Aturan Bagi Hasil Usaha dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab terdapat kasih sayang Allah kepada hambaNya, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).

Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untukmenjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagiorang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89)

Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa seperti memahami jenis usaha yang dianjurkan dalam islam.

Di antara produk Islam didalam bidang ekonomi adalah Al-Mudharabah (bagi hasil). Al-Mudharabah ini bisamenjadi salah satu solusi untuk bisnis skala kecil maupun besar, terlebih lagiuntuk orang-orang yang:

  1. Punya skill (kemampuan) dan pengalaman tetapi tidak punya modal.
  2. Punya modal yang uangnya ‘menganggur’ di bank tetapi tidak memiliki skill (kemampuan) dan pengalaman dan tetapi juga menginginkan keuntungan.
  3. Orang yang tidak punya kedua hal di atas, tetapi bisa diajak bekerja dan bekerjasama.

Ketiga kekuatan ini apabila digabungkan, insya Allah akan menjadi kekuatan yang besar untuk ‘mendongkrak’ perekonomian Islam yakni jenis kerjasama dalam ekonomi islam.

Di zaman nabi shallallahu‘alaihi wa sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasildisebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dandisyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu‘anhu:

“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam tentang kedudukan harta dalam ekonomi islam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ no. 1472.]

Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam etika jual beli dalam ekonomi islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?

Insya Allah soal-soal tersebut akan dijawab pada artikel ini.

Al-Mudharabah (bagi hasil)memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:

  1. Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
  2. Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
  3. Ra’sul-maal (modal)
  4. Al-‘Amal (pekerjaan)
  5. Ar-Ribh (keuntungan)

Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).

Pengusaha tidak mengambilkeuntungan dalam bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jikamodalnya telah kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yangdisepakati.

Di dalam Al-Mudharabah keduabelah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensiuntuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya,dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apabila terjadi kerugian,maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telahbenar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.

Investor bisa menuntutpengusaha apabila ternyata pengusaha:

  • Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
  • Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.

Inilah garis besar permasalahandalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.

A. Investor danPengusaha

Investor dan pengusahaadalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan hartadan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila,anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaanhartanya oleh pengadilan dan lain-lain.

Anak yang belum balightetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun adaperselisihan pendapat dalam hal ini.

B. Akad

Akad Al-Mudharabahmembutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidakdiketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan. Oleh karena itu, ijab-qabul (serahterima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:

– Adanya kesepakatan jenisusaha

– Adanya keridhaan darikedua belah pihak

– Diucapkan atau ditulisdengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha

Karena akad ini adalahakad kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan olehorang lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanatyang telah dipercayakan kepadanya.

C. Modal

Para ulama mensyaratkanempat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebutyaitu:

– Harus berupa uangatau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang

Para ulama berijma’ bahwayang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapattentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapatyang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Karenasebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya memiliki barang,padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat dibutuhkan sehingga harusmengeluarkan uang untuk mengadakannya.

Sebagai contoh adalah ruko(rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahanusaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.

– Harus nyata ada danbukan hutang

Seorang investor tidakboleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang sayadan nanti saya bayar.”

– Harus diketahuinilai harta tersebut

Modal yang dikeluarkanharus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorangberinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lainberinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan duludengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta. Dan 100 ribu batadengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan masing-masing modal yangdikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil ketika mendapatkankeuntungan.

– Harus diserahkankepada pengusaha

Modal dari investor harusdiserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modaltersebut tidak boleh ditahan oleh investor.

D. Jenis Usaha

Tidak ada pembatasan jenisusaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan,eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usahatersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.

E. Keuntungan

Para ulama mensyaratkantiga syarat dalam pembagian keuntungan

– Harus adapemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan,bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.

– Harus diprosentasekankeuntungan untuk investor dan pengusaha

Keuntungan yang diperolehjuga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% – 50%, 60% –40%, 5 % – 95% atau 95% – 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.

Tidak diperkenankanmembagi keuntungan 0% – 100% atau 100% – 0%.

Besar prosentasekeuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.

– Keuntungan hanyauntuk kedua belah pihak

Tidak boleh mengikut sertakanorang yang tidak terlibat dalam usaha dengan prosentase tertentu. Misal Aadalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harusmendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama sekalidalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka diperbolehkan untukmemasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase keuntungan.

Kapankah pembagiankeuntungan dianggap benar?

Keuntungan didapatkanapabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belumkembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.

Oleh karena itu,Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak.Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidakmendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.

Sebagai contoh, di akhirpembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebutharus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkanapa-apa.

Apakah boleh pengusahamengambil jatah perbulan dari usahanya?

Apabila hal tersebut masukke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidakmengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uangpulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa.

Tetapi jika dia mengambilkeuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Sebelum modal kembali danbelum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karenaitu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karenapengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untungataukah rugi.

Bagaimana solusinyaagar pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain usaha tersebutbisa mendapatkan uang bulanan untuk hidupnya?

Apabila pengusahaberhutang kepada simpanan usaha tersebut sebesar Rp 3 juta/bulan, misalkan, danhal tersebut disetujui oleh investor, maka hal tersebut diperkenankan.

Hutang tersebut harusdibayar. Hutang tersebut bisa dibayar dari hasil keuntungan nantinya.

Apabila pengusahaberhutang Rp 10 juta, misalkan, dan ternyata pembagian keuntungannya diamendapatkan Rp 15 juta, maka Rp 15 juta langsung dipergunakan untuk membayarhutangnya Rp 10 juta. Dan pengusaha berhak mendapatkan Rp 5 juta sisanya.

Akan tetapi, jika tenyatapembagian keuntungannya hanya Rp 8 juta, berarti hutang pengusaha belumterbayar seluruhnya. Pengusaha masih berhutang Rp 2 juta kepada investor.

Dan yang perlu diperhatikan dan ditekankan pada tulisan ini, dalam Al-Mudharabah, keuntungan didapatkan dari prosentase keuntungan bersih dan bukan dari modal.

Adapun yang diterapkan dilembaga-lembaga keuangan atau perusahan-perusahaan yang menerbitkan saham,keuntungan usaha didapatkan dari modal yang dikeluarkan, dan modal yangdiinvestasikan bisa dipastikan keamanannya dan tidak ada resiko kerugian, makajelas sekali ini adalah riba.

Setelah membaca paparan diatas, tentu kita akan mengetahui hikmah yang sangat besar di dalam syariatkita. Bagaimana syariat kita mengatur agar jangan sampai terjadi kezalimanantara pengusaha dengan investor, jangan sampai terjadi riba dan jangan sampaiperekonomian Islam melemah sehingga tergantung dengan orang-orang kafir.

Coba kita bayangkan jikaseluruh usaha baik kecil maupun besar menerapkan sistem bagi hasil ini, makaini akan menjadi solusi yang sangat hebat agar terhindar dari berbagai macamriba yang sudah membudaya di masyarakat kita.

Ini juga menjadi solusibagi orang-orang yang tidak memiliki modal sehingga bisa memiliki usaha mandiridan ini juga menjadi solusi untuk orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan,sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Sungguh indah syariatIslam, karena dia berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian. Mudah mudahanbermanfaat. Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

fbWhatsappTwitterLinkedIn