Politik antara lain juga dilihat dari tujuannya. Tujuannya merupakan sebuah ikhtiar yang sangat mulia yang digunakan sebagai pelantara masyarakat yang adil, tentram aman dan sejahtera. Karena politik hanya dianggap sebagai perantara wasilah. Bukan tujuan akhir ghayah. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Hadits diatas dapat kita pahami jika dalam jumlah kecil saja harus memilih pemimpin. Apalagi jika berada dalam satu komunitas besar. Merujuk kepada hadist di atas, Frasa fi safar (bepergian) menunjukkan, bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu hendak bepergian. Adapun bepergian itu hukum asalnya adalah mubah (dibenarkan syariah).
Dari frasa penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan dalam urusan mubah. Mengangkat pemimpin itu hukumnya wajib. Apalagi dalam sebuah perkara yang wajib. Maka hukumnya sangatlah wajib. Inilah mafhum muwafaqah yang bisa kita tarik dari hadist di atas.
Dalam Surat An-Nisa ayat 59, Allah SWT menyuruh kita untuk taat kepada pemimpin (ulil amri),
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
”Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian” (QS An-Nisa [4]: 59).
Ayat ini menjelaskan, menaati ulil amri hukumya adalah wajib. Ulil amri adalah orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk ulil amri yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah atau yang menyuruh kepada kemaksiatan. Pemimpin yang bersifat seperti ini tidak wajib ditaati.
Akan tetapi, yang ingin kita jelaskan dari teks ayat tersebut adalah adanya kewajiban untuk menaati pemimpin. Kalau menaati pemimpin hukumnya wajib, maka memilih atau mengangkat pemimpin hukumnya pun wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fikih yang artinya:
“Segala sesuatu yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut wajib dikerjakan“
Contoh lain yang sederhana dalam pemahaman kaidah fikih adalah bahwa kewajiban shalat tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melakukan wudhu. Maka berwudhu hukumnya adalah wajib. Demikian pula, kita tidak akan bisa melaksanakan kewajiban untuk menaati pemimpin, kalau pemimpin itu tidak ada.
Oleh karena itu, memilih atau mengangkat pemimpin juga menjadi suatu kewajiban. Dalam konteks bernegara, kewajiban untuk memilih pemimpin telah ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa MUI hasil Musyawarah Alim Ulama se-Indonesia di Padang Panjang Sumatera Barat Tahun 2009.
Adapun isi fatwa tersebut yaitu:
- Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
- Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
- Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
- Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif(tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
- Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Larangan riswah disebutkan dengan jelas dalam sebuah hadist yaitu:
عن ابْن أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»
“Dari Ibni Abi Dzi’b, dari Al-Harits bin Abdirrahman, dari Abi Salamah, dari Abdillah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”.
Dalam versi lain, hadist di atas disebutkan redaksinya sebagai berikut:
عن أَبي بَكْرٍ يَعْنِي ابْن عَيَّاشٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: ” لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ ” يَعْنِي: الَّذِي يَمْشِيبَيْنَهُمَا
“Dari Abi Bakr yaitu Ibni ‘Ayyasy, dari Laits, dari Abi Al-Khathab, dari Abi Zur’ah, dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan orang yang menjadi perantara keduanya”.
Risywah atau suap adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain /pejabat dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan:
الرشوة مايحقق الباطل اويبطل الحق
(Risyawah itu adalah apa diperoleh secara bathil atau membatilkan sesuatu yang benar).
Islam melarang keras praktik politik uang semacam ini. Dalam hal ini Islam memandang praktik politik uang sebagai upaya memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar.
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2: 188).
Said bin Jubair berkata;
“Ayat ini turun berkenaan dengan Ummu Al-Qais bin ‘Abis dan Abdan bin Asywa’ Al-Hadhrami yang bertengkar dalam soal tanah. Ummu Al-Qais berusaha untuk mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan cara bersumpah dihadapan hakim” (Imam Jalaluddin As-Suyuti; 2018).
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum politik uang dalam islam hukumnya adalah haram. Lebih baik jika kita menjauhi perkara perkara atau larangan-larangan yang tidak diperbolehkan oleh Allah SWT.