Hukum Tinggal Serumah Dengan Bukan Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam kehidupan sehari hari, kita tidak bisa memilih secara sempurna lingkungan seperti apa dan berada di sekitar orang seperti apa, semuanya berdasarkan pada keadaan dan harus tetap melakukan keutamaan menyambung tali silaturahmi. Di daerah Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki banyak budaya dan agama dimana satu sama lain harus tetap berinteraksi dengan damai dan saling menghargai. Hal itu umumnya mudah jika dilakukan dalam interaksi seperti teman sekolah atau kuliah, rekan kerja, tetangga, dan interaksi lain yang tidak berhubungan atau memiliki ikatan secara langsung.

Namun lain halnya jika harus berinteraksi secara terus menerus sepanjang hari seperti hukum bertamu ke rumah non muslim, misalnya menantu yang tinggal di rumah mertua yang kebetulan bukan islam, pekerja rumah tangga yang harus tinggal di rumah majikannya yang bukan islam, karyawan dan mahasiswa yang tinggal di asrama atau kos dengan teman teman dari berbagai agama, dsb. Apa saja yang harus diperhatikan jika berada dalam kondisi tersebut dan bagaimana hukumnya menurut islam? yuk simak ulasan selengkapnya mengenai Hukum Tinggal Serumah Dengan Bukan Islam.

Dalam islam, jika memang berada dalam kondisi harus tinggal serumah dengan bukan muslim hukum interaksi dengan non muslim, maka dilihat dari kepentingannya, jika bukan muslim tersebut adalah kerabat, maka memang wajib untuk berbuat baik padanya dengan tetap memegang prinsip prinsip islam, pastikan satu sama lain saling menghormati misalnya dalam hal makanan, hal hal yang najis, dan kebiasaan dalam beribadah agar tidak mengganggu satu sama lain.

Sedangkan jika kondisi dilakukan karena kewajiban dan tuntutan atau hukum berteman dengan non muslim, seperti pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah bukan muslim, jika memang belum memiliki pekerjaan yang lebih baik, poin poin yang diperhatikan juga sama, yakni saling menghargai, menjaga aurat, tutur kata, dan memiliki tempat yang layak untuk ibadah sehari hari, atau tidak disulitkan dalam hal ibadah dan tidak melakukan hal hal yang dilarang dalam islam baik itu dari segi makanan dan rutinitas.

Selama tinggal serumah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :

  • Tidak boleh mengikuti agamanya, mencakup semua ritual dan kepercayaannya

Allah Ta’ala berfirman:  “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19).

  • Tidak boleh membantu bukan muslim menghancurkan atau merendahkan Islam

Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57).

  • Tidak boleh tasyabbuh bil kuffar, meniru kebiasaan yang menjadi ciri khas kaum non-Muslim

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang menyerupai suatu kaum,  ia menjadi bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152)

  • Tidak boleh menghadiri atau merayakan perayaan kaum non-Muslim

Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang tidak melihat az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS. Al Furqan: 72). Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan: “az zuur adalah hari-hari perayaan kaum musyrikin” (Tafsir Al Qurthubi).

  • Tidak boleh seorang Muslimah menjadikan lelaki bukan muslim sebagai suami

Allah Ta’ala berfirman tentang hukum menikahi wanita non muslim: “maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (QS. Mumtahanah: 10).

  • Tidak boleh terlebih dahulu memberikan salam

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda “Janganlah engkau mendahului orang Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam” (HR. Muslim no. 2167)

  • Tidak boleh menzaliminya Karena zhalim itu haram secara mutlak kepada siapapun, termasuk kepada orang kafir.

Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maa’idah: 8)

  • Tidak boleh menyakitinya atau menganggu orang kafir yang dijamin keamanannya oleh kaum Muslimin, yang sedang dalam perjanjian damai, atau kafir dzimmi

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir muahad, ia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari no. 3166).

  • Boleh berbuat ihsan (baik) dengannya secara umum (memberi hadiah, memberi bantuan, berkata sopan, bersikap ramah, dll.)

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, Aku menyembelih kambing untuk Ibnu Umar dan keluarganya. Ibnu Umar berkata: “apakah engkau sudah hadiahkaAn kambing ini juga kepada tetangga kita yang Yahudi itu?”. Mereka berkata: “Belum”. Ibnu Umar berkata: “berikan sebagian untuk mereka, karena untuk mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk berbuat baik pada tetangga, hingga hampir aku menyangka tetangga akan mendapatkan harta waris” (HR. Tirmidzi 1943, dishahihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Shahih Al Musnad 797).

  • Boleh menjenguknya ketika sakit

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Ada seorang Yahudi yang suka membantu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Suatu hari ia sakit, Nabi pun menjenguknya. Nabi duduk di dekat kepadanya lalu mengatakan: ‘Masuk Islamlah anda!’. Lalu orang itu memandang kepada ayahnya yang ada di sampingnya, lalu ayahnya mengatakan: ‘Turuti perkataan Abul Qasim (Rasulullah)’. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun keluar dan berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan ia dari api neraka‘” (HR. Bukhari 1356).

  • Boleh menyambung silaturahim dengan kerabat yang non Muslim

Asma’ radhiallahu’anha mengatakan, “Ibuku datang kepadaku dan ia sangat menyambung silaturahim denganku. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin silaturahim dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.

  • Boleh memakan makanan non daging sembelihan hasil olahan non Muslim, baik Ahlul Kitab atau bukan, selama tidak ada zat haram di dalamnya

Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121). Yang dilarang dalam ayat ini adalah daging sembelihan, adapun sayuran, buah-buahan, makanan laut, kue dan lainnya dari orang kafir maka tidak ada masalah selamat tidak ada zat haram. Dalam hadits Aisyah:  “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut” (HR. Bukhari no. 2068).

  • Boleh memakan makanan daging sembelihan Ahlul Kitab, selama tidak ada zat haram di dalamnya

Allah Ta’ala berfirman “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka” (Al-Maidah : 5).

  • Boleh bersentuhan kulit, kecuali terhadap lawan jenis

Karena dibolehkan bermuamalah dengan mereka, berjual-beli dengan mereka, dibolehkan menikahi wanita ahlul kitab. Maka konsekuensinya, bersentuhan kulit dengan non Muslim itu boleh. Adapun makna ayat: “Sungguh orang-orang musyrik itu adalah najis” (QS. At Taubah: 28) Syaikh Ibnu Jibrin mengtakan: “najis yang dimaksud disini adalah ma’nawiyah (konotatif), yaitu bahwa mereka itu berbahaya, buruk dan rusak. Adapun badan mereka, jika memang bersih, tentu tidak dikatakan najis secara hissiy (inderawi)” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, Al Maktabah Asy Syamilah).

  • Boleh bermuamalah atau bergaul dengannya secara umum

Seperti: bermain bersama, belajar bersama, bekerja bersama, makan bersama, safar bersama, dan muamalah-muamalah yang lain. Tentunya muamalah adalah perkara yang sangat banyak jenisnya dan luas sekali. Kecuali terhadap lawan jenis, ada adab-adab Islam yang mengatur muamalah laki-laki dan wanita, diantaranya tidak boleh berduaan, tidak boleh bersentuhan, tidak boleh berpacaran, wanita tidak boleh safar kecuali bersama mahram, dll.

Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata, “Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan, padahal ia ketika itu masih kafir Quraisy. Lalu Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari.  Lalu orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi” (HR. Bukhari no. 2264).

Nah, itulah hukum tinggal serumah dengan bukan muslim secara lengkap, semoga bisa menjadi wawasan yang bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

fbWhatsappTwitterLinkedIn