Hukum Membatalkan Puasa Sunnah yang Perlu dipahami

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Ketika sedang melaksanakan puasa sunnah dibulan-bulan istimewa ataupun pada hari senin-kamis seringkali bersamaan dengan waktu yang kurang tepat dan bentrok dengan uzur. Atau halangan seperti kedatangan bulan atau kedatangan tamu untuk menemani makan bersama.

sebagaimana riwayat dari Rasulullah SAW berikut ini:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya, “Siapa saja yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka itu seperti puasa setahun penuh,” (HR Muslim).

Hal ini menyebabkan membatalkan puasa ditengah jalan.laku bagaimana hukum membatalkan puasa sunnah?

Hurairah Radhiyalalhu anhu secara marfu’:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَأَنْ صَامَهُ

“…Barangsiapa membatalkan puasa satu hari dari bulan Ramadhan tanpa alasan dan juga bukan karena sakit, maka dia tidak dapat menggantinya dengan puasa dahr (terus-menerus) meskipun dia melakukannya….”

Perihal membatalkan puasa karena uzur para ulama berbeda pendapat masalah hal ini.

Dijelaskan dalam keterangan Ibnu Rusyd berikut ini:

وأما حكم الإفطار في التطوع فإنهم أجمعوا على أنه ليس على من دخل في صيام تطوع فقطعه لعذر قضاء. واختلفوا إذا قطعه لغير عذر عامدا فأوجب مالك وأبو حنيفة عليه القضاء. وقال الشافعي وجماعة: ليس عليه قضاء

Artinya, “Adapun hukum membatalkan puasa sunah, ulama bersepakat bahwa tidak ada kewajiban kada bagi mereka yang membatalkan puasa sunahnya karena uzur tertentu. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal mereka yang membatalkan puasa sunah dengan sengaja (tanpa uzur tertentu). Imam Malik dan Abu Hanifah mewajibkan kada puasa sunah tersebut. Tetapi Imam As-Syafi’i dan sekelompok ulama lainya mengatakan bahwa ia tidak wajib menada puasa sunah yang dibatalkannya,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 287).

Ketika batalnya puasa sunnah karena uzur atau halangan maka orang tersebut diwajibkan untuk mengqadha puasa sunnah yang telah dibatalkan. Namun ulama berpendapat jika puasa sunnah tersebut dibatalkan karena disengaja tidak diwajibkan untuk mengqadha puasa tersebut.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

Imam syafii tetapi juga menganjurkan untuk mengqadha puasa bagi mereka yang membatalkan puasa sunnah ditengah jalan. Dan juga menguhukumi makruh membatalkan puasa karena disengaja jika tidak ada uzur tertentu.

Hal ini disebutkan dalam Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:

ومن شرع في صوم تطوع لم يلزمه إتمامه ويستحب له الإتمام فلو خرج منه فلا قضاء لكن يستحب وهل يكره أن يخرج منه نظر إن خرج لعذر لم يكره وإلا كره

Artinya, “Orang yang sedang berpuasa sunah tidak wajib merapungkannya (hingga maghrib). Tetapi ia dianjurkan untuk merampungkannya. Jika ia membatalkan puasa sunah di tengah jalan, tidak ada kewajiban kada padanya, tetapi dianjurkan mengadanya. Apakah membatalkan puasa sunah itu makruh? Masalah ini patut dipertimbangkan. Jika ia membatalkannya karena uzur, maka tidak makruh. Tetapi jika tidak karena uzur tertentu, maka pembatalan puasa sunah makruh,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 174).

Membatalkan puasa karena menghormatu dan menjamu tamu yang sedang berkunjung kerumah, maka dihukumi sebagai uzur atau sedang halangan. Dijelaskan dalam Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:

ومن العذر أن يعز على من يضيفه امتناعه من الأكل ويكره صوم يوم الجمعة وحده تطوعا وكذا إفراد يوم السبت وكذا إفراد يوم الأحد والله أعلم

Artinya, “Salah satu uzur syar’i adalah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang mencegahnya untuk makan. Makruh juga puasa sunah hari Jumat semata. Sama makruhnya dengan puasa sunah hari Sabtu semata atau hari Ahad saja. Wallahu a‘lam,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 174).

Perbedaan pandangan di kalangan ulama perihal ini terjadi karena perbedaan kedua kelompok dalam menganalogikan puasa sunah tersebut. Ulama yang mewajibkan qadha seperti Imam Malik dan Abu Hanifah menganalogikan puasa sunah ini dengan ibadah haji.

Perbedaan pandangan di kalangan ulama perihal ini terjadi karena perbedaan kedua kelompok dalam menganalogikan puasa sunnah tersebut. Jalan yang mewajibkan qadha seperti imam Malik dan abu hanifah menganalogikan puasa sunah ini dengan ibadah hajih.

Sedangkan imam AS-syafii menganalogikan puasa sunah itu dengan ibadah shalat mboh konsekuensi pembatalan kedua ibadah ini. Yaitu haji dan shalat memang berbeda.

Perbedaan konsekuensi keduanya itu kemudian diturunkan pada pembatalan puasa sunnah.

Mereka juga berdalil dengan riwayat dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu bahwa ia berkata:

مَن أطاقَ الحجَّ، فلم يحُجَّ فسواءٌ عليه مات يهوديًّا أو نصرانيًّا

“Barangsiapa yang mampu berhaji namun tidak berangkat haji, maka sama saja ia mati apakah sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nashrani” (HR. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 1/387, dishahihkan Hafizh Al Hakami dalam Ma’arijul Qabul, 639/2).

fbWhatsappTwitterLinkedIn