Hukum Mendahulukan Ibu Daripada Istri dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Seorang laki-laki yang sudah berkeluarga, tentu akan memiliki setidaknya dua orang wanita spesial dalam hidupnya. Yakni Ibu yang telah melahirkan dan berjuang mengurusnya sejak kecil, dan tentunya istrinya yang akan menemani hidupnya untuk waktu kedepan.

Dalam Islam seorang anak wajib hukumnya untuk menghormati orang tua, dengan cara menghormati orang tua dalam Islam yang sudah dibahas sebelumnya. Bahkan Rasulullah Saw. menganjurkan untuk mendahulukan Ibu daripada ayah sebanyak tiga kali lebih utama,

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata; “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” dia menjawab: “Kemudian ayahmu.” [HR. Bukhari no.5971 dan Muslim no.2548]

Disamping itu juga seorang laki-laki yang sudah beristri tentu memiliki kewajiban terhadap istrinya. Lalu dalam konteks kehidupan nyata, jika seorang laki-laki telah beristri dan ibunya masih diberikan umur yang panjang, manakah wanita yang harus ia dahulukan kepentingannya? Apakah ibunya yang telah melahirkan dan mengurusnya sejak kecil ataukah istrinya yang senantiasa setia menemaninya dalam suka dan duka? Berikut akan dibahas hukum mendahulukan ibu daripada istri dalam Islam.

Hukum Suami Berbakti kepada Ibu Setelah Menikah

Dalam Islam tentu seorang suami wajib menafkahi istri dan anaknya sebagai konsekuensi dari akad yang telah ia ucapkan. Dan hal tersebut merupakan hak manusia yang didasari musyâhhah atau saling menuntut. Lantas apa hukumnya bagi suami untuk senantiasa berbakti kepada orang tua terutama ibunya? Jika seandainya terjadi keadaan dimana suami yang senantiasa berbakti kepada ibunya untuk membahagiakan orang tua dan terkadang memberikan sebagian hasil dari kerja kerasnya untuk menafkahi orang tuanya.

Baca juga :

Maka jika Anda seorang istri dari suami yang seperti itu, hendaknya dukung dengan baik agar suaminya senantiasa melakukan berbagai ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Berbakti kepada orang tua atau birrul wâlidain terutama kepada ibunya dan menyambung tali silaturahmi dengan baik pada orang tua setelah menikah merupakan suatu ketaatan kepada Allah yang amat baik.

Bukankah pernikahan tidak berarti untuk melupakan orang tua dan juga kerabat lainnya? Namun bagi suami juga tentu harus mengetahui serta membuat skala prioritas sehingga tidak menimbulkan perselisihan dan permasalahan dalam keluarga yang bisa merusak keharmonisan. Lalu bagaimana pandangan Islam bagi seorang laki-laki yang telah beristri, apakah ibu atau istrinya yang harus didahulukan?

Wajibkah Anak Menafkahi Orang Tua Setelah Beristri?

Ibnul Mundzir berkata,

Para Ulama sepakat tentang kewajiban menafkahi kedua orang tua tidak punya pekerjaan atau kekayaan dengan harta anak mereka”.

Dan diantara dalil yang menjelaskan, diantaranya adalah

Diriwayatkan bahwa seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Saya memiliki harta dan orangtua, dan ayah saya ingin menghabiskan harta saya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam   menjawab, “Engkau dan hartamu boleh dipakai orangtuamu. Sesungguhnya, anak-anak kalian termasuk penghasilan terbaik, maka makanlah dari penghasilan anak-anak kalian.” [HR. Ahmad, no. 7001. Hadits ini dihukumi shahih oleh Ahmad Syakir, al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth rahimahumullah]

Berdasarkan hadis diatas, hukum mendahulukan ibu daripada istri dalam Islam untuk menafkahi orang tua tidaklah wajib atas anak kecuali dengan dua syarat berikut, yakni:

  1. Orang tua yang miskin dan membutuhkan bantuan;
  2. Anak yang kaya dan memiliki kelebihan nafkah setelah nafkah yang bisa ia berikan kepada istri dan anaknya.

Kedua syarat ini telah disepakati oleh para Ulama [Hasyiyah Ibnu Abidin 2/678; Minahul Jalîl, 2/448; Mughnil Muhtâj, 3/446; al-Inshâf, 9/392

Sehingga jika seorang laki-laki mampu untuk memenuhi atau menafkahi istri dan anak-anaknya dan masih memiliki kelebihan nafkah dengan kondisi orang tua yang sudah tidak bekerja dan membutuhkan bantuannya, maka wajib bagi anaknya untuk membantu juga orang tuanya.

Baca juga :

Nafkah Istri dan Orangtua, Mana yang Didahulukan?

Namun jika keadaannya hanya memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan salah satu nafkah saja, maka istri dan anaknya lah yang harus didahulukan dibandingkan dengan nafkah orang tuanya, karena sesuai yang telah disebutkan diawal bahwa itu merupakan konsekuensi dari akad yang telah ia ucapkan, yang merupakan hak manusia, sedangkan nafkah orang tua atau berbakti kepada orang tua merupakan bentuk dari kebaktian dan bantuan yang termasuk hak Allah Azza wa Jalla.

Hak manusia di dunia didasari oleh musyâhhah atau saling menuntut, sementara hak Allah Azza wa Jalla didasari oleh musâmahah atau pengampunan. Dalam hadits pun telah dijelaskan khusus mengenai prioritas.

Mulailah dengan menyedekahi dirimu sendiri. Jika ada sisa, sedekahilah keluargamu. Dan jika masih ada sisa lagi berikanlah kepada kerabatmu. [HR. Muslim, no. 997]

Selain itu juga telah ditegaskan dalam hadits lain yang berisi,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa bila ia menahan makanan dari orang yang menjadi tanggungannya.” [HR. Muslim no.996]

Baca juga :

Sehingga jelas bahwa seorang laki-laki yang telah beristri harus senantiasa mendahulukan kepentingan istri dan anak-anaknya dan sudah dibahas pula mengenai hukum suami tidak menafkahi istri dalam Islam. Dan jika masih mampu untuk menafkahi atau membantu ibunya maka hal tersebut menjadi wajib juga karena tentu berbakti kepada orang tua adalah hal yang sangat disenangi oleh Allah Azza wa Jalla.

Dan sedikit tambahan bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, baik untuk diri sendiri maupun lingkungan, seperti dalam hadits berikut yang menceritakan tentang contoh keseimbangan yang dilakukan dalam kehidupan,

Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Amru bin Ash ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abdullah, Aku telah diberitahu bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan qiyamullail semalan suntuk?” aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Janganlah kamu melakukan hal itu. Berpuasalah dan juga berbukalah. Tunaikanlah qiyamullail namun sisihkan pula waktu untuk tidur. Sebab bagi jasadmu juga punya hak atas dirimu, kedua matamu juga punya hak atasmu dan bagi isterimu juga punya hak atas dirimu.” [HR. Bukhari no.5199]

Sehingga hal terbaik yang bisa dilakukan bukanlah mendahulukan istri dan melupakan ibu, namun mendahulukan istri dan anak-anak kemudian senantiasa berusaha untuk tetap berbakti kepada orang tua terutama ibu, karena selagi mereka masih ada di dunia ini manfaatkanlah dengan berbakti kepada mereka, jika mereka sudah tiada dan dipanggil oleh Sang Pencipta, maka penyesalan lah yang akan menghampiri.

Dari paparan diatas dapat ditarik sebuah nasihat baik kepada suami, istri maupun orang tua agar senantiasa melihat keadaan ataupun kondisi yang ada, sehingga mampu menciptakan suasana yang harmonis yang tidak menimbulkan perpecahan antara suami istri dan orang tuanya. Karena seperti apa yang telah dijelaskan dalam pembahasan diatas, bahwa pernikahan itu tidak berarti menghalangi bakti kepada orang tua.

Serta hubungan tali silaturahmi dengan kerabat yang lainnya, melainkan menambah tali silaturahmi dan membuka pintu rezeki yang amat besar dalam kehidupan ini, sehingga maksimalkan lah untuk membangun keluarga yang harmonis dan tetap bisa berbakti kepada orang tua terutama “Ibu”. Demikianlah hukum mendahulukan ibu daripada istri dalam Islam, semoga bermanfaat.

fbWhatsappTwitterLinkedIn