Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pria bernama Aus ibn Shamit. Ia memiliki istri bernama Khaulah binti Tsa’labah.
Suatu hari, Aus ibn Shamit mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap istirnya dengan mengatakan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” Kemudian, Aus ibn Shamit menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada istrinya.
Dalam kebiasaan Jahiliyyah, kalimat zhihar yang diucapkan oleh Aus ibn Shamit itu sama seperti menalak istrinya. Khalulah binti Tsa’labah kemudian menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menggugat hal ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa hal tersebut belum ada keputusan dari Allah.
Dalam suatu riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengannya.” Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebutkan kata-kata talak.” Kemudian Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah surat Al Mujadalah ayat 1-4 yang artinya,
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata,
“Segala puji bagi Allah Yang Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sungguh. Ada seorang wanita yang mengajukan gugatan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan Beliau, sedangkan aku berada di pojok rumah, aku tidak mendengarkan apa yang diucapkannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan ayat, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dst” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhari secara mu-allaq, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Jarir dan Hakim)
Ayat 1-4 dalam surat Al Mujadalah tersebut dengan jelas menegaskan bahwa perbuatan menzhihar istrinya dilarang dalam Islam.
Apabila sang suami menyesali apa yang telah ia perbuat terhadap istrinya dan bermaksud kembali kepada istrinya maka menurut ayat di atas ia wajib memerdekakan seorang budak.
Jika tidak mampu memerdekakan seorang budak, maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut maka ia wajib memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah ulasan singkat tentang hukum suami membandingkan istri dengan ibunya. Artikel lain yang dapat dibaca seputar fikih di antaranya adalah hukum suami yang tidak memuliakan istri, hukum suami yang tidak shalat, hukum suami membentak istri dalam Islam, hukum menampar istri dalam Islam, hukum menghina istri dalam Islam, hukum suami tidak menafkahi istri dalam Islam, hukum tidak bertegur sapa dengan suami, hukum taat kepada suami, hukum istri yang membohongi suami, dan hukum wanita tidak melayani suami. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَتُغْلَبُوْنَ وَتُحْشَرُوْنَ اِلٰى جَهَنَّمَ ۗ وَبِئْسَ الْمِهَا دُ “Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang yang kafir, Kamu…
Syariat Islam adalah hukum yang terdapat dalam ajaran islam untuk mengatur kehidupan manusia. Hal ini…
Agama Islam memuliakan umatnya, termasuk anak-anak. Dalam aturan agama islam terdapat beberapa arahan yang membahas…
Berbicara mengenai hukum islam, maka kita dapat berbicara mengenai sumber hukum islam yang disepakati. Tujuannya…
Aqiqah dalam islam merupakan prosesi yang masuk kedalam sunah muakkad atau sunnah yang wajib untuk…
Dalam agama islam, hukum merupakan aturan baku yang mengatur dan memandu umat muslim dalam beribadah.…