Pahami Hukum Shalat Pakai Kateter Berikut ini

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam kehidupan sehari-hari kita akan menemui permasalahan fiqih yang erat kaitannya dengan kondisi medis tertentu. Seorang pasien yang menjalani pengobatan ataupun perawatan kerap kali menjadikan mereka memerlukan alat bantu tambahan baik untuk terapi maupun aktivitas sehari-hari.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صل قائماً، فإن لم تستطع فقاعداً، فإن لم تستطع فعلى جنب

“Kerjakanlah shalat dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu juga maka dengan berbaringa.” (HR. Bukhari).

Semisal pasien membutuhkan kursi roda, selang makan, atau selang kencing yang disebut dengan kateter urine.

Bagaimana jika menggunakan katerer urine?

Kateter urin adalah perangkat medis untuk mengeluarkan urine langsung dari kandung kemih. Pemasang kateter urine bisa bersifat terapi, diagnostik atau bertujuan mengobservasi kondisi pasien.

Semisal pada penderita pembesaran prostat pada pria yang mengakibatkan terjadinya retensi urine sehingga kandung kemih penuh dan tidak lancar mengeluarkan urine. Pemasangan kateter bertujuan mengalirkan urine yang salurannya tersumbat oleh masa kelenjar prostat yang membesar.

Begitupun untuk tindakan observasi. Misalnya memantau keluaran urine ketika pemberian cairan infus pada pasien yang kekurangan cairan atau butuh pengawasan ketat.

Contohnya kasus pasian diare dengan dehidrasi, pasien yang demam berdarah, penderita gagal ginjal dan banyak lainnya. Disisi lain seorang muslim yang mukallaf memiliki kewajiban untuk melaksanakan shalat.

Sebagaimana firman Allah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).

Allah juga berfirman:

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

Kerap muncul pertanyaan: Bagaimana jika saya melaksanakan shalat dalam keadaan terpasang kateter urine? Bukan kah hal tersebut meniscayakan saya membawa najis kencinh yang terdapat dalam selang tersebut? Bagaimana status shalatnya?

Diskusi diatas kiranya perlu beranjak dari pengalaman masing-masing pasien yang menggunakan katerer urine tersebut. Persepsi yang perlu disamakam adalah penggunaan kateter urine sebagaimana tindakan medis yang invasif.

Senantiasa dilakukan dengan mempertimbangkan Indikasi dan kontraindikasi pasien yang dilakukan tindakan tersebut. Penggunaan kateter urine perlu di pertimbangkan sebagai suatu kondisi yang darurat dan beralasan.

Setelah membahas bolehnya jamak karena sakit, Ibnu Qudamah mengatakan:

وكذلك يجوز الجمع للمستحاضة ولمن به سلس البول ومن في معناهما لما روينا من الحديث

“Demikian pula dibolehkan bagi wanita mustahadhah, atau orang yang punya penyakit beser dan yang sejenis dengannya untuk melakukan jamak, berdasarkan hadis yang kami bawakan.”

Pengguna kateter urine setidaknya akan mengalami dua hal ini:

1. Ia tidak memiliki kendali berkemih

Ia tidak memiliki kendali berkemih karena selangnya langsung masuk ke kandung kemih sangat urine mengalir serta ia akan selalu membawa najis,baik di selang ataupun di kantung penampungan urinenya. Contoh kasus oranh yang senantiasa berhadast adalah masalah istihadlah dan salisih baul.

Ketidak mampuan pengguna kateter urine mengendalikan kencingnya seperti orang yang beser. Karena kehilangan kendali atas proses berkemihnya.

Konsekuensinya ia wajib bersuci setiap akan melakukan shalat. Ia harus membersihkan diri dari najis yang ada.

Hal ini merujuk pada keterangan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:  

فَإِذَا كَانَ عَلىَ بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَعَجَزَ عَنْ إِزَالَتِهَا وَجَبَ اَنْ يُصَلِّيَ بِحَالِهِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ  

Artinya: “…Jika di badannya terdapat najis yang tidak dapat dima’fu, dengan kondisi tersebut untuk lihurmat waqti…” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [Beirut: Dar Al Fikr], juz 3 hal. 136).  

Pengguna ibarah tentang penggunaan kateter urine saat shalat tentu beragam di kalangan ulama. Antara ulama mazhab juga berselisih pendapat tentang status najis dan menggantikan shalat pada orang yang sakit serta memiliki hambatan dalam memenuhi syarat dan rukun shalat.

Terlepas dari apakah shalat tersebut perlu diulanh atau tidak? Selama akal dan kesadaran seorang pasien masih memungkinkan untuk shalat memenuhi hendaklah ia tetap melaksanakan sejauh yang ia mampu.

Terkait ada sisa sedikit pada alat, pernyataan berikut dalam Hasyiyatul Jamal Syarh al-Minhaj bisa dirujuk:  

ويعفى عن قليل سلس البول في الثوب والعصابة بالنسبة لتلك الصلاة خاصة  

Artinya: “…Dan dimaafkan najis yang sedikit pada salisil baul di pakaian atau anggota tubuh, merujuk pada kondisi shalat yang demikian…” (Hasyiyatul Jamal ‘alal Minhaj, juz 1, hal 242).

2. Pasien bersuci sesuai kemampuan dan kondisi fisiknya

Perlu dicatat bahwa seorang pasien dengan kateter urine mengingat ia tidak dapat mengendalikan urine dari selang keluar ke dalam kantong penampungan. Maka ia seperti orang yang senantiasa menanggung hadats.

Ia perlu bersuci dari hadats setiap kali masuk waktu shalat fardhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فإن قويت على أن تؤخري الظهر وتعجلي العصر ثم تغتسلين حين تطهرين وتصلين الظهر والعصر جمعاً، ثم تؤخرين المغرب وتعجلين العشاء ثم تغتسلين وتجمعين بين الصلاتين فافعلي…

“Jika kamu sanggup, lakukan hal berikut: akhirkan shalat dzuhur dan segerakan shalat asar di awal waktu. Kamu mandi kemudian shalat dzuhur dan asar dijamak. Kemudian kamu akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya di awal waktu, kemudian kamu jamak dua shalat itu…dst.” (HR. Turmudzi dan yang lainya)

fbWhatsappTwitterLinkedIn