Mungkin sebagian kita pernah tahu, atau melihat langsung orang yang melaksanakan shalat sambil membuka mushaf. Terutama pada malam malam bulan ramadhan saat melaksanakan keutamaan shalat tarawih yang luar biasa. Para pengurus masjid di beberapa daerah mulai menertibkan bacaan imam.
Setiap kali memimpin shalat tarawih, sang imam diharapkan bisa menyelesaikan satu juz dari kitab Al Qur’an, sehingga ketika sampai di penghujung keutamaan ramadhan 10 hari terakhir, jamaah shalat terawih tersebut bisa mengkhatamkan kitab Al Qur’an dengan sempurna di dalam shalat.
Iya, membaca kitab Al Qur’an dalam shalat itu memang keutamaannya lebih besar dibandingkan di luar shalat, tapi bagaimana jika ayat ayat suci itu dibaca sambil membuka mushaf kitab Al Qur’an, apakah shalatnya sah atau tidak? apakah mempengaruhi shalat yang merupakan pahala yang paling besar dalam islam? berikut selengkapnya mengenai Hukum Memegang Qur’an Ketika Shalat.
- Pertama, sah dan tidak dimakruhkan
Ini pandangan Syafi’iyah dan mayoritas mazhab Hambali. (Lihat: Al Wajiz: 1/49, Al Majmu’: 4/95, Al Furu’: 1/478 479, Al Inshaf: 2/109, Muntaha Al Iradat: 1/86) Dalil (dasar islam)nya, Abu Hurairah meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Aisyah bermakmum kepada budaknya, Dzakwan yang melihat mushaf.” (Shahih Bukhari, Kitabu Al Adzan, Bab Imamatil ‘Abdi wa Al Maula: 1/170)
Sebuah hadits yang menceritakan kisah keutamaan Aisyah istri Rasulullah SAW yang bermakmum kepada Dzakwan yang melihat mushaf dalam shalat Tarawih ini menjadi penunjuk diperbolehkannya shalat dengan melihat mushaf. Jika dalam shalat sunah diperbolehkan maka dalam shalat fardhu juga diperbolehkan, kecuali kalau ada dalil (dasar islam) yang membedakannya.
- Kedua, merusak shalat.
Ini pandangan Abu Hanifah, sebagian Hanabilah dan Ibnu Hazm. (Al Mabsuth:1/201, Fatawa Qadhi Khan:1/133, Al Hidayah: 1/62,dan Al Furu’:1/479) Dalil (dasar islam)nya, Abdullah bin Abi Aufa meriwayatkan, “Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah sebagai hukum beradab dengan Rasulullah dan berkata,
‘Sesungguhnya aku tidak mampu membaca kitab Al Qur’an sedikit pun maka ajarkanlah bacaan yang mencukupi kepadaku’. Beliau bersabda, ‘Katakanlah, Subhanallah, Al Hamdulillah, La ilaha illallah, Allahu Akbar dan La Haula wa La Quwwata illa billah’.” (Sunan Abu Dawud, Kitabus Shalat, , sebuah hadits ke 832: 1/220 dan beliau tidak mengomentarinya)
Sebuah hadits ini mengandung makna bahwa Nabi memerintahkan kepada orang yang tidak hafal kitab Al Qur’an sedikit pun untuk menggantinya dengan zikir dan tidak memerintahkan untuk melihat mushaf. Ini menunjukkan bahwa melihat mushaf itu tidak sah dan merusak shalat. Karena kalau hal itu diperbolehkan dan tidak merusak shalat, Rasulullah pasti memerintahkannya sebelum memerintahkan untuk berzikir.
- Ketiga, makruh tapi tidak merusak shalat
Ini pandangan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua shahabat Abu Hanifah. Alasannya, melihat mushaf ketika shalat menyerupai ahlul kitab, sedangkan pembuat syariat (Allah Ta’ala) melarang kita untuk menyerupai mereka. (Lihat: Al Mabsuth:1/201, Al Hidayah: 1/62, dan Al Ikhtiyar:1/62)
- Keempat, makruh dalam shalat fardhu, tidak dalam shalat sunah
Kecuali bagi yang sudah hafal kitab Al Qur’an, ia tetap dimakruhkan membaca dengan melihat mushaf, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Ini pandangan mazhab Maliki. (Lihat: Al Dalil (dasar islam) pandangan ini sama dengan dalil (dasar islam) pandangan pertama, yaitu sebuah hadits Aisyah yang bermakmum kepada Dzakwan. Hanya, pandangan ini menyatakan bahwa itu hanya berlaku untuk shalat sunah, tidak untuk shalat fardhu.
- Kelima, membatalkan shalat fardhu, bukan shalat sunah.
Ini pandangan lain dari Imam Ahmad. (Al Furu’: 1/479, Al Inshaf: 2/109) Pandangan yang kuat adalah pandangan pertama yang menyatakan bahwa membaca kitab Al Qur’an dengan melihat mushaf dalam shalat bagi orang yang tidak hafal kitab Al Qur’an (hafizh) dan tidak hafal Al Fatihah adalah wajib karena Al Fatihah merupakan salah satu rukun shalat.
Adapun bagi orang yang tidak hafal kitab Al Qur’an, tapi masih mampu menghafal Al Fatihah maka hukum membaca dengan melihat mushaf dalam shalat adalah boleh berdasarkan dalil (dasar islam) pandangan pertama. Pandangan inilah yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
dalam kitab ta’liqnya terhadap kitab Fathu Al Bari: 2/185. Namun begitu, beliau tetap memakruhkan bagi orang yang sudah hafal kitab Al Qur’an untuk melihat mushaf, karena hal itu menyelisihi sunah, yaitu membiarkan tangannya tetap berada di atas dada serta melihat tempat sujud.
Hubungan dengan Inti Shalat
Ruh dan inti dari shalat adalah hadir dan khusuknya hati ketika mengerjakan shalat. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghilangkan sebab sebab yang dapat mengganggu kekhusukan shalat. Misalnya, jika perut sangat lapar dan makanan sudah dihidangkan, maka hendaknya makan terlebih dahulu sampai kenyang sebelum shalat. Demikian pula, hendaknya buang air besar atau kecil terlebih dahulu sebelum shalat jika membutuhkannya.
Termasuk di antara hal yang menyibukkan hati dan pikiran ketika shalat adalah shalat sambil memegang dan membaca mushaf kitab Al Qur’an. Misalnya, dia shalat di belakang imam sambil membaca mushaf kitab Al Qur’an untuk mengikuti bacaan sang imam. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan bahwa perbuatan semacam ini akan menimbulkan berbagai hal yang dilarang, yaitu:
- Pertama, dia melakukan banyak gerakan yang sebetulnya tidak dibutuhkan
Yaitu, mengeluarkan mushaf (misalnya dari saku baju), membuka lembaran lembaran mushaf, dan menutup mushaf. Terkadang bisa jadi mushaf tersebut tulisannya kecil kecil sehingga butuh usaha ekstra untuk membacanya. Ini semua adalah gerakan (di luar kebutuhan shalat) yang banyak dan pada asalnya tidak diperlukan.
- Kedua, perbuatan ini akan menyibukkan diri dari sunnah yang hendaknya dikerjakan
Yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada dada. Meletakkan tangan seperti ini adalah di antara hal yang disyariatkan dalam shalat. Jika dia menyibukkan diri dengan membaca mushaf, maka dia terhalang dari melaksanakan sunnah meletakkan tangan pada dada.
- Ketiga, dia menyibukkan penglihatannya untuk bergerak berpindah
Dari bagian atas mushaf ke bagian bawah, dari awal halaman mushaf ke halaman berikutnya. Hal ini juga bisa dinilai sebagai gerakan (yaitu gerakan mata), sebagaimana gerakan tangan, kaki, dan sebagainya. Oleh karena itu, tanpa ragu lagi, dia menyibukkan diri dengan gerakan mata untuk mengikuti (membaca) kalimat kalimat yang ada di mushaf.
- Keempat, orang ini seakan akan memisahkan diri dari shalat jamaah
Untuk menilai apakah bacaan sang imam itu betul atau salah. Hatinya pun seakan akan semakin menjauh dari khusyuk.
Akan tetapi, seandainya hal ini memang betul betul dibutuhkan, misalnya ketika sang imam kurang bagus hapalannya, dan imam tersebut meminta kepada sebagian makmum untuk berdiri di belakangnya dan membaca mushaf untuk mengoreksi jika ada bacaan yang salah, maka hal ini diperbolehkan karena memang ada kebutuhan.
Jika Melakukan dalam Shalat Jamaah
Tidak mengapa seorang imam membaca dengan melihat mushaf pada saat tarawih, agar para makmum kedapatan pernah mendengar seluruh (ayat) kitab Al Qur’an. Dalil (dasar islam) dalil (dasar islam) syar’i dari Al Kitab dan As Sunnah telah menunjukkan disyariatkannya membaca kitab Al Qur’an ketika shalat, hal ini berlaku umum baik membaca dengan melihat mushaf ataupun dengan hafalan.
Telah disebutkan pula dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa beliau memerintahkan budaknya Dzakwan untuk mengimaminya ketika shalat tarawih, ketika itu Dzakwan membaca dengan melihar mushaf. Riwayat ini disebutkan oleh Al Bukhari rahimahullah di dalam shahihnya secara mu’allaq dan beliau memastikan
[Disalin dari kitab Al Fatawa Juz Awwal, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Abu Umar Abdillaj, Penerbit At Tibyan Solo]
Hukum Berdasarkan Tujuannya
Membawa mushaf dengan tujuan ini, menyelisihi sunnah berdasar beberapa hal yaitu :
- Pertama
Hal ini menjadikan seseorang tidak meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
- Kedua
Menjadikan seseorang harus banyak bergerak seperti membuka mushaf, menutupnya, meletakannya di ketiak atau di saku dan sebagainya.
- Ketiga
Menyibukkan orang tadi dengan gerakan gerakan tersebut dalam shalat.
- Keempat
Menghilangkan kesempatan untuk melihat ke arah tempat sujud, padahal sebagian besar ulama memandang bahwa melihat ke tempat sujud termasuk sunnah dan keutamaan.
- Kelima
Orang ini mungkin tidak merasakan bahwa ia sedang shalat bila hatinya sedang tidak konsentrasi. Berbeda jika ia shalat dengan khudhu’ dan tawadhu’ dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, dengan kepala menunduk melihat tempat sujud. Hal ini lebih dekat kepada hadirnya perasaan bahwa ia sedang shalat di belakang imam.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]