Pernikahan dalam islam Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/pernikahan-dalam-islam Tue, 07 May 2019 00:13:40 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://dalamislam.com/wp-content/uploads/2020/01/cropped-dalamislam-co-32x32.png Pernikahan dalam islam Archives - DalamIslam.com https://dalamislam.com/tag/pernikahan-dalam-islam 32 32 Hukum Merahasiakan Pernikahan dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-merahasiakan-pernikahan-dalam-islam Tue, 07 May 2019 00:13:39 +0000 https://dalamislam.com/?p=6788 Menikah adalah ibadah sebab terdapat pahala yang didapat bersama istri. Dilakukan tanpa beban dan paksaan. Kedua mempelai melaksanakannya dengan penuh kebahagiaan dan keikhlasan. Wajah mempelai, keluarga dan sanak kerabat, ‘hadir’ dalam rona cerah. Semua yang hadir gembira. Tak ada yang sedih. Karenanya, kagembiraan dan kebahagiaan itu, patut diketahui orang banyak. Sejatinya, acara pernikahan dalam Islam, […]

The post Hukum Merahasiakan Pernikahan dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menikah adalah ibadah sebab terdapat pahala yang didapat bersama istri. Dilakukan tanpa beban dan paksaan. Kedua mempelai melaksanakannya dengan penuh kebahagiaan dan keikhlasan. Wajah mempelai, keluarga dan sanak kerabat, ‘hadir’ dalam rona cerah. Semua yang hadir gembira. Tak ada yang sedih. Karenanya, kagembiraan dan kebahagiaan itu, patut diketahui orang banyak.

Sejatinya, acara pernikahan dalam Islam, memang, tak boleh ditutup-tutupi atau tak boleh melakukan hukum menikah diam diam dalam islam. Ia harus dipublikasikan. Segenap orang yang mengenal mempelai dan keluarganya, seyogianya tahu perihal acara pernikahan tersebut.  Rasulullah saw bahkan merekomendir agar acara acara pernikahan disertai ‘hiburan’ yang membuat semua pihak yang hadir di acara tersebut turut bergembira. Tentu saja ‘hiburan’ yang sesuai dengan tuntunan Qur’an dan Sunnah.

Demikianlah sekilas, bagaimana sesungguhnya Islam memandang acara acara pernikahan yang berhubungan dengansyarat laki laki menikah dalam islam. Sayangnya, belakangan di sebagian kita makin menguat kecenderungan untuk menutup-nutupi atau membuat misterius sebuah acara pernikahan, terutama di kalangan seleb.  Biasanya ‘dalil’ yang dikemukakan adalah, “Ini kan acara sakral, buat keluarga dan kerabat terdekat saja.”

Rencana dan prosesi acara pernikahan mestinya jangan dibuat “misterius” kecualitunangan dalam islam. Nikah itu sendiri penuh hikmah. Menutupi rencana acara pernikahan dan saat berlangsungnya ijab-qabul, mengurangi kandungan hikmah yang terdapat di dalamnya. Karenanya, Islam mengajarkan, supaya acara pernikahan itu dipublikasikan. Rasulullah saw bersabda, “A’linuu haadzan-nikaaha waj-‘aluuhu fi’l-masaajidi wadh-ribuu ‘alaihid-dufuufa (umumkanlah acara pernikahan, selenggarakanlah di masjid dan bunyikanlah  tetabuhan),” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Dalam riwayat lain tentang hal yang harus ditanyakan saat lamaran menurut islam, Rasulullah saw menyatakan, “Kumandangkanlah acara pernikahan… dan rahasiakanlah peminangan,” (HR Ummu Salamah ra). Dengan berbagai pertimbangan, Islam mengajarkan agar sebisa mungkin merahasiakan peminangan. Ia hanya diketahui sebatas keluarga terdekat. Mengapa? Untuk mengantisipasi gagalnya acara pernikahan, hal ini penting dan sangat berarti bagi keluarga wanita. Jika acara pernikahan itu urung, padahal orang banyak sudah tahu wanita tersebut sudah dilamar, bagaimanakah perasaan dan kehormatan yang bersangkutan? Bisa jadi sangat menyakitkan dan merugikan nama baik pihak perempuan. Boleh jadi pula orang lain akan ragu mengajukan lamaran, lantaran  pihak sebelumnya telah mengundurkan diri. Bisa saja orang berpikiran negatif terhadap pihak perempuan dan keluarganya.

Jika peminangan dirahasiakan, andai pun tak berlanjut ke acara pernikahan, diharapkan nama baik (kehormatan) wanita dan keluarganya lebih terjaga—karena hanya diketahui oleh keluarga yang sangat terbatas. Yang umum terjadi hari ini, jauh sebelum acara pernikahan—bahkan meminang pun belum—sudah gembar-gembor.

Di kalangan orang-orang terkenal lebih dahsyat lagi, karena sikap dan perilaku mereka sendiri yang membuat para wartawan gosip memburu dan memberitakan sepak terjang keduanya. Belum apa-apa, mereka sudah sering terlihat  berjalan berduaan (pacaran), kelihatan mesra—meski belum diikat dengan tali acara pernikahan, astaghfirullaah!  Tapi kalau ditanya, kapan menikah, jawabannya tak jelas dan klise alias basi! Tak jarang, melamar saja belum, keduanya tak lagi melanjutkan ke arah acara pernikahan. Perbuatan dosa dilalui, pindah lagi ke perempuan atau lelaki lain—untuk memperbarui dosa, begitulah seterusnya. 

Kalaupun mengarah ke jenjang acara pernikahan,  tak jarang publik dan khususnya wartawan, dibuat penasaran. Sampai puncaknya,  keduanya menikah dan dihadiri terbatas keluarga dan teman-teman terdekat, para wartawan protes—karena tak boleh mengikuti proses berlangsungnya akad nikah. Padahal semakin banyak (ramai) yang hadir, makin baik. Banyak hikmah yang terkandung atas kehadiran dan kesaksian orang lain di seputar acara pernikahan kita.

Hikmah acara pernikahan yang transparan dan diumumkan, di antaranya:

Pertama, menutup pintu fitnah. Dengan transparan, kenalan mempelai dan keluarganya jadi tahu. Jika si pengantin baru itu berduaan, baik di tempat sepi maupun di tengah keramaian, orang yang mengenalnya sudah mafhum, karena memang diketahui sudah menikah. Tapi, kalau tidak, gosip dan api fitnah bisa ke mana-mana. Kedua, semakin banyak orang tahu dan menyaksikan prosesi acara pernikahan itu, justru makin bagus.

Yang mendoakan pun banyak. Lagi pula, upacara acara pernikahan itu punya nilai ibadah. Sesuatu yang baik, mengapa harus ditutup-tutupi atau tak boleh disaksikan banyak orang? Ketiga, mendorong yang belum nikah supaya (berani) menikah. Keempat, syi’ar. Kehadiran banyak orang di  acara acara pernikahan, akan menambah marak dan syi’ar Islam. Yang tak tahu, bagaimana acara pernikahan dalam Islam, akan menjadi tahu. Apalagi untuk yang belum pernah menikah, dengan mengikuti proses acara pernikahan itu, dia jadi belajar.

Cukup banyak orang  menikah diam-diam, sehingga jadi gosip, termasuk yang berpoligami. Ini jelas menambah deret dosa orang-orang yang menggosipkannya—apalagi kalau hal ini dilakukan public figur, terang saja jadi makanan empuk media yang doyan gosip. Ini dapat melahirkan fitnah baru. Parahnya lagi, saat diketahui yang bersangkutan hamil—meski mengaku sudah menikah, tapi acara pernikahannya tak pernah diketahui publik.

Fitnah demi fitnah dan omongan yang tak sedap menjalar ke mana-mana. Ironisnya lagi, bohong demi kebohongan (karena usaha untuk menutupi) terus berlanjut. Kebohongan pun beruntun. Pernyataan pertama bohong, yang kedua bohong lagi, begitulah seterusnya. Untuk menutupi kebohongan sebelumnya, berbohong lagi.

Demikianlah sebagian kita hari ini dalam menyikapi dan memasuki institusi acara pernikahan. Institusi acara pernikahan yang sesungguhnya bernilai ibadah yang juga kerap dilontarkan sebagai ‘sakral’, telah kehilangan nilai. Ia dicoreng-morengi oleh sikap dan kelakuan para mempelai dan keluarganya yang  memaknai acara pernikahan sebagai sesuatu yang ‘sakral’, tapi dalam pengertian yang sempit.

Islam yang memuliakan nilai acara pernikahan dan menganjurkannya untuk disyi’arkan (diramaikan dan dipublikasikan) dirusak sendiri oleh sebagian kita yang gemar membuat “misterius” sebuah acara pernikahan.  Bobroknya institusi acara pernikahan di kalangan public figur, sebagai tamsil, jelas punya dampak ke masyarakat. Namanya juga public figur—sosok yang difigurkan publik—tapi nyatanya tak layak jadi figur, orang yang mestinya jadi contoh.

Apa-apa yang telah diungkap seperti tersebut di atas, semoga jadi  perhatian kita bersama. Adalah tugas para dai dan kita semua yang mengaku Muslim dan tahu, untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada keluarga, sanak kerabat dan lingkungan pergaulan kita, tentang hakikat acara pernikahan. Dengan demikian, salah satu ibadah yang bernama nikah itu, tidak disalahpahami. Lebih dari itu, “tak dijadikan mainan” buat “sensasi” atau apalah namanya yang bagi kalangan tertentu jadi ajang untuk ngetop.

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Zubair –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( أعلنوا النكاح ) والحديث حسنه الألباني في إرواء الغليل (1993) .

“Umumkanlah pernikahan”. (Hadits ini dihasankan oleh al Baani dalam Irwaul Ghalil: 1993)

Mengumumkan pernikahan dalam arti menyaksikannya adalah wajib menurut jumhur ulama, dan merupakan salah satu syarat sahnya nikah, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

( لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل ) رواه البيهقي من حديث عمران وعائشة ، وصححه الألباني في صحيح الجامع (7557(

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan kedua orang saksi yang adil”. (HR. al Baihaqi dari hadits Imran dan ‘Aisyah, dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih al Jami’: 7557)

Sebagian ulama telah menganjurkan untuk menyembunyikan proses pertunangan, karena dihawatirkan ada orang-orang yang mempunyai rasa hasad (dengki) yang mau merusak hubungan antara pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan. Sebagaimana yang disebutkan dalam “Hasyiyah al ‘Adwi ‘ala syarhin mukhtashar kholil”: 3/167.

Pendapat di atas didasari oleh sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

( استعينوا على إنجاح الحوائج بالكتمان ، فإن كل ذي نعمةٍ محسود ) رواه الطبراني وصححه الألباني في صحيح الجامع (943(

“Mintalah bantuan untuk mensukseskan hajatan dengan sembunyi-sembunyi, karena setiap orang yang mempunyai nikmat akan diiri orang lain”. (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih al Jami’)

Hal ini tidak hanya menyangkut masalah khitbah (lamaran), bahkan sebaiknya bagi setiap orang untuk tidak menampakkan nikmat yang Allah berikan di depan orang yang menaruh rasa dengki.

Sedangkan menyelenggarakan resepsi pertunangan adalah termasuk perkara yang sudah menjadi kebiasaan banyak orang, dan hal itu tidak masalah insya Allah.

Tentu dalam resepsi tersebut tidak boleh melanggar hukum syar’I yang ada, tidak boleh bercampur aduk antara laki-laki dan perempuan, atau menggunakan alat-alat musik selain rebana; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan rukhshah (keringanan) boleh menggunakan rebana pada resepsi pernikahan.

Semoga bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya.

The post Hukum Merahasiakan Pernikahan dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-menikah-diam-diam-dalam-islam Mon, 06 May 2019 22:20:39 +0000 https://dalamislam.com/?p=6772 Kita seringkali menemukan orang-orang yang merahasiakan acara pernikahannya misalnya nikah siri. Karena beberapa hal yang tidak mungkin disampaikan kepada halayak ramai, maka ada beberapa pasangan yang lebih memilih merahasiakan acara pernikahannya. Namun, bagaimanakah Islam memandang merahasiakan acara pernikahan itu sendiri? Bolehkah kita merahasiakan acara pernikahan? berikut penjelasannya. Kita perlu membedakan antara mengumumkan acara pernikahan dengan […]

The post Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Kita seringkali menemukan orang-orang yang merahasiakan acara pernikahannya misalnya nikah siri. Karena beberapa hal yang tidak mungkin disampaikan kepada halayak ramai, maka ada beberapa pasangan yang lebih memilih merahasiakan acara pernikahannya. Namun, bagaimanakah Islam memandang merahasiakan acara pernikahan itu sendiri? Bolehkah kita merahasiakan acara pernikahan? berikut penjelasannya.

Kita perlu membedakan antara mengumumkan acara pernikahan dengan walimah yang dilakukan dengan menjalankan sunnah sebelum akad nikah. Inti dari walimah adalah acara makan-makan untuk merayakan kebahagiaan setelah akad nikah. Sementara pengumuman bentuknya pemberitahuan kepada masyarakat akan adanya acara pernikahan. Dalam hadis dari Zubair bin Awam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umumkanlah nikah.” (HR. Ahmad 16130, Ibnu Hibban 4066 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Nah, yuk baca ulasan lengkap tentang Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam.

Pertama, batasan mengumumkan acara pernikahan adalah menghadirkan saksi dalam acara pernikahan sesuai syarat pernikahan dalam islam. Artinya, selama dalam acara pernikahan telah dihadirkan 2 saksi, maka sudah dianggap mengumumkan acara pernikahan. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Setelah Ibnu Hibban membawakan hadis pengumuman nikah di atas, beliau mengatakan tentang hukum nikah di masjid, Guruku – radhiyallahu ‘anhu – mengatakan, makna hadis, umumkan acara pernikahan dengan menghadirkan 2 saksi yang adil. (Shahih Ibnu Hibban, keterangan hadis no. 4066)

Ini berdasarkan hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha yang memiliki keutamaan aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak ada nikah kecuali melalui wali dan ada dua saksi yang adil. (HR. ad-Daruquthni 9291 dan dishahihkan al-Albani). Hanya saja, para ulama menekankan agar acara pernikahan tetap diramaikan. Tidak sebatas ada saksi, tapi infonya juga disebarkan ke masyarakat. Meskipun jika dirahasiakan.

Ibnu Qudamah mengatakan, Jika ada orang melakukan akad nikah, ada wali dan dua saksi, lalu mereka merahasiakannya atau sepakat untuk merahasiakannya, maka hukumnya makruh, meskipun nikahnya sah. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ibnul Mundzir. Diantara sahabat yang membenci nikah siri adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, Urwah, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, as-Sya’bi, dan Nafi. (al-Mughi, 7/428)

Kedua, bentuk pengumuman acara pernikahan adalah dengan menyebarkan informasi kepada masyarakat tentang adanya acara pernikahan (at-Tasyhir). Tidak cukup dengan kehadiran 2 saksi.

Ini merupakan pendapat Malikiyah, Ahmad dalam salah satu riwayat, Abu Bakr Abdul Aziz dan yang lainnya. Setelah Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat di atas, beliau mengatakan,

Sementara Abu Bakr Abdul Aziz, mengatakan, nikahnya batal. Ada riwayat dari Imam Ahmad, beliau ditanya, “Jika orang menikah, apakah cukup dengan wali dan dua saksi?” jawab beliau, “Belum cukup, sampai diumumkan.” Dan ini pendapat Imam Malik. (al-Mughi, 7/428).

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan, Jika semua yang terlibat dalam akad nikah sepakat untuk merahasiakan nikah, maka statusnya batal menurut sebagian ulama, seperti Malikiyah dan yang sepemahaman dengan mereka. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 127689).

Nikah diam-diam secara sirri

Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu acara pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Namun, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan  terjadinya acara pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nikah dalam bentuk walimatul-‘ursy atau dalam bentuk yang lain. Lalu yang menjadi persoalan adalah apakah acara pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya.

Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah acara pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.

Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:

  • Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
  • Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dan bagi seorang suami yang ingin berpoligami, seperti yang tercantum dalam kompilasi hukum islam harus menyertakan surat kesediaan/kerelaan dari pihak istri pertama. Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Dengan demikian, Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, acara pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di‘ilankan/ diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-‘ursy. Nabi saw bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة

Umumkanlah acara pernikahan dan pukullah rebana“.  [HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah].

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ

 “Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing“. [HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf].

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya.

Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.

Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.

Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.

Ibnu al-Qayyim menyatakan :

تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.

Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat”.

Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak.

Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya..

Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:

وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ٢١

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:

تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.

Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.

Oleh karena itu, dalam pembahasan bahtsul masail yang diadakah oleh NU Sumatra Barat menyatakan bahwa nikah sirri tanpa pencatatan di KUA adalah HARAM, begitu juga majlis Tarjih Muhammadiyah mewajibkan acara pernikahan dengan pencatatan sesuai undang-undang yang berlaku, karena kalau tidak dicatat dapat merugikan pihak perempuan dan juga kemungkinan adanya madharat dikemudian hari jika terjadi perselisihan pada masing-masing pihak karena tiadanya bukti hukum yang tertulis. Hal ini terkait dengan kaidah fiqih bahwa menolak mafsadat itu harus lebih didahulukan daripada memperbaiki kemudian. Jadi, letak keharaman dan kewajiban untuk dicatat lebih pada pertimbangan mencegah mafsadat dan mengambil manfaat dan mashlaha baik dalam konteks hukum dan sosial.

Dalamislam.com sangat menekankan agar setiap acara acara pernikahan diumumkan. Minimal kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut masalah kehormatan. Ketika itu dirahasiakan, bisa jadi akan menimbulkan buruk sangka di tengah masyarakat karena dia berduaan dengan lawan jenis yang belum pernah mereka kenal. Sampai jumpa di artikel berikutnya, semoga bermanfaat.

The post Hukum Menikah Diam Diam dalam Islam appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Hukum Menunda Menikah Bagi Wanita dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/wanita/hukum-menunda-menikah-bagi-wanita Wed, 27 Mar 2019 05:20:28 +0000 https://dalamislam.com/?p=5969 Menikah merupakan ibadah yang istimewa karena menikah menjadi jalan untuk menggenapkan separuh agama. Dalam pernikahan terdapat banyak keberkahan, salah satunya ialah membukakan pintu rezeki kedua pasangan tersebut. Saling sayang menyayangi antara suami dan istri dalam ikatan pernikahan merupakan ibadah yang indah. Namun, terkadang pernikahan menjadi momok yang cukup menakutkan bagi sebagian kalangan. Ada yang beranggapan […]

The post Hukum Menunda Menikah Bagi Wanita dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menikah merupakan ibadah yang istimewa karena menikah menjadi jalan untuk menggenapkan separuh agama. Dalam pernikahan terdapat banyak keberkahan, salah satunya ialah membukakan pintu rezeki kedua pasangan tersebut. Saling sayang menyayangi antara suami dan istri dalam ikatan pernikahan merupakan ibadah yang indah.

Namun, terkadang pernikahan menjadi momok yang cukup menakutkan bagi sebagian kalangan. Ada yang beranggapan bahwa untuk mewujudkan pernikahan impian memerlukan biaya yang besar, pekerjaan yang mapan dan usia yang matang. Oleh karena itu, tak sedikit yang kemudian berpikir untuk menunda menikah hingga mereka merasa benar-benar siap.

Wanita yang Menunda untuk Menikah

Jika menunda menikah ini dilakukan oleh kaum adam, mungkin masih bisa dimengerti karena mereka memiliki tanggung jawab untuk menafkahi anak dan istrinya kelak. Lalu, bagaimana hukum menunda menikah bagi wanita?

Yuk, simak ulasannya berikut ini!

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.”
(QS. An Nuur, 24 : 32).

Menikah adalah Sunnah Rasul

Salah satu ayat pernikahan dalam Islam terdapat dalam hadits berikut ini.

Baca juga :

Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha).

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa nikah merupakan sunnah Rasulullah saw. dan bagi ummat-Nya yang tidak menjalankannya maka bukan termasuk ke dalam golongan Rasulullah saw.

Pacaran Mengandung Banyak Kemudharatan

Allah swt. berfirman dalam suatu ayat:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. “
(QS. Ar-Ruum, 30 : 21).

Sesungguhnya rasa kasih sayang yang sesungguhnya terdapat dalam hubungan pernikahan yang sah. Bukan dari hubungan tanpa status atau yang lebih dikenal dengan istilah pacaran. Sebab pacaran juga tidak ada tuntunannya dalam Islam, dan justru cenderung memberikan banyak kemudharatan bagi yang menjalaninya.

Baca juga :

Hukum Menunda Menikah Bagi Wanita

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari).

Dalam hadits lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم؛ فإن له وجاء

Wahai sekalian pemuda, apabila kalian mampu (lahir dan batin) untuk menikah, maka menikahlah. Hal tersebut akan menjaga pandangan dan kemaluan. Namun, bila kalian belum mampu berpuasalah. Karena di dalam puasa tersebut terdapat pengekang” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Jadi, itulah hukum menunda menikah bagi wanita yang dapat Anda ketahui. Jika telah benar-benar siap, maka menyegerakan menikah itu lebih baik daripada menundanya untuk alasan yang tidak begitu penting. Jangan takut akan kemiskinan sebab Allah yang akan menolong setiap hamba-Nya dari arah yang tidak disangka-sangka. Sebagaimana yang tertuang dalam hadits berikut ini.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Tiga golongan; Allah pantas menolong mereka. (Di antaranya), seseorang yang menikah untuk menjaga kehormatan dirinya.” (Hadits hasan, Shahihu al Jami’, 3050).

Bagi Anda yang ingin menyegerakan menikah di tahun ini dan menginginkan tata cara pernikahan dalam Islam, silakan telusuri situs kami ini. Semoga Allah swt. memudahkan langkah baik Anda tersebut, aamiin insya Allah.

The post Hukum Menunda Menikah Bagi Wanita dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
9 Adab Menghadiri Pernikahan Dalam Islam dan Dalilnya https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/adab-menghadiri-pernikahan-dalam-islam Tue, 26 Mar 2019 09:08:51 +0000 https://dalamislam.com/?p=6026 Pernikahan adalah salah satu sunnah Rasulullah yang sangat disarankan. Tujuan dari pernikahan sendiri adalah membangun rumah tangga yang harmonis yang berisi anak-anak sholeh dan sholehah. Setelah mengucapkan akad nikah, biasanya pasangan suami istri yang baru ini akan mengadakan walimatul ursy atau resepsi pernikahan sebagai bentuk pengumuman dan silaturahmi. Sebagai tamu, kita pun harus mematuhi beberapa […]

The post 9 Adab Menghadiri Pernikahan Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Pernikahan adalah salah satu sunnah Rasulullah yang sangat disarankan. Tujuan dari pernikahan sendiri adalah membangun rumah tangga yang harmonis yang berisi anak-anak sholeh dan sholehah.

Setelah mengucapkan akad nikah, biasanya pasangan suami istri yang baru ini akan mengadakan walimatul ursy atau resepsi pernikahan sebagai bentuk pengumuman dan silaturahmi. Sebagai tamu, kita pun harus mematuhi beberapa adab yang baik dalam menghadiri sebuah walimatul ursy. Berikut ini adalah beberapa adab menghadiri pernikahan dalam Islam.

1. Datang tanpa menunda-nunda

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ دُعِيَ فَلْيُجِبْ

“Barangsiapa yang diundang, hendaklah ia memenuhinya.”

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3740) dan Ahmad (II/279). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Sunan Abi Dawud)

لَوْ دُعِيْتُ إِلَى كُرَاعِ شَاةٍ َلأََجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ.

“Jika aku diundang untuk menghadiri jamuan makan kaki kambing, pasti aku akan penuhi, jika aku dihadiahi lengan kambing, pasti aku terima.”

(Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5178))

Baca juga:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَـانَ صَائِـمًا فَلْيُصَلِّ وَ إِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ.

“Apabila seorang di antara kalian diundang (makan), maka penuhilah, apabila dia sedang berpuasa (sunnah) hendaklah dia mendo’akan pihak pengundang dan apabila ia tidak berpuasa hendaknya ia makan makanan (yang ada pada jamuan tersebut).”

2. Tidak membedakan undangan dari orang kaya atau miskin

Diriwayatkan bahwa al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma berjalan melewati orang-orang miskin yang sedang menghamparkan serakan remukan roti di atas tanah dan mereka sedang memakannya. Mereka berkata kepada al-Hasan bin ‘Ali :

“Mari makan siang bersama kami, wahai cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Al-Hasan bin ‘Ali berkata: “Ya boleh, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”

Usai berkata seperti itu, al-Hasan bin ‘Ali turun dari baghal (peranakan kuda dan keledai) tunggangannya dan makan bersama orang-orang miskin tersebut.

Baca juga:

3. Tidak menghadiri undangan yang mengandung maksiat

Adab menghadiri pernikahan dalam Islam yang ketiga adalah tidak menghadiri sebuah undangan yang mengandung unsur kemaksiatan. Dalam Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari (IX/250) tercantum perkataan dari Ibnu Baththal berkaitan dengan menghadiri undangan yang mengandung kemungkaran yang dapat merusak agama yaitu:

“Tidak boleh menghadiri undangan yang mengandung kemungkaran (merusak agama), yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena hal itu mengidentifikasikan bahwa ia rela dan ridha atas kemungkaran tersebut. Jika ia melihat ada kemungkaran dan ia mampu mencegahnya, maka tidak ada masalah baginya untuk datang. Tetapi jika ia tidak mampu, maka kembalilah (ke rumah).”

4. Membaca bismilllah sebelum makan

Rasul bersabda,

يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai nak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah yang terdekat denganmu dulu.”

(HR. Al-Bukhari No. 5376)

5. Makan dari pinggirnya

Dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ البركة تنزل من وَسَطِ الطَّعَامِ فَكُلُوا مِنْ حَافَّاتِهِ، ولاَ تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ

“Keberkahan turun di bagian tengah makanan. Maka mulailah untuk makan dari pinggirnya, jangan makan dari tengahnya.”

(HR. Tirmidzi (Tuhfatul Ahwaadzi) dan dia berkata hadits ini hasan shahih (4/439).

Baca juga:

6. Tidak membawa orang yang tidak diundang

Berikutnya, adab menghadiri pernikahan dalam Islam adalah dengan tidak membawa orang yang tidak diungdang untuk ikut bersama. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنك دعوتنا خامس خمسة، وهذا رجل قد تبعنا فإن شئت أذنت له، وإن شئت تركته، قال: بل أذنت له

“Engkau (Abu Syu’aib) mengundang kami berlima, sedangkan orang ini mengikuti kami. Jika engkau mau, engkau bisa mengizinkannya, dan jika engkau mau, engkau boleh tidak mengizinkannya.”

HR. Bukhari (Fath al-Baari)(IX/470))

7. Mendoakan pemilik walimatul ursy

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ، وَارْحَمْهُمْ، وَبَاِرِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُم

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah mereka pada apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka”

(HR. Ahmad IV/187-188).

اَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي، وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang telah memberi makan kepadaku, dan berkahilah minum kepada orang yang telah memberi minum kepadaku”

(HR. Muslim no. 2055).

8. Tidak memenuhi undangan orang kafir

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata,

“Apabila yang mengundang adalah orang kafir, tidak boleh (haram) memenuhi undangan tersebut, bahkan tidak disyari’atkan, kecuali apabila terdapat maslahat (manfaat) di dalamnya. Seperti untuk mengajaknya masuk Islam atau dalam rangka perdamaian. Hal seperti ini tidaklah mengapa karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memenuhi undangan orang Yahudi yang mengundangnya di Madinah. (Syarh Riyadhus Sholihin)”

Baca juga:

9. Tidak berdandan berlebihan

Allah berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakka perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka,atau wanita-wanita mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.’”

(QS. An-Nuur, 24: 31).

Itulah adab menghadiri pernikahan dalam Islam yang perlu diperhatikan selama menghadiri undangan pernikahan walimatul ursy. Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga menambah wawasan kita semua.

The post 9 Adab Menghadiri Pernikahan Dalam Islam dan Dalilnya appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Bolehkah Wanita Memilih Calon Suami Sesuai Keinginan Sendiri? https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/bolehkah-wanita-memilih-calon-suami Tue, 19 Mar 2019 14:50:10 +0000 https://dalamislam.com/?p=5874 Menikah dalam Islam termasuk sunnah yang paling dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi, bolehkah wanita memilih calon suami? Allah berfirman dalam surat Ar-Ruum ayat 21 yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih saying. […]

The post Bolehkah Wanita Memilih Calon Suami Sesuai Keinginan Sendiri? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menikah dalam Islam termasuk sunnah yang paling dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi, bolehkah wanita memilih calon suami?

Allah berfirman dalam surat Ar-Ruum ayat 21 yang artinya,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih saying. Seseungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum : 21)

Ayat di atas merupakan salah satu dasar menikah dalam Islam. Bagi yang akan menikah, salah satu syarat pernikahan dalam Islam yang harus dipenuhi adalah memilih calon pasangan hidupnya sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan secara syar’i. Baik laki-laki maupun wanita memiliki hak untuk memilih calon pasangan hidupnya.

Dalam Islam, wanita memiliki hak penuh untuk memilih calon suami tanpa intervensi dari pihak manapun. Dari Abu Hurairah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Gadis tidak boleh dinikahi hingga dimintai izin, dan janda tidak boleh dinikahi hingga dimintai persetujuannya.“ Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana tanda izinnya?” Nabi menjawab, “Tandanya diam.” (HR. Bukhari)

Baca juga :

Riwayat lain menyebutkan,

‘Aisyah berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seorang gadis yang dinikahkan oleh keluarganya, apakah harus meminta izin darinya atau tidak?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Ya, dia dimintai izin.” ‘Aisyah berkata : Lalu saya berkata kepada beliau, “ Sesungguhnya dia malu (mengemukakannya).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika dia diam, maka itulah izinnya.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya adalah izinnya.” Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dengan isnad ini, beliau bersabda, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” Atau mungkin beliau bersabda : “Dan diamnya adalah persetujuannya.” (HR. Muslim)

Dari beberapa dalil yang telah disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa dalam Islam, seorang wanita baik gadis maupun janda memiliki hak penuh untuk memilih calon suami bagi dirinya. Untuk seorang gadis, harus dimintai persetujuan terlebih dahulu sebelum dinikahkan dengan seorang laki-laki. Misalnya, jika kedua orang tua memaksa menikahkan si gadis dengan seseorang dan si gadis tidak setuju atau menolak, penolakan ini bukanlah bentuk kedurhakaan seorang anak terhadap orang tuanya. Adapun hukum memaksa anak perempuan menikah adalah haram.

Baca juga :

Syeikh Islam berkata,

Tidak boleh bagi kedua orang tua memaksa anaknya untuk menikah dengan seseorang yang tidak diinginkannya, kalau misalnya dia tidak mengikuti keinginan orang tua, dia tidak dianggap durhaka, seperti halnya memakanan makanan yang tidak diinginkan.” (Al-Ikhtiyaraat).

Begitupun seorang janda. Hak seorang janda dalam Islam adalah menikah dan juga berhak penuh untuk memilih calon suaminya.

Dari Khansa’ binti Khidzam Al Anshariyah bahwa ayahnya mengawinkannya – ketika itu ia janda – dengan laki-laki yang tidak disukainya, kemudian dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau membatalkan pernikahannya.(HR. Bukhari)

Riwayat lain menyebutkan,

Dari Ibnu Abbas : bahwasannya anak perempuan Khidzam menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya, padahal ia tidak menyukainya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya hak untuk memilih. (HR. Ahmad)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seorang wanita dibolehkan untuk memilih calon suaminya sendiri tanpa intervensi dari pihak manapun. Namun perlu dipahami pula bahwa seorang wanita juga tidak bisa menikah tanpa persetujuan walinya  Karena keberadaan wali merupakan salah satu rukun nikah dalam Islam dan syarat sahnya pernikahan sehingga jika seorang wanita nikah tanpa wali, pernikahannya itu tidak sah.

Demikianlah ulasan singkat tentang bolehkah wanita memilih calon suami. Artikel lain yang dapat dibaca di antaranya adalah tujuan pernikahan dalam Islam, kriteria calon suami menurut Islam dan kriteria calon istri menurut Islam Semoga bermanfaat.

The post Bolehkah Wanita Memilih Calon Suami Sesuai Keinginan Sendiri? appeared first on DalamIslam.com.

]]>
12 Pahala yang Didapat Bersama Istri Setelah Menikah https://dalamislam.com/info-islami/pahala-yang-didapat-bersama-istri Mon, 18 Mar 2019 12:56:09 +0000 https://dalamislam.com/?p=5856 Menikah untuk mengarah ke kebaikan adalah hal yang dianjurkan. Demi menghindari zina yang membawa dosa besar nantinya. Tapi setelah menikah akan datang banyak pahala dan rezeki nantinya. Apalagi di Indonesia wanita juga diperbolehkan membantu laki – laki dengan mempunyai pekerjaan. Tentu hal ini perlu izin dari suami tentunya. agar tidak ada masalah di rumah tangga […]

The post 12 Pahala yang Didapat Bersama Istri Setelah Menikah appeared first on DalamIslam.com.

]]>
Menikah untuk mengarah ke kebaikan adalah hal yang dianjurkan. Demi menghindari zina yang membawa dosa besar nantinya. Tapi setelah menikah akan datang banyak pahala dan rezeki nantinya. Apalagi di Indonesia wanita juga diperbolehkan membantu laki – laki dengan mempunyai pekerjaan. Tentu hal ini perlu izin dari suami tentunya. agar tidak ada masalah di rumah tangga karena alasan pekerjaan.

Maksudnya adalah jika seseorang yang saling menyukai belum menikah maka apa yang dilakukan biasanya akan mendekati ke arah dosa. Namun, jika sudah menikah maka apa yang dilakukan oleh sepasang suami istri lebih banyak mendapatkan pahala. Pahala apa saja yang bisa didapatkan saat bersama istri. Berikut dibawah ini penjelasan mengenai pahala yang didapat bersama istri.

1. Memenuhi hak suami istri

Jika sebelum nikah apapun yang dilakukan suami istri adalah suatu dosa bahkan akan mendekati zina. Maka setelah menikah apapun yang dilakukan akan mendapatkan banyak pahala besar dikarenakan besarnya dosa juga jika bukan suami istri. Beberapa ustad dalam ceramah juga sering mengungkapkan bahwa melayani suami adalah ladang pahala bagi istri.

2. Menuju jalan ke surga bersama istri

Bisikan-bisikan setan memang terkenal akan menyesatkan umat manusia. Namun berbeda jika bisikan itu merupakan bisikan kebaikan. Bisikan ini timbul atas ridha Allah atas sepasang suami istri. Hal ini tertuang pada ayat Al qur’an Surah an-nisa ayat 114 :

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisiskan mereka, kecuali bsisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar” (terjemahan arti ayat )

Baca juga :

3. Membuat hidup lebih baik

Pahala yang didapat bersama istri berikutnya adalah dengan berusaha membuat hidu menjadi lebih baik. Adanya istri yang melengkapi suami tentunya hal ini dapat membantu semua tugas para suami. Secara tidak langsung akan lebih senang hidup anda. Terlebih lagi seperti menumukan teman hidup. Menurut hadis Hr.Ahmas, al-Nasa’y, al-thabarani, al- bayhaqi sebagai berikut:

“Telah dijadikan kesenangan bagiku dari kehidupan dunia istri, wewangian, dan dijadikannya penyejuk mata hatiku di dalam shalat”

4. Kasih Sayang

Kasih sayang biasanya identik dengan perayaan valentine. Namun, agama islam tidak mengajurkan untuk valentine sehingga kasih sayang ini biasanya akan lebih baik dilakukan oleh suami bersama istri. Secara singkatnya hadis itu berisikan :

“Ketahuilah: kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukkan seseorang yang kalian benci “

5. Bercanda Suami dan Istri

Dalam suatu pernikahan, bercandanya suami istri adalah ibadah. Ibadah jika dilakukan tentu akan mendatangkan pahala. Pernikahan sendiri juga ada karena diyakini akan membawa ketenteraman.

Baca juga :

6. Membahagiakan Hati

Ketika suami bersama istri itu merupakan kegiatan yang menyenangkan tanpa khawatir akan dosa ataupun zina. Hadis Hr Muslim mengatakan :

“Sesungguhnya wanita datang dalam rupa setan, dan pergi dalam rupa setan. Jika seseorang di antara kalian melihat seorang wanita yang menakjubkan , maka hendaknya mendatangi istrinya, karena hal itu akan menolak sesuatu yang terdapat pada dirinya (syahwat)”

7. Memandang Mendapat Pahala

Memandang istri itu merupakan suatu tindakan untuk mendapatkan pahala. Karena Allah memudahkan menikah, sebab menikah akan mengubah banyak hal dosa menjadi jika dilakukan berpahala. Ustad Hanan attaki mnuturkan

“Memandang pasangan itu seperti memandang kabah. Seperti pahala orang sholat selama 2 rakaat”

8. Berusaha menjadi yang terbaik

Pasangan terbaik adalah impian semua umat di dunia. Namun jika bersama istri yang sah. Usaha untuk menjadi pasangan terbaik akan mendatangkan suatu pahala. seperti hadis Hr. At Tirmidzi:

“Rasullullah s.a.w besabda : sebaik – bainya kalian adalah suami yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku”

Menjadi suami terbaik bagi istrinya sudah menjadi anjuran dari sabda Rasulullah. Sehingga berusaha menjadi pasangan terbaik senantiasa mendapatkan pahala.

9. Jauh dari Maksiat

Pahala yang didapat bersama istri adalah akan menjauhkan diri dari maksiat. Menikah adalah cara menjauhkan diri dari maksiat atau zina yang mendekatkan akan dosa dan jika dosa sudah menumpuk akan masuk neraka. Oleh karena itu bersama istri yang dulunya dosa sekarang menjadi berpahala karena sudah halal. Surah Al-Qur’an Al-baqarah ayat 187 berisikan :

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bercampur dengan istri istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.

Maka sekarang campurlah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benag hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, tetapi jangnlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam mesjid. itu larangan Allah maka jangnlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayat Nya kepada manusia, Supaya mereka bertakwa”

Baca juga :

10. Pahala Mengalir Setiap Hari

Halalnya suatu hubungan, tentu ketika berkegiatan didampingi istri hal ini akan membawa pahala. Mengapa demikian? ketika seseorang belum halal dan berkegiatan dengan bukan mahram akan mendatangkan dosa besar tentu itu setimpal dengan besarnya pahala yang akan dilakukan bersama istri. Maka setiap hari anda akan penuh pahala bersama.

11. Sedekah

Hubungan suami istri diantara kalian adalah sedekah. Hal ini jelas diterangkan pada suatu hadis. Bahwa, jika bersetubuh dengan yang bukan halal akan mendapat dosa sementara bersetubuh dengan yang halal mendapatkan pahala. Keluarga bahagia bisa di dapatkan jika saling menyayangi sesuai ajaran agama islam.

12. Ngobrol Membawa pahala

Ketika suatu suami bersama istri. Istri seringkali curhat kepada suami. Sehingga hal itu termasuk ke suatu obrolan antara suami dan istri. Sesuai dengan hadis Imam Bukhari. Karena suami rela begadang untuk ilmu.

Maka obrolan suami istri tersebut membawa pahala. Oleh sebab itu, jika suatu suami pulang kerja. Dengarkanlah istri berbicara karena istri telah menunggu untuk berbicara dengan suaminya sampai suaminya pulang. Sebagai seorang suami seharusnya mendengarkan curhatan istrinya tersebut. Dan akan membawa pada keharmonisan suatu keluarga.

Kesimpulan : Ketika suami bersama istri maka segala hal yang dilakukan bersama-sama adalah pahala yang telah diberikan oleh Allah. Sementara itu dalam rumah tangga Allah menginginkan ketenteraman dalam suatu pernikahan. Dan perlu juga di ingat hal yang yang dibenci oleh Allah adalah menceraikan istri atau sebaliknya.

Menikah memiliki banyak pahala bagi istri maupun suami. Bagi anak muda yan masih belum halal tentu memandang, berbicara juga bisa mendatangkan dosa. Hingga bisikan untuk melakukan dosa kerap kali muncul. Demikianlah pembahasan mengenai Pahala yang didapat bersama istri. Selain artikel diatas anda juga bisa membaca artikel lainnya yang berkaitan mengenai hukum istri bekerja tanpa izin suami dan keutamaan mencium kening istri penuh pahala serta artikel islam lainnya. Semoga bermanfaat, mohon maaf bila ada salah kata atau ucapan. Terimakasih.

The post 12 Pahala yang Didapat Bersama Istri Setelah Menikah appeared first on DalamIslam.com.

]]>