Hukum Mengabaikan Orang Lain Dalam Islam, Boleh atau Tidak?

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Islam adalah agama yang kaaffah. Islam mengatur segala sesuatunya dalam kehidupan dan tidak ada yang terlewatkan.

Salah satu hal yang diatur dalam islam adalah sikap tidak meremehkan orang lain. Bahkan sekalipun terhadap orang yang dibawah kita baik dari segi umur, status sosial, ekonomi, jabatan dan lainnya.

Tetapi terkadang hal ini masih banyak orang yang meremehkan orang lain dan sikap meremehkan ini bisa dilihat dari ucapan,tingkah laku, gerak tubuh dan lainnya. Rasulullah Saw pernah suatu ketika tidak memperdulikan atau bermuka kurang menyenangkan dihadapan abdullah bin ummi maktum ketika kedatangan para pembesar Quraysi hal ini disebutkan dalam tafsir ibnu katsir “ pada sautu hari Rasulullah Saw berbicara dengan beberapa pembesar Quraisy yang sangat beliau harapkan keislamannya.

Saat itu datanglah ummu maktum yang telah masuk islam terlebih dahulu, dia bertanya kepada Rasulullah Saw tetapi beliau hanya menoleh karena tidak ingin waktunya tersita demi mengajak para pembesar Quraisy. Sehingga beliau bermuka masam dan berpaling dari ummu maktum.

Maka turunlah ayat “ di bawah ini:

عبس و تولى ان جاءه الأعمي وما يدريك لعله يزكي

Artinya: Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya dari dosa. Yakni berkenaan dengan penyucian dirinya, atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya, atau mengenai nasihat atau nasihat atau mencegah diri dari yang diharamkan.

“adapun orang yang dirinya merasa serba cukup kamua melayaninya” yaitu pembesar-pembesar Quraysi yang sedang dihadapi Rasulullah Saw yang diharapkannya dapat masuk islam. Mereka kamu layani dan berpaling dari ummu maktum.

Abu ya’la meriwayatkan dari Anas ra. Tentang surat abasa’ ibnu ummu maktum menghadap Rasulullah Saw sedangkan beliau sedang berbicara dengan Ubay bin Khalaf, Rasulullah berpaling dari ibnu ummu maktum maka turunlah surat ‘abasa’ setelah itu Rasulullah memuliakan ibnu ummu maktum.(hr. Abu ya’la)

Sudah menjadi hukum sosial bahwa seseorang yang perbuatannya jelek dan sering menjadi gangguan bagi masyarakat, ia tidak akan diperdulikan lingkungannya ketika ia mengalami kesulitan atau bahkan meninggal. Padahal yang namanya manusia, tidak selalu dan selamanya seluruh catatannya hitam kelam, bisa jadi ada yang baik dan bermanfaat walau hanya sepele.

Tetapi hal yang kecil dan sepele itulah yang kadang mengundang rahmat dan ampunan Allah. Pernah terjadi di Bashrah, seorang pemabuk yang sangat buruk moralnya meninggal dunia.

Istrinya memberitahukan hal itu kepada para tetangganya, tetapi mereka sama sekali tidak memperdulikan dan tidak mau merawatnya. Karena itu ia memanggil empat orang buruh upahan untuk merawat jenazahnya dan kemudian membawanya ke mushalla.

Tetapi sesampainya di sana tidak ada seorangpun yang hadir untuk menyalatkannya. Beberapa orang yang mengetahui hanya melihat dan membiarkannya setelah tahu siapa gerangan jenazah itu.

Empat buruh itupun tidak bisa melaksanakan shalat jenazah. Karena tidak tahu harus bagaimana, istrinya itu memerintahkan orang-orang upahan itu untuk membawanya ke pinggiran hutan dan menguburkannya di sana.

Tidak jauh dari hutan tersebut ada sebuah bukit, yang di sanaada seseorang yang saleh dan sangat zuhud menyendiri untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah turun dan berkumpul di masyarakat kecuali untuk shalat Jum’at.

Entah bagaimana asal-muasalnya, tiba-tiba orang itu turun gunung dan mendatangi jenazah sang pemabuk yang tengah digali kuburannya itu, dan ia menyalatkannya. Setelah itu ia duduk menunggu untuk memakamkannya.

Peristiwa turunnya sang saleh dan zahid dari ‘pertapaaanya’ di atas bukit itu menjadi berita menggemparkan bagi masyarakat sekitarnya. Mereka merasa takjub dan keheranan sehingga datang berduyun-duyun ke pinggiran hutan tersebut.

Salah satu dari tokoh masyarakat tersebut menghampiri orang saleh tersebut dan berkata, “Wahai Tuan, mengapa engkau menyalatkan jenazah orang ini sedangkan ia orang yang sangat buruk dan banyak sekali berbuat dosa kepada Allah??”

Orang saleh itu berkata:

“Aku diperintahkan (tentunya melalui ilham) turun ke tempat ini karena ada jenazah seseorang yang telah diampuni oleh Allah, sedangkan tidak seorangpun di sana kecuali hanya istrinya!!”

Orang-orang jadi keheranan mendengar jawaban tersebut, bertahun-tahun mereka tinggal bersama orang itu dan sama sekali tidak pernah melihat dan mengetahui kebaikan yang dilakukan olehnya. Sang zahid tampaknya mengetahui kebingungan masyarakat, karena itu ia memanggil istrinya dan berkata, “Bagaimana sebenarnya keadaan dan perilaku suamimu itu??”

Sang istri berkata, “Seperti yang diketahui banyak orang, sepanjang hari ia hanya sibuk minum-minuman keras (khamr) di kedai-kedai. Pulangnya di malam hari dalam keadaan mabuk dan tidak sadarkan diri. Seringkali ketika ia tersadar di waktu fajar, ia mandi dan wudhu kemudian shalat subuh.

Tetapi di pagi harinya ia kembali ke kedai-kedai untuk minum khamr seperti biasanya. Hanya saja di rumah kami tidak pernah kosong dari satu atau dua orang anak yatim, yang ia sangat menyayanginya melebihi anaknya sendiri.

Dan di waktu sadarnya, ia selalu bermunajat sambil menangis sesenggukan:

Ya Allah, di bagian jahanam yang manakah akan Engkau tempatkan penjahat (yakni dirinya sendiri) ini??”

Sang zahid berkata, “Sungguh Maha Luas Kasih Sayang Allah, mungkin karena sangat sedikitnya kebaikan yang dilakukannya sehingga merasa rendah dan hina di hadapan Allah. Dan juga kesabarannya menanggung kehinaan dan cibiran sinis dari lingkungannya, yang mengundang rahmat dan ampunan Allah!!”

Mendengar penjelasan itu, anggota masyarakat yang hadir segera ikut menyalatkan jenazah pemabuk tersebut, dan ikut serta menguburkannya.

PERINGATAN TERHADAP ORANG YANG MENGABAIKAN BERKATA BENAR

١٦٨ – لاَ يَمْنَعَنَّ رَجُلاً هَيْبَةَ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقِّ إِذَا عَلِمَهُ ( أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ )

Artinya: “Janganlah kewibawaan seseorang menghalangi seseorang untuk berkata benar manakala dia mengetahuinya (atau menyaksikannya atau mendengarkannya).”

Hadits ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (2/30), Ibnu Majah (4007), Al-Hakim (4/506), Ath-Thayalisi (2156), Ahmad (3/19, 50, 61), Abu Ya’la (Q. 72/1) dan Al-Qudha’i dalam Musnad Asy-Syihab (Q. 79/1) dari jalur Ali bin Zaid Ibnu Jad’an Al-Qurasyiyyi dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al-Khudzri secara marfu’. Kemudian At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan shahih.”

fbWhatsappTwitterLinkedIn