nikah dalam bentuk walimatul-‘ursy atau dalam bentuk yang lain. Lalu yang menjadi persoalan adalah apakah acara pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya.

Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah acara pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.

Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:

  • Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
  • Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dan bagi seorang suami yang ingin berpoligami, seperti yang tercantum dalam kompilasi hukum islam harus menyertakan surat kesediaan/kerelaan dari pihak istri pertama. Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Dengan demikian, Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, acara pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di‘ilankan/ diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-‘ursy. Nabi saw bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة

Umumkanlah acara pernikahan dan pukullah rebana“.  [HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah].

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ

 “Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing“. [HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf].

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya.

Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.

Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.

Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.

Ibnu al-Qayyim menyatakan :

تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.

Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat”.

Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak.

Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya..

Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:

وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ٢١

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:

تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.

Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.

Oleh karena itu, dalam pembahasan bahtsul masail yang diadakah oleh NU Sumatra Barat menyatakan bahwa nikah sirri tanpa pencatatan di KUA adalah HARAM, begitu juga majlis Tarjih Muhammadiyah mewajibkan acara pernikahan dengan pencatatan sesuai undang-undang yang berlaku, karena kalau tidak dicatat dapat merugikan pihak perempuan dan juga kemungkinan adanya madharat dikemudian hari jika terjadi perselisihan pada masing-masing pihak karena tiadanya bukti hukum yang tertulis. Hal ini terkait dengan kaidah fiqih bahwa menolak mafsadat itu harus lebih didahulukan daripada memperbaiki kemudian. Jadi, letak keharaman dan kewajiban untuk dicatat lebih pada pertimbangan mencegah mafsadat dan mengambil manfaat dan mashlaha baik dalam konteks hukum dan sosial.

Dalamislam.com sangat menekankan agar setiap acara acara pernikahan diumumkan. Minimal kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut masalah kehormatan. Ketika itu dirahasiakan, bisa jadi akan menimbulkan buruk sangka di tengah masyarakat karena dia berduaan dengan lawan jenis yang belum pernah mereka kenal. Sampai jumpa di artikel berikutnya, semoga bermanfaat.

Recent Posts

Perbedaan Kafir Harbi dan Dzimmi

‎أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ قُلْ  لِّلَّذِيْنَ  كَفَرُوْا  سَتُغْلَبُوْنَ  وَتُحْشَرُوْنَ  اِلٰى  جَهَنَّمَ   ۗ وَبِئْسَ  الْمِهَا دُ “Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang yang kafir, Kamu…

1 month ago

4 Contoh Syariat Islam yang di Terapkan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Syariat Islam adalah hukum yang terdapat dalam ajaran islam untuk mengatur kehidupan manusia. Hal ini…

1 month ago

Tata Cara Aqiqah Anak Laki-Laki : Hukum, dan Dalilnya

Agama Islam memuliakan umatnya, termasuk anak-anak. Dalam aturan agama islam terdapat beberapa arahan yang membahas…

1 month ago

4 Sumber Hukum Islam Yang Disepakati

Berbicara mengenai hukum islam, maka kita dapat berbicara mengenai sumber hukum islam yang disepakati. Tujuannya…

1 month ago

Hukum Aqiqah Sudah Dewasa dan Dalilnya

Aqiqah dalam islam merupakan prosesi yang masuk kedalam sunah muakkad atau sunnah yang wajib untuk…

2 months ago

4 Sumber Hukum yang Tidak Disepakati

Dalam agama islam, hukum merupakan aturan baku yang mengatur dan memandu umat muslim dalam beribadah.…

2 months ago