Hukum Islam

Hukum Menulis Cerita Fiksi Dalam Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Membaca merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam dunia pendidikan bahkan sejak kita masih di bangku TK (di beberapa kesempatan, bahkan dongeng-dongeng yang memiliki nilai moral kadang diceritakan oleh orang tua sebelum anak kecil masuk sekolah). Di dalam kegiatan membaca dan mengisahkan cerita tersebut tentu saja difungsikan untuk memberikan edukasi kepada anak terlepas dari cerita yang disampaikan tersebut benar-benar terjadi atau hanya karangan semata.

Namun tentu saja, jika kita menyoroti konsep cerita yang tidak benar-benar terjadi yang sering sekali kita dengar tersebut apakah termasuk dalam menyebarkan kisah bohong? Lantas bagaimana pandangan dan hukum menulis cerita fiksi dalam Islam? Mengingat bahkan sampai dewasa ini, kita juga sering menjumpai kisah-kisah fiksi yang mana semuanya memang kisah yang dibuat hanya dari imajinasi semata.

Menyebarkan Cerita Bohong Dalam Islam

Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Dari hadist diatas dapat disimpulkan bahwa bohong adalah perbuatan dosa. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam merujuk kebohongan adalah tentang cerita-cerita yang tidak benar.

Namun, tentu kita tidak bisa mengakhiri dan mengambil kesimpulan untuk menentukan hukum menulis cerita fiksi dalam Islam begitu saja, hanya dengan Hadist diatas maka kita menanamkan pemahaman bahwa cerita fiksi dan segala penulisnya adalah Haram dan Kafir. Pasalnya, Hadist diatas tidak spesifik menyebutkan bahwa cerita-cerita yang sifatnya fiksi adalah sesuatu yang diharamkan.

Baca juga:

Disisi lain, Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam Hadist lain :

“حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج”

“Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa”  (HR. Tirmidzi)

Cerita-cerita dari Bani Israil yang dimaksud adalah hikayat-hikayat atau dongeng yang memang secara umum diketahui bahwa diantara cerita-cerita itu ada yang tidak benar-benar terjadi, namun di dalamnya memiliki nilai-nilai yang bermanfaat dan berguna. Dan hanya sebagai sarana hiburan, bukan untuk berdalil, berhujjah, membesar-besarkan ataupun kepentingan tertentu.

Hukum Menulis Cerita Fiksi

Sebagian Ulama menggunakan Hadist diatas untuk menyimpulkan bahwasanya mengarang ataupun membuat cerita yang bersifat fiksi itu hukumnya boleh, asalkan setiap orang yang membacanya paham bahwa cerita-cerita yang disampaikan adalah karangan semata.

Bahkan baik hukumnya apabila cerita-cerita yang disampaikan adalah perihal sesuatu yang bermanfaat yang memiliki kandungan moral di dalamnya. Karena cerita tersebut bersifat sebagai contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari. Dalam QS, An- Nahl, Allah SWT jua pernah memberikan contoh tentang perumpamaan tentang kehidupan Manusia. Allah SWT berfirman :

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا رَّجُلَيۡنِ أَحَدُهُمَآ أَبۡكَمُ لَا يَقۡدِرُ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوۡلَىٰهُ أَيۡنَمَا يُوَجِّههُّ لَا يَأۡتِ بِخَيۡرٍ هَلۡ يَسۡتَوِي هُوَ وَمَن يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Dan Alloh pun membuat perumpamaan, dua orang lelaki, salah satunya bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (QS An-Nahl 76)

Baca juga:

Salah seorang Ulama’ Syekh Ibnu Jibrin Rohimahullah menjelasakan dalam memaknai permasalahan ini dengan jawaban sederhana dan mudah dimengerti, bahwasannya :

إذا عرف الحاضرون أنها قصص خيالية ابتكرها الكاتب، أو القاص لشحذ أذهان الطلاب واجتذاب أفهامهم وضرب الأمثلة لهم فلا بأس بها فقد أقر العلماء القصص المؤلفة كما في مقامات بديع الزمان الهمذاني ومقامات الحريري ونحوها..

Beliau mengatakan,

“Jika kita mengetahui bahwa kisah tersebut adalah fiksi yang dibuat oleh penulis ataupun pendongeng, dengan tujuan menarik perhatian dan pemahaman kita atau sebagai permisalan, maka hukumnya adalah boleh. Karena para ulama pun telah menetapkan bolehnya cerita fiksi seperti yang terdapat dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman Al-Hamdzani dan Maqamat karya Al-Hariri, serta buku-buku yang serupa.”

Namun Juga, Beliau pun memberikan sebuah nasehat yang berisi :

مع أنه يُفضل أن يبحث عن قصص واقعية يصوغها بعبارته ويظهر ما فيها من المعاني والفوائد

“Walaupun yang lebih baik adalah mencari cerita-cerita nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri, kemudian disampaikan pesan atau faidah yang terkandung dibalik cerita tersebut”.

Atas penjelasan diatas, maka tidak ada keraguan lagi bahwasanya menulis cerita fiksi itu hukumnya tidak haram.

Menulis Cerita Fiksi yang Baik Dalam Islam

Tentu setelah mengetahui hukumnya, alangkah baik kita juga mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan dalam menulis cerita fiksi, terlebih dewasa ini menjadi penulis sudah merupakan satu dari sekian karir yang menjanjikan, bahkan tidak sedikit kita jumpai banyak orang yang bisa sejahtera hanya karena menulis novel.

Dan atas alasan itulah, pemilihan tema dan pembentukan struktur yang baik dalam penulisan adalah hal yang harus diperhatikan, agar apapun yang kita tulis, akan berguna tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat.

Atas Alasan itulah, ada beberapa indikator yang harus diperhatikan apabila ingin membuat cerita fiksi dan menyebarkannya kepada khalayak ramai, indikator-indikator tersebut antara lain :

1. Pembaca harus tau kalau cerita tersebut sifatnya adalah fiksi

Dalam Artian, apabila seorang penulis ingin menyajikan tulisan kepada pembaca, alangkah pembaca diberikan peringatan terlebih dahulu bahwa cerita tersebut bukan merupakan kisah nyata. Tujuannya adalah agar tidak timbul berita-berita dusta atau hoax dikarenakan cerita fiksi tersebut.

Baca juga:

2. Tidak bersifat memecah belah

Maksudnya adalah, isinya harus memiliki tujuan yang baik. Sebagai sarana menghibur dan tidak mengandung kalimat-kalimat persuasif ataupun ajakan-ajakan yang menjurus kepada kesesatan dan hal-hal tidak baik lainnya.

3. Memiliki nilai moral yang dapat diteladani

Yang mana cerita tersebut harus setidaknya memiliki nilai-nilai yang dapat menggugah pembaca. Berisi pemahaman-pemahaman yang baik dan contoh-contoh kehidupan yang bersifat mulia dan disajikan dengan cara yang menarik. Tujuannya adalah agar apapun yang ditulis, akan memiliki kebermanfaatan bagi sesama.

Apabila indikator-indikator diatas diperhatikan, insyaAllah apapun yang kita tulis maka segala sesuatunya tidak akan dipersalahkan. Dan akan lebih baik pula dimata Agama maupun antara pembaca dan penulis.

….

Itulah penjelasan tentang hukum menulis cerita fiksi dalam Islam. Adapun hal-hal yang dijelaskan diatas semoga saja dapat memberikan pengetahuan kepada kita semua, dan segala macam hal yang kita pelajari semoga pula dapat lebih baik dari hari kemarin.  Amin

Hamsa,

Share
Published by
Hamsa

Recent Posts

Sejarah Masuknya Islam Ke Aceh

Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Myanmar

Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Andalusia

Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Afrika

sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara

Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Pulau Jawa

Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…

6 months ago