Jual Beli Kredit Dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Aktivitas ekonomi memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia termasuk aktivitas jual beli atau menukar barang dengan uang atau harta lainnya (baca harta dalam islam dan hukum jual beli tanah). Dalam islam segala hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia dengan manusia yang lain atau muamalah diatur dengan sedemikian rupa tak terkecuali dengan transaksi jual beli. Semakin berkembangnya zaman dan teknologi memicu perkembangan ekonomi serta cara bertransaksi atau jual beli. Dengan berbagai cara baik jual beli secara langsung atau online keduanya terkadang menawarkan kredit dalam sistem pembayarannya. Kredit tersebut dinilai dapat meringankan beban pembeli yang ingin membeli sebuah barang yang biasanya cukup mahal. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum jual beli secara kredit dalam islam dan prakteknya? Untuk mengetahuinya lebih lanjut, simak uraian dalamislam.com berikut ini (baca juga hukum saham dalam islam  dan jual beli emas dalam islam )

Definisi Jual Beli Kredit

Jual beli adalah sebuah aktivitas yang umum dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun keluarganya. Selain itu aktifitas jual beli termasuk dalam dunia perniagaan dimana Rasulullah SAW juga berprofesi sebagai seorang pedagang (baca kisah teladan nabi Muhammad SAW dan cara makan Rasulullah) . Saat ini ada banyak cara yang digunakan dalam proses jual beli termasuk jual beli dengan sistem kredit. Dalam ilmu fiqih, jual beli kredit disebut dengan istilah taqsith.

Taqsith sendiri diartikan sebagai proses jual beli dengan sistem pembayaran mengangsur atau mencicil. Pembeli yang membeli sebuah barang dalam sistem kredit dapat mengangsur sejumlah uang secara bertahap hingga memenuhi semua tanggungan tersebut. Misalnya saja si A membeli sebuah televisi seharga 2,4 juta rupiah dan ia memiliki waktu selama satu tahun untuk membayarnya, maka setiap bulan si A harus membayar minimal 120 ribu kepada penjual untuk bisa memenuhi harga tersebut selama satu tahun.

Hukum Jual Beli Kredit

Sebagai suatu sistem pembayaran barang atau jasa, sistem kredit saat ini masih menjadi perdebatan diantara kalangan ulama. Beberapa ulama memperbolehkan sistem ini dan ada sebagian lainnya yang menganggap bahwa jual beli sistem kredit hukumnya haram atau tidak diperbolehkan. Berikut ini adalah alasan jual beli secara kredit dilarang dan diperbolehkan menurut pendapat para ulama. (baca akad jual beli dan fiqih muamalah jual beli)

  • Pendapat Yang Melarang

Beberapa ulama mengharamkan atau melarang sistem jual beli secara kredit, diantaranya adalah Al Albani yang mencantumkan larangan tersebut didalam kitabnya. Larangan jual beli kredit tersebut dikarenakan penafsiran sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi

“Dua transaksi jual beli dalam satu transaksi” adalah seperti ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.”

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa jual beli secara kredit adalah termasuk jual beli dengan dua transaksi dalam satu jual beli. Oleh sebab itu, para ulama berpendapat bahwa jual beli yang dibayar secara mengangsur atau dengan cicilan adalah haram.

  • Pendapat Yang Memperbolehkan

Meskipun ada beberapa ulama yang tidak setuju dan melarang transaksi jual beli dengan sistem kredit, ada pula ulama yang memperbolehkan jual beli dilakukan dengan sistem kredit. Dalam menyatakan pendapat tersebut, para ulama berpatokan pada beberapa dalil yang menyatakan bahwa sistem kredit sebenarnya adalah hutang yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual. Berikut adalah dalil yang mendukung pendapat tersebut (baca pinjaman dalam islam dan hukum kredit barang menurut islam)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. …………………….. (QS Al Baqarah : 282)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa suatu hal yang terkait dengan muamalah dapat dilakukan tidak secara tunai asalkan ditulis dan dicatat dengan benar. Dalil lain yang berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah membeli barang tidak secara tunai. (baca hutang dalam pandangan islam) 

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)

Meskipun sistem jual beli kredit diperbolehkan oleh beberapa kalangan, tetap saja ada hal yang harus diperhatikan dalam membeli barang dengan sistem kredit, diantaranya barang harus diterima oleh pembeli secara langsung tanpa ditunda, tidak memiliki harga ganda atau bunga yang merupakan riba, benda yang dibeli bukan barang ribawi dan lain sebagainya. (baca juga hukum riba dalam islam dan pinjaman tanpa riba)

fbWhatsappTwitterLinkedIn