Viral di grup-grup percakapan whatsapp. Video seorang ustadz mengutip sebuah hadist tentang larangan menutup mulut saat shalat.
Ia menyampaikan itu di dalam sebuah mobil saat tengah melakukan perjalanan.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطَّي الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ
[Naha Rasulullah SAW ay yughattha ar-rajulu faahu fish sholat].
“Sungguh Rasulullah SAW melarang seorang laki-laki menutup mulutnya ketika sholat.” (HR Turmudzi)
Jadi kita menang harus mengikuti anjuran pemerintah. Tetapi pada saat shalat sebaiknya itu masker di turunkan ke bawah mulut. Sehingga mulut tidak tertutup. Setelah assalamu’alaikum pakai kembali silahkan. Berarti dua duanya jalan karena Rasulullah sangat melarang seorang laki-laki yang menutup mulutnya ketika shalat. Demikian yang dia sampaikan setelah si perekam video memintanya untuk membacakan Hadist masker.
Lalu sebenarnya apa hukumnya memakai masker ketika shalat?
Sebelum masuk ke dalam intinya pembahasan tentang hukumnya memakai masker di dalam shalat terlebih dahulu kita kupas literasi hadits tersebut.
1. Redaksi yang dia baca itu bukanlah redaksi hadits
Melainkan tema atau kesimpulan hadits. Saya tidak menjumpai resaksi seperti itu dalam kitab-kitab hadits.
Ini seperti halnya kita mengatakan:
“Rasulullah melarang minum sambil berdiri.” Kalimat ini bukanlah redaksi hadis, adapun haditsnya berbunyi: “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa, hendaknya ia memuntahkannya.” (HR. Muslim)
Atau seperti pernyataan:
Pemerintah melarang masyarakat mengonsumsi narkotika. Ini bukanlah bunyi peraturan.
Adapun redaksi peraturan berbunyi: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum milik, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman, di pidana dengan penjara paling singkat 4 tahun paling lama 13 tahun pidana. Denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.
UU 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 112 ayat 1 mengenai hadits memakai masker yang di kutip diatas redaksi aslinya sebagaimana terdokumentasi dalam al-kutub as-sittah kitab hadis yang 6 adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ. (رواه أبو داود)
[‘An Abi Hurairah RA annar rasula SAW naha ‘anis sadli fish sholati wa ay yughatthiyar rajulu faahu].
“Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang sadl (menjulurkan pakaian) di dalam sholat dan melarang seseorang menutupi mulutnya.” (HR Abu Dawud).
Hadits ini bisa di telusuri salah satunya dalam kitab sunan abi Dawud dengan nomor hadits 643. Periwayatan oleh Tirmidzi.
Sebagaimana dikatakan sang ustadz justru tidak menyebutkan larangan shalat menutup mulut. Redaksi hadist milik Tirmidzi hanya menyebutkan melarang sadl di dalam shalat.
Ini bisa di telusuri dalam kitab. Dalam kitab sunan Tirmidzi dengan nomor hadits 378.
2. Saya ingin mengajak budiman mengupas hadits yang disampaikan dalam video tersebut secara linguistik
Secara lugas sang ustadz membacanya dengan struktur fiil majhul. Perlu diketahui secara kaidah tata bahasa arab bacaan diatas keliru mengapa?
Karena susunan irab dan struktur Kalimatnya jadi berantakan. Menjadi naibuk fail yang bentuknya pasif.
Sehingga jika diterjemahkan artinya pun turut keliru. Sebagaimana dalam hadits diatas yaitu:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِى الصَّلَاةِ
[Naha Rasulullah SAW ay yughatthiya ar-rajulu faahu fish sholat].
“Rasululllah SAW melarang seorang laki-laki menutup mulutnya ketika shalat.”
Hal-hal detail seperti ini dalam bahasa Arab sangat penting untuk diperhatikan. Apalagi bagi para penceramah dai, ustadz, kia dan lain-lain.
Tak lain karena berkaitan dengan sejauh mana dia mampu memahami isi kitab atau literatur yang dia pelajari. Baik itu berupa hadits, ayat al-quran, maupun teks berbahasa aran lainnya.
Jika dia salah membaca artinya dia akan salahe memahami. Dan jika dia salah memahami artinya dia akan menciptakan kesesatan jamaah yang mendengarkan ceramahnya.
Sekarang mari kita menyentuh kandungan isi dari Hadis tersebut untuk memperoleh titik terang dari pertanyaan diatas:
Apa hukumnya memakai masker ketika shalat?
Dalam banyak literatur hadits ini diklasifikasikan para ulama sebagai hadits hasan. Yaitu Hadis yang levelnya satu tingkat di bawah Hadits sahih.
Bahkan menurut ibnu hajar hadits hasan sebenarnya sama dengan hadits sahih. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah dalam hal tingkatan dhabt perawinya.
Dhabt adalah kepatenan hafalan perawi, kejeliannya dan ketajaman pemahamannya. Jika perawi hadits sahih di persyaratan memiliki tingkat dhabt yang sempurna perawi hadits hasan tidak sepaten itu.
Adapun syarat-syarat lainnya selebihnya sama oleh karena itu menurut mayoritas ulama sebagaimana hadits sahih. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hadits masker diatas benar adanya dan bahwa Rasulullah memang melarang kita menutup mulut dengan suatu benda seperti masker.
Diantara alasannya adalah karena hal itu akan menghambat bacaan shalat kita menghalangi tersentuhnya hidung pada tempat sujud secara langsung sehingga mengurangi hidung pada mengurangi kesempurnaan sujud.
Tetapi larangan itu berlaku dalam kondisi normal dan tidak ada kebutuhan atau sebab yang mengharuskan kita menutup mulut. Apalagi alasan sekedar modus pamer atau gegayaan.
Adapun jika menutup mulut maka hal itu diperbolehkan. Kita bisa mengembalikan kesimpulan ini pada kaidah-kaidah ushul fiqih yang menjadi landasan penarikan kesimpulan hukumn.
Setidaknya ada dua khaidahw ushul fiqih yang membolehkan kita memakai masker ketika shalat. Yang pertama kaidah:
الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Ada tidaknya suatu hukum itu tergantung ‘illat (sebab/alasannya).
Sebagaimana contoh hukum makan daging babi adalah haram. Tetapi kalau sedang berada di hutan dan tidak menjumpai makanan lain kecuali babi maka tidak haram babi itu kita makan mati.
Babi itu hukumnya menjadi halal. Disini illatnya adalah kita akan mati kalau tidak memakan babi itu.
Dalam kondisi ini hukum babi menjadi hilang. Berganti menjadi halal.
Memakai masker ketika shalat di musim pandemi seperti sekarang ini liatnya seperti kasus makan babi diatas. Yaitu untuk melindungi diri dari bahaya yang bisa menyebabkan kematian dalam virus ini.
Jika makan babi saja menjadi halal lantaran ada ilatnya apalagi hanya memakai masker yang hukum asalnya mubah. Hukum memakai masker bukan haram.
Tentu saja lebib diperbolehkan. Apalagi kita khawatir ketika sujud di lantai tempat sujud kita terdapat droplet orang lain yang menularkan wabah. Yang kedua kaidah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Mencegah kerusakan (bahaya) itu lebih didahulukan daripada mengambil maslahat (manfaat).
Dalan hal uni memakai masker adalah mencegah bahaya. Yaitu akibat transmisi virus kedalam tubuh melalui mulut
Sedangkan tidak mengenakan masker adalah mengambil mashalat. Yaitu meraih pahala melaksanakan perintah hadits.
Dalam kasus ini islam justru mengajarkan agar kita mendahulukan mencegah terjadinya bahaya dibandingkan mengambil pahala.
Artinya memakai masker lebih utama dibandingkan melepaskan masker demi mendapatkan pahala. Dan yang terpenting shalat kita tetap sah suci dan bersih .
Alkisah dalam suatu peperangan amru bin ash mimpi basah. Dipagi harinya ia mengimami shalat subuh para sahabat lainnya tanpa mandi junub terlebih dahulu amruh hanya bertayamum.
Kejadian itu rupanya di ketahui salah seorang sahabat yang kemudian melaporkan kepada Rasulullah. Mendengar laporan tersebut Rasulullah pun melakukan kroscek kepada amruh dan bertanya mengapa ia tidak mandi junub?
Amru menjawab kalau aku mandi aku bisa mati menggil duhai baginda.
Dia pun kemudian mengutip surah an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kau membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.”
Kala itu hawanya memang sangat dingin karena jazirah arab sedang dilanda musim dingin. Mendengar alasan itu Rasulullah hanya melempar senyum kepada sahabat yang pernah di utusnya membebaskan mesir dan menjadi gubernur disana.
Rasulullah tidak mengatakan apapun pertanda beliau setuju terhadap yang dilakukan amru. Dalam konteks ini hukumnya wajib mandi junub menjadi hilang lantaran kondisi seperti ini diganti dengan wudhu saja atau tayamum.