Sudah tak asing lagi bagi kita saat disebutkan istilah khotib, dimana pada umumnya khoib diartikan sebagai orang yang menyampaikan khutbah di atas mimbar pada moment-moment tertentu seperti shalat jum’at, shalat hari raya, maupun shalat istisqa’. Shalat jumat adalah shalat wajib yang hukumnya fardhu ain, sehingga untuk kaum lelaki di hari jumat shalat dzuhur di ganti dengan shalat jumat.
Kata “Khotib” berasal dari bahasa Arab “Khotibun” yang artinya adalah orang yang berkhutbah (memberikan ceramah tentang agama islam). Khotib merupakan orang yang menyampaikan dakwah mengenai ajaran agama islam, yaitu agama Allah SWT yang dibawa oleh Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam.
Khotib telah dianggap memiliki peranan yang begitu penting, salah satunya adalah dalam dunia pendidikan, terutama di era modern yang kebanyakan masyarakatnya berada dalam kondisi mora yang memprihatinkan serta terjadinya pengikisan nilai-nilai luhur budaya yang terdapat dalam masyarakat.
Rosulullah Sholallahu Alaihi wassalam bersabda :
نضر الله أمرأ سمع منا حد يثا فحفظه حتى يبلغه غيره
Artinya “Allah menjadikan bagus, seseorang yang mendengar Hadits dari kami, lantas dia menghafalnya sampai kemuadian ia sampaikan kepada orang lain.”
Dengan demikian, menjadi seorang khotib merupakan suatu tugas yang mulia, dan tidak semua orang bisa menjadi seorang khotib, dan untuk menjadi khotib diperlukan pribadi yang mampu memenuhi berbagai macam syarat. Seperti :
- Seorang khotib haruslah seorang laki-laki
Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mendasar yang dijadikan persyaratan bagi seseorang untuk menjadi khotib. Akan tetapi pada zaman Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam dan Khulafaur Rosidin telah berlaku bahwa tugas menjadi seorang khotib bisa dirangkap oleh seorang imam.
Dan seorang imam hendaknya diutamakan yang berasal dari kaum pria, karena pria adalah pemimpin bagi para wanita. Allah SWT berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Artinya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki).” (QS. An Nisaa ayat 34)
Jadi kesimpulannya, seorang wanita tidaklah diperkenankan untuk menjadi khotib.
- Baligh
Karena khutbah berisikan hal-hal yang menyangkut tentang peribadahan, maka sudah seharusnya jika khotib yang membawakan khutbah tersebut paling tidak telah baligh.
- Memiliki pengetahuan yang luas tentang agama
Seorang khotib haruslah orang yang memiliki pengetahuan yang luas, khususnya pengetahuan dalam bidang agama. Mengapa demikian? Karena biasanya isi dari khutbah yang dibawakan oleh khotib sangat berkaitan erat dengan masalah keagamaan, seperti penyampaian kabar gembira maupun peringatan-peringatan dari Allah SWT.
Selain itu, seorang khotib juga harus bisa memberikan nasihat-nasihat untuk mengajak para jama’ah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Berkaitan dengan hal ini, juga ada beberapa alasan mengapa seorang khotib haruslah orang yang berpengetahuan luas tentang agama, yaitu :
- Khotib merupakan seseorang yang bertugas untuk menyampaikan Risalah Nabi yang sumbernya adalah dari Al Qur’an dan Al Hadits. Oleh karena itu, seorang KHotib harus memiliki kemampuan dalam bidangm Agama serta mengatahui agama dari sumber-sumbernya yang asli. Hal tersebut bertujuan agar ia tidak melakukan kekeliruan atau kesalahan yang justru dapat menyesatkan bagi para jamaah dalam menyampaikan Risalah-risalah Nabi.
- Seorang khotib haruslah mempersaksikan hal atau masalah yang dibicarakan dalam khutbah dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, hadist-hadist Nabi Sholallahu Alaihi Wassalam, maupun praktik-praktik kehidupan Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam dan para sahabatnya.
- Khutbah yang disampaikan hendaknya diperkuat dengan adanya kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah. Dan apabila terdapat kesan abstrak dari kisah-kisah tersebut, maka khotib harus berusaha mendiskripsikannya dengan hal-hal yang mampu ditangkap oleh panca indera. Hal ini dilakukan agar para jama’ah mudah memahami dan meyakini apa yang disampaikan oleh khotib.
4. Suci dari hadast dan najis
Seorang khotib juga harus suci dari adanya hadast baik itu hadast besar maupun hadast kecil. Selain itu, seorang khotib juga harus suci dari adanya najis di tubuhnya, terutama jenis najis yang tidak dapat dimaafkan .
5. Menutup Aurat
Salah satu syarat sahnya suatu khutbak yaitu apabila sang khotin telah menutup auratnya dengan sempurna. Jadi sebaiknya sebelum menaiki mimbar ada baiknya jika khotib memerikasa kembali dirinya apakah auratnya sudah tertutup dengan baik ataukah belum.
6. Khotib hendaknya dalam posisi berdiri ketika menyampaikan khutbahnya.
Khutbah hendaknya disampaikan dalam posisi berdiri jika mampu, akan tetpi jika khotib tidak mampu untuk berdiri dikarenakan keudzuran atau karena sakit, maka ia bisa menyampaikan khutbahnya dengan posisi duduk.
Akan tetapi khotib haruslah memberikan tanda atau jeda guna memisahlkan antara khutbah pertama dan khutbah kedua, yaitu dengan diam sejenak atau seukuran melebihi diamnya orang yang sedang mengambil nafas.
7. Khotib haruslah seseorang yang bersemangat.
Khotib harus membawakah khutbahnya dengan suara yang keras karena khutbah memiliki karakteristik yang berbeda dari ceramah biasa. Minimal khutbah yang ia bawakan dapat didengarkan oleh 40 orang jamaah yang hadir. Jadi sudah sepatutnyalah apabila yang menjadi seorang khotib itu adalah orang yang bersemangat, sehingga ia dapat membawakan ceramahnya dengan baik, layaknya khutbah-khutbah yang dibawakan oleh Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam.
Jabir Bin Abdullah pernah berkata:
“Rasulullah saw jika berkhotbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan semangatnya bangkit bagaikan seorang komandan perang yang mengatakan akan datangnya musuh di pagi hari atau sore hari.” (HR Muslim, Nasa’i, Abu Daud, dan Ahmad)
8. Khotib harus bisa membedakan antara sunnah dan rukun khutbah
Inilah pentingnya memilih khotib dari golongan orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas terutama dalam bidang agama, agar orang tersebut bisa membedakan apa-apa yang disunnahkan dalam khutbah dan apa-apa yang menjadi rukunnya khutbah, karena tidaklah diperbolehkan mengubah sesuatu yang diwajibkan menjadi sunnah dalam berkhutbah.
Adapun rukun khutbah mneurut Madzab Syafi’i ada 5, yaitu :
- Membaca hamdallah pada kedua khutbah
- Membaca Sholawat atas Nabi Sholallahu Alaihi Wassalam pada kedua khutbah
- Berwasiat kepada para jamaah untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT
- Membaca ayat Al-Qur’an di salah satu khutbah minimal satu ayat lengkap dengan maknanya.
- Membacakan do’a bagi seluruh kaum muslimin pada khutbah yang kedua.
Sunnah dalam khutbah, diantaranya :
- Disunnahkan bagi Khotib untuk mendoakan kaum muslimin serta pemimpin-pemimpin mereka
Adapun do’a yang diucapkan adalah untuk meminta kebaikan bagi kaum muslimin dan para pemimpinnya baik itu kebaikan di dunia maupun di akhirat kelak, serta agar mereka mendapatkan taufik dari Allah SWT.
- Seorang khotib disunnahkan untuk menjadi imam, begitu juga sebaliknya.
Dari Jabir Bin Abdullah, bahwasannya Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
Artinya “Apabila kalian datang ke masjid pada hari jumat, sementara imam sedang berkhutbah, lakukanlah shalat tahiyatul masjid. Namun jangan terlalu lama.” (HR. Muslim)
- Khotib disunnahkan untuk berkhutbah di atas mimbar
Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam, dimana dalam menyampaikan khutbahnya, Beliau memilih tempat yang lebih tinggi agar apa yang disampaikan mudah dipahami oleh jama’ah.
- Khotib disunnahkan untuk duduk sejenak di antara dua khutbah
Hal ini juga merupakan ajaran yang diberikan oleh Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam, yaitu untuk memisahkan antara khutbah yang pertama dengan khutbah yang kedua.
- Khotib disunnahkan untuk memendekkan khutbah yang disampaikan
Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda :
إِنَّ طُولَ صَلاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ ، فَأَطِيلُوا الصَّلاةَ وَأَقْصِرُوا الْخُطَبَ
Artinya “Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah merupakan tanda kedalaman fiqihnya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekanlah khutbah.” (HR. Muslim)
- Khotib disunnahkan untuk mengucapkan salam, baik ketika memasuki masjid maupun ketika naik ke atas mimbar sebelum berkhutbah
Jabir Bin Abdullah Radiyallahu Anhuma pernah berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ سَلَّمَ
Artinya “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah naik mimbar biasa mengucapkan salam,” (HR Ibnu Majah)
- Khotib disunnahkan untuk duduk hingga muadzin selesai mengumandangkan adzan
- Khotib disunnahkan untuk memegang tongkat atau semisalnya
Al Hakam bin Hazan Radhiallahu anhuma pernah mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
- Khotib disunnahkan untuk menghadap ke arah makmum ketika berkhutbah
Menjadi khotib adalah salah satu hal yang mulia, dimana dengan menyampaikan khutbah merupakan salah satu jalan dakwah yang tujuan utamanya adalah menyiarkan agama Allah kepada orang-orang yang belum mengetahui atau memahaminya. Dan Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam merupakan contoh seorang khotib yang baik yang patut untuk dicontoh, karena setiap ucapan Beliau adalah bimbingan serta Risalah yang berasal dari Allah SWT melalui Al-Qur’an.
Khotib merupakan teladan dalam hal moralitas, dimana ia harus mampu menafsirkan semua pesan-pesan dakwahnya kepada masyarakat. Jadi selain berfokus pada pengetahuan keagamaan, seorang khotib juga harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada saat ini, agar nantinya ia bisa menjawab tuntutan realita yang dihadapi oleh masyarakat.