12 Hal yang Memperbolehkan Untuk Menjamak Shalat dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Menjamak shalat adalah salah satu keringanan dalam menjalankan kewajiban shalat yang telah diberikan Allah kepada kita. Namun bukan berarti kita semua boleh untuk menjamak shalat sesuka hati kapan pun kita mau. Terdapat beberapa kondisi atau hal yang memperbolehkan untuk menjamak shalat seperti di bawah ini:

1. Terdapat kesulitan

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan atas kalian, dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam beragama.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari no. 39)

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا

Mudahkanlah, jangan dipersulit.” (HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734)

2. Dalam perjalanan jauh

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ، إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak salat Zuhur dan Asar ketika safar, ketika beliau berada di tengah perjalanan, dan juga menjamak antara salat Magrib dan Isya.” (HR. Bukhari no. 1107)

3. Hujan deras

Hisam bin Urwah mengatakan,

أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ

“Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3: 169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583)

4. Sakit

Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits-hadits seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi.”

5. Selesai haid

Maksudnya adalah ketika seorang wanita merasa bahwa haid yang dilaluinya telah selesai di penghujung waktu ashar, maka wanita ini diperintahkan untuk segera bersuci dari hadats besar. Kemudian tanpa membuang waktu lagi segera melaksanakan shalat zuhur dan ashar yang belum dikerjakan itu, artinya bahwa shalat zuhurnya dijamak ke ashar (jamak ta’khir). Begitu pula ketika wanita ini merasa (mengetahui) bahwa darah haidnya sudah berhenti (kering) di waktu larut malam (belum waktu subuh), maka dia dianjurkan untuk bersegera bersuci dari hadats besar (haid)nya, apakah dengan cara mandi atau dengan tayamum. Kemudian segera mengerjakan shalat magrib dan isya dengan cara jamak ta’khir.

6. Tanah penuh dengan lumpur

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan,”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan,”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan,”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.”

7. Angin kencang dan hawa dingin

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,”

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُنَادِي مُنَادِيْهِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ أَوْ اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ذَاتَ الرِّيْحِ صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa mengumandangkan adzan ketika malam yang hujan dan malam yang dingin disertai angin kencang, lalu diucapkan ”shalatlah di rumah-rumah kalian”

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, ”Yang dimaksudkan dengan angin kencang adalah angin yang di luar kebiasaan. Kalau angin cuma biasa-biasa saja (angin sepoi-sepoi, pen) maka tidak diperbolehkan untuk jama’. Dan yang dimaksudkan dengan angin yang membawa hawa dingin adalah angin yang menyulitkan manusia.”

Baca juga:

8. Sulit menemukan air

Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni –Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- menjelaskan, “Para pekerja atau petani jika di suatu waktu mereka mengalami kesulitan, misalnya sulit mendapatkan air dan hanya diperoleh jauh sekali dari tempat shalat. Jika mereka menuju ke tempat tersebut untuk bersuci,  maka nanti akan hilanglah berbagai aktivitas yang seharusnya mereka jalanin. Dalam kondisi semacam ini, mereka boleh menjama’ shalat. Lebih baik mereka mengerjakan shalat Zhuhur di akhir waktu yaitu mendekati waktu ‘Ashar. Nantinya mereka menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar (yaitu jama’ suri), shalat Zhuhur dijama’ suri dengan dikerjakan di akhir waktu, sedangkan shalat ‘Asharnya tetap dikerjakan di awal waktu. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol (lebih utama). Walhamdulillah.

9. Wanita yang sering dikencingi anaknya

Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ”Semua alasan yang menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yang membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yang menghadang di jalan, anging yang kencing membawa hawa dingin menurut pendapat yang nampak pada Imam Ahmad. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yang mengalami istihadhah dan wanita yang menyusui (yang harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)”.

10. Lokasi air jauh

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa para pekerja industri dan petani apabila pada waktu tertentu mengalami kesulitan (masyaqqah) , seperti lokasi air yang jauh dari tempat pelaksanaan shalat.

Sehingga jika mereka pergi ke lokasi air dan bersuci bisa mengakibatkan hilangnya pekerjaan yang dibutuhkan.

Jika demikian kondisinya, maka mereka boleh shalat di waktu musytarak (waktu yang diperbolehkan melaksanakan dua shalat) lalu menjamak (menggabungkan) dua shalat. (Majmû’ al-Fatâwâ, 21/458).

Baca juga :

11. Saat berperang

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan.

Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (1220), At-Tirmidzi (2/438) Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi (3/165) dan Ahmad (5/241-242), mereka semua memperolehnya dari jalur Qutaibah bin Sa’id : ” Telah bercerita kepadaku Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu’adz bin Jabal, secara marfu.

“Sesungguhnya mereka keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan antara Dzuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail berkata :

‘Kemudian beliau mengakhirkan (jama’ takhir) shalat pada suatu hari. Lalu beliau keluar dan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau masuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya sekalian” (Imam Muslim (7/60) dan Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356), Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain)

12. Istihadhah

Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits-hadits seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya.

Oleh karena itu, maka dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi.

Demikian pula dibolehkan untuk menjamak shalat bagi seorang yang tidak memungkinkan untuk melakukan bersuci yang sempurna di masing-masing waktu shalat kecuali dengan kerepotan semisal wanita yang mengalami istihadhah dan kasus-kasus semisal itu” (Majmu’ Fatawa 24/84).

Itulah 12 hal yang memperbolehkan untuk menjamak shalat. Meskipun diperbolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin. Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

fbWhatsappTwitterLinkedIn