sejarah islam dunia Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/sejarah-islam-dunia Sat, 08 Jun 2019 07:13:08 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png sejarah islam dunia Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/sejarah-islam-dunia 32 32 Mengenal Ya’juj dan Ma’juj https://dalamislam.com/info-islami/mengenal-yajuj-dan-majuj Sat, 08 Jun 2019 07:11:41 +0000 https://dalamislam.com/?p=7130 Ya’juj dan Ma’juj adalah dua umat dari Bani Adam yang telah ada sekarang dan berhubungan dengan adanya tanda tanda kiamat kecil. Allah Ta’ala berfirman: Artinya: “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj […]

The post Mengenal Ya’juj dan Ma’juj appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ya’juj dan Ma’juj adalah dua umat dari Bani Adam yang telah ada sekarang dan berhubungan dengan adanya tanda tanda kiamat kecil.

Allah Ta’ala berfirman:

Artinya: “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka’.

Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabb-ku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi’. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’

Hingga apabila besi itu sudah mejadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu’. Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabb-ku. Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabb-ku itu adalah benar.” [Al-Kahfi: 93-98]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Allah Ta’ala akan berfirman pada hari kiamat, ‘Hai Adam! Bangkitlah dan keluarlah seperti kobaran api dari anak cucumu, sampai akhirnya Nabi bersabda: “Berilah kabar gembira, sesungguhnya satu orang dari kalian dan dari Ya’juj dan Ma’juj seribu.”

Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj yang berhubungan dengan tanda tanda kiamat besar termasuk tanda kiamat yang telah diketahui cirri-cirinya sejak zaman Nabi.

Dalam hadits Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa Rasulullah pada suatu hari yang menegangkan keluar dari rumah dengan wajah memerah seraya berkata:

“Laa ilaaha illallah! Celaka bagi orang Arab dari kejahatan telah dekatnya waktu terbukanya benteng Ya’juj dan Ma’juj seperti ini’. Sambil beliau mengepal ibu jarinya dengan jari-jarinya yang lain.”

[Disalin dari kitab Fatawa ‘Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka At-Tibyan]

Menurut Al Qur’an

“Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj telah ada saat ini, dan Al Qur’an yang memiliki hukum shalat sambil membaca quran menunjukkan akan hal itu. Allah Ta’ala berfirman tentang Dzulqarnain,

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَى قَوْمٍ لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْراً * كَذَلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ خُبْراً * ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَباً يعني: سار حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْماً لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلاً * قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجاً عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدّاً

Hingga ketika dia sampai di tempat terbit matahari (sebelah timur) didapatinya (matahari) bersinar di atas suatu kaum yang tidak Kami buatkan suatu pelindung bagi mereka dari (cahaya) matahari itu. Demikianlah, dan sesungguhnya Kami mengetahui segala sesuatu yang ada padanya (Dzulkarnain). Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).

Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, didapatinya di belakang kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan. Mereka berkata, “Wahai Dzulkarnain! Sungguh, Ya’juj dan Ma’juj itu (sekelompok manusia) yang berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka” (QS. Al Kahfi : 90-94).

Berdasarkan ayat di atas yakni kiamat menurut islam, Ya’juj dan Ma’juj sudah ada saat ini. Allah Ta’ala juga berfirman bahwa mereka adalah kaum yang suka berbuat kerusakan di muka bumi, maka kaum itu memberikan harta mereka supaya Dzulqarnain membuatkan pembatas antara mereka dan Ya’juj Ma’juj. Maka Dzulqarnain pun menjawab,

آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ

Berilah aku potongan-potongan besi!” (QS. Al Kahfi : 96).

Mereka pun membawakan besi dan akhirnya tersusunlah besi itu satu sama lain hingga dinding itu rata tingginya di antara kedua puncak gunung. Dzulqarnain pun meminta dibawakan potongan besi yang dilelehkan dan dituangkan dari atas dinding itu. Jadilah dinding itu layaknya gunung dari besi.

فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ

Maka mereka pun (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya” (QS. Al Kahfi : 97).

Mereka tidak dapat mendakinya karena tingginya dinding, tidak pula dapat menggalinya karena bahannya terbuat dari besi. Dzulqarnain pun berkata,

هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقّاً

Ini adalah rahmat dari Rabbku maka apabila janji Tuhanku sudah datang, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu adalah benar” (QS. Al Kahfi : 98).

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ

Dan pada hari itu Kami biarkan mereka (Ya’juj dan Ma’juj) berbaur antara satu dengan yang lain” (QS. Al Kahfi : 99).

Alhasil, bahwasanya guru kami rahimahullah tidak memiliki dua pendapat dalam masalah ini. Bahkan hanya ada satu pendapat berdasarkan dalil dari Kitabullah ‘azza wa jalla dan demikian pula pendapat ulama lain. Bahkan sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam menetapkan hal tersebut, beliau bersabda,

يقول الله تعالى: يا آدم –يعني: يوم القيامة– فيقول: لبيك وسعديك. فيقول: أخرج من ذريتك بعثاً إلى النار. قال: يا ربِّ وما بعث النار؟ قال: تسعمائة وتسعة وتسعون من كل ألف) يعني: تسعمائة وتسعة وتسعين من بني آدم كلهم في النار وواحد في الجنة، (فَكَبُر ذلك على الصحابة وعظم عليهم وقالوا: يا رسول الله! أين ذلك الواحد؟ قال: أبشروا فإنكم في أمتين ما كانتا في شيء إلا كثرتاه يأجوج ومأجوج

Allah berfirman, “Wahai Adam. Ia pun menjawab, “Ya, aku memenuhi panggilan-Mu”. Allah berfirman, “Keluarkanlah ba’tsun naar (utusan neraka)!” Ia bertanya, “Apakah ba’tsun nar itu?” Allah berfirman, “Dari setiap 1000 orang, 999 orang sebagai menghuni neraka (sehingga 1 orang masuk surga -pent). Para shahabat pun gempar dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang termasuk satu orang (yang satu) itu?” Beliau bersabda, “Bergembiralah! Sesungguhnya dari kalian satu orang dan dari Ya`juj dan Ma`juj seribu orang”. (HR. Bukhari).

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa :

  • Ya’juj dan Ma’juj termasuk dari kalangan anak Adam
  • Ya’juj dan Ma’juj masuk neraka seluruhnya
  • Ya’juj dan Ma’juj sudah ada saat ini menurut pandangan kami berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan tetapi mereka yang telah ada saat ini bukanlah mereka yang nanti akan keluar di akhir zaman. Bahkan akan datang kaum yang lahir belakangan, mereka keluar di akhir zaman dan berbuat kerusakan di muka bumi sebagaimana kerusakan yang diperbuat nenek moyang mereka.

Berhubungan dengan Nabi Isa AS

Saat menjelang wafat, Nabi Nuh a.s yang baik seperti amalan rezeki nabi sulaiman memanggil anak-anaknya untuk menghadap beliau. Maka Sam a.s segera datang menemuinya, namun kedua saudaranya tidak muncul yaitu Ham dan Yafits. Akibat dari ketidakpatuhan Ham dan Yafits, Allah kemudian menurunkan ganjaran kepada mereka. Yafits yang tidak datang karena lebih memilih berdua dengan istrinya (berhubungan suami istri) kemudian melahirkan anak bernama Sannaf. Kelak kemudian Sannaf menurunkan anak yang ganjil.

Ketika dilahirkan, keluar sekaligus anak-anak dalam wujud kurang sempurna. Selain itu ukuran besar dan bobot masing-masing juga berbeda, ada yang fisiknya besar sedangkan lainnya kecil. Untuk selanjutnya yang besar kemudian terus tumbuh hingga melebihi ukuran normal (raksasa), sebaliknya yang bertubuh kecil terus kecil seperti liliput. Mereka kemudian dikenal sebagai Ya’juj dan Ma’juj.

Selain wujudnya yang ganjil, Ya’juj dan Ma’juj mempunyai nafsu makan yang melebihi normal. Padahal bilamana mereka makan tumbuhan tertentu maka tumbuhan itu akan berhenti tumbuh sampai kemudian mati. Demikian pula bila minum air dari suatu tempat maka airnya tidak akan bertambah lagi. Sehingga banyak sumber-sumber air dan sungai menjadi kering karenanya. Masyarakat di sekitar mereka pun harus menanggung dampaknya yaitu krisis pangan dan air. 

Karena interaksi sosial yang tidak kondusif akibat masalah yang dibawa oleh Ya’juj dan Ma’juj ini maka mereka kemudian cenderung mengisolasi diri di suatu celah gunung di tengah-tengah komunitas induk bangsa-bangsa keturunan Yafits lainnya, yang antara lain meliputi bangsa: Armenia, Rusia/Slavia, Romawi dan Turk di wilayah-wilayah luas seputar Laut Hitam.

Namun bilamana mereka membutuhkan makan dan minum, akan keluar secara serentak bersama-sama ke daerah-daerah sekitarnya yang masih belum tersentuh oleh mereka sebelumnya. Karena kondisi fisiknya, mereka mampu menempuh perjalanan jauh dalam waktu relatif lebih pendek dibandingkan oleh manusia normal. Bagi golongan raksasa karena mereka mampu melangkah dengan jangkauan lebar sedangkan golongan liliput adalah karena sedemikian ringan bobotnya terhadap gravitasi bumi sehingga bila berjalan sangat cepat seperti meluncur bersama angin.

Pada puncak keresahan masyarakat pada masa itu, Allah SWT kemudian mengutus salah satu hambaNya yang berkulit kehitaman (tetapi bukan termasuk ras negro) dengan dua benjolan kecil (tidak bertulang tanduk) di kedua sisi keningnya yang sebenarnya lebih sering tak tampak karena tertutupi oleh surbannya yaitu Nabi Dzul Qarnain a.s (QS 18:93) untuk menghadang laju Ya’juj dan Ma’juj yang telah menimbulkan kerusakan alam yang akan terus bertambah luas.

Sesuai petunjuk Allah, Nabi Dzul Qarnain a.s kemudian mengajak masyarakat di sekitar lokasi tempat tinggal Ya’juj dan Ma’juj untuk bersama-sama membuat dinding tembaga dan besi yang akan menutup satu-satunya lubang keluar masuk mereka (QS 18:96). Setelah selesai, masyarakat yang sebelumnya tinggal di dekat dinding diajak untuk meninggalkan lokasi yang sudah kering tanpa air dan tumbuhan tersebut menuju ke tempat lain yang lebih layak untuk dihuni.

Allah SWT juga mewahyukan kepada Nabi Dzul Qarnain a.s bahwa dinding itu akan terjaga dan baru akan terbuka bila saatnya tiba yaitu kelak menjelang datangnya Hari Kiamat (QS 18:98). Kemudian Allah menjadikan gaib (tidak terlihat) lokasi dinding tersebut.

Ya’juj dan Ma’juj yang telah terkurung terus berupaya membuka dinding logam tersebut dengan segala cara, bahkan dengan menjilatinya karena mereka tahu bahwa benda apapun yang mereka sentuh dengan mulutnya akan berhenti tumbuh/bertambah, kering atau tergerus. Cara ini mampu membuat bagian-bagian dinding yang mereka sentuh menjadi tipis. Namun setiap kali akan berlubang, Allah mengembalikan lagi kondisinya seperti semula. Untuk bertahan hidup selama terkurung di balik dinding, Allah menumbuhkan sejenis lumut, sebagai satu-satunya tumbuhan yang dapat terus tumbuh dan justru makin bertambah banyak setiap kali dimakan oleh masyarakat Ya’juj dan Ma’juj.

Kelak menjelang Kiamat, salah seorang pemimpin mereka mengatakan kata kunci “InsyaAllah” maka kemudian terbukalah dinding tersebut sekaligus kegaibannya dari penglihatan masyarakat luar sebelumnya. Dan Kaum Ya’juj dan Ma’juj yang selama ribuan tahun terkurung telah berkembang pesat jumlahnya akan turun bagaikan air bah (QS 21:96) memuaskan nafsu makan dan minumnya di segala tempat yang dapat mereka jangkau di bumi.

Masyarakat muslim termasuk Nabi Isa a.s yang telah terpojok di sebuah gunung (tur) lalu bersama-sama berdoa kepada Allah agar terhindar dari masalah akibat perbuatan Ya’juj dan Ma’juj. Kemudian Allah SWT memerintahkan ulat-ulat yang tiba-tiba menembus keluar dari tengkuk Ya’juj dan Ma’juj yang langsung mengakibatkan kematian mereka secara serentak.

Itulah selengkapnya tentang Mengenal Ya’juj dan Ma’juj, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Mengenal Ya’juj dan Ma’juj appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Alasan Umat Islam Hijrah ke Madinah https://dalamislam.com/sejarah-islam/alasan-umat-islam-hijrah-ke-madinah Fri, 05 Apr 2019 23:43:53 +0000 https://dalamislam.com/?p=6264 Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari yang merupakan sumber syariat islam, Rasulullah bercerita bahwa suatu ketika dirinya pernah bermimpi berhijrah dari Makkah ke ke suatu kota yang memiliki banyak pohon kurma. Pada saat itu, Rasulullah mengira bahwa kota tersebut adalah Yamamah atau Hajar. Namun dugaan Rasulullah meleset, ternyata tempat yang dipilih untuk tempat hijrah adalah Madinah […]

The post Alasan Umat Islam Hijrah ke Madinah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari yang merupakan sumber syariat islam, Rasulullah bercerita bahwa suatu ketika dirinya pernah bermimpi berhijrah dari Makkah ke ke suatu kota yang memiliki banyak pohon kurma. Pada saat itu, Rasulullah mengira bahwa kota tersebut adalah Yamamah atau Hajar. Namun dugaan Rasulullah meleset, ternyata tempat yang dipilih untuk tempat hijrah adalah Madinah Yatsrib.

Lalu apa sebetulnya yang menyebabkan Madinah dipilih sebagai tempat untuk berhijrah Rasulullah dan umat Islam secara keseluruhan dan berhubungan dengansejarah kota Mekkah dalam islam? Perintah Allah sudah pasti menjadi alasan utama. Rasulullah tidak akan berhijrah kecuali atas perintah Allah. Bahkan Allah melalui malaikat Jibril juga sudah menentukan waktu Rasulullah berhijrah ke Madinah, yaitu tengah malam. Di saat para elit kaum kafir Quraisy yang mengepung rumah Rasulullah untuk menghabisinya lengah. 

Dipilihnya Madinah sebagai tempat berhijrah juga tidak lepas dari beberapa penduduk Madinah yang sudah berbaiat kepada Rasulullah atau melakukan hukum berada dengan Rasulullah, dalam Baiat Aqabah pertama dan kedua. Tentu itu menjadi modal bagus bagi Rasulullah dan umat Islam. Namun selain dua hal itu, mungkin saja ada hal-hal lainnya yang menyebabkan mengapa Madinah yang dipilih sebagai tempat berhijrah. Mengapa tidak kota-kota lainnya? Mengapa Madinah?

Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (M Quraish Shihab, 2018) sebagai dasar hukum islam, disebutkan bahwa dipilihnya Madinah sebagai tempat hijrah karena kota tersebut memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan kota lainnya.

  • Penduduknya memiliki sikap ramah

Pertama, penduduknya memiliki sikap ramah dan memahami keutamaan belajar di masjid. Suku Aus dan Khazraj yang mukim di Madinah sebetulnya berasal dari Yaman. Sementara orang-orang Yaman dikenal sebagai orang yang memiliki budi yang halus dan perasaan yang lembut. “Penduduk Yaman datang kepadamu. Mereka itu lembut hati dan halus perasaan,” kata Rasulullah ketika rombongan dari Yaman mengunjunginya usai Perang Khaibar. 

  • Memiliki pengalaman berperang

Kedua, penduduk Madinah memiliki pengalaman berperang. Suku Aus dan suku Khazraj, ditambah komunitas Yahudi Madinah, ‘tidak pernah akur’. Dalam sejarahnya, mereka kerap kali melancarkan peperangan antara satu suku dengan yang lainnya. Peperangannya tidak hanya setahun dua tahun, tapi berlangsung secara bertahun-tahun. Tercatat ada sekitar 10 kali peperangan yang dilalui suku-suku di Madinah. Perang Samir menjadi awal, sementara Perang Bu’ats menjadi perang terakhir. 

Perang Bu’ats merupakan perang terbesar dan terjadi lima tahun sebelum Rasulullah berhijrah. Ketika Rasulullah dan Islam datang, masyarakat Madinah menjadi bersatu dan tidak perang saudara lagi. Perlu diketahui, pengalaman berperang ini menjadi sesuatu yang penting untuk menjaga ajaran agama Islam.

  • Rasulullah memiliki hubungan darah dengan penduduk Madinah

Ketiga, Rasulullah memiliki hubungan darah dengan penduduk Madinah. Pada saat kecil, Rasulullah pernah diajak ibundanya Sayyidah Aminah untuk berkunjung ke Madinah. Pada kesempatan itu, Sayyidah Aminah mengajak Rasulullah untuk berziarah ke makam Sayyidina Abdullah, suaminya dan ayahanda Rasulullah. Di samping itu, Sayyidah Aminah juga mengajak Rasulullah berkunjung ke sanak saudaranya di Madinah, Bani Najjar. 

  • Letak Madinah yang strategis

Keempat, letak Madinah yang strategis. Madinah memiliki letak geografis yang strategis. Bagaimana tidak, di sebelah timur dan barat Madinah merupakan sebuah wilayah yang terjal. Terdiri dari dataran tinggi, dataran rendah yang penuh dengan bebatuan yang keras sehingga menyulitkan siapapun –terutama musuh- untuk memasuki kota Madinah. 

Hanya dari sisi utara Madinah yang menjadi wilayah terbuka. Maka tidak heran ketika terjadi Perang Khandaq, Salman al-Farisi mengusulkan kepada Rasulullah agar umat Islam membuat parit di sepanjang wilayah utara Madinah. Tujuannya adalah untuk menghalangi musuh masuk ke kota Madinah. 

Tentang kota Madinah

Merujuk buku Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Nabi Muhammad saw. (Zuhairi Misrawi, 2009), Madinah merupakan sebuah kota yang dibentuk atau dibangun oleh orang-orang yang melarikan diri (eksodus) dari tempat asalnya, entah disebabkan konflik atau pun ekonomi. 

  • Awal mula orang-orang datang ke wilayah Madinah adalah pengikut Nabi Nuh as

Madinah atau Yatsrib memiliki sejarah yang panjang. Konon, awal mula orang-orang datang ke wilayah Madinah adalah pengikut Nabi Nuh as. yang selamat dari bencana banjir yang maha dahsyat. Setelah satu tahun 10 hari berada di atas kapal Nabi Nuh as dan banjir surut, mereka yang selamat ada yang bepergian ke wilayah Madinah. Diantara dari mereka adalah Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Iram bin Abil bin Iwadh bin Iram bin Sam bin Nuh as. Diperkirakan kejadian itu terjadi pada tahun 2600 SM.

  • Dikenal sebagai kota Yatsrib

Maka akhirnya tempat tersebut dikenal sebagai kota Yatsrib, dan kemudian Rasulullah mengganti nama kota Yatsrib menjadi Madinah ketika beliau hijrah ke kota tersebut. Rasulullah tinggal di Madinah selama 10 tahun. Sama seperti Makkah, Madinah juga kota yang istimewa bagi Rasulullah secara personal. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah pernah berdoa: Ya Allah anugerahilah pahala yang berlipat ganda di Madinah, sebagaimana Engkau telah memberikan berkah di Makkah.

Dalil yang menguatkan tentang hijrah umat muslim ke Madinah

Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman) . Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [Al Anfaal (8): 63]

Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum Nabi Muhammad s.a.w hijrah ke Madinah. Setelah mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang.

  • وَإِن كَادُوا لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ الْأَرْضِ لِيُخْرِجُوكَ مِنْهَا ۖ وَإِذًا لَّا يَلْبَثُونَ خِلَافَكَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja. [Al Israa’ (17): 76]

Maksudnya: kalau sampai terjadi Nabi Muhammad s.a.w. diusir, oleh penduduk Mekah, niscaya mereka tidak akan lama hidup di dunia, dan Allah segera akan membinasakan mereka. Hijrah Nabi Muhammad s.a.w. ke Madinah bukan karena pengusiran kaum Quraisy, melainkan semata-mata karena perintah Allah.

  • إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖوَسَاءَتْ مَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa’ (4): 97]

Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.

  • وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisaa’ (4): 100]

  • الر ۚ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Ibrahim (14): 1]

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Al Baqarah (2): 257]

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. [Al Ahzab (33): 43]

(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. [Ath Thalaq (65): 11]

Nah sobat itulah kisah umat islam mengenai hijrahnya umat muslim ke Madinah, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Alasan Umat Islam Hijrah ke Madinah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Perang Tabuk dalam Islam https://dalamislam.com/sejarah-islam/sejarah-perang-tabuk-dalam-islam Wed, 13 Mar 2019 05:35:51 +0000 https://dalamislam.com/?p=5816 Sejarah Perang Tabuk dalam Islam Perang Tabuk adalah peperangan yang sangat masyhur, inilah perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW. Begitu tabahnya sahabat dalam melaksanakan perintah Rasuullah SAW dan mengharap ridha Allah dari peperangan ini. Sebab, saat kepergian mereka ke medan perang bertepatan dengan masa panen. Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad […]

The post Sejarah Perang Tabuk dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Perang Tabuk dalam Islam

Perang Tabuk adalah peperangan yang sangat masyhur, inilah perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW. Begitu tabahnya sahabat dalam melaksanakan perintah Rasuullah SAW dan mengharap ridha Allah dari peperangan ini. Sebab, saat kepergian mereka ke medan perang bertepatan dengan masa panen.

Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a bahwa awal mula dari perang Tabuk ini, ketika sampailah berita kepada Nabi SAW bahwa Raja Romawi akan menyerang Madinah Munawwarah dengan bala tentara yang besar melalui Syam. Terhadap berita ini, maka pada hari Kamis tanggal 5 bulan Rajab tahun kesembilan Hijriyah, Beliau telah berangkat dari Madinah untuk melawan penyerangan ini.

Kondisi Alam Sangat Panas Dan Penuh Ujian

Ketika itu, cuaca sangat panas dan musuh pun sangat besar. Nabi SAW mengumumkan kepada pasukan Muslim bahwa mereka akan berangkat untuk menghadapi Raja Romawi dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Maka untuk itu, Beliau menganjurkan pengumpulan dana.

Baca juga:

Pertempuran inilah yang menyebabkan Abu Bakar ra mengorbankan seluruh hartanya, sehingga ketika ia ditanya oleh Nabi SAW, “Apa yang kamu tinggalkan di rumahmu? Ia menjawab, “Kutinggalkan Allah dan Rasul-Nya bersama mereka.”

Umar ra juga telah mengorbankan setengah hartanya. Begitupun dengan Utsman ra yang mengorbankan perlengkapan perang untuk sepertiga pasukan. Beserta sahabat lainnya, menginfakkan lebih dari kemampuan mereka.

Padahal, pada masa itu keadaan para sahabat sedang susah, sehingga seekor unta harus dikendarai oleh sepuluh orang sahabat bergantian. Oleh sebab itu, perang ini pun disebut sebagai Jaysyul-‘Usrah yaitu pasukan kesulitan.

Jarak nya sangat jauh dan berlangsung pada musim yang sangat panas. Seiring dengan itu, kebun-kebun kurma di Madinah sendang musim panen, dan sebagian besar penduduk Madinah bergantung pada bertanam kurma. Itulah jalan rezeki mereka selama setahun.

Merupakan Ujian Keimanan Terberat

Inilah ujian iman yang sangat berat bagi kaum Muslimin. Di satu sisi, rasa takwa kepada Allah dan perintah Nabi SAW yang tidak mungkin mereka abaikan, dan di sisi lain berbagai kesulitan yang setiap waktu datang menghadang, khususnya terhadap usaha mereka selama  setahun.

Mereka telah berusaha keras terhadap tanaman mereka, sehingga sulit untuk meninggalkan kebun yang dalam keadaan siap panen tersebut tanpa ada yang memeliharanya. Namun, karena ketakwaan mereka kepada Allah lebih besar dari hal-hal yang lain, mereka segera menyambut seruan Rasulullah SAW.

Maka, saat itu yang tinggal di Madinah hanyalah kaum munafik, orang-orang udzur, perempuan, anak-anak, dan sebagian sahabat tidak ada kendaraan yang dapat ditunggangi. Padahal, mereka sangat ingin menyertai pasukan itu.  Hingga mereka pun menangisi hal ini

Allah mengabadikan hal ini dengan berfirman: “Mereka kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena sedih tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.” (At-Taubah:92)

Di tengah perjalanan, mereka melewati puing-puing perkampungan kaum Tsamud. Nabi SAW menutupi wajahnya yang penuh nur sambil mempercepat untanya dan memerintahkan para sahabat berbuat serupa.

Beliau bersabda, “Kita harus segera melewati tempat ini. Menangislah dan tanamkan rasa takut setiap melewati tempat orang-orang zhalim. Semoga adzab tersebut tidak diturunkan ke atas kalian, sebagaimana telah diturunkan ke atas mereka.”

Walaupun Rasulullah SAW adalah kekasih Allah, Beliau tetap merasa takut ketika melewati tempat orang-orang yang pernah diadzab oleh Allah. Begitu pula para sahabat, walaupun keadaan mereka sangat memprihatinkan, mereka tetap menunjukkan kesetiaan. Beliau menyuruh mereka pergi sambil menangis, jangan-jangan adzab turun kepada mereka.

Inilah keistimewaan para sahabat dimata Allah dan Rasul-Nya. Mereka siap menerima seruan Rasul dalam memperjuangkan agama Allah.

Baca juga:

Melawan Pasukan Romawi

Perang Tabuk terjadi sekitar bulan Rajab tahun 9 Hijriyah. Perang yang terjadi antara Rasulullah beserta para sahabat melawan pasukan Romawi ini terjadi di wilayah Tabuk. Perang ini jadi perang terakhir rasul. Rasul kembali dari perang Tabuk pada 26 Ramadan.

Ada banyak penyebab yang mengakibatkan pecahnya perang Tabuk, diantaranya adanya ancaman dari Ukaidir bin Abdul Malik, yakni seorang nasrani dan juga seorang pemimpin dari daerah Dumah, dia mengancam akan memberontak dengan bantuan dari pasukan Romawi, namun oleh Nabi ancaman ini mampu dibendung dan akhirnya dihilangkan atas bantuan Khalid bin walid. Ukaidir akhirnya kalah dan ditawan.

Penyebab lainnya yakni ada beberapa orang yang munafik terhadap ajaran-ajaran nabi, kemudian mereka mendirikan masjid yang bernama Masjid Dirar atau masjid bencana. Kaum munafik ini sering datang ke masjid dengan tujuan hendak mengubah ajaran Allah dan ingin memecah belah kaum muslimin.

Kaum munafik meminta nabi untuk meresmikan masjid dan sekalian salat di masjid tersebut. Permintaan mereka diajukan sebelum terjadi peristiwa tabuk. Tapi oleh nabi mereka diminta menunggu sampai nabi kembali dari ekspedisi Tabuk. Namun setelah kembali, nabi mengetahui masalah tentang tujuan dan maksud didirikannya masjid tersebut. Kemudian nabi memerintahkan untuk membakar masjid tersebut.

Perjalanan untuk menempuh perang pun dimulai. Rasulullah SAW dan pasukan kemudian meninggalkan Madinah menuju Tabuk yang wilayahnya berjarak 800 km dari Madinah. Perjalanan ini memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka tempuh juga sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, kaum muslimin juga harus menghadapi panasnya gurun pasir. Perang ini bahkan dijuluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit.

Sesampainya di Tabuk, Rasulullah SAW berdiri di hadapan pasukan dan menyampaikan pidato yang penuh semangat hingga membuat jihad prajurit semakin membara.

Pasukan Romawi yang ditunggu-tunggu tak kunjung terlihat. Rupanya mereka takut dan khawatir melihat keberanian pasukan Muslimin. Mereka lari berpencar di perbatasan wilayah. Kejadian ini membuat pasukan Muslimin semakin dihormati di Jazirah Arab.

Rasulullah SAW didatangi oleh Yuhanah bin Rubbah dari Ailah untuk menawarkan perjanjian perdamaian. Rasulullah menulis selembar surat perjanjian dan memberikan kepada mereka. Akhirnya peperangan pun tidak jadi terjadi.

Berbagai kabilah yang dulunya tunduk pada Romawi berbalik mendukung kaum Muslimin. Wilayah kekuasaan pemerintah Islam semakin bertambah luas, hingga berbatasan dengan wilayah kekuasaan bangsa Romawi.

Kembali ke Madinah

Setelah 30 hari meninggalkan Madinah, akhirnya umat Islam kembali ke Madinah tanpa terjadi peperangan. Rasulullah kembali dari peperangan pada tanggal 26 Ramadan, dan perang ini merupakan perang terakhir beliau.

Nabi memang kerap diiringi dengan berbagai peperangan. Namun peperangan tersebut memiliki alasan kuat mengapa sampai terjadi.

Sebagaimana kita ketahui, pertama kali Nabi berdakwah secara terbuka di Makkah. Sejak saat itu, jihad Nabi penuh tekanan dan ancaman dari kaum Quraisy yang gemar mengintimidasi Nabi dan kaum muslim.

baca juga:

Tak hanya itu, mereka juga menerapkan strategi perang psikologis lewat berbagai tipu muslihat; Nabi diminta menunjukkan mukjizat, diolok-olok, misi yang dibawa diejek dan dicemooh. Tekanan kaum Quraisy mencapai puncaknya lewat perang ekonomi dan sosial secara bersamaan yang mereka lakukan terhadap kaum muslim.

Perang ekonomi dan sosial tersebut ialah kaum Quraisy bersekongkol dalam satu sumpah untuk tidak berniaga dengan keluarga Nabi, tidak berinteraksi dengan mereka, tidak berkomunikasi, tidak akan berdamai, dan tidak akan berbelas kasih pada mereka. Kecuali, mereka menyerahkan Nabi untuk dipenggal.

Kondisi tersebut, membuat Makkah menjadi begitu sempit bagi Rasulullah. Namun, beliau tetap tabah dan ikhlas. Selama di Makkah, Nabi berhasil menahan kaum muslim agar tidak melakukan perlawanan.

Setelah hijrah ke Madinah, dan tujuh bulan “bertahan” dan bersabar, Nabi mulai mengirim datasemen beserta pasukan untuk memantau situasi sekitar. Beliau masih sama sekali tidak melakukan persiapan perang atau penyerangan. Hanya sekadar mewaspadai gerakan pengacau yang sesekali menyerang dan bisa berdampak buruk bagi keadaan Madinah.

Motif dan Tujuan Peperangan Nabi

Pertama, melayani serangan musuh. Nabi mengangkat senjata sebagai reaksi atas musuh yang telah lebih dulu menyerang. Hal ini bisa dilihat dalam perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Kedua, memberi pelajaran terhadap musuh yang menacari gara-gara atau bersekongkol mengganggu kaum muslim meski sudah ada nota perjanjian atau kerja sama. Hal ini terjadi pada perang Bani Quraizah. Khaibar, Mu’tah, dan beberapa penggerebekan terhadap kaum Badui.

Motif ketiga adalah untuk menggagalkan rencana musuh yang mengancam kaum muslim, seperti dalam perang Tabuk dan sejumlah ekspedisi datasemen yang dikirim Nabi untuk mencegah penyerangan oleh suku-suku terhadap kaum muslim di Madinah .

Dari ketiga motiv tersebut, jelas bahwa Nabi tak pernah menyulut peperangan. Apa yang dilakukan adalah lebih kepada tindakan  reaktif atas tindakan musuh yang lebih dahulu melakukannya.

Tentang etika perang, Abu Bakar secara indah merangkum pesan yang pernah diberikan Nabi kepada prajurit sebelum berangkat ke Suriah.

“Sebentar! Aku ingin berpesan pada kalian sepuluh hal. Jangan berkhianat, melanggar janji, dan memotong-motong tubuh mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang lanjut usia, dan perempuan. Jangan menebang pohon serta merusak dan membakar pohon kurma. Jangan menyembelih kibas atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati suatu kaum yang menyepi di biara-biara, biarkan mereka. Perangi orang yang memerangi kalian dan berdamailah dengan orang yang berdamai dengan kalian. Jangan melampaui batas karena Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas”.

Etika perang tersebut, jika diperhatikan teramat menjunjung tinggi kemanusiaan, bahkan pada makhluk lain. Ini terlihat dari larangan menebang pohon, dan menyembelih kibas atau unta, kecuali untuk dikonsumsi. Di samping itu, terlihat jelas kedamaian yang dijunjung tinggi; tidak akan memerangi orang yang tidak memerangi, dan membuka lebar pintu perdamaian.

Makna dari kisah peperangan Nabi adalah pelajaran tentang ketabahan atau kesabaran dan ketegasan. Ketabahan dan kesabaran ketika kaum musyrik terus mengintimidasi, meneror, dan bahkan menyiksa kaum muslim. Keimanan dan keyakinan pada ajaran Nabi, memberikan kesabaran bagi kaum muslim dalam menghadapi tekanan dan yakin Allah akan memberikan jalan.

Pelajaran tentang ketegasan dari kisah peperangan terlihat dari bagaimana Nabi dan kaum muslim dalam menyikapi ketidakadilan, kecurangan musuh saat kesepakatan dan perjanjian sudah dilakukan.

Perang Rasulullah adalah perang menegakkan kebenaran dan menghukum kaum zalim. Bukan perang yang ditegakkan atas niat memusnahkan pihak lain, tetapi didasarkan atas sistem yang adil.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Sejarah Perang Tabuk dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Wakaf dalam Islam https://dalamislam.com/sejarah-islam/sejarah-wakaf-dalam-islam Wed, 13 Mar 2019 04:50:58 +0000 https://dalamislam.com/?p=5811 Sejarah Wakaf dalam Islam Disyariatkan Setelah Nabi SAW di Madinah Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW di Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan […]

The post Sejarah Wakaf dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Wakaf dalam Islam

Disyariatkan Setelah Nabi SAW di Madinah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW di Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).

 Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Baca juga:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.

Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek Wakaf Menjadi Lebih Luas pada Masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah

Semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Baca juga:

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.  

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.  

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Baca juga:

Perkembangan Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid. 

Manfaat Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada Orde Al-Dzahir Bibers Perwakafan dapat Dibagi Menjadi Tiga Katagori

Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Undang Undang Pembukuan Wakaf

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak. 

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Sejarah Wakaf dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sahabat Nabi yang Memiliki Sifat Wara dan Kisahnya https://dalamislam.com/sejarah-islam/sahabat-nabi-yang-memiliki-sifat-wara-dan-kisahnya Sat, 09 Mar 2019 02:57:04 +0000 https://dalamislam.com/?p=5795 Sahabat Nabi yang Memiliki Sifat Wara dan Kisahnya Imam Abu Hanifah – Yazid bin Harun berkata, “Saya belum pernah mendengar ada seseorang yang lebih wara’ dari pada Imam Abu Hanifah. Saya pernah melihat beliau pada suatu hari sedang duduk di bawah terik matahari di dekat pintu rumah seseorang. Lalu saya bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hanifah! […]

The post Sahabat Nabi yang Memiliki Sifat Wara dan Kisahnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sahabat Nabi yang Memiliki Sifat Wara dan Kisahnya

Imam Abu Hanifah – Yazid bin Harun berkata, “Saya belum pernah mendengar ada seseorang yang lebih wara’ dari pada Imam Abu Hanifah. Saya pernah melihat beliau pada suatu hari sedang duduk di bawah terik matahari di dekat pintu rumah seseorang. Lalu saya bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hanifah! Apa tidak sebaiknya engkau berpindah ke tempat yang teduh?”

Beliau menjawab, “Pemilik rumah ini mempunyai hutang kepadaku beberapa dirham. Maka, saya tidak suka duduk di bawah naungan halaman rumahnya.”

Sikap seperti apa yang lebih wara daripada sikap ini? Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau ditanya mengapa enggan berdiam di tempat teduh, lalu Abu Abu Hanifah berkata kepadaku. “Pemilik rumah ini mempunyai sesuatu. Maka, saya tidak suka berteduh di bawah naungan dindingnya, sehingga hal tersebut menjadi upah suatu manfaat.” Saya tidak berpendapat bahwa hal tersebut wajib bagi semua orang, akan tetapi orang alim wajib menerapkan ilmu untuk dirinya sendiri lebih banyak daripada yang dia ajarkan kepada orang lain.

Sebagaimana pula Imam Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu pernah meninggalkan makan daging kambing selama tujuh tahun ketika seekor kambing milik baitul mal di Kufah hilang sehingga beliau yakin kambing tersebut telah mati. Sebab, beliau menanyakan berapa waktu paling lama kambing bisa bertahan hidup? Dikatakan kepadanya, “Tujuh tahun.” Maka beliau meninggalkan makan daging kambing selama 7 tahun karena untuk berhati-hati lantaran ada kemungkinan kambing haram itu masih hidup. Sehingga, bisa jadi kebetulan dia memakan sebagian dari kambing tersebut yang berarti menzhalimi hatinya. Meskipun sebenarnya tidak berdosa karena tidak mengetahui benda itulah yang haram.

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Abu Bakar

Siapa yang tidak kenal dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radliallahu ‘anhu? Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sangat terkenal karena banyak memiliki keutamaan dan sifat-sifat mulia dalam Islam. Sampai-sampai shahabat ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu memuji beliau dengan mengatakan:

لو وزن إيمان أبي بكر بإيمان أهل الأرض لرجحت كفة أبي بكر

Seandainya keimanan Abu Bakar radliallahu ‘anhu ditimbang dengan keimanan penduduk bumi (selain para Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka sungguh keimanan beliau radliallahu ‘anhu  lebih berat dibandingkan keimanan penduduk bumi”. (HR. Ishaq bin Rahuyah dalam Musnadnya, no. 1266 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul iman, no. 36 dengan sanad yang shahih)

Kisah berikut ini mengambarkan tingginya keutamaan Abu Bakar radliallahu ‘anhu  dan besarnya kehati-hatian beliau dalam masalah halal dan haram:

Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha bahwa ayah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq radliallahu ‘anhu memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar radliallahu ‘anhu (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut.

Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), maka Abu Bakar radliallahu ‘anhu memakannya. Lalu budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?”. Abu Bakar radliallahu ‘anhu balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?”. Budak itu menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya,

dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang anda makan ini”. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”. (HR. Bukhari no. 3629)

Baca juga :

Kisah ini menggambarkan tingginya ketakwaan dan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau sangat berhati-hati dalam menjaga anggota badan beliau dari mengkonsunmsi makanan yang tidak halal, dan inilah aplikasi dari sifat wara’ yang sebenarnya. (Lihat bahjatun Nadzirin, 1/649)

Sayyidah Aisyah

Suatu hari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf radhiyallahu’anhu bercerita kepada Sayyidah Aisyah radhiyallahu’anha bahwa ia bersengketa dengan sebagian orang dalam batas sebuah tanah, maka Sayyidah Aisyah mengingatkannya akan buruknya balasan bagi orang yang mendzalimi orang lain dengan mengambil bagian tanah mereka walaupun hanya satu jengkal.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim bahwasanya Abu Salamah bercerita kepadanya tentang suatu hari dimana terjadi persengketaan antara abu Salamah dengan sekelompok orang, setelah itu ia menceritakannya kepada Sayyidah Aisyah, maka Aisyah menjawab, “wahai Abu salamah, hindarilah masalah tanah, karna Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis tanah (bumi).” (HR. Bukhari No. 2453).

Baca juga :

Kisah ini menunjukkan akan kehati-hatiannya Sayyidah Aisyah agar tidak terjatuh kepada yang haram takala beliau mengingatkan Abu Salamah akan bahayanya persengketaan  masalah kepemilikan Tanah. Karena orang yang berbuat zhalim diancam dengan ancaman yang berat di akhirat. Beliau khawatir jika yang nantinya yang berbuat zhalim adalah Abu Salamah, oleh karena itu beliau mengingatkan Abu Salamah jangan sampai ia berada di pihak yang zhalim dan menyuruhnya menghindar dari persengketaan tanah tersebut.

Kisah ini disebutkan dalam kitab ‘Masuliyyatunnisa’ Fil Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar’ karya Syeikh DR. Fadhl Ilahi Dhahir, hal 47.

Tsabit

Seorang bernama Al Imam Abu Ishaq, penulis kitab At Tambih. Beliau suatu hari duduk-duduk di masjid dengan beberapa orang, kemudian tanpa sadar duitnya jatuh dari sakunya. Setelah semua urusan selesai beliau pergi pulang. Samapi diperjalanan beliau masukkan tangan ke sakunya itu, dia dapati duitnya tak ada. Kemudian beliau balik ke masjid karena beliau fikir duitnya jatuh saat duduk di masjid tadi. Sampai di masjid di tempat beliau duduk tadi, beliau lihat ada duit, jumlahnya juga sama seperti miliknya. Ketika hendak diambil beliau berfikir “Ah… iya kalau ini duit aku, kalau setelah aku pergi tadi ada orang yang duduk juga disini, lalu duitnya jatuh, kalau duit ini aku ambil aku sama dengan ambil duit milik orang” Beliau tidak jadi ambil duit itu, padahal itu benar duitnya tapi beliau tinggalkan. Kenapa beliau berbuat demikian? wara’, khawatir bukan duitnya. Coba kalau kita? Jumpa duit di tempat lain pun “Aku tadi duduk sini juga”

Ayah Al Imam Abu Hanifah, bernama Tsabit. Suatu hari dalam keadaan lapar dia berjalan di tepian sungai, dia nampak ada apel yang mengalir bersama dengan arus sungai. Maka dia ambil dan dia makan. Setelah makan baru dia sadar “Eh…apel ini punya siapa, bagaimana bisa aku makan apel milik orang lain, bukan dengan harta aku membelinya” Akhirnya beliau ikuti arus sungai itu untuk mengetahui dari mana asal apel itu jatuh. Kemudian dia melihat ada kebun apel yang dekat dengan sungai tersebut. Dia datangi kebun itu dan berjumpa dengan pemilik kebun itu. Tsabit meminta kepada penjaga kebun itu supaya menghalalkan / akan dibeli apel yang telah ia makan tadi, kata penjaga kebun:

Baca juga :

“Aku disini jaga saja, tuan ampunya kebun ini rumahnya disana, perjalanannya dari sini 1 hari 1 malam” Tsabitpun pergi juga ke rumah pemilik kebun itu. Subhanallah, demi minta halal 1 apel saja rela 1 hari 1 malam. Zaman kita sekarang beribu-ribu ringgit bleeep… tak minta maaf pun. Setelah jumpa dengan pemilik kebun, pemilik kebunnya orang yang wara’ juga. Dia berfikir “Ini orang (Tsabit) kalau bukan orang yang wara’ maka tak mungkin dia habiskan masa nya untuk 1 hari 1 malam jumpa denganku untuk minta maaf karna 1 apel saja” Kemudian pemilik kebun berkata pada Tsabit:

“Aku tak akan memaafkan kamu, kecuali dengan kamu berkawin dengan anak aku” Tsabit menjawab: “Baiklah”. Kemudian pemilik kebun ini berkata: “Tapi anak aku ini buta, tuli, bisu, cacat” Lalu Tsabit berfikir “Kalau memang ini jalan satu-satunya untuk mendapatkan halal atas apel yang aku makan tadi, yang bilamana tidak halal maka aku akan berhadapan dengan Allah, maka aku akan kawin dengan anak perempuanya yang cacat itu, aku akan melayani dia untuk aku mendapat pahala di sisi Allah”

Akhirnya dilangsungkan ijab qobul tanpa melihat anak perempuan pemilik kebun itu. Setelah itu Tsabit masuk ke kamar / bilik, secara spontan beliau ucapkan salam walaupun dia ingat bahwa istrinya ini tuli dan bisu. Tiba-tiba terdengar jawaban salam dari istrinya yang kemudian menggapai tangan Tsabit untukl diciumnya. Tsabit pun tertanya tanya “Bukankah kata bapaknya dia ini tuli dan bisu? kalau bisu kenapa dia bisa dengar dan jawab salam aku? kata bapaknya dia buta, tapi kenapa dia bisa menghampiri aku dan mencium tanganku?” Setelah diceritakan percakapannya dengan bapaknya, Perempuan ini berkata: “Benar kata bapakku, aku ini buta karena mataku tak pernah melihat yang haram, aku bisu karna mulutku tak pernah bicara yang haram, aku disebut tuli karna telingaku tak pernah ku gunakan mendengar yang haram, aku di sebut cacat karna aku tak pernah menggunakan kaki dan tanganku untuk perkara yang haram” Semoga kita dianugrahi sifat yang wara’

Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih

The post Sahabat Nabi yang Memiliki Sifat Wara dan Kisahnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kisah Pengangkatan Umar Bin Abdul Aziz Jadi Khalifah https://dalamislam.com/sejarah-islam/kisah-pengangkatan-umar-bin-abdul-aziz-jadi-khalifah Sat, 09 Mar 2019 02:52:14 +0000 https://dalamislam.com/?p=5793 Kisah Pengangkatan Umar Bin Abdul Aziz Jadi Khalifah Ada beberapa riwayat tentang pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah yang dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat dari Suhail bin Abu Suhail, dia berkata, Aku mendengar Raja’ bin Haiwah berkata, “Di hari Jumat, Sulaiman bin Abdul Malik memakai baju berwarna hijau […]

The post Kisah Pengangkatan Umar Bin Abdul Aziz Jadi Khalifah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kisah Pengangkatan Umar Bin Abdul Aziz Jadi Khalifah

Ada beberapa riwayat tentang pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah yang dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat dari Suhail bin Abu Suhail, dia berkata, Aku mendengar Raja’ bin Haiwah berkata, “Di hari Jumat, Sulaiman bin Abdul Malik memakai baju berwarna hijau dari wol, dia bercermin dan berkata, ‘Aku adalah raja muda’. Lalu dia keluar untuk menunaikan shalat Jumat bersama rakyat, dia langsung sakit begitu pulang, manakala sakitnya semakin keras dia menulis wasiat untuk anaknya Ayyub. Ayyub adalah anak yang belum dewasa, aku berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin? Di antara kebaikan seseorang yang mengalir ke kuburnya adalah bahwa dia mengangkat orang shaleh sesudahnya’. Sulaiman berkata, ‘Surat wasiat ini, aku masih beristikharah kepada Allah, masih mempertimbangkan, dan belum memutuskan dengan pasti.’

Satu atau dua hari setelah itu Sulaiman membakar surat tersebut, kemudian dia mengundangku. Dia bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang Dawud bin Sulaiman?’ Aku menjawab, ‘Dia berada di Konstantinopel, Anda sendiri tidak tahu dia masih hidup atau telah mati’. Sulaiman bertanya, ‘Siapa menurutmu wahai Raja’?’ Aku menjawab, ‘Terserah Anda wahai Amirul Mukminin’. Aku berkata demikian karena aku sendiri masih mempertimbangkan. Sulaiman berkata, ‘Bagaimana menurutmu Umar bin Abdul Aziz?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, yang aku tahu bahwa dia adalah laki-laki yang utama, muslim pilihan’. Sulaiman berkata, ‘Benar, dialah orangnya, tetapi jika aku mengangkatnya dan tidak mengangkat seorang pun dari anak-anak Abdul Malik, maka hal itu bisa memicu perpecahan, mereka tidak akan membiarkannya memimpin selama-lamanya, kecuali jika aku menetapkan seseorang dari mereka setelah Umar. Aku akan mengangkat Yazid bin Abdul Malik sesudah Umar. –Pada saat itu Yazid sedang tidak berada di tempat, dia menjadi Amirul Haj- Hal itu akan membuat anak-anak Abdul Malik tenang dan menerima’. Aku berkata, ‘Terserah Anda’.

Sulaiman bin Abdul Malik menulis surat tangannya, ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat wasiat Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul Mukminin, untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya aku menyerahkan khilafah kepadanya sesudahku dan sesudahnya kepada Yazid bin Abdul Malik, dengarkanlah dan taatilah, bertakwalah kepada Allah, janganlah berselisih, karena musuh-musuh kalian akan berharap mengalahkan kalian’. Lalu Sulaiman menstempel surat tersebut.

Sulaiman kemudian meminta Ka’ab bin Hamid, kepala pasukan pengawal khalifah, agar mengumpulkan keluarganya. Ka’ab melaksanakan dan mengumpulkan mereka. Setelah mereka berkumpul, Sulaiman berkata kepada Raja’, bawalah surat wasiatku kepada mereka, katakan kepada mereka bahwa itulah surat wasiatku, minta mereka untuk membaiat orang yang aku tunjuk’. Raja’ melaksanakannya, ketika Raja menyampaikan hal itu, mereka berkata, ‘Kami mendengarkan dan menaati siapa yang tercantum di dalamnya’. Mereka berkata, ‘Bolehkah kami menemui Amirul Mukminin untuk mengucapkan salam?’ Raja’ menjawab, ‘Silahkan’. Mereka pun masuk, Sulaiman berkata kepada mereka, ‘Itu adalah wasiatku, -Sulaiman menunjuk kepada surat yang ada di tangan Raja’ dan mereka melihat surat tersebut- Itu adalah pesan terakhirku, dengarkanlah, taatilah dan baiatlah orang yang aku sebutkan namanya dalam surat wasiat tersebut’. Raja’ berkata, ‘Maka mereka membaiatnya satu per satu’. Kemudian Raja’ membawa surat yang berstempel itu keluar’.”

Raja’ berkata, “Manakala mereka telah meninggalkan tempat itu, Umar datang kepadaku, dia berkata, ‘Wahai Abu al-Miqdam, sesungguhnya Sulaiman sangat menghormati dan menyayangiku, dia bersikap lembut dan baik, aku khawatir dia menyerahkan sebagian perkara ini kepadaku, maka aku meminta kepadamu dengan nama Allah kemudian dengan kehormatan dan kasih sayangku, agar engkau memberitahuku jika perkaranya demikian, sehingga aku bisa mengundurkan diri saat ini sebelum datangnya suatu keadaan dimana aku tidak mampu merubahnya lagi’. Raja’ menjawab, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan mengabarkan satu huruf pun kepadamu’. Maka Umar pergi dengan kesal.”

Baca juga :

Raja’ berkata, “Maka Hisyam bin Abdul Malik menemuiku dan berkata, ‘Sesungguhnya antara diriku dengan dirimu terdapat hubungan baik dan kasih sayang lama, aku pun tahu berterima kasih, katakan kepadaku apakah aku orang yang disebut dalam surat tersebut? Jika aku adalah orangnya, maka aku tahu. Jika orang lain, maka aku akan berbicara, orang sepertiku tidak patut dipandang sebelah mata, perkara seperti ini tidak pantas dijauhkan dari orang sepertiku, katakan kepadaku. Aku berjanji dengan nama Allah kepadamu tidak akan menyebutkan namamu selama-lamanya’.”

Raja’ berkata, “Aku menolak permintaan Hisyam, aku berkata, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan membuka satu huruf pun kepadamu dari apa yang telah dirahasiakan Sulaiman kepadaku’. Hisyam pun pergi sambil menepukkan satu tangannya ke tangan yang lain, dia berkata, ‘Kepada siapa perkara ini diserahkan jika tidak kepadaku, apakah kami ini dianggap bukan anak Abdul Malik? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah putra Bani Abdul Malik yang sebenarnya’.”

Baca juga :

Raja’ berkata, “Aku menemui Sulaiman bin Abdul Malik, ternyata dia sudah wafat, namun aku masih mendapati saat-saat sakratul mautnya, setiap kali dia menghadapinya, maka aku menghadapkannya ke arah kiblat, Sulaiman mengucapkan dengan tersendat-sendat, ‘Wahai Raja’, saatnya belum tiba sekarang’. Sampai aku mengulangnya dua kali, pada kali ketiga Sulaiman berkata, ‘Sekarang wahai Raja’, jika kamu ingin sesuatu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’.”

Raja’ berkata, “Maka aku menghadapkannya ke arah kiblat, dan Sulaiman wafat. Aku memejamkan kedua matanya, aku menyelimutinya dengan sebuah kain hijau, aku menutup pintu, istrinya mengutus seorang utusan untuk meminta izin melihat keadaannya, aku berkata kepadanya, ‘Dia telah tidur dan berselimut’. Utusan itu telah melihat Sulaiman yang telah berselimut kain, dia pulang menyampaikannya kepada istrinya, istrinya tenang karena dia mengira bahwa Sulaiman tidur.”

Raja’ berkata, “Aku meminta seseorang yang kupercayai untuk berdiri di pintu, aku berpesan kepadanya untuk tidak beranjak sampai aku sendiri yang datang kepadanya dan tidak memperkenankan siapa pun untuk masuk menemui khalifah. Lalu aku memanggil Ka’ab bin Hamid al-Ansi, aku memintanya untuk mengumpulkan keluarga Amirul Mukminin, mereka pun berkumpul di masjid Dabiq, aku berkata kepada mereka, ‘Berbaiatlah kalian’. Mereka menjawab, ‘Kami telah berbaiat, sekarang berbaiat lagi?’ Aku berkata, ‘Ini adalah pesan Amirul Mukminin, berbaiatlah untuk mematuhi perintahnya, mengakui siapa yang disebutkan namanya dalam surat wasiat yang distempel ini’. Mereka pun satu per satu membaiat untuk kedua kalinya.”

Raja’ berkata, “Ketika mereka bersedia membaiat untuk kedua kalinya, maka aku yakin telah menata urusan ini sebaik mungkin, aku mengucapkan, ‘Jenguklah Khalifah Sulaiman, karena beliau telah wafat’. Mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Kemudian aku membacakan isi surat wasiat Sulaiman, ketika aku menyebut nama Umar bin Abdul Aziz, Hisyam berkata, ‘Kami tidak akan membaiatnya selama-lamanya’. Raja’ mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan memenggal lehermu, berdiri dan berbaiatlah’. Lalu Hisyam berdiri dengan “menyeret” kedua kakinya.

Raja’ melanjutkan, “Aku memegang pundak Umar bin Abdul Aziz, aku mendudukkannya di atas mimbar, sementara Umar bin Abdul Aziz mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Ia menyesali apa yang didapatkannya. Sementara Hisyam juga mengucapkan ucapan yang sama karena bukan dia yang ditunjuk oleh Sulaiman bin Abdul Malik sebagai penggantinya. Hisyam bertemu Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena kekhalifahan telah berpindah tangan dari anak-anak Abdul Malik kepada Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar menjawab, ‘Ya, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena perkara itu sampai ke tangannya padahal dia tidak menyukainya.” (Tarikh ath-Thabari, 7: 445).

Abu al-Hasan an-Nadawi berkata tentang sikap Raja’, “Raja’ telah melakukan sebuah jasa besar yang tidak akan dilupakan oleh Islam. Aku tidak mengetahui seorang laki-laki dari kalangan sahabat raja dan orang-orangnya, yang bisa memberi manfaat (dengan kedekatan dan kedudukannya) seperti manfaat yang diberikan oleh Raja’. (Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah, 1: 40).

Umar naik mimbar, dan dalam tatap muka pertama dengan rakyat, dia mengatakan, “Jamaah sekalian, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini, tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dan tidak pula ada musyawarah dengan kaum muslimin. Aku telah membatalkan baiat untukku, sekarang pilihlah seseorang untuk memimpin kalian.” Orang-orang serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kami telah memilihmu, kami menerimamu, silahkan pimpin kami dengan kebaikan dan keberkahan.”

Di saat itulah Umar merasa bahwa dirinya tidak mungkin menghindar dari tanggung jawa khalifah, maka Umar menambahkan kata-katanya untuk menjelaskan kebijakan-kebijakannya dalam menata umat Islam (Umar bin Abdul Aziz wa Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102), “Amma ba’du, tidak ada lagi nabi setelah nabi kalian, tidak ada kitab selain kitab yang diturunkan kepadanya. Ketahuilah bahwa apa yang Allah halalkan adalah halal sampai hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim, aku hanyalah pelaksana, dan aku bukanlah pelaku bid’ah melainkan aku adalah pengikut sunnah. Tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati dalam kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, aku hanyalah seorang laki-laki bagian dari kalian, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian.

Kaum muslimin, siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat dengan lima perkara, jika tidak, maka janganlah mendekat: Pertama, mengadukan hajat orang yang tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua, membantuku dalam kebaikan sebatas kemampuannya, ketiga, menunjukkan jalan kebaikan kepadaku sebagaimana aku dituntut untuk meniti jalan tersebut, keempat, tidak melakukan ghibah terhadap rakyat, dan kelima, tidak menyangkalku dalam urusan yang bukan urusannya.

Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, karena takwa kepada Allah memberikan akibat yang baik dalam setiap hal, dan tidak ada kebaikan apabila tidak ada takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhirat, niscaya Allah akan mencukupkan dunianya. Perbaikilah (jaga) rahasia (yang ada pada diri kalian), semoga Allah memperbaiki apa yang terlihat dari (amal perbuatan) kalian. Perbanyaklah mengingat kematian, bersiaplah dengan baik sebelum kematian itu menghampiri kalian,

karena kematian adalah penghancur kenikmatan. Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang Kitabnya, akan tetapi umat ini berselisih karena dinar dan dirham. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan memberikan yang batil kepada seseorang dan tidak akan menghalangi hak seseorang.”

Baca juga :

Kemudian Umar meninggikan suaranya agar orang-orang mendengar, “Jamaah sekalian, barangsiapa yang menaati Allah, maka dia wajib ditaati dan barangsiapa mendurhakai Allah, maka tidak wajib taat kepadanya dalam permasalahan tersebut. Taatilah aku selama aku (memerintahkan untuk) menaati Allah, namun jika (perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian tidak boleh taat dalam hal itu…” kemudian Umar turun dari mimbar.

Begitulah prosesi pengangkatan Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah umat Islam, salah seorang khalifah Daulah Umawiyah. Ia diangkat pada hari Jumat, 11 Shafar 99 H (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 667).

The post Kisah Pengangkatan Umar Bin Abdul Aziz Jadi Khalifah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Alasan Mengapa Keluarga Imran Diabadikan dalam Qur’an https://dalamislam.com/sejarah-islam/alasan-mengapa-keluarga-imran-diabadikan-dalam-quran Sat, 09 Mar 2019 02:43:39 +0000 https://dalamislam.com/?p=5791 Jika kita diajari oleh Nabi untuk bershalawat di mana disana dicantumkan dua Nabi,maka jelas pesannya. Karena keduanya memang teladan bagi manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Uswatun Hasanah hanya disematkan untuk kedua Nabi ini; Nabi Ibrahim alaihis salam dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.Tetapi yang menarik adalah, shalawat kita ternyata juga diperuntukkan bagi keluarga […]

The post Alasan Mengapa Keluarga Imran Diabadikan dalam Qur’an appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Jika kita diajari oleh Nabi untuk bershalawat di mana disana dicantumkan dua Nabi,maka jelas pesannya. Karena keduanya memang teladan bagi manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Uswatun Hasanah hanya disematkan untuk kedua Nabi ini; Nabi Ibrahim alaihis salam dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.Tetapi yang menarik adalah, shalawat kita ternyata juga diperuntukkan bagi keluarga keduanya.

Sungguh ini sebuah kemuliaan bagi kedua keluarga mulia ini. Dan sekaligus menyampaikan bahwa kedua keluarga ini memang layak didoakan bagi seluruh manusia. Karena memang mereka dua keluarga mulia. Tetapi ada yang menarik dalam al-Qur’an. Ada satu keluarga istimewa; Keluarga Imron. Keistimewaan itu jelas terlihat. Inilah Alasan Mengapa Keluarga Imran Diabadikan dalam Qur’an.

  • Inilah satu-satunya keluarga yang dipakai untuk menjadi Nama Surat dalam al-Qur’an

Tidak ada surat al-Qur’an yang menggunakan nama keluarga kecuali Surat Ali Imron (Keluarga Imron)

  • Inilah keluarga biasa yang dipuji sejajar dengan keluarga Nabi

Sebagaimana yang bisa kita baca dalam ayat:

إِنَّاللَّهَاصْطَفَىآَدَمَوَنُوحًاوَآَلَإِبْرَاهِيمَوَآَلَعِمْرَانَعَلَىالْعَالَمِينَ (33)

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” (Qs. Ali Imron: 33)

Di dalam ayat ini, Allah memilih di atas segala umat dua Nabi: Adam dan Nuh, serta dua keluarga: Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imron.

  • Inilah keluarga ideal yang dibandingkan lebih mulia dari keluarga dua Nabi .

Ayat terakhir dalam Surat at-Tahrim menjelaskan hal itu:

وَمَرْيَمَابْنَتَعِمْرَانَالَّتِيأَحْصَنَتْفَرْجَهَافَنَفَخْنَافِيهِمِنْرُوحِنَاوَصَدَّقَتْبِكَلِمَاتِرَبِّهَاوَكُتُبِهِوَكَانَتْمِنَالْقَانِتِينَ

Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.” (Qs. At-Tahrim: 12)

Ayat ini diawali oleh dua ayat sebelumnya. Di mana ayat 10 Allah menyampaikan tentang istri dua Nabi yang kafir; istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth. Selanjutnya di ayat 11 Allah berfirman tentang istri Fir’aun yang beriman, sementara suaminya kafir. Dan di akhir Surat at-Tahrim, Allah memuji Maryam sebagai orang sangat mulia yang merupakan putri Imron. Dan kelak, dialah wanita yang melahirkan seorang Nabi dengan cara mukjizat; Nabi Isa alaihis salam.

Tentu ada banyak pesan tentang pemunculan keluarga Imron. Di antara pesan sangat penting adalah :

1. Jangan beralasan dengan Nabi Nuh ketika kita gagal mendidik anak

Sebab Allah telah menegur Nabi Nuh saat dia tidak sanggup membimbing anaknya hingga mau naik ke bahtera bersama orang-orang beriman.

Baca juga :

قَالَيَانُوحُإِنَّهُلَيْسَمِنْأَهْلِكَإِنَّهُعَمَلٌغَيْرُصَالِحٍفَلَاتَسْأَلْنِمَالَيْسَلَكَبِهِعِلْمٌإِنِّيأَعِظُكَأَنْتَكُونَمِنَالْجَاهِلِينَ

Allah berfirman: ” Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya ia adalah perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Qs. Hud: 46)

Teguran ini Allah sampaikan kepada Nabi Nuh setelah Nabi Nuh bertanya kepada Allah mengapa anaknya ikut ditenggelamkan bersama orang-orang kafir.

2. Jangan berkata bahwa keluarga kita tidak bisa menjadi mulia seperti keluarga para Nabi

Karena ternyata keluarga Imron yang merupakan keluarga manusia biasa pun bisa menjadi sejajar dengan keluarga Nabi. Dan karena para nabi diutus untuk menjadi pembimbing dan teladan bagi manusia.

Tapi sayangnya, sebagian kita masih terbalik dalam menyikapi generasi dan keluarganya. Saat ada yang gagal mendidik anak, berdalih dengan Nabi Nuh. Padahal seharusnya tidak boleh, karena Nuh telah ditegur Allah.Sementara saat keberatan dalam melahirkan keluarga istimewa, acapkali ada yang berkata bahwa kita bukan keluarga Nabi. Padahal, keluarga Imron pun bisa sejajar dengan keluarga Nabi bahkan bisa lebih baik.

3. Dari Kehamilan hingga Pengasuhan

Untuk mengungkap rahasia kehebatan keluarga manusia biasa tetapi disejajarkan dengan kemuliaan keluarga Nabi, kita harus membuka langsung Surat Ali Imron. Pasti kita akan mendapatkan petunjuknya di sana.Pembahasan tentang keluarga Imron dalam Surat Ali Imron, ternyata dimulai pembahasan tentang istri. Lihatlah ayat 35 dan seterusnya.

Ini menjadi pelajaran pertama sebelum yang lainnya, betapa peran seorang istri yang kelak menjadi seorang ibu adalah peran sentral. Menyiapkan dengan baik seorang ibu berarti menyiapkan satugenerasi istimewa. Yang artinya, gagal dan mengabaikan penyiapan seorang wanita yang kelak menjadi istri dan ibu adalah merupakan kegagalan lahirnya generasi yang baik.

4. Pembicaraan tentang keluarga Imron dimulai dari ayat ini:

إِذْقَالَتِامْرَأَةُعِمْرَانَرَبِّإِنِّينَذَرْتُلَكَمَافِيبَطْنِيمُحَرَّرًافَتَقَبَّلْمِنِّيإِنَّكَأَنْتَالسَّمِيعُالْعَلِيمُ

(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (35)

Dalam ayat ini dibahas tentang kehamilan. Sebuah fase yang sangat penting. Mengabaikannya berarti kehilangan sebuah fase penting.Ayat ini mengajarkan kepada setiap keluarga muslim agar para istri banyak menyematkan harapan mulia bagi janin. Harapan semulia istri Imron. Sekaligus banyak mendoakan bagi calon jabang bayi agar kelak menjadi orang yang baik dan mulia.

Baca juga :

Dari sinilah, maka teori pendidikan manusia sejak dalam kandungan bukanlah hal yang baru muncul hari ini. Al-Qur’an telah membicarakannya.Tetapi yang jelas bertentangan dengan Islam adalah ketika metode pendidikan janin yang digadang-gadang hari ini adalah pendidikan dengan memperdengarkan musik klasik di perut ibu.

Banyak yang meyakini bahwa hal ini merupakan hasil penelitian. Sayangnya, umat ini masih lebih percaya penelitian yang entah dari mana sumber dan kepentingan di baliknya, dengan ayat yang absolut haq dan telah melahirkan para pemimpin bumi yang istimewa.

Yang lebih celaka lagi, ketika umat Islam dikelabuhi oleh dunia barat. Bukan penelitian dikatakan sebagai penelitian. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah hal itu salah, bukan penelitian pula. Ini efek kita lebih mengagungkan penelitian daripada ayat dan petunjuk Nabi.

Satu studi terkenal pada 1993 yang diterbitkan di jurnal Nature menunjukkan bahwa mendengarkan musik Mozart akan meningkatkan kemampuan kognitif. Itu meningkatkan ketertarikan orang dalam memajan bayi dan anak kecil pada musik klasik, dan pengusaha berlomba menjualnya ke berbagai sekolah, pusat perawatan siang-hari dan orang-tua.

Namun, hasil studi oleh oleh ilmuwan Austria yang disiarkan oleh HealthDay News, Jumat (14/5/2010) mengatakan tak menemukan bukti bahwa mendengarkan musik Mozart –betapapun meriahnya musik tersebut– memiliki dampak pada kemampuan kognitif seseorang.

Dalam studi paling akhir itu, para peneliti di University of Vienna mengkaji lebih dari 40 studi dan penelitian yang tak disiarkan yang meliputi lebih dari 3.000 subjek. Kesimpulan mereka ialah tak ada yang mendukung pendapat bahwa musik Mozart meningkatkan kemampuan otak anak.

Kesalahan fatal pendidikan orangtua hari ini ternyata dimulai sejak dalam kandungan. Anak yang belum lahir telah dirusak oleh musik yang jelas tidak disukai dalam Islam –terlepas dari perbedaan pendapat para ulama seputar hukum musik. Bagi yang masih harus bersandar pada penelitian, berikut ini hasil salah satu penelitian tentang bahaya musik,Remaja yang menghabiskan banyak waktu mendengarkan musik lebih berisiko mengalami depresi daripada remaja yang memiliki kegemaran membaca. Demikian diungkap sejumlah peneliti dariUniversity of Pittsburgh School of Medicine, Amerika Serikat.

Baca juga :

Cukuplah kita baca surat asy-Syu’ara’ (26) dan kita akan bisa mendapati peringatan keras ayat terhadap dunia yang ‘wajib’ digemari oleh setiap orang itu. Sebelum kita baca, perlu diketahui bahwa asy-Syu’ara’ artinya para penyair. Para penyair di zaman dahulu kala biasa menjadi orang terkenal setelah mereka memenangi perlombaan syair.

Bahkan sebagian syair mereka digantung di Ka’bah, yang dikenal dengan mu’allaqat sab’ah. Hal ini yang membuat mereka menjadi terkenal. Jadi mereka hari ini sejajar dengan mereka yang menamakan dirinya selebriti. Mereka juga berfungsi sebagai pembawa berita, penyebar opini serta menggerakkan masyarakat. Hari ini, hal seperti itu sejajar dengan media.

Dari ayat 221 sampai 223 Allah menyampaikan tentang syetan dan ciri penggemarnya. Langsung setelahnya, pada ayat 224 Allah menyampaikan tentang para penyair, ciri mereka dan para pengagumnya. Sebuah keakraban luar biasa antara syetan dan para penyair. Dan berikut ini ayat tentang para penyair:

وَالشُّعَرَاءُيَتَّبِعُهُمُالْغَاوُونَ (224) أَلَمْتَرَأَنَّهُمْفِيكُلِّوَادٍيَهِيمُونَ (225) وَأَنَّهُمْيَقُولُونَمَالَايَفْعَلُونَ (226

224. Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. 225. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah 226. dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?

Ibnu Abbas menjelaskan pengembaraan mereka di tiap-tiap lembah: Mereka tenggelam dalam setiap kesia-siaan. (Tafsir Ibnu Katsir 6/173, parentingnabawiyah)

Semoga bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Alasan Mengapa Keluarga Imran Diabadikan dalam Qur’an appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Penaklukkan Konstantinopel Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih https://dalamislam.com/sejarah-islam/sejarah-penaklukkan-konstantinopel-oleh-sultan-muhammad-al-fatih Sat, 09 Mar 2019 02:34:41 +0000 https://dalamislam.com/?p=5788 Sejarah Penaklukkan Konstantinopel Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad. Sultan Muhammad al-Fatih memerintah […]

The post Sejarah Penaklukkan Konstantinopel Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Sejarah Penaklukkan Konstantinopel Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih

Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.

Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.

Karakter Pemimpin Yang Ditanamkan Sejak Kecil

Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan Murad II yang merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah.

Sultan Murad II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak, dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa, seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia 21 tahun Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani, luar biasa!

Walaupun usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II, mengamanati Sultan Muhammad memimpin suatu daerah dengan bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan sang ayah agar anaknya cepat menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar di kemudian hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam yang benar.

Menjadi Penguasa Utsmani

Sultan Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Program besar yang langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan Konstantinopel.

Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya. Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.

Menaklukkan Bizantium

Sultan Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.

Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.

Baca juga :

Akhirnya Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.

Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.

Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur. Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel.

Baca juga :

Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul.

Selain itu, Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat saat menyerang Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tentu saja bertentangan dengan syariat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“… Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.” (HR. HR. Muslim no.532)

Kekeliruan yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tidak serta-merta membuat kita menafikan jasa-jasanya yang sangat besar. Semoga Allah mengampuni kesalahan dan kekhilafannya beliau rahimahullah.

Setelah itu rentetat penaklukkan strategis dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih; ia membawa pasukannya menkalukkan Balkan, Yunani, Rumania, Albania, Asia Kecil, dll. bahkan ia telah mempersiapkan pasukan dan mengatur strategi untuk menaklukkan kerajaan Romawi di Italia, akan tetapi kematian telah menghalanginya untuk mewujudkan hal itu.

Peradaban Yang Dibangun Pada Masanya

Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.

Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari

Wafatnya Sang Penakluk

Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan.

Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.

Baca juga :

Tidak ada keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.

Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.

Biografi

Sultan Muhammad II dilahirkan pada tanggal 20 April 1429 M, bertepatan pada 26 Rajab 833 H. Ibunya yang diduga merupakan seorang Budak dengan asal-usul agama Kristen dan bernama Turki Hatun bin Abdullah dan ayahnya adalah Raja Murad

Lahir sebagai putera ketiga Murad, Muhammad tidak pernah dipersiapkan ataupun diperkirakan menjadi penggantinya sebagai putra mahkota. Muhammad baru ditetapkan sebagai putra mahkota setelah kematian kedua kakak lelakinya yang berlainan ibu , Ahmad dan Ali, dalam usia yang masih muda.

Demikian kisah Sejarah Penaklukkan Konstantinopel Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

The post Sejarah Penaklukkan Konstantinopel Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kisah Ummul Mukminin Juwairiyah Binti Al-Harits https://dalamislam.com/sejarah-islam/kisah-ummul-mukminin-juwairiyah-binti-al-harits Fri, 08 Mar 2019 06:33:29 +0000 https://dalamislam.com/?p=5755 Juwairiyah binti al-Harits adalah salah satu di antara istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cantik dan memesona. Siapapun yang melihatnya, pasti akan jatuh cinta padanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Juwairiyah adalah gadis yang cantik dan manis, setiap orang yang melihatnya pasti akan jatuh hati padanya.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud) Juwairiyah binti […]

The post Kisah Ummul Mukminin Juwairiyah Binti Al-Harits appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Juwairiyah binti al-Harits adalah salah satu di antara istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cantik dan memesona. Siapapun yang melihatnya, pasti akan jatuh cinta padanya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

“Juwairiyah adalah gadis yang cantik dan manis, setiap orang yang melihatnya pasti akan jatuh hati padanya.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud)

Juwairiyah binti al-Harits juga dikenal sebagai wanita yang banyak keberkahannya. Mengapa demikian? Berikut adalah kisah Ummul Mukminin Juwairiyah Binti Al-Harits.

Nasab

Juwairiyah Binti Al-Harits adalah putri al-Harits bin Abi Dhirar bin Habib bin A’idzin bin Malik bin al-Musthalik al-Khuzaiyah. Sejatinya beliau memiliki nama asli Barrah binti al-Harits bin Abi Dhirar bin Habib ‘A-idz bin Malik bin Jadzimah dari kabilah Khuza’ah dan merupakan anak dari kepala kabilah Bani Musthaliq sekaligus istri dari anak pamannya yaitu Musafi’ bin Shafwan bin Dzi al-Syafr.

Baca juga :

Perang Muraisi’

Suatu hari, terbetik kabar bahwa Bani Musthaliq sepakat untuk menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pasukan Bani Musthaliq sendiri dipimpin oleh al-Harits bin Abi Dhirar. Sementara itu, di pihak kaum muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan pasukan dan keluar menghadapi pasukan Bani Musthaliq. Kedua pasukan bertemu di sebuah mata air yang disebut al-Muraisi’. Karena itulah perang antara Bani Musthaliq dan kaum muslimin disebut juga dengan Perang Muraisi’. Perang ini terjadi di abad ke-5 H.

Di perang itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin berhasil mengalahkan pasukan Bani Musthaliq. Pimpinan pasukan Bani Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi Dhirar beserta anggota pasukan termasuk suami Juwairiyah binti al-Harits pun tewas di medan pertempuran. Akibat kekalahan yang dialami Bani Musthaliq, para kaum wanita-termasuk Juwairiyah binti al-Harits- dan anak-anak Bani Musthaliq pun kemudian menjadi tawanan dan diserahkan kepada para sahabat.

Baca juga :

Memeluk Islam

Dalam kisah Ummul Mukminin Juwairiyah Binti Al-Harits ini, selama menjadi tawanan, Juwairiyah berada di tangan Tsabit bin Qais bin asy-Syammas radhiyallahu ‘anhu. Karena merasa tidak nyaman, beliau pun ingin menebus dirinya sendiri agar bisa bebas karena beliau termasuk seorang tokoh bagi kaumnya. Namun, karena ia tidak lagi memiliki apa-apa lagi untuk membayar tebusan, ia pun segera pergi ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memohon bantuan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan tawaran yang lebih baik dan lebih utama dari apa yang diinginkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melamar Juwariyah binti al-Harits dan menanggung pembebasannya. Tawaran tersebut diterima oleh dan Juwariyah pun memeluk Islam.

Keberkahan Juwairiyah

Juwairiyah binti al-Harits pun menikah di usia 20 tahun atau pada tahun ke-6 H. Pernikahannya dengan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa keberkahan dan kebaikan bagi dirinya, keluarganya, dan sebagian besar kaumnya. Hal ini disebabkan tawanan Bani Musthaliq yang dibebaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pernikahannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejatinya tidak hanya Juwairiyah melainkan 100 orang tawanan Bani Musthaliq. Para tawanan ini pun kemudian memeluk Islam. Itulah sebabnya, Juwairiyah dikenal sebagai wanita yang banyak keberkahannya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

“Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar biaya pemerdekaan Juwairiyah dan menikahinya. Orang-orang pun mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyah. Mereka berkata, “Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melepas tawanan Bani Al-Musthaliq yang ada pada mereka. Sungguh dengan Juwairiyah, Allah Ta’ala memerdekakan seratis orang dari Bani Al-Musthaliq. Aku tidak tahu ada wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyah.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud).

Keutamaan

Sebagai salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Juwairiyah rajin sekali beribadah. Beliau rajin menunaikan puasa sunnah. Ia pun rajin berdzikir mulai dari usai shalat subuh hingga terbit matahari. Di salah satu riwayat disebutkan, Ia pun wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 56 H, di masa pemerintahan Muawiyah.

Baca juga :

Demikianlah kisah Ummul Mukminin Juwairiyah Binti Al-Harits. Semoga bermanfaat.

The post Kisah Ummul Mukminin Juwairiyah Binti Al-Harits appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kisah Abu Hurairah Yang Mendapat Julukan Bapak Kucing https://dalamislam.com/sejarah-islam/kisah-abu-hurairah-yang-mendapat-julukan-bapak-kucing Fri, 08 Mar 2019 05:16:43 +0000 https://dalamislam.com/?p=5756 Abu Hurairah, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejatinya memiliki nama asli Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi. Nama Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi kemudian berganti menjadi Abu Hurairah karena semasa kecil ia kerap bermain-main dengan kucing selagi menggembala kambing. Secara bahasa, Abu Hurairah sendiri bermakna ayah atau pemilik kucing. Karenanya ia mendapat julukan bapak kucing. […]

The post Kisah Abu Hurairah Yang Mendapat Julukan Bapak Kucing appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Abu Hurairah, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejatinya memiliki nama asli Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi. Nama Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi kemudian berganti menjadi Abu Hurairah karena semasa kecil ia kerap bermain-main dengan kucing selagi menggembala kambing. Secara bahasa, Abu Hurairah sendiri bermakna ayah atau pemilik kucing. Karenanya ia mendapat julukan bapak kucing. Selain dikenal sebagai bapak kucing, ia juga dikenal sebagai periwayat hadits paling banyak diantara para sahabat dengan jumlah 5.374 hadits.

Abu Hurairah tidak memiliki keluarga karena sedari kecil ia sudah menjadi yatim. Selain tidak memiliki keluarga, ia juga tidak memiliki harta. Karena itu, Abu Hurairah termasuk Ahlush Shuffah yaitu kaum fakir Muhajirin yang tidak memiliki keluarga maupun harta. Mereka biasanya tinggal di depan Mesjid Nabawi. Berikut kisah Abu Hurairah yang mendapat julukan Bapak Kucing.

Baca juga :

Asal Abu Hurairah

Abu Hurairah lahir di daerah Ad Daus, Yaman tahun 598 atau kira-kira 21 tahun sebelum Hijrah dan berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Sejak kecil, Abu Hurairah sudah menjadi yatim dan bekerja. Pada masa muda, ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan. Di masa mudanya, ia dikenal sebagai bapak kucing karena suka merawat dan memelihara kucing. Atas dasar itulah nama Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi kemudian berganti menjadi Abu Hurairah.

Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dengan sanad yang mauquf hingga Abu Hurairah, Abdullah bin Raafi’ berkata,

“Aku bertanya kepada Abu Hurairah, ‘Mengapa engkau bernama kuniyah Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Apakah yang engkau khawatirkan dariku?” Aku berkata, “Benar, demi Allah, sungguh aku khawatir terhadapmu.” Abu Hurairah berkata, “ Aku dahulu bekerja menggembalakan kambing keluarga dan di sisiku ada seekor kucing kecil (Hurairah). Lalu, ketika malam tiba aku menaruhnya di sebatang pohon, jika hari telah siang, aku pergi ke pohon itu dan aku bermain-main dengannya. Maka aku diberi kuniyah Abu Hurairah (bapaknya si kucing kecil).” (HR. at-Tirmidzi)

Baca juga :

Masuk Islam

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Abu Hurairah berasal dari daerah Ad Daus, Yaman. Daerah ini, sebagian besar kaumnya menentang risalah kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, setelah pemimpin Bani Daus yang bernama Thufail bin Amru Ad Dausi radhiyallahu ‘anhu yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di sana, Abu Hurairah pun kemudian mengikrakan dirinya masuk Islam sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu kemudian hijrah ke Madinah di tahun ke-7 H dengan perbekalan seadanya. Karena itu, setibanya di Madinah , ia tidak memilki harta. Sebagai tamu Allah di Madinah yang tidak memiliki keluarga dan harta atau Ahlush Shuffah, ia bersama kaum fakir Muhajirin lainnya disediakan tempat di masjid sambil belajar Islam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menikah dengan Basrah binti Ghazawan dan dikaruniai seorang putri yang menikah dengan Said bin Musayyib yaitu salah seorang tokoh tabi’in terkemuka.

Baca juga :

Suatu hari, karena cinta pada ibunya, Abu Hurairah meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendoakan ibunya agar masuk Islam. Doa yang dipanjatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkabul dan akhirnya ibunda Abu Hurairah pun menjadi muslimah. Abu Hurairah meninggal dunia pada tahun 678 atau tahun 59 H.

Demikianlah ulasan singkat tentang kisah Abu Hurairah yang mendapat julukan Bapak Kucing. Semoga bermanfaat.

The post Kisah Abu Hurairah Yang Mendapat Julukan Bapak Kucing appeared first on DalamIslam.com.

]]>