Zakat sebagai rukun Islam ketiga sebenarnya berkaitan erat dengan perintah beribadah (shalat) yang merupakan rukun Islam kedua. Itu artinya bahwa perintah beribadah (shalat) dan zakat adalah satu kesatuan yang utuh yang mempunyai tujuan untuk memurnikan kembali nilai tauhid dalam diri sekaligus mensucikan harta benda yang dimilki selama masih hidup.
Satu kesatuan antara kedua perintah ini tersebutkan dalam beberapa firman Allah SWT dalam Al Qur’an, yaitu:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al Mukminun: 1-5)
Dari arti kedua ayat tersebut dapat kita lihat bahwa perintah shalat dan zakat selalu dikaitkan menjadi satu sebagai perintah peribadatan kepada Allah SWT yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Terutama melaksanakan shalat wajib.
Dalam Islam zakat sebenarnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
- Zakat Fitrah
Ialah zakat yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam yang mampu pada bulan Ramadhan hingga batas hari terakhir terbenamnya matahari di bulan Ramadhan atau setidaknya sebelum melakukan shalat Idul Fikri sebanyak 1 sha’, yang setara dengan kurang lebih 2,5 kg beras.
Tujuannya ialah sebagai penyuci puasa yang telah dilakukan agar diterima di sisi Allah, sebagaimana dalam satu riwayat disebutkan bahwa puasa Ramadhan seseorang masih tergantung di langit hingga akhirnya dia membayar kewajiban zakat fitrahnya. Demikianlah kiranya riwayat tersebut berbunyi.
- Zakat Mal (harta)
Ialah zakat yang wajib dikeluarkan dari penghasilan harta atau jeri payah kerja yang dilakukan selama 1 tahun. Tentunya apabila banyak atau kadar hasilnya sudah memenuhi syarat dari wajibnya mengeluarkan zakat mal. Jika tidak, maka tidak wajib mengeluarkannya.
Misalkan memiliki emas seberat 200 dirham (setara 5 awaq = 672 gram) dan sudah genap 1 tahun dimiliki, maka emas tersebut wajib dizakati sebesar 25% atau 1/40 (seperempat puluh) dari perhiasan emas tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya penyucian harta yang dimiliki.
(baca juga: zakat dalam islam)
Lantas kepada siapakah kewajiban zakat itu diberikan?
Dalam ajaran Islam terdapat 8 golongan yang berhak menerima zakat tersebut. Tentunya dengan beberapa syarat dan kadar yang harus sesuai dengan syariat yang telah berlaku. Berikut 8 golongan (penerima zakat) tersebut menurut ajaran Islam, diantaranya:
- Kaum Fakir
Kebanyakan orang beranggapan bahwa orang fakir dan orang miskin adalah golongan yang sama, padahal tidaklah demikian. Fakir tidaklah sama dengan miskin. Fakir ialah orang yang tidak memiliki penghasilan sedikit pun. Kalau pun dia memiliki penghasilan, penghasilan tersebut tidak mencapai atau tidak menutupi separuh kebutuhan hidupnya.
Dalam ukuran orang Indonesia, golongan fakir bisa disematkan kepada para tunawisma, yaitu orang yang bahkan tidak memiliki tempat tinggal atau bisa juga disematkan kepada orang-orang yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan makan seharu-hari pun mengalami kesulitan, seperti halnya hanya mampu makan sekali dalam sehari. Kalau pun mampu makan sehari sebanyak dua atau tiga kali sehari, itupun tidak setiap hari bisa dilakukannya, kemungkinan hanya 2 – 3 hari dalam seminggu.
Itulah kriteria orang fakir yang berhak menerima zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal (harta) yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam yang mampu dan memenuhi syarat (artinya terbebas dari 8 golongan yang wajib menerima zakat).
- Kaum Miskin
Begitu pula dengan miskin, miskin tidaklah sama dengan fakir. Menurut sebagian ulama, kondisi orang miskin masih lebih baik dibandingkan orang fakir meskipun sebenarnya penghasilan yang mereka dapat juga tidak mampu mencukupi atau menutupi kebutuhannya.
Namun setidaknya mereka mampu untuk mencukupi kebutuhan makanannya sehari-hari. Dan setidaknya mereka memiliki kemampuan untuk mencukupi separuh dari kebutuhan hidupnya. Begitulah kriteria orang yang dikatakan miskin yang berhak menerima zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal (harta).
Meskipun sebenarnya para ulama sedikit mengalami perbedaan pendapat mengenai status fakir dan miskin ini. Di mana ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa kondisi fakir lebih parah dari miskin dengan alasan karena kata fakir disebutkan terlebih dahulu daripada kata miskin dalam sebuah ayat. Sedangkan sebagian yang lain menyebutkan bahwa kondisi miskin lebih parah dari fakir.
Adapun ayat yang dimaksud ialah QS. At-Taubah: 60, yang artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit hutang, [7] untuk jalan Allah, dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan”. (QS. At-Taubah: 60)
- Amil Zakat
Amil zakat ialah orang yang bertugas menangani dan mengurusi zakat. Berkat jasanya dalam bekerja mengurusi zakat tersebutlah dia berhak pula menerima zakat tersebut. Namun yang benar-benar disebut sebagai amil zakat di sini ialah orang yang memang berprofesi utamanya sebagai pengurus zakat.
Jikalau ada pekerjaan lainnya, namun pekerjaan tersebut hanya berupa sampingan yang tidak mengesampingkan profesi utamanya sebagai pengurus zakat.
Syarat lain dari seorang amil zakat yang berhak menerima zakat ialah amil yang benar-benar secara resmi diangkat oleh Negara, organisasi, lembaga maupun yayasan resmi yang mengurusi tentang perzakatan. Artinya pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan resmi bukan serabutan atau sampingan dan mendapat pengawasan yang resmi dari badan terkait.
- Mu’allaf
Mu’allaf ialah sebutan bagi orang yang baru masuk Islam. Sebagaimana disebut dalam salah satu firman Allah dalam Al Qur’an surat At Taubah: 60, yang artinya adalah “orang-orang yang hati mereka dilunakkan agar masuk Islam atau agar keimanan mereka meningkat, atau untuk menghindari kejahatan mereka.”
Adapun dari penjelasan di atas, mu’allaf dapat terbagi menjadi tiga golongan yang berhak menerima zakat, diantaranya:
- Pertama: orang-orang kafir yang hati mereka sudah cenderung kepada Islam. Dalam artian mereka diharapkan agar bisa masuk Islam karena dengan masuknya mereka diyakini akan membuat Islam menjadi lebih kuat.
- Kedua: orang-orang kafir yang diharapkan supaya menghentikan kejahatan yang dilakukannya kepada kaum muslim (Islam) dengan cara memeluk Islam sebagai agamanya.
- Ketiga: orang-orang Islam yang lemah imannya karena baru saja masuk dan mengenal Islam agar supaya mereka tidak keluar lagi memeluk agama selain Islam, dalam artian kembali memeluk agama yang sebelumnya.
Itulah ketiga golongan kaum mu’allaf yang berhak untuk menerima zakat. (baca juga: manfaat menjadi muallaf)
- Fi ar-Riqab
Fi ar-Riqab adalah budak belian. Artinya kita memerdekakannya dari tuannya, yaitu dengan cara membelinya, lalu kemudian membebaskannya untuk menjadi orang yang merdeka. Bukan berarti kita memberikan uang ataupun beras kepada mereka.
Adapun untuk lebih jelasnya, Fi ar-Riqab terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:
- Pertama: Al-Mukatib, yaitu budak yang ingin bebas dari tuannya dengan cara membayar sejumlah uang kepada tuannya secara berangsur-angsur. Jadi zakat yang dimaksudkan untuknya adalah dengan cara membantu membayarkan sejumlah uang yang akan membebaskannya dari tuannya dan menariknya keluar dari dunia perbudakan. Caranya bisa memberikan langsung uang tersebut kepada tuannya atau memberikannya kepada budak tersebut untuk kemudian diserahkan kepada tuannya.
- Kedua: membebaskan budak secara langsung dengan uang zakat tersebut, walaupun dia bukanlah al-mukatib. Artinya tidak membayarkan sejumlah uang demi memperjuangkan kebebasannya.
- Ketiga: seorang muslim yang menjadi tawanan perang orang kafir, maka boleh membayar uang tebusan memakai uang zakat agar dia bisa terbebas.
Pada kasus pertama, misalkan uang yang diberikan kepada budak tidak dipergunakan untuk membayar kebebasannya melainkan digunakan untuk keperluan lain, maka uang zakat tersebut berhak untuk diambil kembali. Namun rasanya untuk zaman seperti sekarang ini perbudakan sudah dihapuskan dalam peradaban dunia manusia.
- Al-Gharimun
Al-Gharimun adalah orang yang terlilit hutang sehingga dia tidak mampu untuk membayarnya. Adapun golongan al-gharimun yang berhak menerima zakat terbagi menjadi dua, yaitu:
- Pertama: orang yang dililit hutang karena bermaksud mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih. Maka orang seperti ini memiliki hak untuk menerima zakat walaupun sebenarnya dia orang kaya sekalipun. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang disampaikan kepada Qabishah bin Muhariq al-Hilali, yang berbunyi:
“Wahai Qabishah meminta-minta itu tidak boleh, kecuali bagi tiga orang, (diantaranya) adalah seseorang yang menanggung beban orang lain, maka dibolehkan dia meminta-minta sehingga menutupi hutangnya. Kemudian dia berhenti dari meminta-minta”. (HR. Muslim)
- Kedua: orang yang dililit hutang untuk keperluan diri sendiri, seperti memenuhi nafkah keluarga, berobat, membeli sesuatu, dan lain-lain.
Sedangkan orang kaya yang terlilit hutang karena usaha bisnisnya, maka dia bukanlah jenis orang terlilit hutang yang berhak menerima zakat. Adapun syarat dan ketentuan lain dari seorang al-gharimun yang berhak menerima zakat, diantaranya:
- Yang berhutang merupakan orang muslim.
- Bukan termasuk ahlul bait, yaitu keluarga Nabi Muhammad SAW.
- Bukan orang yang sengaja berhutang hanya karena ingin mendapatkan zakat.
- Bukan orang yang masih mempunyai harta simpanan (tabungan atau barang-barang berharga lainnya) yang sebenarnya bisa digunakan untuk melunasi hutangnya.
- Hutang tersebut membuat dia dihukum atau dipenjara.
- Hutang tersebut harus dilunasi saat itu juga. Dalam artian bukanlah hutang yang masih bisa ditunda masa pelunasannya dalam tempo beberapa tahun lagi, kecuali jika memang hutang tersebut harus dilunasi pada tahun itu juga, maka dia berhak menerima zakat.
- Fi Sabilillah
Adapun yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah orang yang berperang di jalan Allah untuk menegakkan agama dan kalimat Allah di dunia. Sehingga orang yang dimaksud fi sabilillah di sini, meliputi para mujahidin yang berperang melawan orang-orang kafir, pembelian alat-alat perang, dan keperluan lainnya yang digunakan untuk berjihad di jalan Allah. Mereka pun berhak menerima zakat sekalipun sebenarnya mereka adalah orang kaya.
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah hingga pulang”. (HR. Tirmidzi. Adapun hadits ini diakui sebagai hadits hasan, yaitu hadits yang baik)
Sebagian para ulama juga berpendapat bahwa orang-orang yang waktunya tersita untuk belajar ilmu agama sehingga tidak sempat untuk bekerja, maka mereka termasuk dalam golongan fi sabilillah karena ilmunya akan bermanfaat bagi agama dan umat muslim lainnya. Contohnya adalah para santri yang menutut ilmu di berbagai pesantren islam yang ada di Indonesia ini.
- Ibnu Sabil
Ibnu sabil ialah seorang musafir yang kehabisan bekal di tengah perjalanannya sebelum mencapai tujuan yang ditujunya. Sedemikian sehingga dia tidak mampu untuk melanjutkan perjalanan tersebut atau bahkan untuk kembali ke kampung halamannya sekalipun. Apabila demikian, dia berhak untuk menerima zakat meskipun sebenarnya dia adalah orang yang kaya di kampung halamannya. Zakat yang diberikan tentunya ialah secukupnya saja hingga dia mampu sampai ke tujuannya atau kembali ke kampung halamannya.
Demikianlah 8 golongan yang memiliki hak untuk menerima zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal (harta). Tentunya dengan sejumlah syarat dan ketentuan yang juga sudah disebutkan serta dijelaskan di atas.
Adapun untuk kasus zakat mal (harta), harta yang wajib dizakati bukan hanya dalam bentuk emas atau perhiasan saja namun juga harta lainnya seperti hewan ternak dan tanaman mata pencaharian. Tentunya dengan syarat, kadar, dan ketentuannya masing-masing sesuai aturan yang disebutkan dan diajarkan dalam Islam.
Sebagai tambahan, berikut cara dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembagian zakat kepada 8 golongan tersebut apabila yang membagikan adalah suatu lembaga khusus, diantaranya:
- Pemberian zakat kepada 8 golongan tersebut sesuai dengan yang ada di wilayahnya. Jikalau memang sebagian dari 8 golongan tersebut belum ada, maka sebaiknya simpanlah bagian mereka hingga mereka ada.
- Memberikan kepada semua personil dari setiap golongan tersebut yang ada di kota itu secara merata.
- Perataan zakat kepada personil dari setiap golongan tersebut dilakukan jika memang memungkinkan untuk dilakukan pemerataan karena banyaknya zakat yang tersedia. Jika tidak, maka harus bisa didahulukan kepada pihak-pihak atau golongan-golongan yang lebih membutuhkan, seperti mendahulukan fakir dan miskin daripada amil zakat.
- Jika lebih memungkinkan lagi dilakukan pemerataan hingga benar-benar merata, seperti contohnya uang zakat dengan jumlah Rp. 8.000.000,00- dibagikan kepada 8 golongan yang artinya setiap golongan mendapatkan jatah Rp. 1.000.000,00-. Namun dalam hal ini dilakukan pengecualian terhadap amil zakat karena mereka hanya berhak menerima zakat sesuai dengan upah dari hasil pekerjaan yang dilakukannya sebagai amil zakat. Jadi, jika uang zakat melebihi upah yang seharusnya, maka sudah seharusnya dikembalikan untuk diberikan kepada golongan lainnya yang lebih membutuhkan.
Terima kasih. Wallahu a’lam bish shawab.