qadha puasa Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/qadha-puasa Tue, 11 Jun 2019 08:40:41 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png qadha puasa Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/qadha-puasa 32 32 Hukum Puasa Syawal Sebelum Qadha Puasa Ramadhan https://dalamislam.com/puasa/hukum-puasa-syawal-sebelum-qadha-puasa-ramadhan Sun, 09 Jun 2019 11:12:25 +0000 https://dalamislam.com/?p=7178 Untuk melengkapi  istiqomah setelah ramadhan, disunahkan untuk puasa 6 hari di bulan Syawal. Hal ini merupakan puasa sunnah yang dicontohkan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam. Namun bagi wanita yang berhalangan berpuasa di bulan ramadhan, bagaimana hukum puasa syawal sebelum qadha puasa ramadhan tersebut? Yuk simak lebih lanjut. Diriwayatkan bahwa Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda […]

The post Hukum Puasa Syawal Sebelum Qadha Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Untuk melengkapi  istiqomah setelah ramadhan, disunahkan untuk puasa 6 hari di bulan Syawal. Hal ini merupakan puasa sunnah yang dicontohkan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam. Namun bagi wanita yang berhalangan berpuasa di bulan ramadhan, bagaimana hukum puasa syawal sebelum qadha puasa ramadhan tersebut? Yuk simak lebih lanjut.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama setahun.”

Itulah kenapa dalam memenuhi ibadah di bulan Ramadhan. Maka baik hukumnya melaksanakan puasa sunnah 6 hari di bulan syawal. Tentu saja agar amalan dan pahala yang kita dapat bisa dihitung secara utuh dan lebih sempurna.

Namun tentu saja, muncul beragam pertanyaan terkait fiqih yang melandasi ibadah sunnah tersebut. Seperti semisal di sebuah kasus ada seorang perempuan yang puasa ramadhan nya tidak penuh (dikarenakan masa Haid) dan kemudian dia belum melakukan puasa pengganti di luar bulan Ramadhan, apakah diperbolehkan dia melaksanakan Ibadah Puasa sunnah di bulan syawal?

Alasan Kenapa Puasa Sunnah Syawal Berbeda dengan Puasa Sunnah yang Lain

Dalam menganalisa hukum puasa syawal sebelum qadha puasa ramadhan, kita harus paham dulu pembagian puasa sunnah yang berkaitan dengan bulan Ramadhan, dan puasa sunnah yang tidak berkaitan dengan bulan Ramadhan.

Baca juga :

Puasa sunnah yang tidak berkaitan dengan bulan Ramadhan antara lain :

1 Puasa Senin kamis

Amalan yang dilakukan hanya pada hari senin dan kamis. Meskipun namanya senin-kamis, namun karena jenis amalannya berbeda, maka boleh hukumnya apabila melaksanakan puasa kamis terlebih dahulu kemudian senin, melaksanakannya di hari senin meski tidak melaksankannya di hari kamis dan sebaliknya.

2. Puasa muharram

Puasa ini dilaksanakan hanya pada bulan Muharram. Biasannya dilaksanakan pada tanggal 10 dan lebih dikenal dengan puasa Asyura

3. Puasa bulan Sya’ban

Merupakan Amalan yang dilaksanakan hanya di bulan Sya’ban

4. Puasa Nabi Dawud

Puasa Nabi Dawud adalah puasa yang dilakukan secara selang seling. Yang mana sehari kita berpuasa, maka besok tidak, lalu dilanjutkan luasa puasa lagi dan seterusnya

5. Puasa Dzulhijjah

Merupakan puasa yang sunnah dilaksanakan selama 10 hari di bulan dzulhijjah menjelang Idul Adha.

6. Dan lain-lain

Perbedaan puasa Syawal dibanding puasa-puasa sunnah yang disebutkan diatas adalah hubungannya dengan bulan Ramadhan. Bahwasannya, apabila menilik Hadist yang berbunyi :

Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama setahun.

Nah, bisa dikatakan bahwa puasa syawal merupakan follow up dari puasa Ramadhan.

Baca juga :

Apa Hukum Puasa Syawal Sebelum Qadha Puasa Ramadhan?

Untuk memahami hal ini, mari simak Fatwa yang diutarakan oleh Imam Ibnu Utsaimin berkaitan tentang wanita yang memiliki utang puasa ramadhan, sementara dia ingin puasa syawal.

Beliau mengatakan

إذا كان على المرأة قضاء من رمضان فإنها لا تصوم الستة أيام من شوال إلا بعد القضاء ، ذلك لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ( من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال ) ومن عليها قضاء من رمضان لم تكن صامت رمضان فلا يحصل لها ثواب الأيام الست إلا بعد أن تنتهي من القضاء

Apabila seorang wanita memiliki hutang puasa di bulan ramadhan, maka dia tidak boleh puasa syawal kecuali setelah selesai qadha. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal…”. Sementara orang yang masih memiliki utang puasa ramadhan belum disebut telah berpuasa ramadhan. Sehingga dia tidak mendapatkan pahala puasa 6 hari di bulan syawal, kecuali setelah selesai qadha. (Majmu’ Fatawa, 19/20).

Atas Fatwa diatas, dapat disimpulkan bahwasannya, hukumnya tidak boleh melaksanakan Puasa Sunnah Syawal apabila belum ‘membayar hutang’ puasa Ramadhan. Karena posisi puasa sunnah syawal ada di belakang puasa Ramadhan secara langsung, dan semisal puasa utama nya belum komplit, maka puasa sunnah follow up nya tidak boleh dilaksanakan sebelum hutang puasa wajib terbayar.

Mengamalkan Amalan Puasa Sunnah Lain sebelum Mengqadha Puasa Ramadhan

Lantas bagaimanakah kedudukan puasa sunnah yang lain apabila dilaksanakan sebelum Qadha? Berdasarkan hadist diatas, maka amalan yang lain boleh dilakukan, pasalnya puasa sunnah yang lain tidak berhubungan langsung dengan puasa Ramadhan.

Namun tentu saja, apabila kita memiliki waktu untuk melaksanakan puasa Sunnah, maka yang lebih utama dilaksanakan adalah meng Qadha puasa Ramadhan rerlebih dahulu, karena dilihat dari skala prioritas, maka puasa Ramadhan yang sifatnya wajib tapi ‘berlubang’ alangkah baik apabila digenapi terlebih dahulu. Karena pada dasarnya, setiap hutang yang kita lakukan apabila kita sudah mampu untuk melunasinya, maka baik segera dilunasi. Agar apapun yang terjadi di kemudian hari tidak merugikan kita sendiri.

Baca juga:

Apakah Boleh Hukumnya Membayar Puasa Ramadhan dan Melakukan Puasa Sunnah Syawal dalam Satu Niat?

Pertanyaan seperti ini bisa saja muncul dikarenakan kita melaksanakan Qadha berdekatan dengan puasa Sunnah Syawal. Adapun pada dasarnya puasa 6 Hari Syawal tidak memiliki ketentuan, tanggal dan bisa dilaksanakan di tanggal mana saja selama masih di bulan Tersebut.

Apabila semisal kita meniatkan meng Qadha puasa Ramadhan di tanggal 1-4 Sya’ban kemudian diikuti melakukan Puasa Sunah Syawal di tanggal 5-10. Apakah niatnya menjadi satu? (satu niat)

Jawabannya tentu saja tidak. Pasalnya meskipun dilaksanakan secara berurutan, namun itu merupakan 2 amalan yang berbeda. Jadi tidak bisa dijadikan satu. Kembali ke syarat melaksanakan Puasa Syawal terlebih dahulu yang mana Puasa Ramadhan harus komplit. Maka puasa Syawal hanya boleh dilaksanakan setelah Qadha puasa Ramadhan.

Itulah sedikit penjelasakn perihal hukum puasa syawal sebelum qadha puasa ramadhan. Kesimpulannya adalah Tidak boleh, berdasarkan kepada Hadist yang merujuk pada ketentuan Puasa Ramadhan harus komplit terlebih dahulu dan Puasa Sunnah Sya’ban baru boleh dilaksanakan.

Termasuk tidak masuk akal juga apabila seorang mendahulukan amalan sunnah didepan amalan wajib. Hal tersebut tidak dibenarkan. Wallahu a’lam  bishowab

Selebihnya, mari kita lebih memperdalam kembali ilmu-ilmu perihal fiqih agar kita menjadi pribadi yang lebih baik dibanding hari kemarin. Semoga kita selalu diberikan petunjuk oleh Allah untuk tetap di jalan yang benar. Amin, InsyaAllah

Hamsa,

The post Hukum Puasa Syawal Sebelum Qadha Puasa Ramadhan appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Tata Cara Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil https://dalamislam.com/hukum-islam/wanita/cara-membayar-fidyah-bagi-ibu-hamil Fri, 29 Dec 2017 05:35:41 +0000 https://dalamislam.com/?p=2519 Ramadhan adalah bulan yang mulia. Keistimewaan ramadhan sangatlah banyak, diantaranya Allah Ta’ala melipatgandakan pahala amal kebaikan, membuka pintu taubat dan mengabulkan doa-doa. Selain itu, umat islam juga diwajibkan untuk melakukan puasa selama 1 bulan penuh. Tentunya hukum puasa di bulan ramadhan adalah wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana […]

The post Tata Cara Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Ramadhan adalah bulan yang mulia. Keistimewaan ramadhan sangatlah banyak, diantaranya Allah Ta’ala melipatgandakan pahala amal kebaikan, membuka pintu taubat dan mengabulkan doa-doa. Selain itu, umat islam juga diwajibkan untuk melakukan puasa selama 1 bulan penuh. Tentunya hukum puasa di bulan ramadhan adalah wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

Namun demikian, islam juga bukanlah agama yang memberatkan. Apabila seseorang berada dalam kondisi lemah atau memiliki udzur lain yang membuatnya tak mampu berpuasa maka boleh ditinggalkan. Dengan syarat harus diganti sesuai dengan aturan syariat islam.

Nah, salah satu orang yang diperbolehkan meninggalkan puasa ramadhan adalah ibu hamil dan menyusui. Mengingat kondisi ibu hamil tidak stabil dan ia juga harus mencukupi nutrisi makanan demi janin yang dikandung, maka itu diberikan keringanan untuk memilih apakah ingin puasa atau tidak. Seandainya ia tidak bisa menjalankan puasa, sebagai gantinya harus membayar fidyah.

Dalil-Dalil yang Menjelaskan Tentang Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil

Jumhur ulama berpendapat bahwa ibu hamil atau menyusui diperbolehkan meninggalkan puasa ramadhan dengan syarat membayar fidyah. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran dan hadist. Serta mengingat mudharat yang mungkin terjadi bila ibu memaksakan puasa maka janin bisa kekurangan nutrisi.

Berikut dalil-dalil yang menjelaskan tentang bolehnya ibu hamil meninggalkan puasa dan kewajiban membayar fidyah:

Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”(QS. Al Baqarah : 184).

Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (Al-Baihaqi dalam Sunan dari Imam Syafi’i, sanadnya shahih).

Pendapat Ulama Tentang Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil

Sebenarnya tentang diperbolehkannya wanita hamil meninggalkan puasa di bulan ramdhan sudah menuai kesepakatan dari jumhur ulama. Namun yang masih jadi perdebatan tentang bagaimana metode menggantinya. Beberapa ulama berpendapat harus membayar fidyah dan juga mengqadha (mengganti puasa di hari lain), adapula yang menjelaskan cukup mengqadha dan ada yang cukup bayar fidyah.

  • Para sahabat dan tabiin, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Said bin Jabir menjelaskan bahwa ibu hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup membayar fidyah tanpa harus melakukan qadha.
  • Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita hamil yang tidak melakukan puasa ramadhan maka cukup mengqadha saja. Yakni mengganti puasanya di hari lain tanpa harus membayar fidyah.
  • Imam Syafi’iyah dan Hanbali berpendapat hampir sama. Bila wanita hamil tidak puasa ramadhan karena ditakutkan mendatangkan mudharat bagi kesehatannya, maka ia cukup mengqadha. Akan tetapi jika mudharatnya cukup besar, yang mana bisa berefek buruk pada si janin, maka ibu yang tidak puasa diharuskan melakukan qadha sekaligus membayar fidyah.
  • Imam Nawawi juga mengatakan: “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).” (Al-Majmu’: 6-177)
  • Wahabah Zuhaili, DR. Yusuf Al-Qardhawi, dan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani berpendapat bahwa ibu hamil yang tidak melakukan puasa ramdhan maka harus melakukan qodho tanpa harus bayar fidyah. Menurut mereka, fidyah hanya boleh dilakukan oleh orang-orang lanjut usia yang kondisinya sangat lemah sehingga tidak memungkinkan berpuasa.

Dari penjelasan para ulama diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa para sahabat berpendapat cara bayar puasa wanita hamil adalah membayar fidyah (memberi makan fakir miskin). Pendapat ini sesuai dengan dalil Al-Quran yang berbunyi: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankanya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Q.S. al-Baqarah: 183).

Namun disebabkan ada perbedaan definisi dari “orang-orang yang berat menjalankan” yang banyak mengartikan sebagai “orang tua renta atau sakit-sakitan” yang tak mungkin bisa puasa. Sedangkan ibu hamil masih kuat dan bisa berpuasa di hari lain, maka diharuskan mengqadha ataupun dengan diikuti bayar fidyah.

Takaran Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil

Fidyah berasal dari bahasa Arab ‘faada’ yanga artinya tebusan atau menebus. Secara istilah, fidyah didefinisikan sebagai sejumlah benda atau makanan yang diberikan kepada fakir miskin dengan takaran tertentu  untuk mengganti amal ibadah yang ditinggalkan. Misalnya saja puasa. Fidyah bisa berupa beras, nasi, gandum, atau sejenisnya. Besarnya fidyah yang dibayarkan bergantung pada jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Dimana dalam sehari terdapat 1 takar fidyah untuk 1 orang miskin.

Nah, berikut ini penjelasan tentang takaran fidyah menurut para ulama:

  • Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’i: Fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons=675 gram=0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa.
  • Ulama Hanafiyah: Fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha’ gandum. (Jika 1 sha’ setara 4 mud= sekitar 3 kg. Maka ½ sha’ berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasanya digunakan untuk orang yang membayar fidyah beras.

Tata Cara Membayat Fidyah Bagi Ibu Hamil

Tata cara membayar fidyah bisa berupa pemberian makanan pokok atau makanan siap saji.

  • Jadi yang pertama, semisal ia tidak puasa 30 hari. Maka harus menyediakan fidyah 30 takar dimana masing-masing 1,5 kg. Fidyah tersebut boleh dibayarkan kepada 30 orang fakir miskin atau beberapa orang saja (misal 3 orang, dimana masing-masing dapat 10 takar).
  • Yang kedua, yakni dengan memberikan makanan siap saji kepada fakit miskin. Jadi semisal ia punya hutang 30 hari maka harus menyiapkan 30 porsi makanan (sepiring lengkap dengan lauk pauknya). Makanan tersebut dibagi-bagikan kepada 30 fakir miskin.

Sedangkan untuk waktu pembayaran fidyah, yakni terhitung setelah puasanya bolong. Misal ia luput 5 hari, maka ia boleh membayar sejak bulan ramadhan, syawal hingga sya’ban.

Bolehkan Fidyah Dibayarkan Dalam Bentuk Uang?

Beberapa orang memang ada yang membayar fidyah dalam bentuk uang atau nominal. Hal ini sebenarnya masih menuai perbedaan pendapat diantara ulama. Menurut ulama Hanafiya, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku (1,5 kg makanan pokok perhari dikonversi jadi rupiah).

Namun pendapat dari mayoritas ulama, mulai dari Syafiiyah, Malikiyah dan Hanabilah, fidyah tidak boleh dibayarkan dalam bentuk. Melainkan harus dalam bentuk makanan pokok. Pendapat kedua ini lebih kuat karena didasari oleh dalil syar’i, yakni: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankanya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Q.S. al-Baqarah: 183).

Orang-Orang yang Wajib Membayarkan Fidyah

Dalam islam, terdapat beberapa golongan orang yang diharuskan membayar fidyah. Diantaranya yakni:

  • Orang yang terlambat mengqadha puasa hingga mendapati bulan ramadhan baru. Sementara hutangnya di tahun lalu belum lunas. Bila ia melakukan hal tersebut tanpa adanya udzur syar’i, maka hukum belum membayar hutang puasa ramdahan ini wajib mengqadha di bulan selanjutnya (seusai ramdahan) sekaligus membayar fidyah sebanyak hari puasa yang ditinggalkan di tahun lalu.
  • Orang-orang tua renta yang lemah fisiknya dan tidak mampu menjanlankan puasa.
  • Orang-orang yang menderita penyakit tertentu, yang mana bila ia puasa maka sakitnya bisa bertambah parah. Kondisi ini juga termasuk orang-orang yang mengalami sakit berkepanjangan dan harapan sembuh sedikit.
  • Perempuan hamil yang kondisi kandungannya lemah, dimana bila ia berpuasa maka akan membahayakan janin maka ia harus mengqdha sekaligus membayar fidyah.
  • Perempuan menyusui, yang mana ia kahwatir bila puasa ASI-nya menjadi sedikit dan bayinya kekurangan gizi maka boleh meninggalkan. Dengan syarat nantinya harus mengqhada dan bayar fidyah.
  • Orang-orang yang meninggal dengan membawa hutang puasa, maka bagi keluarganya yang masih hidup hendaknya membayarkan fidyah atas nama si mayit sebanyak jumlah hutang puasanya.

Hikmah Membayar Fidyah

Membayar fidyah atau memberikan makanan kepada fakir miskin tak sekedar berguna untuk melunasi hutang puasa. Namun hal ini juga punya beberapa hikmah atau keutamaan lain. Yakni sebagai wujud berbagi kepada sesama manusia. Sehingga mereka yang tergolong fakir-miskin juga bisa merasakan makanan enak atau mendapatkan sembako agar beban mereka menjadi lebih ringan.

Jadi itulah beberapa penjelasan tentang cara membayar fidyah bagi ibu hamil. Kesimpulannya hukum membayar fidyah bagi ibu hamil masih menuai perbedaan pendapat. Begitupun dengan takarannya, hendaknya ditanyakan pada seseorang yang menguasai ilmu agama. Namun sebagai saran saja, apabila Anda merasa kuat berpuasan saat hamil atau menyusui maka jalankan puasa itu dengan semangat (kecuali kondisi memang tak memungkinkan). Anda bisa membaca tips puasa ramadhan untuk ibu hamil dan tips puasa ramadhan untuk ibu menyusui.

Wallahu A’lam Bishawab.

The post Tata Cara Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Belum Membayar Hutang Puasa Ramadhan dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-belum-membayar-hutang-puasa-ramadhan Fri, 26 May 2017 07:48:19 +0000 http://dalamislam.com/?p=1598 Dalam setahun, terdapat satu bulan yang sangat istimewa bagi umat muslim yakni bulan ramadhan. Pada bulan tersebut, segala amal ibadah dan perbuatan baik akan dilipat gandakan pahalanya, pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup, doa-doa dimustajabah, dan dosa-dosa orang beriman diampuni. Tak sekedar itu, bulan ramadhan juga disebut bulan mulia karena pada saati itulah Al-Quran pertama […]

The post Hukum Belum Membayar Hutang Puasa Ramadhan dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Dalam setahun, terdapat satu bulan yang sangat istimewa bagi umat muslim yakni bulan ramadhan. Pada bulan tersebut, segala amal ibadah dan perbuatan baik akan dilipat gandakan pahalanya, pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup, doa-doa dimustajabah, dan dosa-dosa orang beriman diampuni. Tak sekedar itu, bulan ramadhan juga disebut bulan mulia karena pada saati itulah Al-Quran pertama kali diturunkan. Dan ramadhan memiliki satu hari spesial yang disebut sebagai malam lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan.(Baca : Puasa Ramadhan dan Cara Pelaksanaannya)

Selain keistimewan-keistimewaan di atas, di bulan ramadhan orang-orang islam juga diperintahkan menjalani puasa. Hukum melaksakana puasa ini wajib bagi muslim yang telah dewasa (baligh), berakal, sehat, muqim, kuat, serta suci dari haid dan nifas. Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

Baca juga:

Walaupun hukum puasa ramadhan sudah jelas wajib. Namun ada beberapa orang yang diperbolehkan meninggalkan puasa, diantaranya yaitu:

  1. Anak kecil yang belum baligh. (baca: doa di bulan Ramadhan)
  2. Orang sakit.
  3. Musafir (orang berpergian jauh). (baca: Menahan Nafsu di Bulan Ramadhan)
  4. Wanita hamil, melahirkan dan menyusui.
  5. Wanita haid atau nifas. (baca:Persiapan Puasa Ramadhan)
  6. Orang gila.
  7. Orang berusia lanjut.
  8. Pekerja keras. (baca: Amalan di Bulan Ramadhan Bagi Wanita Haid)

Orang-orang yang disebutkan pada poin diatas memang diperbolehkan meninggalkan puasa di bulan ramadhan. Tapi hal itu dianggap sebagai hutang dan wajib dibayar setelah ramadhan berakhir.

Waktu Membayar Hutang Puasa Ramadhan

Dari Aisyah radhiyallahu‘anha berkata:

“Dahulu aku memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku bisa mengqadha’nya (karena ada halangan sehingga tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban.” (H.R. Al-Bukhari)

Hadist diatas dijadikan rujukan oleh para ulama bahwa membayar hutang puasa dapat dilakukan mulai dari syawal hingga sya’ban. Yang berarti 11 bulan selain ramadhan. Namun demikian, terdapat hari-hari tertentu yang diharamkan seseorang untuk berpuasa, yakni hari jum’at (kecuali ia sedang puasa daud), hari tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah), hari raya idul adha, dan hari raya idul fitri. (baca: I’tikaf di Bulan Ramadhan)

Meskipun waktu untuk membayar hutang puasa cukup lama (11 bulan) tapi dianjurkan bagi umat muslim untuk sesegera mungkin membayarnya apabila tidak ada udzur. Sebab kita juga tidak tahu seperapa lama umur kita, maka itu sebaiknya jangan menunda-nunda membayar hutang puasa. (Baca juga: Niat puasa ganti ramadhan)

Hukum Belum Membayar Hutang Puasa

“Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Allah SWT tidak pernah membebani hamba-hambanya diluar kemampuan mereka. Bahkan Allah SWT memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu untuk meninggalkan puasa ramadhan, dengan syarat ia harus membayarnya di waktu lain. Namun sayangnya, masih banyak orang yang menunda-nunda membayar hutang puasa hingga tiba ramadhan lagi. Nah, jika sudah begini apa yang harus dilakukan? Berikut ini penjelasan lengkap mengenai hukum belum membayar hutang puasa. (Baca juga: Amalan di bulan ramadhan bagi wanita haid)

  1. Mengqadha setelah ramadhan berikutnya

Ada beberapa orang yang tidak sempat membayar hutang puasanya dikarenakan udzur tertentu, misalnya sakit parah selama setahun, hamil 9 bulan (tidak dalam masa ramadhan), menyusui, lupa atau hal lain diluar kemampuan, maka ia berkewajiban mengqadha (membayar hutang puasa) setelah ramadhan berikutnya. Imam ibnu Baz rahimahullah pernah menjelaskan tentang kewajiban seseorang yang sakit dan tidak bisa membayar hutang puasanya:

Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnyam hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya”.

Baca juga: Fadhilah di bulan muharramKeutamaan bersedekah

  1. Mengqadha tanpa membayar fidyah (Pendapat ulama hanafiyah)

Melakukan perbuatan menunda-nuda dan menyepelekan membayar hutang puasa sangat diperbolehkan. Namun apabila hal ini sudah terlanjur dilakukan, ada beberapa hal yang harus diperbuat:

  • Bertaubat kepada Allah SWT dan berusaha tidak mengulangi perbuatan tersebut.
  • Menqadha atau membayar hutang puasa setelah ramadhan berakhir. (baca: Hukum Puasa Tanpa Shalat Tarawih)
  • Membayar fidyah atau tidak (bergantung pada kepercayaan yang dianut).

Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai membayar fidyah untuk hutang puasa. Para ulama hanafiyah berpendapat bahwa mereka tidak wajib bayar fidyah. Melainkan cukup mengqadha puasa. Imam al-Albani pun juga beranggapan sama. Menurut beliau tidak ada sabda rasulullah Saw yang menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban membayar fidyah. Pendapat ini didasari oleh surat Al-Baqarah ayat 184:

“Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. (QS. Al-aqarah: 184)

Baca juga:

  1. Mengqhada dan membayar fidyah (pendapat ulama hababilah, syafi’iyah dan malikiyah)

Ulama dari golongan hababilah, syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa seseornag yang belum membayar hutang puasa hingga tiba ramadhan, maka wajib baginya untuk membayar denda (kaffarah) berupa fidyah atau makanan pokok kepada kaum fakir-miskin. Besar fidyah yang dibayarkan harus disesuaikan dengan jumlah hari ia tidak berpuasa. Dimana sehari besarnya setara 1 mud atau 6 ons.

Baca juga:

  1. Cukup membayar fidyah

Bagi orang-orang yang hutang puasanya terlampau banyak dikarenakan ia terkena udzur, misalnya hamil atau menyusui selama bulan puasa atau orang berusia lanjut yang lemah, maka menurut ulama mereka diperbolehkan membayar fidyah saja. Tidak perlu mengqadha. Pendapat ini mengacu pada hadist yang berbunyi:

Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud)

Imam Nawawi juga mengatakan: “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (Al-Majmu’: 6-177) (baca: Doa Puasa Ramadhan)

Baca juga:

Ketentuan dan Tata Cara Membayar Fidyah

Membayar fidyah untuk orang-orang yang tidak membayar hutang puasa harus disesuaikan dengan jumlah hari yang ditinggalkan. Fidyah ini bisa berupa makanan pokok, seperti nasi, gandum atau lainnya. Fidyah diberikan kepada kaum fakir miskin yang membutuhkan. Untuk ketentuan besaran fidyah, ada perbedaan pendapat diantara para ulama:

  • Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan mayoritas ulama: Fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons=675 gram atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa)
  • Ulama Hanafiyah: Fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha’ gandum. (Jika 1 sha’ sekitar 2,5 atau 3 kg. Maka setengah sha’ berarti sekitar 1,5 kg)

Fidyah tidak boleh diganti dengan pemberian uang. Menurut para ulama, fidyah harus berupa makanan pokok. Sesuai dengan ayat Al-Quran yang berbunyi: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)

Baca juga: Cara meningkatkan iman dan taqwa

Sedangkan tata cara pembayaran fidyah ada dua metode yang diperbolehkan ulama. Pertama membayar secara sekaligus, maksudnya semisal hutangnya 10 hari maka dibayarkan kepada 10 fakir miskin. Atau boleh juga 1 orang diberikan 10 fidyah dengan selama 10 hari berturut-turut. Untuk waktu pembayaran fidyah, yakni terhitung setelah puasanya bolong. Misal ia luput 5 hari, maka ia boleh membayar sejak bulan ramadhan, syawal hingga sya’ban.

Demikianlah informasi mengenai hukum belum membayar hutang puasa. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila kita termasuk orang-orang yang lalai dalam membayar hutang puasa maka kita harus memberbanyak amalan istighfar dan hendaklah kita menjalani rukun iman, rukun islam, Iman dalam Islam, menjaga Hubungan Akhlak Dengan Iman Islam dan Ihsan, serta Hubungan Akhlak dengan Iman.

The post Hukum Belum Membayar Hutang Puasa Ramadhan dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Niat Puasa Ganti Ramadhan – Pengertian dan Ketentuan Ganti Puasa https://dalamislam.com/puasa/niat-puasa-ganti-ramadhan Thu, 16 Jun 2016 04:17:27 +0000 http://dalamislam.com/?p=692 Puasa Ramadhan adalah salah satu dari lima perkara rukun Islam. Bulan ramadhan itu sendiri adalah termasuk waktu yang terbaik yang berlangsung di muka bumi ini. Allah menurunkan Alqur’an dibulan ini (baca manfaat membaca Alqur’an) dan Allah memberikan keistimewaan ramadhan bagi siapa saja umat muslim yang melakukan ibadah dibulan ini bahkan dengan pahala atau ganjaran yang […]

The post Niat Puasa Ganti Ramadhan – Pengertian dan Ketentuan Ganti Puasa appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Puasa Ramadhan adalah salah satu dari lima perkara rukun Islam. Bulan ramadhan itu sendiri adalah termasuk waktu yang terbaik yang berlangsung di muka bumi ini. Allah menurunkan Alqur’an dibulan ini (baca manfaat membaca Alqur’an) dan Allah memberikan keistimewaan ramadhan bagi siapa saja umat muslim yang melakukan ibadah dibulan ini bahkan dengan pahala atau ganjaran yang berlipat sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi

“Semua amalan anak Adam digandakan kebaikannya sepuluh kali ganda serupa dengannya sehingga tujuh ratus kali ganda, Allah Azza Wajalla berfirman: “Melainkan puasa, kerana ianya untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, mereka meninggalkan syahwat dan makanannya kerana-Ku”. Bagi orang yang berpuasa akan mendapat dua kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika menemui Tuhannya, dan bau busuk (dari mulut orang yang berpuasa) karena berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau Musk” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan (baca puasa ramadhan dan pelaksanaannya) seseorang harus memenuhi syarat sah puasa dan rukun puasa. Puasa ramadhan juga memiliki banyak keutamaan atau fadhilah (baca puasa ramadhan dan fadhilahnya) diantara fadhilah puasa ramadhan adalah dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka serta dibelenggunya syaitan sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Rasulullah SAW

“Apabila tiba awal malam dalam bulan Ramadhan diikat semua syaitan dan jin-jin yang derhaka, ditutup semua pintu neraka dan tidak dibuka walau satu pintu, dan dibuka pintu-pinta syurga dan tidak ditutup walaupun satu pintu. Penyeru pun menyeru: “Wahai orang yang mengharapkan kebaikan! Terimalah. Wahai orang yang mengharapkan kejahatan! Berhentilah, dan (yang ikhlas) kerana Allah dibebaskam daripada api neraka dan (penyeru itu akan menyeru) pada setiap malam Ramadhan”. (Riwayat at-Tirmizi dan Ibnu Majah)

Pengertian Ganti Puasa atau Qadha

Puasa qadha atau puasa pengganti adalah puasa yang dilaksanakan sebagai ganti puasa yang ditinggalkan pada bulan ramadhan. Meskipun puasa ramadhan wajib hukumnya namun seseorang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa sebab adanya halangan namun ia wajib mengqadha atau mengganti puasanya tersebut setelah bulan ramadhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 184 yang berbunyi :

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 184)

Adapun orang-orang yang dibolehkan meninggalkan puasa dan mengqadhanya dilain hari termasuk

  1. Orang sakit dan sakitnya tersebut membuatnya lemah dan tidak mampu melaksanakan puasa boleh meninggalkan puasa pada hari dimana ia sakit dan mengqadhanya dikemudian hari. Namun orang yang sakit ringan dan masih mampu berpuasa tetap harus melaksanakan puasa sehingga apabila ia meninggalkannya maka ia berdosa. (baca tips puasa bagi penderita maag)
  2. Musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan perjalanannya tersebut cukup jauh atau sama halnya dengan mengqashar atau jama’ shalat wajib.
  3. Wanita yang haid atau nifas dapat meninggalkan puasa dan mengganti puasa tersebut dilain hari setelah ramadhan karena darah haid tersebut membatalkan puasa seseorang.
  4. Wanita yang hamil dan menyusui. Adapaun wanita yang sedang hamil dan menyususi boleh tidak berpuasa atau meninggalkan puasa ramadhan apabila sekiranya ia tidak sanggup atau lemah dab apabila ia berpuasa dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan atau perkembangan bayinya tersebut. Beberapa ulama berpendapat bahwa wanita yang hamil sama halnya dengan orangtua yang tidak sanggup berpuasa sehingga ia boleh tidak mengqadha puasanya melainkan hanya membayar fidyah atau memberi makan orang miskin.(baca tips puasa bagi ibu hamil dan tips puasa bagi ibu menyusui )
  5. Apabila seseorang meninggal dunia dan ia telah meninggalkan puasa ramadhan karena sakit yang terus menerus, hamil, melahirkan kecelakaan atau musafir maka jika ia belum sempat mengganti atau mengqadha puasa tersebut ahli warisnya atau nasabnyalah (baca arti nasab)  yang bertanggung jawab untuk mengganti puasanya.

Ketentuan Niat Ganti Puasa

Dalam melaksanakan puasa ramadhan tentunya tidaklah sah tanpa memenuhi syarat-syarat puasa atau rukun puasa. Adapun ketentuan qadha puasa dan niat mengganti qadha puasa diterangkan dalam penjelasan berikut ini

  • Jika seseorang meninggalkan puasa pada bulan ramadhan karena sebab-sebab tertentu maka ia disunahkan untuk segera mengqadha puasanya tersebut. Namun apabila seseorang meninggalkan puasa tanpa sebab yang jelas maka ia wajib sesegera mungkin mengganti puasanya tersebut berdasarkan pendapat dari ulama mahzab syafii dan Imam Nawawi.
  • Apabila seseorang meninggalakan puasa dengan alasan-alasan yang syar’i atau sesuai dengan halangan yang memperbolehkannya meninggalkan puasa menurut islam. Maka jika ia belum bisa mengganti puasanya sebelum ramadhan berikutnya diakibatkan halangannya belum hilang maka ia tidak wajib membayar fidyah dan ia dapat melaksanakan qadha setelah ramadhan berikutnya terlalui.
  • Mengqadha puasa ramadhan berturut-turut hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan.
  • Qadha’ puasa atau mengganti puasa tidak boleh dilakukan pada hari- hari tertentu misalnya di bulan ramadhan, hari raya idul fitri (baca shalat idul fitri) , hari raya idul adha serta hari-hari tasyrik.
  • Niat puasa qadha ramadhan adapun diucapkan di dalam hati dan bukan dengan lisan di mana umat islam yang ingin mengqadha puasa dan membaca niat ia tidak disyaratkan untuk ‘Talaffuz’ atau menyebut niat dengan lisan
  • Adapun niat yang diucapkan dalam hati harus sesuai dengan tujuan melaksanakan puasa yaitu puasa qadha dan niat tersebut diucapkan saat malam hari sebelum terbitnya matahari. Menurut pendapat ulama maka niat untuk mengqadha puasa harus diucapkan setiap malam sebelum mengqadha puasanya namun ada yang berpendapat jika mengqadha puasa secara terus menerus maka boleh hanya mengucapkan niat pada awal puasanya saja.
  • Sebelum mengqadha puasa maka seseorang hendaknya mengucapkan niat adalam hati. Niat mengqadha atau ganti puasa adalah sebagai berikut niat ganti puasa

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءٍ فَرْضَ رَمَضَانً ِللهِ تَعَالَى

Aku niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Ramadhan karena Allah Ta’ala.

Qadha puasa adalah layaknya kita memiliki hutang yang harus dibayarkan kepada Allah SWT dan harus segera disegerakan jika tidak memiliki suatu uzur atau halangan apapun. Adapaun puasa seseorang termasuk qadha puasa tidaklah sah jika ia tidak berniat atau mengucapkan niat tersebut di dalam hatinya. Untuk menghindari hal-hal yang dapat membatalkan puasa dan mengqadhanya dilain hari baca juga tips agar kuat berpuasa, tips agar lancar berpuasa dan tips puasa sambil bekerja. Semoga bermanfaat.

The post Niat Puasa Ganti Ramadhan – Pengertian dan Ketentuan Ganti Puasa appeared first on DalamIslam.com.

]]>