Menikah dalam hukum islam tentu sudah ditetapkan sumber syariat islam dan aturan aturannya yang harus dipenuhi agar pernikahan tersebut memiliki kekuatan yang sah dan halal. Namun dalam penerapannya dalam kehidupan sehari hari, terkadang tidak semua syarat sah pernikahan tersebut
dapat dipenuhi dan pernikahan tetap dilaksanakan sekedarnya atau memakai alternatif lain sebagai penggantinya dan pernikahan tetap dilaksanakan baik itu di rumah atau nikah di masjid. Salah satu syarat sah menikah tentu adanya wali dan saksi, namun jika terdapat masalah, misalnya pernikahan yang tidak disetujui,
pernikahan dengan mualaf, nikah siri atau pernikahan yang dilakukan sembunyi sembunyi dsb, bagaimana hukumnya dan kekuatannya menurut islam? untuk memahami lebih lanjut, simak ulasannya dalam artikel kali ini, Hukum Nikah Tanpa Wali dan Saksi.
Pernikahan tanpa Wali dan Saksi ialah Bathil (Tidak Sah)
Pernikahan dalam Islam memiliki beberapa syarat dan rukun nikah, jika semua terpenuhi maka akad nikahnya sah. Rukun nikahnya tersebut ialah Ijab dan Qabul (serah terima); ijab adalah wali dari mempelai wanita mengucapkan: “Saya menikahkan fulanah, atau anak saya, atau saudari saya kepadamu”. Sedangkan qabul yaitu; mempelai laki laki mengucapkan: “Saya terima nikahnya fulanah”.
Dan di antara syarat syarat pernikahan dalam islam adalah penentuan mempelai laki laki dan wanita, keduanya pun setuju untuk menikah, diakadkan oleh wali atau wakilnya, hadirnya dua orang saksi yang adil, untuk bab pengumuman sebenarnya cukup dengan disaksikan saja menurut pendapat yang kuat.
Yang menjadi dalil dari pernyataan di atas adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
Dan jika wanita muslimah tidak mempunyai wali muslim, maka yang menikahkan adalah hakim yang muslim, dan kalau tidak ada maka yang menikahkan adalah seorang laki laki yang memiliki kedudukan di antara kaum muslimin seperti; imam masjid, atau ketua Islamic centre, atau seorang ulama yang terkenal, dan kalau juga tidak ada maka yang menikahkan adalah seorang laki laki dari umat Islam.
Dengan demikian, maka tidak sah jika seorang wanita menikahkan dirinya sendiri, maka wajib mencari tiga orang Islam di daerah tersebut, Karena pernikahan tanpa wali dan saksi adalah pernikahan yang bathil menurut kebanyakan para ulama, barang siapa yang sengaja melakukannya padahal ia mengetahui hukum sebenarnya maka ia telah berzina dan berdosa.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah berkata:
Jika tidak Memiliki Wali dan Saksi Pernikahan Harus Dilakukan dengan Wali Hakim
Seandainya pun wali yang asli tidak mau menikahkan, maka pernikahan bisa dilakukan dengan wali hakim yakni pejabat KUA dan jajaran di bawahnya atau seorang ustadz/ kyai. Dalam situasi ideal, hukum asalnya adalah: ayah harus menjadi wali nikah putrinya. Yang dimaksud wali hakim adalah pejabat negara yang membidangi masalah tersebut yaitu hakim agama, pegawai KUA (Kantor Urusan Agama), dan pegawai PPN (pegawai pencatat nikah). Tapi wali hakim bisa menikahkan juga dalam keadaan tertentu antara lain:
Hadits penggunaan wali hakim adalah hadits sahih riwayat Ahmad dan Abu Dawud Perumpuan yang menikah tanpa ijin walinya maka nikahnya batal (Nabi mengucapkannya 3x). Kemudian berkata: Apabila para wali tidak mau, maka sultan (wali hakim) dapat menjadi wali dari wanita yang tidak memiliki wali.
Wali Hakim dan Saksi Harus Ada dalam Pernikahan
Yunus bin Abdul A’la meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata: “Apabila ada perempuan yang tidak punya wali lalu dia menunjuk seorang lelaki untuk menjadi wali. Lalu si lelaki itu menikahkannya, maka hukumnya boleh (sah nikahnya).
Apabila wanita (yang hendak kawin) berada di suatu tempat yang tidak ada hakim dan jajarannya dan tidak ada wali kerabat, maka ia dapat menyerahkan urusan pernikahannya pada lelaki yang dipercaya seperti tetangganya untuk menikahkannya. Maka lelaki itu menjadi walinya dalam hal ini. Karena manusia harus menikah dan mareka melakukannya dengan cara sebaik mungkin.
Apabila wali dan hakim tidak ada, lalu wanita dan tunangannya meminta seorang lelaki untuk menikahkannya, maka itu sah karena lelaki itu seorang muhakkam dan muhakam itu seperti hakim karena sangat dibutuhkan. Jamaluddin Asnawi dalam Al-Muhimmat berkata: Bolehnya tersebut tidak hanya karena ketiadaan hakim. Bahkan boleh dengan adanya hakim saat di perjalanan atau di rumah.
Adzro’i berkata: Bolehnya hal itu saat ada qadhi (hakim) jauh dari mazhab dan dalil karena hakim adalah wali yang hadir, maka hukumnya tidak sah (memakai wali non-hakim) apabila ada hakim. Adapun perkataan Imam Syafi’i yang membolehkan nikah semacam itu adalah dalam konteks darurat dan tidak ada darurat apabila bisa dinikahkan oleh hakim. Ini pendapat yang muktamad.
hakim agama dan jajaran dibawahnya (KUA, PPN, Modin) yang dapat menikahkan seorang perempuan apabila diminta asal terpenuhi syarat-syaratnya antara lain wali kerabat (ayah) tidak ada atau lokasi berjauhan sejauh bolehnya qashar.
seperti ustadz, kyai, guru, imam masjid juga bisa menjadi wali nikah atas permintaan atau persetujuan si perempuan apabila wali hakim tidak ada. Apabila wali hakim ada juga tetap boleh menjadi wali nikah menurut sebagian pendapat dalam mazhab Syafi’i.
Hakim boleh menikahkan wanita atas ijin dan restu wanita itu setelah jelas tidak ada penghalang pernikahan, tidak ada wali, atau ada wali yang menolak menikahkan atau lokasinya berjauhan.
Sah hakim menikahkan wanita yang walinya tidak ada setelah dicari. Apakah jauhnya harus jarak qashar atau tidak? Apabila ragu dan sulit meminta ijin karena tidak tahu tempatnya maka sah juga selagi tidak jelas dekatnya.
Sebagian ulama mensyaratkan adanya wali apabila masih perawan. Sebagian besar ulama tidak mensyaratkan adanya wali apabila ia seorang janda yang sudah baligh (dewasa). Berdasarkan ini, maka janda boleh menikahi seorang lelaki walaupun wali tidak tahu menurut pendapat sebagian ahli fiqih.
Kalau wali kerabat lokasinya jauh sampai 2 marhalah (sekitar 83 km) dan tidak ada wakilnya yang hadir di tempat tersebut, atau kurang dari jarak qashar, maka Sultan boleh menikahkan yakni sultan daerah tersebut atau wakilnya. Kewalian tidak pindah pada wali yang jauh menurut pendapat yang lebih sahih.
Sabda Nabi “janda lebih berhak pada dirinya” dari segi sintaks ada kemungkinan yang dimaksud adalah bahwa janda lebih berhak dari walinya dalam segala hal yakni dalam segi akad (nikah) dan lainnya sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Hanifah dan Dawud. Tapi mungkin juga maksudnya adalah
(janda) lebih berhak untuk dimintai ijinnya yakni janda tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya berbeda dengan perawan. Namun kalau melihat pada sabda Nabi yang lain “tidak sah nikahnya kecuali dengan wali” dengan beberapa hadis lain yang mensyaratkan adanya wali, maka kemungkinan kedua yang benar (yakni janda menikah harus dengan wali).
Jadi jelas ya sobat, pernikahan entah itu nikah siri atau resmi secara hukum negara harus disertai dengan wali dan saksi, jika ada kendala misalnya tidak ada wali kandung karena beragam hal maka pernikahan dapat dilakukan dengan bantuan wali hakim.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga bisa menjadi wawasan islami yang bermanfaat. Jangan lupa untuk menjalankan segaal urusan termasuk pernikahan sesuai dengan ketentuan atau syariat islam yang berlaku sehingga pernikahan bisa menjadi jalan ibadah. Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…