Hukum Ayah Menghamili Anak Kandung Menurut Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Seorang ayah seharusnya menjadi seorang pendidik bagi keluarganya. Seorang ayah pemelihara dan pelindung bagi keluarga. Seorang ayah akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanya di dalam rumah tangga yang dibina.

Hal itu sesuai dengan hadis:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Abdullah bin Umar ra. [diriwayatkan] bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:

“Masing-masing kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Banyak fenomena yang terjadi sangat memperihatinkan ditengah-tengah masyarakat. Yaitu seorang ayah menghamili anak perempuannya sendiri, baik secara paksa maupun secara suka rela. Hal ini menunjukkan betapa bejatnya moral ayah tersebut jika ia melakukannya secara paksa. Dan betapa bejatnya moral ayah dan anaknya itu jika mereka berdua melakukannya secara sukarela.

Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Seorang ayah yang normal dan mendidik rumah tangganya tidak akan bernafsu melihat anak perempuannya. Karena anak perempuannya adalah darah dagingnya sendiri. Seorang ayah wajibnya melindungi dan memelihara anak perempuannya. Namun, anak yang seharusnya dilindungi malah justru dirusak dan dihancurkan masa depannya oleh ayahnya sendiri.

Peribahasa mengatakan: “Pagar makan tanaman”.

Ini menunjukkan terjadinya kebejatan dan kerusakan moral yang parah di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Tidak ada akal sehat atau agama atau adat istiadat yang menerima hal ini. Oleh karena itu, segala upaya harus dikerahkan oleh semua pihak baik para ulama, pemerintah, tokoh masyarakat. Dan bahkan seluruh lapisan masyarakat agar ke depan kejadian tersebut tidak terulang atau semakin meluas.

Sebenarnya, Rasulullah saw. telah memberi peringatan dalam masalah ini, sebagaimana di dalam hadis berikut:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir [diriwayatkan] bahwa Rasulullah saw. bersabda: Hindarilah berkhalwat (berdua-duaan) dengan perempuan, maka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang kerabat suami? Beliau menjawab: Kerabat suami itu (menyebabkan) kematian” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Maksud hadis ini ialah, Rasulullah saw. melarang kaum laki-laki berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya, karena hal itu pasti akan menjerumuskan keduanya ke dalam lembah kehinaan. Jadi yang dilarang disini adalah berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahram. Sementara berdua-duaan dengan mahram atau orang yang haram dinikahi itu tidak dilarang karena biasanya keduanya tidak akan dan tidak mau melakukan perbuatan keji.

Hanya orang yang tidak normal saja yang melakukan perbuatan keji dengan darah dagingnya sendiri. Menurut para ulama, seorang ayah yang melakukan perbuatan keji yaitu memperkosa atau berzina dengan anak perempuannya terkena hukuman ta’zir, bukan hukuman hudud zina. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang diserahkan kepada kebijksanaan hakim. Hakim diberi kewenangan oleh syariat Islam untuk menentukan hukuman apa yang layak bagi ayah tersebut.

Hukuman tersebut mulai dari yang teringan hingga yang terberat yaitu hukuman mati. Anak hasil perzinaan/perkosaan itu dinasabkan kepada ibunya saja. Hal ini karena nasab hanya bisa diperoleh dengan perkawinan yang sah saja. Ayah tersebut juga tidak menjadi wali dari anak yang dilahirkan anak perempuanya itu, namun ia tetap wajib memberinya nafkah.

Hadits yang menjelaskan:


 قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ (سورة الأنعام: 151)

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka”. (QS. Al An’am: 151)

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى (سورة النساء: 36)

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat..”. (QS. An Nisa’: 36) .

Bukair berkata, “Aku bertanya pada ‘Urwah tentang hal ini, maka ia menjawab sebagaimana pendapat Sulaiman bin Yasar.”

قال ابن القيم : ” كَانَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ يَذْهَبُ إِلَى أَنَّ الْمَوْلُودَ مِنَ الزِّنَى إِذَا لَمْ يَكُنْ مَوْلُودًا عَلَى فِرَاشٍ يَدَّعِيهِ صَاحِبُهُ ، وَادَّعَاهُ الزَّانِي : أُلْحِقَ بِهِ … وَهَذَا مَذْهَبُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ ، رَوَاهُ عَنْهُ إسحاق بِإِسْنَادِهِ فِي رَجُلٍ زَنَى بِامْرَأَةٍ، فَوَلَدَتْ وَلَدًا، فَادَّعَى وَلَدَهَا فَقَالَ: يُجْلَدُ وَيَلْزَمُهُ الْوَلَدُ.
وَهَذَا مَذْهَبُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ”. انتهى من “زاد المعاد” (5/381)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ishaq bin Rahawaih berpendapat tentang anak yang dilahirkan dari zina, jika tidak ada pihak lain yang mengklaim bahwa itu anaknya, sedangkan yang berzina itu mengakuinya, maka anak tersebut disandarkan pada ayah biologisnya. Ini juga yang jadi pendapat Al-Hasan Al-Bashri. Hal ini diriwayatkan dari Ishaq dengan sanadnya tentang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, lalu lahirlah anak dari hasil hubungan zina tersebut. Lalu laki-laki tersebut mengaku itu anaknya, maka ia dikenakan hukuman cambuk dan anak itu dinasabkan padanya. Ini juga yang jadi pendapat ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sulaiman bin Yasar. Demikian dinukil dari Zaad Al-Ma’ad, 5:381.

fbWhatsappTwitterLinkedIn