Yang dimaksud dengan akad nikah adalah ikatan antara pasangan suami istri menurut yang terbentuk menurut syariat islam. Allah SWT menyebutnya sebagai mitsaq ghalidz (ميثاقاً غليظاً) yang artinya ikatan yang kuat. Dengan adanya sebuah akad nikah maka akan dapat mengubah berbagai bentuk hukum bagi kedua belah pihak (perempuan dan laki-laki).
Misalnya dari yang tidak boleh berpegangan tangan, maka setelah di adakannya akad nikah maka keduanya sah berpegangan tangan, dan lain sebagainya. Selain itu, adanya akad nikah maka pasangan yang telah mengikat diri mereka dalam sebuah penjanjian suci berarti mereka telah se-iya sekata untuk membangun sebuah rumah tangga sesuai dengan syariat islam. Membangun rumah tangga dalam islam haruslah disertai ridho dari Allah, dan dari orangtua. Ridho orangtualah yang paling utama, sebab Allah akan meridhoi sesuatu atas dasar ridho orangtua, juga doa dari pada orangtua menjadi salah satu penuntun menuju keridhoan Allah.
Akan tetapi perjanjian yang mengikat di antara lelaki dan perempuan tersebut memiliki beberapa persyaratan untuk bisa dikatakan sah. Adapun syarat-syarat agar sebuah akad nikah dikatakan sah adalah :
- Ta’yin Az Zaujain
Syarat-syarat akad nikah yang pertama adalah Ta’yin Az Zaujain merupakan salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan. Arti dari Ta’yin Az Zaujain adalah memastikan siapa (individu) yang dinikahkan. Artinya adalah harus diketahui dengan pasti dalam sebuah pernikahan yaitu siapa yang menjadi suami dan siapa yang menjadi istri. Hal ini bertujuan agar tidak timbul kerancuan pada pihak pengantin yang dinikahkan. Sebagaimana yang terjadi dalam sebuah jual beli barang, di mana pihak penjual dan pembeli harus sama-sama tahu tentang objeck yang diperjual belikan.
Ada hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ta’yin Az Zaujain ini, yaitu : dalam akad nikah tidak diharuskan menyebutkan nama calon pengantin, akan tetapi bisa juga dilakukan dengan hanya menyebutkan ciri-ciri melalui isyarat tunjuk atau dengan menyebutkan keterangan lainnya tentang calon pengantin.
Yang terpenting adalah kejelasan tentang orang yang hendak dinikahkan. Akan tetapi jika terdapat unsur ketidakjelasan, maka keterangan lain seperti menyebutkan nama pengantin dapat dilakukan guna menegaskan tentang orang yang dimaksud.
Untuk memahami masalah ta’zin Az zaujain ini, simak ucapan Ibnu Qudamah yang terdapat dalam al-Mughni berikut ini :
من شرط صحة النكاح تعيين الزوجين لأن كل عاقد ومعقود عليه يجب تعيينهما, كالمشترى والمبيع
ثم ينظر فإن كانت المرأة حاضرة, فقال: زوجتك هذه صح فإن الإشارة تكفى في التعيين فإن زاد على ذلك, فقال: بنتى هذه أو هذه فلانة كان تأكيدا، وإن كانت غائبة فقال: زوجتك بنتى وليس له سواها جاز فإن سماها باسمها مع ذلك, كان تأكيدا
فإن كان له ابنتان أو أكثر فقال: زوجتك ابنتى لم يصح حتى يضم إلى ذلك ما تتميز به من اسم أو صفة, فيقول: زوجتك ابنتى الكبرى أو الوسطى أو الصغرى فإن سماها مع ذلك كان تأكيدا
لو قال: زوجتك ابنتى وله بنات لم يصح حتى يميزها بلفظه
Artinya:
“Termasuk syarat nikah adalah ’ta’yin az-zaujain’, karena antara pelaksana akad dan apa yang diakadkan, harus dipastikan keduanya. Sebagaimana pembeli dan barang yang dibeli. Kemudian perlu diperhatikan, jika sang istri hadir di tempat akad, lalu wali mengatakan, ’Aku nikahkah kamu dengan ini.’ Status pernikahan sah. Karena isyarat bisa sebagai ta’yin. Jika wali menambahkan, ’Aku nikahkah kamu dengan putriku yang ini’ atau ’dengan putriku yang bernama si x’, tambahan ini semakin menguatkan. Dan jika pengantin perempuan tidak ada di tempat, kemudian si wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ dan si wali hanya memiliki satu anak perempuan, maka nikahnya sah. Jika si wali menyebut nama anaknya, ini sebagai penguat. Jika si wali memiliki dua anak perempuan atau lebih, lalu dia mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ maka nikahnya tidak sah, sampai dia tambahkan nama atau keterangan lain yang membedakan satu anak dengan anak lainnya. Sehingga dia bisa mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putrinya yang sulung’ atau ’yang nomor 2’, atau ’yang bungsu.’ Jika dia menyebut namanya, sifatnya mempertegas. Jika wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’, sementara dia memiliki beberapa anak perempuan, nikah tidak sah. Sampai dia tegaskan anak yang dimaksud dengan ucapannya.”
- Adanya keridhoan dari masing-masing pihak
Dalam sebuah hadist, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Artinya:
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Artinya adalah apabila salah satu pihak yang dinikahkan tersebut tidak menyetujui diadakannya pernikahan tersebut, maka akad nikah yang dilaksanakan menjadi tidak sah. Kecuali apabila pihak yang dinikahkan (wanita) belum baligh, maka wali bisa menikahkannya tanpa seizin dari wanita tersebut.
- Wali
Islam telah mensyariatkan bahwa seorang wanita yang menikah tanpa adanya wali, maka pernikahannya tersebut dianggap tidak sah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam berikut :
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Artinya “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
Dalam hadist yang lain, Beliau Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Artinya “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud)
Para jumhur ulama memiliki perbedaan pendapat terkait siapa yang berhak menjadi wali dalam suatu pernikahan, yaitu :
- Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad berpendapat bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya. Dan apabila seorang wanita tidak memiliki wali nasab, maka hak wali bisa dilimpahkan kepada hakim atau penguasa lainnya.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya “Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
- Para ulama dari madzab hanafiah dan malikiyah menyatakan bahwa golongan fasik memiliki hak untuk menjadi seorang wali, selama kefasikannya tersebut belum mencapai batas seperti berani berbuat dosa dengan terang-terangan.
4. Saksi
Syarat-syarat akad nikah selanjutnya adalah adanya saksi. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhum, bahwasannya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi)
5. Tidak ada hal-hal yang menghalangi sahnya pernikahan
Ada beberapa hal yang bisa menghalangi keabsahan suatu pernikahan, di antaranya :
- Kedua calon pengantin termasuk mahram
- Kedua calon pengantin masih memiliki hubungan saudara sepersusuan
- Calon pengantin wanita sedang dalam masa iddah
- Kedua calon pengantin memiliki agama dan keyakinan yang berbeda
artikel terkait: