Begini Lho Ternyata Hukum Mencium Istri di Bulan Ramadhan!

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Saat berpuasa di bulan Ramadhan banyak sekali hal yang patut diperhatikan dan dipertanyakan terkait hubungan suami istri. Dan pertanyaan yang acap kali muncul adalah bagaimana hukumnya mencium istri saat berpuasa khusus nya di bulan Ramadhan.

Terkait dengan pertanyaan tersebut, ada perbedaan pendapat dari beberapa ulama. Dan berikut pandangan dari beberapa Ulama.

Pendapat pertama, boleh secara mutlak. Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip pendapat ini dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Atha’, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ahmad, dan Ishaq, bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) orang yang berpuasa untuk mencium istri di siang hari bulan Ramadhan.

Dalil pendapat ini di antaranya adalah hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium dan mencumbu (istri-istri beliau) padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)

Juga dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ

“Aku merasa bahagia, lalu aku mencium (istriku), sementara aku dalam keadaan berpuasa. Lalu aku katakan, “Wahai Rasulullah, pada hari ini aku telah melakukan suatu perkara yang besar. Saya mencium (istriku) sementara saya sedang berpuasa.”

Beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu apabila Engkau berkumur-kumur menggunakan air sementara Engkau sedang berpuasa?” (HR. Abu Daud no. 2385, Ad-darimi no. 1724, An-Nasa’i no. 3084, shahih)

Pendapat kedua, haram secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnul Mundzir. Mereka mengatakan bahwa perbuatan tersebut akan menyebabkan rusaknya puasa, sehingga dilarang dalam rangka mencegah rusaknya puasa, lebih-lebih jika masih muda.

Pendapat ketiga, pendapat yang memberikan rincian. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan, jika perbuatan tersebut dapat membangkitkan syahwat, maka tidak diperbolehkan. Akan tetapi, apabila tidak membangkitkan syahwat, maka tidak menjadi masalah (boleh).

Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ

“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan ada orang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” (HR. Abu Daud no. 2387 dan Ahmad no. 24631. Al-Albani berkata, “Hadits hasan shahih.”)

Dan ada pula beberapa keadaan yang patut diketahui dan dipertimbangkan dalam memilih pendapat mana yang dipakai dan dipercaya. Berikut beberapa keadaanya.

Keadaan pertama, jika mencium istri kemudian keluar air mani. Maka puasanya batal, ini berdasarkan ijma’ para ulama. Hal ini karena keluarnya mani karena bercumbu itu serupa dengan hubungan badan tanpa (maaf) memasukkan kemaluan suami ke kemaluan istri.

Keadaan kedua, jika tidak keluar cairan apa pun. Maka puasanya tetap sah, dan ini pun sesuai dengan ijma’ para ulama. Hal ini berdasarkan hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan juga sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang telah kami kutip di atas.

Keadaan ketiga, jika yang keluar adalah madzi, dan bukan mani. Untuk kondisi ketiga ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama.

Pendapat pertama, puasa tetap sah. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa hal ini dianalogikan dengan keluarnya air kencing yang tidak menghasilkan keturunan (tidak seperti air mani). Sehingga jika yang keluar adalah madzi, maka puasa tidak batal.

Pendapat kedua, puasa menjadi batal. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa kasus ini dianalogikan dengan keluarnya mani, karena sama-sama keluar karena adanya syahwat.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yaitu keluarnya madzi tidaklah membatalkan puasa. Hal ini karena beberapa alasan berikut ini,

Pertama, keluarnya madzi tidak tepat diqiyaskan dengan keluarnya mani (seperti yang dikemukakan oleh pendapat kedua). Karena perkara ini telah terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dalil tegas (nash) dalam masalah tersebut.

Kedua, jika kita berdalil dengan qiyas, maka qiyas tersebut tidak tepat. Karena terdapat perbedaan antara madzi dan mani, misalnya keluarnya madzi tidak menyebabkan mandi wajib, tidak menyebabkan terjadinya pembuahan, dan keluarnya madzi tidak memancar sebagaimana mani. Keluarnya madzi juga tidak dirasakan (tidak disadari) oleh manusia, berbeda dengan mani (disertai rasa nikmat).

Ketiga, syahwat yang sesungguhnya adalah ketika keluar mani. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟

“Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?” (HR. Muslim no. 1006)

Keempat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa keluarnya madzi membatalkan puasa, sehingga hukumnya kembali ke hukum asal (tidak batal).

fbWhatsappTwitterLinkedIn