Hukum Kredit Menurut Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Di jaman sekarang ini, kegiatan transaksi jual beli sudah semakin canggih. Tak terbatas pada pembayaran tunai. Tapi juga tersedia layanan kredit. Misalnya saja membeli rumah, sepeda motor atau mobil. Semua itu bisa didapatkan lewat sistem angsuran dengan syarat bayar uang muka sekian rupiah.

Adanya praktik kredit ini memang memudahkan masyarakat dalam berjual beli. Namun demikian, sistem kredit juga menuai pro dan kontra. Beberapa orang membolehkan sistem kredit. Tapi ada juga yang menganggap jual beli kredit dalam islam termasuk riba jadi diharamkan. Lalu sebenarnya bagaimana islam memandang kredit? Berikut penjelasannya!

Pengertian Kredit

Sebelum membahas lebih lanjut tentang hukum  jual beli kredit  dalam islam, perlu kita pahami dulu apakah itu kredit. Terdapat beberapa definisi tentang kredit.

Menurut UU No. 10 tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga

Menurut wikipedia, kredit adalah suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kredit memiliki 4 definisi yakni:

  1. Cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur)
  2. Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur
  3. Penambahan saldo rekening, sisa utang, modal, dan pendataan bagi penabung
  4. Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain

Dari semua definisi diatas, bisa disimpulkan bahwa kredit adalah metode pembayaran barang atau hutang dengan cara dicicil dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan. Biasanya barang yang dijual dengan kredit memiliki harga lebih mahal daripada dibayar tunai.

Misalnya saja, Anda membeli sepeda motor seharga Rp.15 juta. Dibayar perbulan 1 juta. Apabila Anda membeli secara kontan/tunai maka harga aslinya Rp.16 juta.

Pandangan Islam tentang Kredit

Dalam bahasa arab, jual beli kredit dikenal sebagai Bai’ bit taqsith yang berarti membagi sesuatu menjadi beberapa bagian tertentu.

Ulama syafiiyah, hanafiyah, Al-Muayyid billah, serta mayoritas ulama lain berpendapat bahwa hukum kredit dalam islam diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada beberapa hal, yakni:

  1. Tidak adanya dalil yang mengharamkan kredit

Alasan pertama mengapa kredit diperbolehkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan hukum kredit. Ini juga beracuan pada kaidah ushul fiqhi yang menyatakan bahwa “Asal dari hukum sesuatu adalah mubah (boleh). Sampai ada hukum yang mengharamkan atau memakruhkannya.”

Perlu diketahui, mengharamkan sesuatu tanpa dalil yang kuat itu tidak diperbolehkan. Sama saja dengan menghalalkan perkara yang haram.

  1. Firman Allah yang membolekan Utang Piutang

Praktik kredit sama dengan utang piutang. Sedangkan Allah Ta’ala juga membolehkan hukum berhutang piutang. Asalkan tidak ada unsur penambahan bunga. Ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 282:

Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu berhutang  dalam waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya.  Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Maka jangan lah penulis menolak menuliskanya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan. Dan hendak lah ia bertaqwa kepada Allah, tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari  padanya.

Jika orang yang berhutang itu lemah akal nya ( keadaannya) atau tidak mampu mendiktekan sendiri maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari orang- orang yang kamu sukai diantara mereka. Agar jika seorang lupa maka yang lain lagi mengingatkan. Dan janganlah saksi itu menolak jika dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya untuk waktunya baik hutang itu besar atau kecil. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah. Lebih dapat menguatkan persaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan.

(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi dipersulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS : Al-Baqarah: 282)

  1. Hadist Shahih tentang Rasul yang Pernah Berhutang

Dibolehkannya transaksi dengan kredit juga didasarkan pada hadist shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dengan cara berhutang.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari d an Muslim)

Tata Cara Kredit Menurut Aturan Islam

Walaupun kredit diperbolehkan dalam islam, namun ada juga aturan-aturan yang perlu diikuti. Diantaranya yakni:

  1. Tidak Boleh Menjualbelikan Barang-Barang Ribawi

Syarat pertama tidak boleh melakukan transaksi barang-barang ribawi. Barang ribawi adalah barang yang apabila diperjual belikan atau ditukar tak sesuai syariat agama maka menimbulkan transaksi riba.

Barang-barang yang termasuk ribawi yakni:

  • Uang
  • Perak atau Emas
  • Jewawut
  • Kurma
  • Gandum
  • Garam
  • Dan sejenisnya

Barang-barang diatas harus diperjual belikan secara tunai atau kontan. Hal ini didasari oleh hadist yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shomit rodhiallohu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah-shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda :

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (HR. Muslim)

  1. Barang yang Dijual Adalah Milik Sendiri

Seorang penjual harus menjual barang yang dimilikinya sendiri. Tidak diperbolehkan penjual mengkreditkan barang yang bukan hak-nya. Misalnya saja dropshipping. Ini sebenarnya menuai kontroversi. Anda menjual barang yang Anda sendiri tidak tahu kondisinya. Pengirimannya juga dilakukan lewat seller pertama. Anda hanya sebagai perantara. Hal itu bisa saja menyebabkan timbulnya masalah pengiriman, entah terlambat atau mungkin hilang. Hal-hal yang merugikan pembeli ini bisa menimbulkan dosa.

  1. Serah Terima Barang Harus Dilakukan Tepat Waktu

Biasanya dalam sistem kredit, barang diberikan ke pembeli saat pembayaran uang muka. Hal ini harus dilakukan tepat waktu, tidak boleh ditunda-tunda. Sebab bagaimanapun juga pembeli sudah memiliki hak terhadap barang tersebut. Kecuali ada perjanjian tertentu.

  1. Waktu Tempo Pembayaran Harus Jelas

Dalam sistem kredit yang terpenting adalah perjanjian dan cacatan tentang prosedur transaksi tersebut. Termasuk waktu tempo pembayaran juga harus jelas. Dengan demikian tidak akan terjadi pertikaian.

  1. Apabila Terlambat, Tidak Boleh Ada Sistem Penambahan Bunga

Dalam bertransaksi sistem kredit, jangan sampai Anda memberlakukan penambahan bunga saat pembeli terlambat membayar. Ini bisa membuat Anda terjerumus ke dalam riba yang termasuk dosa besar.

  1. Harga Berlipat Dari Pembayaran Cash Boleh, Asal Tidak Berlebihan

Dalam sistem jual beli kredit biasanya harga barang yang ditawarkan lebih mahal daripada harga cashnya. Misalnya saja harga cash Rp.15 juta. Apabila dijual dengan kredit selama 12 bulan maka harga Rp.16 juta. Penerapan harga semacam itu sebenarnya diperbolehkan oleh ulama, asalkan tidak berlebihan. Sebab bagaimanapun juga pebisnis perlu mendapatkan untung. Selain itu juga mempertimbangkan beberapa faktor, misalnya saja biaya administrasi, inflasi, dan sebagainya.

  1. Kesepakatan Dua Belah Pihak

Yang terpenting dari melakukan transaksi kredit harus ada kesepatakan atau akad jual beli dalam islam antara dua belah pihak, baik itu nilai pembayaran ataupun tempo pelunasan keduanya harus ditulis secara jelas dan disetujui oleh penjual dan pembeli.

Jadi itulah penjelasan tentang hukum kredit dalam islam. Semoga info diatas bermanfaat bagi kita semua. Intinya, apapun yang kita lakukan dalam kehidupan ini harus didasari oleh agama, baik itu urusan bermasyarakat, berpolitik, fiqih muamalah jual beli dan lainnya. Selain itu, kita juga harus mempelajari tentang hukum pinjam uang di bank dalam islamkhiyar dalam jual beli islam, bahaya hutang dalam islam, serta hukum tidak membayar hutang serta  hukum riba dalam islam. Dengan begitu kita tidak akan tersesat dan tetap berada pada jalan yang diridhoi oleh Allah Ta’ala. Amin ya Rabbal Alamin.

fbWhatsappTwitterLinkedIn