Tahun Baru Hijriyah
Dalam menentukan hari-hari tertentu atau hari-hari khusus sebaga hari besar atau hari raya (id) adalah ditentukan oleh syari’at, bukan dari adat atau kebiasaan suatu kaum atau bangsa. Ketika Rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah dimana penduduknya memiliki dua hari besar, maka Rasulullah bertanya;
“Apakah dua hari ini?” dan dijawablah oleh mereka; “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyah.” Maka, Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri.“
Pergantian tahun dalam Islam terjadi pada tanggal 1 Muharram. Pada zaman Rasulullah tidak ada yang namanya perayaan tahun baru, bahkan sampai empat abad setelahnya. Perayaan tahun baru mulai muncul sejak zaman Khilafah Al-Fathimiyyun pada abad keempat Hijriyah, 362 H.
Taqiyyuddin Al-Maqrizi RA menyebutkan;
“Khilafah Al-Fathimiyyun sepanjang tahun memiliki beberapa hari raya dan hari peringatan, yaitu: Perayaan akhir tahun, perayaan awal tahun (tahun baru), hari Asyura`, perayaan maulid (hari lahir) Nabi Muhammad SAW, maulid Ali, maulid Al-Hasan, maulid Al-Husain, maulid Fathimah, perayaan maulid (ulang tahun) khalifah saat itu, perayaan malam pertama dan pertengahan bulan Rajab, malam pertama serta pertengahan dari bulan Sya’ban.”
Tidak hanya itu, kaum ini juga meyakini bahwa Ali bin Abi Thalid RA merupakan yang patut disembah selain Allah SWT. Mereka juga melakukan penyelewengan makna (tahrif ma’nawy) terhadapa ayat-ayat Allah yakni memalingkan makna zhahir kepada yang tidak masuk akal, yang mereka yakini sebagai makna bathin ayat tersebut.
Contoh: Al-Qur’an surah Al-Lahab ayat 1 yang artinya “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” Maka, mereka menafsirkan bahwa dua tangan itu ialah Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA.
Ibnu Katsir menyebutkan pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang saleh, serta para ahli fiqh, menuliskan sebuah pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Dalam tulisan itu disebutkan beberapa pemikiran mereka; Mereka (kaum Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun) telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan perzinahan, menghalalkan khamar, pertumpahan darah, mencerca para Nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah SAW dan pengikutnya) serta mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat ketuhanan.
Allah SWT berfirman yang artinya;
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (Q, S. Al-Isra` : 36)
“…Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (Q. S. Az-Zukhruf : 86).
Hukum Merayakan Tahun Baru
Al-Imam Abdul Aziz Ibnu Baz tatkala ditanya tentang sebagian perayaan seperti maulid Nabi, Isra` Mi’raj, dan Tahun Baru Hijriah, beliau menjelaskan;
Allah telah menyempurnakan agama Islam Dia melarang dari berbuat bid’ah di dalamnya. Perayaan-perayaan itu tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW sedangkan Rasulullah ialah manusia yang paling fasih dan paling tahu tentang syari’at Allah SWT. Para Sahabat pun tidak pernah melakukan perayaan ini. Begitu juga dengan para Imam di zaman-zaman keutamaan dahulu tidak pernah melakukannya. Belakangan, bid’ah ini tidaklah diadakan kecuali oleh orang-orang yang mengaku berlandaskan ijtihad dan sangkaan yang baik, namun tidak ada dalil yang menyertai.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak.” Dalam hadist lain disebutkan Rasulullah SAW bersabda yang artinya; “Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fitri)”.
Sama halnya dengan melakan hari perayaan lainnya, contohnya seperti merayakan ulang tahun dalam islam yang tidak ada dalam ajaran Nabi. Sebab ulang tahun berarti umur telah berkurang, dan semakin mendekati ajal. Bukan tidak mungkin seseorang memiliki umur yang panjang, tapi apakah amal ibadah selama ini telah cukup untuk menghadap Allah SWT? Jawabanya tentu tidak.
Untuk itulah manusia harus di bekali perasaan takut mati, takut tidak bisa menghadapi azab apa yang akan di terima sesuai dengan perbuatan yang telah di lakukan di dunia. Namun jika dalam perayaan ulang tahun tersebut mendatangkan manfaat untuk dirinya maupun orang lain, seperti berbagi kepada fakir miskin dan anak yatim, maka di rasa hal ini bukanlah bid’ah.
Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh menyebutkan beberapa bid’ah dan larangan yang berkenaan dengan tauhid:
“Mengadakan perayaan-perayaan yang beraneka ragam dengan maksud taqarrub kepada Allah dengannya. Seperti perayaan maulid nabawi, perayaan hijrah (Nabi), perayaan tahun baru hijriah, perayaan Isra` dan Mi’raj, dan yang semisalnya. Perayaan-perayaan ini adalah bid’ah, karena dia adalah ajang berkumpulnya (manusia) pada amalan-amalan yang dimaksudkan sebagai taqarrub kepada Allah. Sedangkan tidak boleh bertaqarrub kepada Allah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, dan Allah tidaklah boleh disembah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan. Maka semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah terlarang untuk mengerjakannya.” (Dalam Kitab Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho` Asy-Sya`i’ah halaman 17).
Jadi, jelas sudah bahwa merayakan Tahun Baru merupakan perbuatan bid’ah yang daripadanya ialah dilarang oleh syari’at islam.
Hukum Mengucapkan “Selamat Tahun Baru” dan Menjawabnya
Fatwa dari Asy-Syaikh Saleh bin Al-Utsaimin;
“Jika ada seseorang yang mengucapkan selamat (tahun baru) kepadamu maka jawablah, akan tetapi jangan kamu yang memulai memberikan ucapan selamat kepada orang lain. Inilah pandangan yang tepat dalam permasalahan ini. Jadi jika ada seseorang yang berkata kepadamu, ”Kami mengucapkan selamat tahun baru kepadamu,” maka kamu bisa menjawab, “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu dan semoga Allah menjadikan tahun ini sebagai tahun yang mendatangkan kebaikan dan keberkahan kepadamu.” Hanya saja jangan kamu yang mulai memberikan ucapan selamat kepada orang-orang, karena saya tidak mengetahui adanya keterangan dari para ulama salaf bahwa mereka mengucapkan selamat tahun baru, bahkan ketahuilah bahwa mereka (para ulama salaf) tidak pernah menganggap kalau 1 muharram itu adalah awal tahun baru sampai pada zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.”
Catatan:
Fatwa diatas hanya menunjukkan pembolehan untuk menjawab ucapan selamat tahun baru Hijriyah. Lain halnya jika ucapan itu adalah untuk tahun baru Masehi, maka sebaiknya umat muslim tidak menjawabnya karena pada dasarnya perayaan tahun baru Masehi itu berasal daripada kaum kafir.
Tahun Baru Masehi
Kita telah sampai pada masa di mana banyak melakukan kegiatan yang identik dengan kaum kafir, termasuk merayakan tahun baru Masehi yang diperingati setiap tanggal 1 bulan Januari. Padahal, perayaan tahun baru Masehi ini adalah diluar dari peradaban Islam sedangkan kaum Muslimin dilarang melakukan perbuatan atau meniru daripada kaum kafir. Karenanya, merayakan tahun baru Masehi hukumnya haram.
Adapun dalilnya ialah:
- Dalil umum; kaum muslimin diharamkan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr).
- Dalil khusus; kaum muslimin diharamkan merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr fi a’yâdihim).
Bahaya Perayaan Tahun Baru Masehi bagi Umat Islam
Perlu diketahui bahwa sebenarnya merayakan tahun baru Masehi bagi kaum Muslimin tidak hanya haram menurut syariat agama, tetapi juga berbahaya terutama bagi keimanan dan ketaqwaan seseorang. Berikut beberapa bahaya merayakan tahun baru Masehi bagi umat Muslim:
- Meniru kaum kafir
Dalam Islam, kita mengenal hanya ada dua perayaan (‘id) yakni hari raya ‘Idul Fithri dan hari raya ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan;
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An-Nasa-i).
Hukum ‘ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
- ‘Id(perayaan) yang bertujuan untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah serta mengagungkan hari itu agar mendapat pahala.
- ‘Id (perayaan) yang mengandung unsur seperti orang-orang Jahiliyah atau kafir sehingga hukumnya bid’ah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya; “Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Perayaan tahun baru, terutama tahun baru Masehi merupakan perayaan yang dilakukan dan berdasarkan oleh kaum kafir. Sehingga, jika umat Muslim melakukan perayaan tahun baru 1 Januari, berarti menyerupai kaum kafir. Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (H. R. Bukhari).
- Merekayasa amalan
Telah dijelaskan bahwa merayakan tahun baru ialah berasal dari tradisi orang kafir. Namun, ada diantara orang-orang jahil (bodoh) yang kemudian menyebar dusta dengan mensyari’atkan yang katanya amalan untuk dikerjakan setiap malam pergantian tahun. Dengan alasan daripada waktu terbuang sia-sia dengan perayaan, maka lebih baik dilakukan dengan amalan. Padahal, amalan itu tidak ada tuntutannya sama sekali.
Suatu ketika Ibnu Mas’ud melihat orang-orang yang berdzikir tapi tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, orang-orang itu berucap;
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Kemudian Ibnu Mas’ud menjawab; “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” (H. R. Ad-Darimi).
Kesimpulannya, niat baik saja tidak cukup untuk melakukan suatu amalan namun harus mencontoh kepada Nabi Muhammad SAW, agar amal ibadah itu diterima oleh Allah SWT.
- Terjerumus ke dalam hal haram
Tidak hanya masalah merayakan tahun baru, melainkan diperdebatkan juga mengenai masalah mengucapkan dan menjawab ucapan selamat tahun baru bagi umat Muslim. Karena sesungguhnya tidak pantas bagi seorang Muslim memberi selamat pada orang kafir, termasuk ucapan tahun baru yang merupakan syiarnya orang kafir.
Ibnul Qayyim dalam kitab Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.”
- Meninggalkan perkara wajib (Shalat lima waktu)
Salah satu kerugian daripada merayakan malam tahun baru ialah seseorang bisa lalai terhadap perkara wajibnya yakni shalat fardhu ‘ain. Padahal, meninggalkan satu waktu shalat wajib saja bukan perkara yang mudah dan termasuk dalam dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah.)
Logikanya, melakukan perayaan tahun baru saja adalah dosa (karena menyerupai kaum kafir), ditambah lalai akan shalat lima waktu, maka berlipatgandalah dosa yang didapat.
Kesimpulan:
- Merayakan tahun baru Hijriyah ialah bid’ah karena Nabi Besar Muhammad SAW sendiri tidak pernah melakukan perkara ini dan tidak ada menjelaskan atau menerangkan mengenai perayaan ini. Sebaliknya, perayaan dalam Islam hanya dua; yakni ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha.
- Merayakan tahun Masehi adalah haram karena perayaan itu berasal dari kebiasaan kaum kafir sehingga umat Muslim yang merayakannya sama artinya dengan mengikuti kaum kafir. Padahal, agama Islam melarang umatnya mengikuti kaum kafir.
Semoga bermanfaat….