Kemunculan media digital memberikan persaingan tersendiri dalam pemerolehan pengikut. Hal ini tidak bisa dikecualikan oleh media keislaman itu sendiri. Banyak dari mereka yang menggalang konten kreatif untuk menarik perhatian masyarakat secara luas. Akan tetapi, yang terus menjadi pertanyaan adalah seberapa efektifkah pengaruh media toleran terhadap laku bijaksana masyarakat luas?
Kenyataan yang tidak bisa dihindari adalah kebanyakan pembaca dan pemirsa dari sebuah media keislaman merupakan golongan mereka sendiri. Misalnya media NU akan banyak dilirik oleh anggota NU itu sendiri. Begitu pula, dengan media Muhammadiyah, kunjungan terbanyak akan datang dari anggota mereka sendiri. Sangat jarang anggota luar organisasi mau melirik media selain organisasinya sendiri.
Walaupun belum ada survei pasti, namun livestreaming yang belakangan gencar terselenggara membuat yakin akan kenyataan tersebut. Pasalnya dalam kolom komentar, banyak ditemukan, antar akun yang menjalin keakraban berbicara. Diduga, mereka mempunyai hubungan dekat di dunia nyata, entah teman ataupun sahabat.
Senada dengan ini, antropolog-santri Yasir Alimi (2018) mengemukakan pendapatnya terkait realitas keagamaan di media digital. Menurutnya, internet bukanlah dunia tanpa batas yang banyak digembor-gemborkan banyak orang. Alih-alih menghubungkan banyak orang dari latar belakang yang berbeda, media digital hanya menghubungkan orang-orang dengan latar belakang yang sama.
Dalam media digital inilah mereka semakin memperkokoh ideologi yang mereka bangun selama ini. Mereka memperkuat jaringan melalui platform-platform digital. Sesekali berharap ada orang dari luar organisasi yang tertarik dengan pergerakan yang mereka tampilkan. Sehingga dapat bergabung dan menyebarkan paham keagamaan yang dianut kelompoknya.
Media milik kelompok-kelompok muslim modernis pun kenyataan ditemukan tidak jauh berbeda dengan kondisi media NU ataupun Muhammadiyah. Rata-rata pemirsa dari media mereka merupakan anggota sendiri. Terlebih bahan diskusi yang ditawarkan masih dalam lingkup paham yang mereka anut.
Namun, yang menjadi poin lebih adalah kajian-kajian mereka mampu menyedot perhatian kaum hijrah, yang baru mendalami agama. Sejauh ini kaum hijrah menjadi rebutan organisasi manapun, karena mobilitasnya dalam memainkan sosial media. Pengaruh besar mereka di sosial media, mampu menarik sebagian masyarakat untuk ikut bergabung bersama organisasi yang diikutinya.
Dalam membangun kajian, kelompok Islam modernis tidak asal-asalan. Ada survei panjang terhadap minat anak muda terhadap kajian keislaman mana yang paling diinginkan. Survei ini sudah dimulai sejak Orde Baru berkuasa dan terus menerus dikembangkan hingga sekarang.
Hasilnya dalam dua dekade belakangan ini, program yang mereka jalankan sukses memikat banyak anak muda. Program hijrah yang mereka semai, sukses memberikan oase di tengah kekeringan spiritualitas anak muda. Pun embel-embel syar’i kini kian populer setelah dilakukan pengunggahan secara berkala di media sosial. Melalui tangan-tangan anak muda ini, program-program yang mereka jalankan terasa mudah.
Yang menjadi pusat perhatian adalah belum ada kebijakan yang signifikan dari negara untuk membendung lajunya perkembangan Islam modernis. Walaupun berkali-kali negara selalu mengkampanyekan Islam toleran yang memberantas virus-virus radikal, namun dalam kenyataannya kebijakan yang mereka keluarkan belum memberikan efek apapun.
Dalam kondisi demikian, terpaksa semua kelompok kultural berjuang sendiri dalam memperkuat identitas mereka. Jaringan dari desa mereka gerakan untuk mempersempit gerak kelompok modernis. Masjid-masjid yang dijadikan sasaran, kini kembali di tata dan diisi oleh beberapa program keagamaan yang memperkuat identitas umat sekitar.
Akan tetapi persaingan di kota-kota besar masih menjadi misteri yang sulit ditebak. Hadirnya bermacam-macam aliran di sana, membuat setiap sudut kota sulit dilalui oleh identitas yang berbeda. Maka arus utama penyebaran identitas ke kota adalah melalui media sosial. Dimana media sosial mampu menembus ke pelosok-pelosok kota. Walaupun terasa sulit, namun proses ini harus terus dijalankan sebagai counter narasi kelompok radikal.
Disinilah peran santri sebagai penggerak roda toleransi dibutuhkan. Santri yang sejak dalam pondok pesantren mendapat didikan langsung dari kiyai, bisa menjadi penggerak nalar masyarakat. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang telah ditanamkan dalam pondok pesantren bisa dipraktekkan dan diajarkan ke masyarakat luas.
Prinsip tradisionalisme akan lebih mudah diterima masyarakat karena berhubungan erat dengan keseharian masyarakat itu sendiri. Akan tetapi di masa pandemi, prinsip itu nampaknya akan sulit dijalankan. Hal ini disebabkan karena waktu berbaur di masyarakat yang kian sempit dan protokol kesehatan yang tidak mengizinkan untuk menggelar perkumpulan.
Meskipun begitu, para santri tetap bisa melakukan kesalehan tersebut secara online. Melalui kegiatan diskusi ataupun ngaji online yang diselenggarakan, santri bisa memberikan pengaruh lebih kepada masyarakat. Walaupun dilakukan secara virtual, tetap tidak mengurangi esensi akhlak dan keilmuan santri itu sendiri.
Pun pesantren digital perlahan mulai diterima oleh masyarakat. Ngaji online dengan ciri khas kitab kuning mulai tersebar di media digital. Banyak pondok pesantren yang mengalihkan kegiatan belajarnya ke arah digitalisasi. Begitu pula, para alumni pondok pesantren juga melakukan hal serupa dalam menggelar berbagai jenis diskusi berhaluan ahlu sunnah wal jamaah.
Dalam prakteknya nanti, para santri bisa menyebarkan kesalehan diri, misalnya dalam penyampaian materi, penyucian diri sebelum melaksanakan diskusi, hingga gerak gerik santri saat diskusi. Jika semua langkah tersebut berhasil dilaksanakan santri, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan ikut tertarik melakukannya juga.
Setidaknya ada lima sikap yang menjadi ciri khas dari santri itu sendiri. Ciri tersebut akan terus diemban karena akan selalu berada dalam gelar santri itu sendiri. Dalam arti filosofisnya, santri mempunyai lima muatan bijak dan menjadi tanggung jawab mereka untuk dijalankan.
Lima ciri tersebut tergabung dalam lima huruf hijaiyah yang membentuk kata santri. Kelima huruf tersebut memberikan pandangan jauh jika dijabarkan. Kelima huruf tersebut yaitu:
- huruf siin menggambarkan الخير سافق artinya pelopor kebaikan sebagai orang yang paham akan agama.
- Huruf nun menggambarkan ءالعلما ناسب artinya penerus para ulama.
- Huruf ta kepanjangan dari لمعاص تارك artinya orang yang meninggalkan maksiat.
- Huruf ra’ kepanjangan dari ﺍﻟﻠﻪِ ﺭِﺿَﻰ artinya santri selalu mengharap ridla Allah.
- Dan yang terakhir huruf ya’ kepanjangan dari ﺍَﻟْﻴَﻘِﻴْﻦُ artinya santri mempunyai keyakinan lebih dibandingkan orang biasa.
Lima filosofi inilah yang bisa digunakan bekal bagi santri untuk menyebarkan ajaran toleran.
Modal inilah yang selalu digunakan santri dalam menjalankan berbagai macam kegiatan. Sehingga setiap kegiatan yang diselenggarakan mempunyai muatan baik dalam soal akhlak. Tidak peduli kegiatan itu bersifat online ataupun langsung berhadapan dengan masyarakat, santri akan tetap mengajarkan akhlak yang mulia.
Tidak salah jika negara menggandeng pondok pesantren dalam upaya penyebaran ajaran toleran. Semuanya akan berperan, baik kiyai, santri, ataupun orang tua itu sendiri. Kiyai memberikan perannya dalam mencetak kader-kader toleran. Santri bertugas menyebarkan ajaran tersebut ke masyarakat luas.
Sedangkan orang tua berperan dalam mendukung seluruh kegiatan yang dilakukan santri dan kiyai. Jika ditambah kehadiran negara, pastilah gerakan-gerakan yang dijalankan pondok pesantren akan lebih cepat terlaksana. Semoga.