“Lebaran sebentar lagi…”
Pada malam lebaran atau malam Hari Raya Idul Fitri biasanya kita selalu mendengar gema takbiran di mana-mana. Tidak hanya di masjid yang menggunakan pengeras suara, gema takbiran juga biasa kita dengar di jalan-jalan.
Takbiran Hari Raya Idul Fitri dimulai sejak maghrib malam lebaran hingga selesai shalat Idul Fitri.
Tidak hanya itu, gema takbiran juga kerap kita dengan pada malam Hari Raya Idul Adha. Bedanya, takbiran Hari Raya Idul Adha dimulai sejak hari tanggal 1 Dzulhijjah hingga terbenamnya matahari pada hari tasyrik atau tanggal 13 Dzulhijjah.
Daruquthni meriwayatkan bahwa Ibnu Umar apabila berangkat untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha, bersungguh-sungguh untuk bertakbir hingga tiba ke tempat shalat, kemudian dia terus bertakbir hingga imam datang.
Apakah takbiran itu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, takbiran adalah pujian kepada Allah dengan menyerukan takbir.
Takbir adalah salah satu kalimat tayyibah yang disyariatkan untuk dibaca sebanyak mungkin dan merupakan salah satu kalimat yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala.
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Kalimat yang paling dicintai Allah ada empat : subhanallah, wal hamdulillah walaa ilaaha illah wallahu akbar, tidak ada masalah bagimu dengan yang mana engkau mulai.”
HR. Bukhari Muslim
Adapun lafadz takbiran Hari Raya yang biasa kita dengar adalah sebagai berikut.
“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil hamdu.“
Artinya, “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah.”
Lafadz takbiran di atas merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya, baik yang diawali dengan tiga kali takbir atau dua kali takbir. (Al Mushannif, Ibnu Abi Syaibah : 2/165-168, dan Irwaul Ghalil : 3/125)
Lalu bagaimanakah hukumnya jika kita takbiran di luar Hari Raya?
Takbiran atau pujian kepada Allah dengan bertakbir di luar Hari Raya seperti saat terjadi gerhana adalah contoh nyata jika takbiran di luar Hari Raya boleh dilakukan. Hal ini merujuk pada hadits berikut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan tidaklah terkait kematian atau kehidupan seseorang. Karenanya jika kalian melihat gerhana itu, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.”
HR. Bukhari
Menurut Ibnu Zahid Abdo el-Moeid, para ulama dari keempat Mazhab memaknai “fakabbiru” atau “bertakbirlah” pada hadits di atas sebagai mengagungkan Allah dan bukan dengan takbiran sebagaimana sering kita dengar saat Hari Raya.
Terkait dengan dalil di atas, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad juga menjelaskan,
“Selayaknya bagi masyarakat memperbanyak takbir dan berdoa. Namun tidak dengan takbiran berjamaah, atau takbiran yang menggunakan pengeras suara. Akan tetapi melakukan takbiran seperti ketika mereka takbiran saat mendatangi shalat ‘Id. Masing-masing bertakbir sendiri-sendiri.”
Syarh Sunan Abi Daud, Abdul Muhsin al-Abbad, 7/51
Dapat disimpulkan bahwa hukum takbiran diluar hari raya dibolehkan sepanjang dilakukan sendiri-sendiri sebagai bentuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu ‘alam.