Meninggalkan shalat sama sekali merupakan kufur yang mengeluarkan seseorang dari agama sebab termasuk dosa paling berat dalam islam, berdasarkan pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Adapun orang yang sekali waktu shalat dan di lain waktu tidak shalat, sebagian ulama berpendapat kufur juga. Inilah pendapat yang dikutip dari sejumlah sahabat. Ini pula yang difatwakan oleh Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah.
Para ulama berbeda pendapat terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja (seperti orang yang bermalas-malasan dan semacamnya) atau yang melakukan dosa yang berulang dalam islam, apakah dia wajib mengqadha shalatnya, sebagaimana halnya orang yang tidur dan lupa wajib mengqadanya?
Bahkan seharunya orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur lebih utama untuk diminta qadhanya dibanding orang yang memiliki uzur sebagaimana hukum hutang piutang dalam islam, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan disepakati oleh mazhab yang empat dan selain mereka.
Ataukah orang seperti itu tidak wajib, seandainya pun dia qadha, tidak ada gunanya, apakah karena orang yang meninggalkan shalat dianggap kufur dan orang kafir tidak ada manfaatnya dia melakukan shalat selama dia kafir, dan tidak diperintahkan baginya untuk mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama dia kufur dan murtad sebagaimana kisah mualaf masuk islam.
Atau karena shalat merupakan ibadah yang telah jelas batasan waktunya seperti keutamaan shalat lima waktu, yang apabila seseorang meninggalkannya dari waktunya tanpa uzur syar’I, maka tidak diterima shalatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang beramal tidak bersumber dari ajaranku, maka dia tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)
Menggabungkan dua shalat harus disertai uzur tertentu
Melakukan shalat qashardalam keadaan mukim (tanpa safar) sama dengan meninggalkannya sama sekali.Seandainya seseorang melakukan shalat, kurang rakaatnya, atau sujudnya ataukurang salah satu rukunnya, dengan sengaja, maka shalatnya batal.
Dia bagaikan orang yangmeninggalkan sama sekali. Tindakan tersebut lebih dekat kepada tindakanmempermainkan syiar Allah. Ini sangat berbahaya, jika dia tidak mendapatkanrahmat Allah untuk mendapatkan taubat nasuha.
- Dari Ibnu Abbas dia berkata,
Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan nabi kalian shallallahualaihi wa sallam dalam keadaan menetap sebanyak 4 rakaat dan dalam safarsebanyak 2 rakaat, sedangkan dalam keadaan takut sebanyak satu rakaat.”(HR. Muslim, no. 787)
- Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
“Tidak ada perbedaan tentang jumlah rakaat, kecuali dalam shalat Zuhur, Ashar dan Isya, yaitu empat rakaat dalam keadaan menetap. Baik bagi orang yang sehat, sakit. Sedangkan bagi orang yang safar dua rakaat, dan dalam keadaan takut satu rakaat. Ini semua merupakan ijmak yang diyakini, hanya saja dalam hal shalat satu rakaat dalam keadaan takut, di sana terdapat perbedaan pendapat.” (Al-Muhalla, 3/185)
- Tidak dibolehkan menjamak di antara dua shalattanpa uzur. Siapa yang menjamaknya tanpa uzur dan alasan syar’I, maka diaberdosa, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang menetapkan haltersebut,
di antaranya adalah firmanAllah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atasorang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)
- Demikian pula halnya dengan sabda Nabishallallahu alaihi wa sallam,
“Jibril alaihissalam mengimami saya di Baitullah sebanyak dua kali. Dia mengimami saya shalat Zuhur ketika matahari tergelincir seukuran tali sandal. Kemudian dia mengimami saya shalat Ashar, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami saya shalat Maghrib ketika orang-orang yang berpuasa berbuka. Lalu dia shalat Isya, ketika mega merah terbenam.
Lalu dia mengimami saya shalat Fajar, ketika orang yang berpuasadiharamkan makan dan minum. Kemudian keesokan harinya, dia mengimami sayashalat Zuhur, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami sayashalat Ashar, ketika bayangan seukuran dua kali lipat benda aslinya. Lalu diamengimami saya shalat Maghrib, ketika orang-orang berpuasa.
Lalu dia mengimami saya shalat Isya, hingga sepertiga malam. Lalu diamengimami saya shalat Fajar ketika hari mulai terang. Lalu dia menoleh kepadasaya dan berkata, ‘Wahai Muhammad, inilah waktu para nabi sebelummu. Maka waktushalat adalah di antara kedua waktu tersebut.” (HR. Abu Daud, no. 393,Tirmizi, no. 149. Al-Albany berkata, ‘Sanadnya hasan shahih, terdapat dalam‘Shahih Abu Daud’, no. 417)
- Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
“Kaum musliminsepakat bahwa shalat lima waktu memiliki waktu tertentu. Dalam masalah initerdapat hadits shahih yang banyak.” (Al-Mughni, 1/224)
Hukum Menggabungkan Dua Shalat dalam Satu Waktu
Jika telah disimpulkandemikian, maka tidak boleh menjamak dua shalat atau menggabungkan dua shalatdalam satu waktu, kecuali jika didapatkan sebab untuk menjamak, seperti safar,hujan atau sakit. Jika tidak didapatkan sebab untuk menjamak shalat, maka harusdilakukan sesuai aslinya, yaitu shalat pada waktunya masing-masing. (LihatAl-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/60)
- Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Jika Nabishallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan waktu shalat secara terperinci,maka melaksanakan shalat di luar waktunya merupakan tindakan melampaui batasatas ketentuan Allah Ta’ala,
“Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orangyang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 229)
- Merupakan perbuatan dosa jika dilakukan tanpauzur
Siapa yang shalat sebelumwaktunya, dia mengetahui dan sengaja, maka dia berdosa dan wajib mengulanginyalagi. Jika dia tidak tahu dan tidak sengaja, maka dia tidak berdosa namun wajibmengulanginya lagi.
Hal ini terjadi apabilamelakukan jamak takdim (menggabungkan shalat dengan melakukannya pada waktupertama) tanpa sebab syari, maka shalat yang didahulukan tidak sah dan diaharus mengulanginya.
Siapa yang menunda shalathingga keluar waktunya dan dia tahu dan sengaja tanpa uzur, maka dia berdosadan tidak diterima shalatnya, berdasarkan pendapat yang kuat. Ini terjadi bagiorang yang melakukan jamak ta’khir (menggabungkan dua shalat pada waktu kedua)tanpa sebab syari.
Maka shalat yangdiakhirkan tidak sah berdasarkan pendapat yang shahih. Setiap muslim hendaknyabertakwa kepada Allah dan tidak menganggap remeh perkara yagn sangat agungini.” (Majmu Fatawa, 15/387)
- Wajib dihindari dan bertaubat
Yang diwajibkan bagi andasekarang adalah, bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha dari perbuatantersebut, dan berikutnya memperbaiki keadaan anda pada masa berikutnya denganmemperhatikan shalat dengan sungguh-sungguh, karena dia merupakan fardhu palingagung yang Allah wajibkan bagi hamba-Nya.
Seandainya andaberhati-hati dan bersungguh-sungguh untuk mengqadha shalat-shalat yangtertinggal, khususnya shalat qashar, atau jamak saat menetap tanpa uzur syar’Imaka itu lebih baik dan lebih menyelamatkan.
Perbanyaklah melakukanamal-amal sunah semampu anda, khususnya shalat-shalat sunah. Allah Ta’alaberfirman, “Dan dirikanlah shalatitu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaandaripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yangingat. Dan bersabarlah, karena Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahalaorang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Huud: 114-115)
Menggabungkan shalat yang diperbolehkan
Menjama’ shalat adalahmenggabungkan dua shalat (Zhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan ‘Isya’) dandikerjakan pada salah satu waktu shalat tersebut. Seseorang boleh melakukan jama’taqdîm dan jama’ ta’khîr.
Jama’ taqdîm adalahmenggabungkan dua shalat dan dikerjakan pada waktu shalat pertama, yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu shalat Zhuhur;Shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ dikerjakan pada waktu shalat Maghrib. Jama’taqdîm harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidakboleh terbalik.
Adapun jama’ ta’khîradalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan pada waktu shalat kedua, yaitushalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu Ashar; Shalat Maghrib danshalat ‘Isya’ dikerjakan dalam waktu shalat Isya’.
Jama’ ta’khîr bolehdilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yangafdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan olehRasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Menjama’ shalat bolehdilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya – baik musafir atau bukan- dantidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur. Artinya boleh dilakukan ketikadiperlukan saja.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sebagian imam (Ulama) berpendapat bahwaseorang yang muqim (tidak sedang bepergian) boleh menjama’ shalatnya apabiladiperlukan asal tidak dijadikan kebiasaan.”
- Ini berdasarkan perkataan Ibnu AbbâsRadhiyallahu anhu yang berbunyi :
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan hujan.” Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Agar tidak memberatkan ummatnya.”
Dengan demikian, kita tahubahwa pensyari’atan jama’ dalam shalat bertujuan untuk memberikankemudahan kepada umat ini dalam masalah-masalah yang menyusahkan mereka.
Syaikhul Islâm IbnuTaimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa para pekerja industri dan petaniapabila pada waktu tertentu mengalami kesulitan (masyaqqah) , sepertilokasi air yang jauh dari tempat pelaksanaan shalat, sehingga jika mereka pergike lokasi air dan bersuci bisa mengakibatkan hilangnya pekerjaan yang dibutuhkan.Jika demikian kondisinya, maka mereka boleh shalat di waktu musytarak lalu menjama’ (menggabungkan) dua shalat.
Demikian yang dapatpenulis sampaikan , sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.