Orang yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang sangat wajib hukumnya untuk segera dibayarkan. Dibayar dari harta orang yang meninggal. Jika orang tua kita memiliki banyak hutang maka kita sebagai anak ketika mampu wajib membebaskan orang tua dari perbuatan hutang. Karena seperti disampaikan Rasulullah anak tidak akan bisa membalas jasa orang tuanya:
لا يَجْزِي ولَدٌ والِدًا، إلَّا أنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فيُعْتِقَهُ
“Seorang anak tidak akan dapat membalas jasa orang tuanya kecuali orang tuanya adalah seorang budak, lalu dia membelinya dan memerdekakannya.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Allah pada beberapa bagian waris.
Allah ta’ala berfirman:
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(itu dilakukan) setelah ditunaikan wasiat dari harta atau setelah ditunaikan utang” (QS. An Nisa: 11).
Maka uang peninggalan orang yang meninggal wajib digunakan untuk membayar hutang terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada ahli waris.
Hutang Mayit Wajib Dibayar dari Harta Waris
Orang yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang, wajib segera dibayarkan hutang tersebut dari harta si mayit. Allah ta’ala setelah menjelaskan beberapa bagian waris, Allah ta’ala berfirman:
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(itu dilakukan) setelah ditunaikan wasiat dari harta atau setelah ditunaikan hutang” (QS. An Nisa: 11).
Al Bahuti mengatakan:
ويجب أن يسارع في قضاء دينه، وما فيه إبراء ذمته؛ من إخراج كفارة، وحج نذر، وغير ذلك
“Wajib menyegerakan pelunasan utang mayit, dan semua yang terkait pembebasan tanggungan si mayit, seperti membayar kafarah, haji, nadzar dan yang lainnya” (Kasyful Qana, 2/84).
Apabila jumlah uangnya sudah habis dan masih memiliki utangnya. Maka wajib menjual aset-aset milik orang yang meninggal tersebut untuk membayar hutangnya.
Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi mengatakan:
فإذا مات الوالد أو القريب وقد ترك مالاً أو ترك بيتاً ، وعليه دين : فيجب على الورثة أن يبيعوا البيت لسداد دينه ، وهم يستأجرون
“Jika seorang anak meninggal atau seorang kerabat meninggal, dan ia meninggalkan harta atau rumah, sedangkan ia punya utang. Maka wajib bagi ahli waris untuk menjual rumahnya untuk melunasi utangnya, walaupun mereka sedang menyewakannya” (Syarah Zadul Mustaqni).
Anak Tidak Wajib Menanggung Utang Orang Tua
Apabila uang peninggalan orang yang sudah meninggal sudah habis dan semua aset juga sudah habis. Maka tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk melunasi hutang orang tuanya.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
فَإِنْ لَمْ يَخْلُفْ تَرِكَةً، لَمْ يُلْزَمْ الْوَارِثُ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَدَاءُ دَيْنِهِ إذَا كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا، فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مَيِّتًا
“Jika mayit tidak meninggalkan harta waris sedikitpun, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apa-apa. Karena mereka tidak wajib melunasi utang si mayit andai ia bangkrut ketika masih hidup, maka demikian juga, mereka tidak wajib melunasinya ketika ia sudah meninggal” (Al Mughni, 5/155).
Syaikh Muhammad bin shalih al utsaimin rahimahullah menjelaskan:
Andaikan mayit punya hutang 1000 dan warisnya 500 maka ahli waris tidak boleh dituntut untuk membayar lebih dari 500 itu. Ketenangan tidak ada harta si mayit yang ada di tangan mereka kecuali sejumlah uang itu saja.
Dan mereka tidaklah diwajibkan membayar hutang orang tuanya.
”Maksudnya, jika yang meninggal dalam keadaan punya utang adalah ayahnya dan utangnya lebih besar dari warisannya maka anak tidak wajibkan untuk membayar utang ayahnya” (Al Qawa’idul Ushul Al Jami’ah, 195).
Sehingga menjadi tidak layak apabila seseorang berfikir untuk berutang sebanyak-banyaknya karena pun nantinya kalau mati keluarga yang melunasi. Hal ini tidak dibenarkah karena keluarga atau ahli waris tidak memiliki kewajiban untuk melunasi.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ
“Ruh seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga dilunasi” (HR. Tirmidzi no. 1078, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Apa yang dimaksud dengan ruhnya tergantung? Al Mula Ali Al Qari menjelaskan:
فَقِيلَ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ، وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ: أَيْ: أَمْرُهَا مَوْقُوفٌ لَا يُحْكَمُ لَهَا بِنَجَاةٍ وَلَا هَلَاكٍ حَتَّى يُنْظَرَ، أَهَلْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ أَمْ لَا؟
“Sebagian ulama mengatakan: ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia. Al Iraqi mengatakan: maksudnya, ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung, tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?” (Mirqatul Mafatih, 5/1948).
Ash Shan’ani mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ الدَّلَائِلِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ مَشْغُولًا بِدَيْنِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ
“Hadits ini adalah diantara dalil yang menunjukkan bahwa mayit terus berada dalam kerepotan karena hutangnya, setelah kematiannya” (Subulus Salam, 1/469).
Ash Shan’ani mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ الدَّلَائِلِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ مَشْغُولًا بِدَيْنِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ
“Hadits ini adalah diantara dalil yang menunjukkan bahwa mayit terus berada dalam kerepotan karena hutangnya, setelah kematiannya” (Subulus Salam, 1/469).
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu ia mengatakan:
تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ
“Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyalatkannya? Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya” (HR. Abu Daud no.3343, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal. 27).