Dari sisi ekonomi Islam atau tipe organisasi bisnis dalam islam, membantu menjualkan atau membelikan barang untuk individu atau perusahaan disebut dengan istilah samsarah (makelar), yang berarti menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Orang yang menjadi perantara itu disebut simsaar. Ia disebut juga sebagai penunjuk (dallal) karena dialah yang menunjukkan dan mencarikan untuk si penjual orang yang mau membeli barangnya dan mencarikan untuk si pembeli orang yang menjual barang yang dibutuhkannya.
Pada dasarnya, pekerjaan samsarah dan upah atau komisi dari transaksi pekerjaan itu dibolehkan atau merupakan cara bisnis yang diperbolehkan dalam islam karena mendatangkan manfaat bagi pembeli, penjual, dan simsaar itu sendiri. Samsarah ini banyak dibutuhkan orang karena banyak yang tidak tahu cara melakukan tawar menawar (negosiasi) dalam jual beli. Tidak sedikit pula orang yang tidak mampu mencari dan meneliti spesifikasi dan kualitas barang yang hendak dibelinya.
Atau tidak punya waktu untuk melakukan sendiri proses jual beli yang hendak dilakukannya. Di sinilah diperlukan seorang simsaar yakni sebagai perantara keutamaan berbisnis dalam islam. Imam Malik ketika ditanya tentang upah bagi simsaar menjawab, “Hal itu tidak apa apa.” Imam Bukhari dalam kitab Shahih nya membuat bab sendiri tentang upah samsarah dan menjelaskan bahwa Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim al Nakh’I, dan Hasan al Bashri mengatakan, upah atau komisi untuk simsaar itu tidak apa apa.
Para ulama memasukkan masalah samsarah ini sebagaia bagian dari tips mencari kerja menurut islam pada pembahasan ji’alah (upah yang didapatkan oleh individu karena suatu pekerjaan yang dilakukannya) yang disepakati kebolehannya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT. “Penyeru penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.‘” (QS Yusuf [12] : 72).
Dalam ayat di atas, para pegawai Nabi Yusuf mengatakan tentang etika bisnis dalam islam, barang siapa yang dapat menunjukkan di mana letak piala raja yang hilang, akan mendapatkan imbalan berupa makanan seberat beban unta.Ini merupakan bentuk ji’alah, yaitu menjanjikan upah kepada individu jika ia melakukan apa yang dimintakan kepadanya. Tentu saja komisi akan menjadi haram jika diterima oleh individu yang telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya,
seperti seorang pegawai pengadaan barang atau pejabat terkait yang mendapatkan komisi dari vendor atau suplier perusahaan atau lembaga negara.Sebagaimana banyak terjadi di kalangan elite negara dan pejabat BUMN yang menerima komisi berbagai proyek, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisiennya proyek proyek pemerintah. Seperti, proyek pengadaan Alquran dan impor daging sapi yang baru baru ini terjadi.
Seorang simsaar (perantara) harus memenuhi beberapa syarat untuk boleh melakukan samsarah tersebut.
- Pertama, ia haruslah orang sudah berpengalaman di bidangnya agar tidak membahayakan kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.
- Kedua, ia harus jujur, tidak menipu salah satu pihak demi keuntungan pihak yang lain. Ia harus menjelaskan kelebihan dan kekurangan barang atau produk yang hendak ditransaksikan tanpa melebih lebihkan atau mengurangi.
- Ketiga, ia tidak boleh menjadi perantara untuk menjual atau membeli sesuatu yang tidak halal untuk diperjual belikan, dimiliki, atau diambil manfaatnya.
Berdasarkan itu maka boleh menerima komisi atas perbuatan menjualkan atau membelikan barang untuk individu, baik dilakukan secara profesional maupun hanya sebatas kerabat dan teman asalkan memenuhi syarat syarat di atas.
Tinjauan Islam Terhadap Komisi Makelar
Coba kita lihat fatwa komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah berikut ini:
Pertanyaan:
Saya pernah membawa individu konsumen ke salah satu pabrik atau toko untuk membeli suatu barang. Lalu pemilik pabrik atau toko itu memberi saya komisi atas konsumen yang saya bawa. Apakah komisi yang saya peroleh itu halal atau haram? Apabila pemilik pabrik itu memberikan tambahan uang dalam jumlah tertentu dari setiap item yang dibeli konsumen tersebut, dan saya mau menerima tambahan tersebut sebagai atas pembelian konsumen tersebut, apakah hal tersebut dibolehkan? Dan apabila hal itu tidak dibolehkan, lalu apakah komisi yang dibolehkan?
Jawaban:
Apabila pihak pabrik atau pedagang memberi Anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri Anda sebagai balas jasa atas kerja keras yang telah Anda lakukan untuk mencari konsumen, dan uang tersebut tidak ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula memberi mudharat pada individu lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh individu lain, maka hal itu boleh dan tidak dilarang.
Tetapi, apabila uang yang Anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka Anda tidak boleh mengambilnya dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli karena harus menambah uang pada harga barangnya.
Fatwa di atas menunjukkan bahwa pengambilan komisi dari makelar atau makelar (dari pihak buyer/pembeli) dirinci sebagai berikut:
- Apabila komisi bagi makelar dibebankan pada harga yang mesti dibayar pembeli tanpa sepengetahuan pembeli, maka tidak dibolehkan karena merugikan pembeli.
- Apabila komisi bagi makelar tidak dibebankan pada pembeli atau dibebankan pada pembeli dengan seizinnya, maka dibolehkan.
Contoh: Bila A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genteng @ Rp 1.000, (seribu rupiah), akan tetapi karena konsumen B datang ke toko tersebut dibawa oleh C yang biasanya berprofesi sebagai tukang bangunan, maka A menjual gentingnya kepada B seharga @ Rp. 1.050, (seribu lima puluh rupiah), dengan perhitungan: Rp 1.000, adalah harga genteng sebenarnya, dan Rp 50,
adalah fee untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko A. Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000, menjadi Rp 1.050, dengan perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Dengan demikian, pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50, sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Dan ini tentu bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
“Hai individu individu yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)
Adapun bila pemilik toko memberi fee kepada C tanpa menaikkan harga jual, sehingga tetap saja ia menjual genteng tersebut seharga @ Rp 1.000, maka itu tidak mengapa. Atau, bila sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting, ditambah dengan fee yang akan diberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka praktek semacam ini dibenarkan.
Apabila makelar tadi adalah dari pihak penjual (seller), maka rinciannya sebagai berikut:
- Apabila si makelar menaikkan harga tanpa izin atau sepengetahuan si penjual, maka ini tidak dibolehkan.
- Apabila si makelar menaikkan harga dengan izin atau sepengetahuan si penjual (baik kadar kenaikannya diserahkan kepada makelar atau ditentukan oleh pemilik barang), ini dibolehkan.
Komisi Harus Jujur dan Amanah
Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah menerangkan, “Hendaklah si makelar adalah individu yang paham terhadap info yang ia dapat dari penjual atau apa yang diinginkan pembeli. Sehingga dari sini ia tidak merugikan penjual atau juga pembeli, yang awalnya disangka ia punya info, tak tahunya hanya bualan belaka. Si makelar juga harus memiliki sifat amanah dan jujur. Si makelar tidak boleh hanya menguntungkan salah satu dari keduanya (merugikan lainnya). Apabila ada ‘aib (kejelekan) dari barang yang dijual, ia harus menerangkannya dengan amanah dan jujur. Ia pun tidak boleh melakukan penipuan kepada penjual atau pembeli.”
Apabila pihak pabrik atau pedagang memberi anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri anda sebagai motivasi bagi anda atas kerja keras yang telah anda lakukan untuk mencari konsumen, maka uang tersebut tidak boleh ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula hal tersebut memberi mudharat pada individu lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh individu lain, maka hal itu boleh dan tidak dialarang.
Tetapi, apabila uang yang anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka anda tidak boleh mengambilnya, dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli dengan harus menambah uang pada harganya.
Apabila telah terjadi kesepakatan antara makelar dengan penjual dan pembeli bahwa dia akan mengambil atau dari keduanya secara bersama sama atas usahanya yang jelas, maka hal itu boleh. Dan tidak ada batas atas usaha itu dengan nilai tertentu. Tetapi apa yang menjadi
kesepakatan dan persetujuan pihak pihak yang terlibat maka hal itu boleh. Hanya saja, harus pada batasan yang biasa dilakukan oleh banyak individu, yang bisa memberi keuntungan bagi perantara atas usaha dan kerja kerasnya untuk menyelesaikan proses jual beli antara penjual dan pembeli, serta tidak terdapat mudharat kepada penjual atau pembeli atas tambahan yang di luar kebiasaan.
Nah sobat, jadi jelas ya, hukum komisi ialah halal jika memang sudah ada kesepakatan sebelumnya dan tidak merugikan pihak manapun, baik itu pembeli atau penjual, juga tidak boleh menipu dengan memasang harga yang berbeda dengan kesepakatan. Semoga ulasan yang disampaikan bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.