Hukum Bersholawat Menggunakan Alat Musik, Bolehkah?

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Modern ini semakin sering kita temui di acara-acara seperti khitanan, nikahan atau bahkan di acara kajian, bersholawat dengan diiringi alat musik. Dan dalam artikel kali ini kita akan membahas bagaimana hukum bersholawat diiringi dengan alat musik.

Dalam menjalankan ibadah kita selalu mengharap atas keberkahan dari Allah SWT. Dalam mengejar keberkahan tersebut sebagai kaum Muslim kita wajib menjalankan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.

Amal ibadah akan diterima oleh Allah jika memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Adapun syarat-syaratnya adalah melakukan ibadah dengan ikhlas dan sesuai dengan Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetapi saat ini banyak sekali orang yang tidak menghiraukan syarat dalam beribadah diatas. Shalawat salah satunya. Shalawat merupakan salah satu bentuk ibadah dengan tujuan memberikan doa dan pujian kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Tetapi banyak sekali penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi tersebut. Sebenarnya shalawat Nabi mempunyai beragam jenis. Namun secara global dibagi menjadi 2.

1. Jenis Shalawat

  • Shalawat yang disyariatkan

Shalawat yang disyariatkan adalah shalawat yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada para sahabat. Dari banyak hadist tentang beliau, diambil kesimpulan ada 7 bentuk shalawat.

Salah satunya adalah

اللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيْمَ وَعَلى) آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي رِوَايَـةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى) آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

(Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kamaa shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala aali Ibrahim, inna-Ka Hamidum Majid. Allahumma barik (dalam satu riwayat, wa barik, tanpa Allahumma) ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama brakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, inna-Ka Hamiidum Majid).

“Ya Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 165-166, karya Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif).

Shalawat selanjutnya yang disyariatkan adalah shalawat yang ditulis oleh Salafush Shalih. Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al-‘Abbad hafizhahullah berkata, Salafush Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan dua bentuk yang ringkas, yaitu:

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

(shallallahu ‘alaihi wa sallam)

dan

عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ

(‘alaihish shalaatu was salaam)

  • Shalawat yang tidak disyariatkan

Yaitu shalawat yang asalnya dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if, maudhu’ (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh Ahli Bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau shalawat itu.

Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Contohnya, dapat kita temukan dalam kitab Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah ‘Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al-Jazuli (wafat th. 854 H).

Di antara shalawat bid’ah ini ialah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Sebenarnya shalawat tersebut mengandung kesyirikan.

2. Cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

  • Shalawat yang dibaca sebaiknya shalawat yang disyariatkan.

Shalawat yang dibaca sebaiknya merupakan shalawat yang disyariatkan, karena shalawat termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir-dzikir dan doa-doa termasuk ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah dibangun di atas ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tidak seorangpun berhak mensunnahkan dari dzikir-dzikir dan doa-doa yang tidak disunnahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu menjadikannya sebagai kebiasaan yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakan. Semacam itu termasuk membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Berbeda dengan doa, yang kadang-kadang seseorang berdoa dengannya dan tidak menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” (Dinukil dari Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al-Badr).

  • Waktu terbaik membaca Shalawat

Sebenarnya untuk membaca shalawat dapat dilakukan setiap hari. Namun jika dilakukan di hari Jumat, hari spesial dimana amal ibadah akan dilipat gandakan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّـى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah).

  • Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh syariat.

Yang dimaksud disini adalah tidak menentukan waktu ketika bershalawat seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khatib Jumat duduk antara dua khutbah, dan lain-lain.

  • Dengan suara pelan (sirr)

Karena membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga harus mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adab dzikir ialah dilakukan secara perlahan sesuai dengan perintah Allah, dan tidak dilakukan secara keras.

Allah berfirman,

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

“Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Oleh karena itulah, Allah berfirman,

وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ

(dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras berlebihan.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa meninggikan suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” (Tafsir Al-Qurthubi, 7/355).

Muhammad Ahmad Lauh berkata, “Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang disyariatkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” (Taqdisul Asykhas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh).

Abu Musa Al-Asy’ari berkata,

لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسَ عَلَى وَادَ فَرَفَعُوا اَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيْرِ اللهُ أَكْبْرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ لاَ تَدْعُونَ اَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوا سَـمِيْعًا قَرِيْيًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَّا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ فَقَالَ لِي يَـا عَبْدَاللهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ فَدَاكَ أَبَـِي وَأُمِّي قَالَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَ بِالله

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yan tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Mahadekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmu-Nya, pendengarAn-Nya, penglihatAn-Nya, dan pengawasAn-Nya -pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku mengatakan, ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah.’ Kemudian beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).’ Aku berkata, ‘Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah,’ Beliau bersabda, ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanAn-simpanan surga?’ Aku menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah.’” (HR. Bukhari no. 4205; Muslim, no. 2704).

3. Cara Membaca

Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena hal ini termasuk bid’ah. Shalawat bersyair mirip dengan yang sering dilakukan oleh para Shufi.

Mereka membaca qasidah-qasidah atau sya’ir-sya’ir yang dinyanyikan dan diiringi dengan pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah sama’ atau taghbiir.

Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.

Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab, “Bid’ah.” (Riwayat Al-Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 163).

Imam ath-Thurthusi tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang membaca Al-Quran, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan syair, kemudian mereka menari dan beroyang. Mereka memukul rebana dan meminkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab, “Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka, seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari -pen.) Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-iumam kaum muslimin.” (Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hlm. 168-169).

Imam Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah ‘Ulumil Hadits (wafat tahun 643 H); saat beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan.

Dan mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama. Maka beliau menjawab, “Mereka telah berdusta atas nama Allah Ta’ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga menyelisihi ijma’. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’, (ia) terkena ancaman firman Allah,

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia keadalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). (Fatawa Ibnu ash-Shalah, 300-301. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 169).

Wallahu a’lam

fbWhatsappTwitterLinkedIn