Begitu banyaknya aktivitas manusia dalam keseharian ketika berpuasa tidak terlepas dari menelan ludah atau mengeluarkan dahak. Dahak secara bahasa arab ada banyak sub kata yakni : nukha’ah, nukhamah, mukhath, balgham, atau nughafah. Ibn Hajar mengatakan: “Tidak ada beda dalam makna, antara nukhamah dan mukhath. Karena itu, salah satu diantara keduanya sering digunakan untuk dalil bagi yang lain.” (Fathul Bari, 1:510)
Jadi baik dahak ataupun ludah diberikan hukum yang sama. Ibn Hajar menuturkan bahwa : “Imam Bukhari berpendapat bahwa hukum dahak dan ludah adalah sama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak yang menempel di masjid, kemudian beliau bersabda: ‘Janganlah kalian meludahkan…’. Ini menunjukkan bahwa hukum kedua cairan tersebut adalah sama. Allahu a’lam” (Fathul Bari, 1:511)
Sebelum mengetahui tentang batal atau tidaknya puasa ketika menelan dahak, ada baiknya kita mengetahui tentang hukum dari dahak. Hukum dari dahak, jika kita simpulkan berdasar hadist di atas bahwa dahak, ludah atau sejenisnya ialah cairan yang suci atau tidak najis.
Hal ini berdasarkan riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik radliallahu’ anhu bahwa Rasulullah Kesimpulan yang nampak berdasarkan banyak dalil bahwa dahak, ludah dan segala jenisnya adalah cairan suci dan tidak najis. Disebutkan dalam riwayat Bukhari, dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak yang menempel di tembok masjid. Kemudian beliau kerik dengan tangannya, kemudian bersabda: “Ketika kalian sedang melaksanakan shalat, sesungguhnya dia sedang bermunajat dengan Rabnya (Allah). Karena itu janganlah dia meludah ke arah kiblat, namun meludahlah ke arah kirinya atau ke arah bawah sandalnya. Kemudian dia ambil ujung pakaiannya dan dia ludahkan di pakaiannya.”
Dari hadist ini menjadi sebuah landasan dalil bahwa orang yang melakukan ibadah shalat diperbolehkan untuk meludah di tengah kegiatan shalat. Dan aktivitas tersebut tidak membuat shalatnya batal.
Dari dalil tersebut yang menyebutkan ludah adalah hal yang suci, dapat ditarik kesimpulan bahwa dahak juga suci.
Kandungan hadis ini menjadi dalil bahwa orang yang shalat dibolehkan untuk meludah di tengah-tengah shalat. Dan aktivitas ini tidak membatalkan shalatnya. Dalam hadis ini juga terdapat dalil bahwa ludah, demikian pula dahak adalah cairan suci. Tidak sebagaimana pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang menjijikkan maka hukumnya haram. Allahu a’lam. (Aunul Ma’bud, 2: 98 – 99)
Syaikh Sholeh al-Fauzan pernah ditanya: Apa hukum ludah yang keluar dari seseorang ketika tidur? Apakah cairan ini keluar dari mulut ataukah dari lambung?
Beliau menjawab:
Air liur yang keluar dari seseorang ketika sedang tidur bukanlah cairan najis. Karena hukum asal: segala sesuatu yang keluar dari tubuh manusia adalah suci, kecuali ada dalil yang menjelaskan bahwa itu najis. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari dalam shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah). Karena itu, air liur, keringat, air mata, dan cairan yang keluar dari hidung, semua ini adalah benda suci. Karena inilah hukum asal. Sedangkan air kencing, kotoran, dan semua yang keluar dari dua lubang, depan dan belakang adalah najis. Air liur yang keluar dari seseorang ketika tidur, termasuk benda-benda yang suci. Demikian pula dahak dan semacamnya. Oleh karena itu, tidak wajib bagi seseorang untuk mencucinya dan mencuci bagian pakaian dan karpet yang terkena liur atau dahak. (al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, Volume 5 no. 8).
Lalu apakah hukum menelan dahak saat berpuasa? Tentang hal ini Ulama berselisih paham. Diantaranya ada satu pembahasan khusu di Al-Mughni, Ibn Qudamah mengatakan :
Sub-bab: jika ada orang puasa yang menelan dahak, dalam hal ini ada dua pendapat dari Imam Ahmad: pertama, puasanya batal. Hambal pernah mengatakan: Saya mendengar Imam Ahmad mengatakan: Jika ada orang mengeluarkan dahak, kemudian dia telan lagi maka puasanya batal. Karena dahak berasal kepala (pangkal hidung). Sementara ludah berasal dari mulut. Jika ada orang yang mengeluarkan dahak dari perutnya (pangkal tenggorokannya) kemudian menelannya kembali maka puasanya batal. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i. Karena orang tersebut masih memungkinkan untuk menghindarinya, sebagaimana ketika ada darah yang keluar atau karena dahak ini tidak keluar dari mulut, sehingga mirip dengan muntah.
Kedua, pendapat kedua Imam Ahmad, menelan dahak tidaklah membatalkan puasa. Beliau mengatakan dalam riwayat dari al-Marudzi: “Kamu tidak wajib qadha, ketika menelan dahak pada saat berpuasa, karena itu satu hal yang biasa berada di mulut, bukan yang masuk dari luar, sebagaimana ludah.” (al-Mughni, 3:36)
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin ketika ditanya tentang hukum menelan dahak bagi orang yang puasa, beliau menjelaskan:
Menelan dahak, jika belum sampai ke mulut maka tidak membatalkan puasa. Ulama madzhab hambali sepakat dalam hal ini. Namun jika sudah sampai ke mulut, kemudian dia telan, dalam hal ini ada dua pendapat ulama. Ada yang mengatakan: Itu membatalkan puasa, karena disamakan dengan makan dan minum. Ada juga yang mengatakan: Tidak membatalkan puasa, karena disamakan dengan ludah. Karena ludah tidak membatalkan puasa. Bahkan andaikan ada orang yang mengumpulkan ludahnya kemudian dia telan maka puasanya tidak batal.
Mengenai perselisihan pendapat tersebut, ada baiknya sebagai seorang muslim yang patuh, sikap yang tepat adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Jika meragukan suatu hal, termasuk perihal dahak ini dapat membatalkan puasa atau tidak, menurut hukum asalnya adalah tidak membatalkan ibadah.
Akan tetapi, yang lebih penting, hendaknya seseorang tidak menelan dahak dan tidak berusaha mengeluarkannya dari mulutnya ketika berada di tenggorokan. Namun jika sudah sampai mulut, hendaknya dia membuangnya.
Baik ketika sedang puasa atau tidak lagi puasa. Adapun, keterangan ini bisa membatalkan puasa, maka keterangan ini butuh dalil. Sehingga bisa menjadi pegangan seseorang di hadapan Allah bahwa ini termasuk pembatal puasa. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, Volume 17, no. 723)
Sayyid Sabiq ketika membahas tentang hal-hal yang dibolehkan ketika puasa, beliau mengatakan: “Demikian pula, dibolehkan untuk menelan benda-benda yang tidak mungkin bisa dihindari. Seperti menelan ludah, debu-debu jalanan, taburan tepung, atau dedak…” (Fiqh Sunnah, 1:342)
Seperti yang sudah kita ketahui, keluarnya dahak, ludah atau semacamnya, merupakan suatu hal yang biasa bagi manusia. Karena hal tersebut berkaitan dengan metabolisme tubuh. Dan hal tersebut kita yakin dapat terjadi kepada siapapun termasuk para sahabat pada masa Nabi shallahu’alaihi wa sallam.
Jika menelan ludah atau dahak bisa membatalkan puasa, tentu akan ada riwayat, baik hadist maupun perkataan sahabat yang akan menjelaskannya. Karena Allah tidak lupa ketika menurunkan syariatnya, sehingga tidak ada satupun yang ketinggalan untuk dijelaskan. Lebih-lebih, ketika hal itu berkaitan dengan masalah ibadah. Demikian, kesimpulan yang lebih kuat dalam masalah ini. Allahu a’lam