Wanita ialah sosok yang diciptakan Allah untuk memiliki kemampuan sebagai ibu, yakni dengan jalan mengandung dan melahirkan anak. Wanita dapat diberi anugrah oleh Allah berupa seorang calon bayi kapan saja sesuai kehendak Allah, ada yang diberi anugrah segera setelah melahirkan, ada pula yang menunggu bertahun tahun. semua itu hak mutlak Allah dan wajib diterima oleh manusia dengan kesabaran dan percaya bahwa hal tersebut adalah yang terbaik.
Sering pula wanita melahirkan di bulan Ramadhan dan hal tersebut dianggap sebagai suatu kebaikan atau anugrah yang lebih mulia namun memiliki hutang puasa karena setelahnya mengalami masa nifas. Benarkan mengenai hal tersebut? untuk memiliki pemahaman dan pengetahuan yang lebih mendalam, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai hukum wanita melahiran di bulan Ramadhan. Yuk simak selengkapnya hingga selesai.
Hukum Wanita Melahirkan di Bulan Ramadhan
Wanita yang melahirkan di bulan Ramadhan tentu akan mengorbankan puasanya dimana wanita yang melahirkan setelahnya mengalami masa nifas serta harus menyusui bayinya. firman Allah tentang wanita menyatakan bahwa wanita tentu akan merasa berat jika harus berpuasa dimana proses melahirkan membutuhkan begitu banyak tenaga dan kekuatan serta wajib mendapat gizi bagus dan memiliki kondisi tubuh yang fit, sedangkan jika berpuasa kemungkinan akan merasa lemah di tubuhnya.
Begitu juga dengan wanita nifas yang jelas tidak boleh berpuasa serta wanita menyusui yang kita tahu bahwa wanita menyusui memiliki nafsu makan dan nafsu minum yang lebih tinggi, serta wanita yang menyusui tentu tak boleh berada dalam kondisi lemah sebab bila hal itu terjadi akan berpengaruh pada pengeluaran ASI nya yang juga akan berpengaruh pada kelahiran bayinya, sebab itu mereka boleh menunda puasa dan mengganti puasa setelahnya. Hukum tersebut merupakan wujud kasih sayang Allah kepada wanita.
1. Menurut Rasulullah
Hukum dan tips melahirkan dalam islam bagi wanita di bulan Ramadhan sudah diatur sejak jaman dahulu kala, Rasulullah pun pernah bersabda mengenai hal tersebut yakni sebagai berikut, “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan (tidak) berpuasa dan setengah dari shalat bagi orang yang bepergian (safar). Dan Allah memberikan keringan (tidak) berpuasa bagi wanita yang hamil dan menyusui.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa wanita yang melahirkan di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa sebab memang berada dalam kondisi dimana ia membutuhkan banyak tenaga baik dari makanan dan minuman, juga membutuhkan kondisi tubuh yang fit. doa nabi Yunus untuk ibu hamil dapat dibaca selama proses persalinan untuk memohon kekuatan dan kelancaran. Hal itu juga berlaku hingga tahap selanjutnya, yakni pada masa nifas dan menyusui.
Islam memang agama terbaik yang telah mengatur syariat serta manfaat hukum islam dalam kehidupan dengan lengkap, islam menyayangi wanita dan memahami setiap kondisi yang dialaminya, termasuk ketika berada dalam kondisi melahirkan dan menyusui yang memang tidak selayaknya jika dibebani beban berat seperti berpuasa, wanita melahrkan di bulan Ramadhan boleh untuk tidak berpuasa terlebih dahulu namun tetap mengganti atau mengqadhanya di hari lain ketika ia telah sanggup berpuasa.
2. Kisah Pada Jaman Rasulullah
Aisyah radhiyallahu ‘anhaa berkata: “Kami mengalami haidh pada zaman Rasululloh, maka kami diperintah untuk mengqodho puasa dan tidak diperintah untuk mengqodho shalat”. (HR.Bukhari: 321, Muslim: 335). Asiyah pernah berkata mengenai masa dimana ketika haidh dan diinta Rasulullah untuk mengganti hutang puasanya namun tidak perlu mengganti hutang shalat.
Begitu pula yang terjadi pada ibu melahirkan di bulan Ramadhan, mereka wajib mengganti hutang puasa, namun bagi yang melahirkan dan menyusui tetap wajib untuk menjalankan ibadah shalat 5 waktu, terkecuali bagi waita nifas yang hukumnya sama seperti hadist yang disampaiakan oleh Aisyah, yakni mengganti hutang puasa tanpa perlu mengganti shalat yang tidak dilakukan.
Wanita yang melahirkan di bulan Ramadhan tak perlu takut akan mendapat beban berat, telah dijelaskan sebagaimana hadist tersebut bahwa mereka memiliki keringanan dari Allah sehingga kondisi yang dialaminya tidak akan memeberatkan dirinya dimana islam memang memperbolehkan atau meringankan kewajiban dalam kondisi tertentu asal tidak dilakukan dengan sengaja. Misalnya ibu melahirkan yang sedang dalam proses akan melahirkan, jika ia kuat shalat berdiri maka shalat dengan berdiri, jika tak mampu, maka boleh dengan duduk atau tidur.
3. Wanita yang Lanjut Menyusui di Bulan Ramadhan
Wanita yang melahirkan di bulan Ramadhan tentu selanjutnya akan mengalami masa menyusui dan masa nifas, di masa tersebut juga merupakan masa penuh perjuangan dimana seorang ibu tidak hanya menghidupi dan bertanggung jawab untuk dirinya sendiri namun juga atas kehidupan dan perkembangan bayi yang dilahirkannya, baik atau buruk kondisi bayinya tersebut tentu berasal dari tindakan atau kasih sayang yang diberikan.
Jika memang wanita tersebut tidak berpuasa maka hal itu bukanlah masalah, tetap diperbolehkan tidak berpuasa dan menggantinya di kemudian hari, namun tetap menjalankan shalat setelah nifas selesai. Sebabitu wanita yang menyusui tak perlu khawatir akan diberikan beban berat, justru kondisinya tersebut bisa menjadi jalan ibadah dengan memberi yang terbaik untuk anaknya dan ia mendapat keringanan dari Allah, hal ini juga tercantum dala fatwa ulama berikut.
Akan tetapi, umumnya wanita yang melahirkan mereka juga langsung menyusui anaknya. Dan wanita yang menyusui boleh tidak puasa serta wajib mengganti puasanya dengan qodho atau membayar fidyah. Sehingga dalam diri wanita yang melahirkan terkumpul dua keadaan;
Keadaan Pertama; keadaan nifas, ini disebut dengan keadaan yang menghalangi dan melarang (Janib al-Haazhir wal Mani’). Keadaan Kedua; keadaan menyusui, ini disebut dengan keadaan yang membolehkan untuk berbuka puasa (janib al-mubiih).
4. Kesepakatan Ulama
Karena banyaknya pertanyaan dari berbgaai pihak mengenai hukum wanita melahirkan di bulan Ramadhan, akhirnya dibentuklah kesepatakan atau fatwa ulama yang dihasilkan dari sumber syariat yang jelas, yakni dari Al Qur’an dan dari kisah kisah dalam berbagai hadist Rasulullah terdahulu, berikut keterangan dan kesimpulannya.
Wanita yang melahirkan disebut juga dengan wanita nifas. Karena nifas secara bahasa maknanya adalah melahirkan. (Lisaanul ‘Arob 6/238, Ibnul Manzhur, An-Nihayah 5/95, Ibnul Atsir).
Sedangkan secara terminology syari’at nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena sebab melahirkan. (Risalah Fid Dimaa at-Thobi’iyyah hal.51, Ibnu Utsaimin).
Wanita yang sedang haidh dan nifas tidak boleh puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunnah, dan para ulama telah sepakat dalam masalah ini. (Lihat Marotib al-Ijma’ hal.40, Ibnu Hazm, al-Ijma’ hal.43, Ibnul Mundzir, al-Mughni 4/397, Ibnu Qudamah).
Bukankah wanita jika sedang haidh dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah bentuk kurang agamanya. (HR.Bukhari: 304, Muslim: 132). Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “Hukum wanita nifas sama halnya dengan hukum wanita haidh dalam seluruh perkara yang diharamkan dan kewajiban yang gugur bagi mereka, kami tidak mengetahui ada perselisihan dalam masalah ini”. (Al-Mughni 1/350).
Jelass dari kesepakatan tersebut, bahwa hukum wanita melahirkan di bulan Ramadhan maka baginya gugur kewajiban untuk mengerjakan ibadah puasa karena memang berada dalam kondisi yang lemah dan tidak memungkinkan untuk ditambah bebannya sebab dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya baik bagi ibu yang mengandung maupun calon bayinya, sebab itu ia diberi keirnganan untuk menggantinya di lain hari dengan tetap menjalankan shalat sesuai kemampuannya.
5. Waktu Pembayaran Hutang Puasa
Ketika wanita melahirkan di bulan Ramadhan dan memiliki hutang puasa, tentu saja hutang tersebut harus segera dibayar ketika kondisinya telah mampu dan terdapat jangka waktu untuk membayarnya, tidak diperkenankan menunda nunda membayar hutang di kala kondisinya telah memungkinkan, jika hal tersebut dilakukan, justru akan menjadi dosa karena ia tak kunjung menyelesaikan hutangnya atau kewajiban yang memang harus dilakukannya.
Aisyah berkata: “Aku punya utang puasa Ramadhan dan aku tidak mampu membayarnya kecuali pada bulan Sya’ban”. (HR.Muslim: 1146). Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Andaikan mengakhirkan membayar utang puasa Ramadhan boleh lewat Ramadhan berikutnya tentulah akan dikerjakan oleh Aisyah”. ( Al-Kaafii 1/359). Keringanan yang diberikan oleh Allah tentu dijadikan dimanfaatkan untuk kebaikan, bukan untuk meremehkan atau meringankan kewajiban.
Hal tersebut juga diucapkan oleh Aisyah bahwa ia harus membayar hutang puasa sebelum bulan Ramadhan berikutnya, begitu pula yang terjadi pada ibu melahirkan, diwajibkan untuk membayar hutang puasa sebelum Ramadhan berikutnya jika memang ia telah mampu, umumnya walaupun menysuui namun juga sudah hampir setahun sudah memiliki kemampuan untuk berpuasa karena sudah terbiasa menjalaninya.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS.al-Baqoroh: 286). Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS.al-Baqoroh: 184). Firman Allah tersebut mengartikan bahwa Allah tidak membebani hambaNya termasuk ibu melahirkan, namun juga Allah mewajibkan untuk segera mengganti ketika ia telah mampu. Wallahualam.
Demikian artikel mengenai hukum wanita melahirkan di bulan Ramadhan, semoga menjadi wawasan yang bermanfaat untuk anda. jangan lupa selalu memperbarui ilmu anda dengan membaca artikel artikel di situs kami, terima kasih sudah membaca. Salam hangat dari penulis.